PERADABAN ISLAM I: TELAAH ATAS PERKEMBANGAN PEMIKIRAN KALIGRAFI EKSPRESI ARTISTIK PERADABAN ISLAM Oleh Nurcholish Madjid Dalam kajian modern, agama Islam disebut sebagai agama yang sangat ikonoklastik, yaitu menerapkan ikonoklasme atau paham yang memandang tabu menggambar dan merepresentasikan makhluk atau benda bernyawa, yang terdiri dari manusia dan binatang. Ikonoklasme ini dipegang dengan amat kukuh dalam masa-masa awal perkembangan Islam. Dengan begitu agama Islam menyertai agama-agama Semitik lainnya, yaitu Yahudi dan Kristen. Sekarang ini ikonoklasme dalam Islam tidak lagi diterapkan sekeras di masa-masa awal itu, kecuali yang muncul dalam bebe rapa kasus saja. Misalnya, sikap sebagian kalangan Islam yang mengharamkan lukisan manusia atau binatang, lebih-lebih lagi patung, atau bahkan masih ada yang mengharamkan pengambilan foto diri sendiri. Istilah ikonoklasme atau ikonoklastik yang berasal dari bahasa Yunani itu sebenarnya timbul dari pengalaman Kristen. Yaitu, ketika para pendeta Kristen Syiria melaksanakan kampanye anti-gambar dan patung manusia dan binatang agama yang timbul di kalangan bangsa Yahudi di Palestian itu berkenalan dengan budaya Gentile dari Yunani dan Romawi. Tapi karena pengaruh budaya Yunani-Romawi itu begitu kuat maka lambat laun agama Kristen tidak lagi memandang tabu menggambar makhluk atau benda bernyawa, termasuk menggambar dan mematung Isa al- Masih dan ibundanya Maryam. 1
NURCHOLISH MADJID Namun, dalam proses pertumbuhannya, perkara gambar pa tung itu sempat menimbulkan kontroversi teologis yang seru antara Kristen Romawi dan Kristen Yunani. Kristen Romawi meng izinkan sampai pada pembuatan patung (representasi tiga dimensi) tokoh-tokoh suci gereja seperti Isa al-masih dan Maryam sedangkan Kristen Yunani atau Ortodoks mengizinkan hanya sampai representasi dalam dua dimensi saja, yaitu gambar di atas bidang datar, yang secara khusus disebut ikon. Dengan begitu agama Kristen memiliki media ekspresi artistik yang ada pada bangsa-bangsa Yunani dan Romawi sudah dengan beberapa penyesuaian sebagaimana dituntut oleh ajaran agama itu. Katedralkatedral banyak yang dipenuhi karya-karya lukis dan patung yang indah, seperti karya-karya besar Michael Angelo dan Leonardo da Vinci. Dalam hal ikonoklasme ini, dua agama Semitik lainnya (Islam dan Yahudi) berbeda jauh dari agama Kristen. Kedua agama itu sampai saat ini masih sangat ikonoklastik, sehingga Max Weber memandang keduanya sebagai penganut strict monotheism, paham Ketuhanan Yang Mahaesa yang tegas. 1 Yakni suatu monoteisme yang tidak dikompromikan dengan unsur-unsur budaya Yunani- Romawi yang asalnya menganut paganisme itu. Ikonoklasme sendiri memang merupakan sambungan langsung paham tauhid atau monoteisme. Sikap penuh prasangka kepada setiap bentuk representasi benda bernyawa muncul karena representasi itu, khususnya yang berupa patung, selalu terkait erat dengan suatu bentuk mitologi. Sebuah patung pada masa itu selalu mempunyai nilai sakral karena, misalnya, ia menggambarkan seorang dewa. Maka patung-patung Apollo, Venus, Ganesha, dan lain-lain, dalam pandangan agama-agama monoteis Semitik, adalah wujud nyata dari politeisme atau syirik yang amat ditentang. 1 Max Weber, The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press,1964), h. 138. 2
PERADABAN KALIGRAFI: ISLAM EKSPRESI I: TELAAH ARTISTIK ATAS PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PEMIKIRAN Sebuah patung pada masa itu juga dapat mempunyai nilai heraldic, karena bersemangat mengagungkan sesama manusia, seperti semangat patung-patung Julius Caesar, Ken Dedes, dan lain-lain. Ini pun ditentang, karena dapat mengarah kepada suatu jenis Fir aunisme, yaitu pengingkaran terhadap paham persamaan manusia (egalitarianisme) yang senantiasa menjadi gandengan erat monoteisme. Desakralisasi Karya Seni Telah disebutkan bahwa sekarang ini orang-orang Muslim tidak lagi memegang ikonoklasme itu sepenuh-penuhnya. Setelah budaya Islam mencapai titik puncak