PEDOMAN UMUM MODERNISASI IRIGASI (Sebuah Kajian Akademik)

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. sekarang telah dikembangkan seluas Ha yang terdiri dari irigasi

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

WALIKOTA TASIKMALAYA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. lipat pada tahun Upaya pencapaian terget membutuhkan dukungan dari

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

BAB II KERANGKA TEORITIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /PRT/M/2015 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN STATUS DAERAH IRIGASI

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1. BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

QANUN ACEH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI BISMILLAHIRAHMANIRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 30 /PRT/M/2007

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 /PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN GARIS SEMPADAN JARINGAN IRIGASI

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA. Hendra Kurniawan 1 ABSTRAK

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK N OMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF KABUPATEN DEMAK

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN

(REVIEW) RENCANA STRATEGIS DIREKTORAT IRIGASI PERTANIAN TA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI

BUPATI PIDIE QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

2 c. bahwa guna memberikan dasar dan tuntunan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, diperlukan komisi i

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NO LD. 23 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III ISU ISU STRATEGIS

Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT IRIGASI

Transkripsi:

PEDOMAN UMUM MODERNISASI IRIGASI (Sebuah Kajian Akademik) KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR DIREKTORAT IRIGASI DAN RAWA 2011

SAMBUTAN Pengembangan dan pengelolaan irigasi di indonesia telah berjalan lebih dari satu abad, maka kita telah mendapat pengalaman berharga dalam pengelolaan sistem irigasi maupun layanan kepada petani. Namun secara menyeluruh kinerja irigasi kita sekarang ini menunjukkan tingkat layanan yang belum optimal. Hal ini disebabkan antara lain umur infrastruktur irigasi yang telah melewati umur layanannya dan sistem rehabilitasi serta operasi dan pemeliharaan yang belum memenuhi harapan. Disamping itu keikutsertaan petani dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi masih belum memadai akibat alih pengetahuan dari pemerintah kepada petani belum dilaksanakan secara intensif. Di sisi lain tuntutan kinerja irigasi semakin meningkat terkait dengan semangat mendukung ketahanan pangan dan dalam rangka menuju kedaulatan pangan. Keadaan seperti ini mendorong ahli irigasi di Indonesia untuk melakukan perubahan sistem pengembangan dan pengelolaan irigasi menjadi sistem irigasi partisipatif yang lebih efektif, efisien, dan berkesinambungan (sustainable); yang disebut modernisasi irigasi. Perubahan ini memang mendesak dilakukan mengingat keberadaan air yang makin langka akibat penurunan fungsi DAS, kompetisi penggunaan air yang makin meningkat, pengaruh pemanasan global dan perubahan iklim yang makin terasa. Disamping itu beberapa negara di dunia telah menerapkan modernisasi irigasi. Direktorat Irigasi dan Rawa yang mempunyai tugas dalam peminaan dan pengaturan bidang irigasi dan rawa telah menyiapkan pedoman umum ini dalam waktu 8 bulan dengan bantuan tim penyusun yang terdiri 5 orang ahli irigasi. Melalui proses yang relatif pendek, telah dilakukan kajian pustaka dengan melihat pengalaman negara lain dan artikel dalam seminar maupun bukubuku referensi. Selain itu dilengkapi dengan melakukan kunjungan lapangan, dialog dengan pimpinan dan staf pengelola irigasi, dan workshop serta konsultasi dengan pimpinan dan staf dirjen sumber daya air. Pedoman ini tidak bersifat statis, dan di masa mendatang masih perlu

dikembangkan dan disempurnakan sesuai dengan budaya masyarakat tani, kemajuan teknologi, sistem pembiayaan, dan tingkat penerimaan pemangku kepentingan (stake holder). Dengan diterbitkannya pedoman ini diharapkan para pengelola irigasi dapat memanfaatkan sebagai acuan dalam melaksanakan modernisasi irigasi, dengan melakukan penyesuain seperlunya sejalan dengan kondisi spesifik daerah setempat. Karena pedoman masih bersifat umum, maka di masa datang diperlukan pedoman tambahan yang lebih bersifat teknis dan operasional. Akhirnya, saya ucapkan selamat atas terbitnya pedoman umum modernisasi irigasi ini, dan patut kiranya kita semua memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak atas sumbangan yang sangat besar bagi pengembangan dan pengelolaan irigasi di Indonesia. Jakarta, Desember 2011 Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Dr.Ir. Mochamad Amron, M.Sc