pertumbuhannya, banyak kaum Muslim yang mulai mampu memisahkan aspek mitologis sebuah representasi benda bernyawa dari aspek artistiknya, bahkan dari aspek kegunaan praktisnya untuk tujuan tertentu. Maka mereka pun mulai mendevaluasi atau mendesakralisasi karya-karya tersebut, dan memandang karya seperti patung atau lukisan sebagai sematamata bernilai dekoratif dan ornamental belaka. Gejala ini tampak nyata, misalnya, dalam penggunaan patung-patung singa untuk air mancur di gedung Alhambra (al-qal at al-hamrā Benteng atau Istana Merah) di Cordova, atau dalam hiasan miniatur (lukisanlukisan kecil) dari binatang atau manusia pada buku-buku cerita atau ilmu pengetahuan. Sekalipun begitu, semangat ikonoklasme tetap secara amat pekat mewarnai ekspresi artistik Islam yang lebih luas dan umum. Justru semangat itu mendorong seni Islam universal untuk tampil dengan kepribadian dan wataknya yang sangat khas. Berbeda dengan kaum Yahudi yang semangat ikonoklasmenya menghalangi mereka untuk mendapatkan saluran ekspresi artistik yang memadai (sampai akhirnya kaum Yahudi sepenuhnya mengikuti saja contoh bangsa-bangsa Barat dalam zaman modern ini), kaum Muslim 3
NURCHOLISH MADJID menemukan saluran alternatif ekspresi seni itu dalam dua media yang amat khas budaya Islam: kaligrafi dan arabesk. Kaligrafi dan arabesk sesungguhnya merupakan kontinum yang harmonis. Kaligrafi mengekspresikan paham Ketuhanan yang abstrak (dalam arti, Tuhan yang tidak bisa dilukiskan) dengan menekankan pernyataan diri Tuhan melalui wahyu. Maka kaligrafi, kebanyakan, dicurahkan untuk mengekspresikan kekuatan wahyu itu. Sedangkan arabesk merupakan pengembangan rasa keindahan yang bebas dari mitos alam, dan dilakukan dengan mengembangkan pola-pola abstrak diambil dari pengolahan motif bunga-bungaan, daun-daunan, dan poligon-poligon. 2 Kedua-duanya dinyatakan lebih bidang datar (dua dimensi), dengan kemungkinan variasi relief, tidak dalam bentuk tiga dimensi kecuali jika menjadi bagian dari karya arsitektur. Kaligrafi dalam Islam semata-mata hanya meng gunakan medium huruf dan tulisan Arab. Ini tidak saja karena huruf Arab (huruf yang penggunaannya paling luas kedua di dunia setelah huruf Latin) dipakai untuk menuliskan bahasa-bahasa kaum Muslim (meskipun bukan bahasa Arab, seperti bahasa-bahasa Persi, Kurdi, dan Urdu); tetapi lebih-lebih karena dukungan watak huruf Arab itu sendiri bagi seni kaligrafi; luwes dan elastis, sehingga mudah dibentuk bagi tujuan-tujuan ornamental dan dekoratif tertentu. Dengan alternatif khathth yang kaya seperti Naskhī, Riq ī, Tsulutsī, Rayhāni, Fārisī, Kūfī, dan seterusnya, seorang seniman kaligrafi dapat memilih tema yang dianggapnya paling sesuai bagi tujuannya. Disebabkan oleh beberapa faktor, arabesk dan kaligrafi di Indonesia pada mulanya tidak berkembang sebagaimana layaknya di sebuah negeri Muslim. Tetapi fenomena akhir-akhir ini sungguh memberi harapan. Banyak seniman dan seniwati Indonesia yang mulai tertarik kepada kaligrafi Islam. (Sekadar menyebut contoh, dua di antaranya adalah seniwati bunga kering yang terkenal, Lia 2 Lihat juga, Nurcholish Madjid,, Ed. Agus Edi Santoso (Bandung : Mizan, 1987), h.103. 4
PERADABAN KALIGRAFI: ISLAM EKSPRESI I: TELAAH ARTISTIK ATAS PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PEMIKIRAN Aminuddin dan Lucy Nugroho. Dalam suatu kesempatan pameran beberapa tahun silam, keduanya menampilkan keunikan medium ekspresi artistik bunga kering dengan kaligrafi). Ini merupakan langkah maju yang luar biasa, dan kita harapkan akan tumbuh dan berkembang menjadi bentuk kontribusi khas Indonesia dalam ekspresi artistik Islam universal, yang amat penting dalam rangka pengukuhan eksistensi Indonesia sebagai umat dan bangsa yang besar. Tidak mustahil fenomena ini akan menjadi permulaan babak baru perkembangan seni lukis Indonesia. Dan perkembangan baru itu tentu mempunyai peran dalam semakin kukuhnya paham tauhid, monoteisme atau Ketuhanan Yang Mahaesa di negara kita. [ ] 5