KATA PENGANTAR Beberapa negara di dunia telah menerapkan modernisasi irigasi dalam rangka peningkatan layanan kepada petani secara efektif dan efisien. Pengalaman berharga dari negara tersebut dan artikel dari seminar nasional dan international, serta referensi buku-buku modernisasi dapat dijadikan acuan dalam merintis modernisasi irigasi di Indonesia. Indonesia pernah mempunyai pengalaman modernisasi tetapi masih dalam skala kecil, hasilnya minim, dan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Modernisasi irigasi adalah bermaksud melaksanakan Undang-Undang Sumber Daya Air nomor 7 tahun 2004 yang diamanatkan pada pasal 2 sampai 6, dimana subtansi dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan azas Good Governance. Kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2006 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 30/PRT/M/2007 tentang pelaksanaan pengelolaan irigasi partisipatif dengan hampiran manajemen provisi. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air bermaksud menerapkan modernisasi irigasi di Indonesia dengan maksud untuk meningkatkan tingkat layanan irigasi secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan suatu pedoman umum sebagai arah pelaksanaan modernisasi irigasi di Indonesia. Dalam rangka melahirkan pedoman tersebut telah dibentuk tim penyusun terdiri dari 5 orang tenaga ahli, yang bertugas untuk mempelajari, mengkaji, merumuskan, dan menulis dalam bentuk buku. Selama 8 bulan tim telah melakukan kajian pustaka, mengadakan kunjungan lapangan ke 5 daerah irigasi, dan melakukan dialog langsung dengan petani, pimpinan dan staf dinas propinsi dan kabupaten serta balai wilayah sungai. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menggali subtansi modernisasi, mencocokkan dengan kebutuhan lapangan, mempelajari tingkat penerimaan oleh pemangku kepentingan, dan merumuskan sementara dalam matrik modernisasi. Selanjutnya matrik modernisasi ini dikonsultasikan dengan pimpinan dan staf Direktorat Jenderal Sumber Daya Air untuk difinalkan sebagai bahan penulisan draft pedoman. Pada tahap akhir draft pedoman tersebut didiskusikan dalam workshop internal Dirjen SDA dan forum lebih luas diluarnya untuk difinalkan.

Bab 1,2 dan 3 menguraikan latar belakang perlunya modernisasi di Indonesia, perkembangan kebijakan irigasi di Indonesia, dan modernisasi irigasi di dunia dan Indonesia. Bab 4,5 dan 6 menguraikan pembelajaran modernisasi irigasi, tantangan pengembangan dan pengelolaan irigasi, dan konsep modernisasi irigasi di Indonesia. Bab 7,8,9,10 dan 11 menguraikan tentang 5 pilar modernisasi irigasi di Indonesia, yaitu: Peningkatan keandalan penyediaan air irigasi Perbaikan sarana dan prasarana irigasi Penyempurnaan sistem pengelolaan irigasi Penguatan institusi pengelola irigasi Pemberdayaan sumber daya manusia pengelola irigasi Bab 12 dan 13 menguraikan tentang ekonomi dan pembiayaan, sistem pengawasan, dan monitoring serta evaluasi. Buku pedoman ini disiapkan oleh penyusun berdasarkan pengalaman dari negara lain dan tulisan dalam seminar, tetapi tidak dilengkapi dengan pengalaman modernisasi irigasi secara luas di Indonesia. Berbeda dengan kriteria perencanaan irigasi dan pedoman OP irigasi yang berdasarkan atas pengalaman ke irigasian hampir satu abad. Sehingga pedoman ini masih bersifat umum dan merupakan pokok-pokok pikiran modernisasi irigasi. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada pimpinan dan staf Direktorat Jenderal SDA, Direktorat Irigasi dan Rawa, Dinas SDA provinsi (Jabar, Jateng, Jatim, Sulsel), Balai Besar Wilayah Sungai (Citarum, Cimanuk- Cisanggarung, Pemali-Juana, Brantas dan Jeneberang) dan Tim Penyusun, atas sumbangan yang besar dalam melahirkan buku pedoman ini. Semoga pedoman modernisasi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi di Indonesia pada masa yang akan datang. Kami mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan ke arah kesempurnaan pedoman ini. Jakarta, Desember 2011 Direktur Irigasi dan Rawa Ir. Imam Agus Nugroho, Dipl. HE

EXECUTIVE SUMMARY Latar Belakang 1) Pengembangan irigasi di indonesia sejak jaman koloni Belanda sampai saat sekarang telah dapat mengairi luas sawah kurang lebih 7,2 juta ha. Irigasi tersebut telah mengalami kerusakan seluas 3,81 juta ha (52,9%), di mana 0,71 juta (9,9%) rusak berat dan 3,10 juta ( 43%) rusak ringan. 2) Kerusakan ini diakibatkan oleh karena umur layanan yang telah terlewati, gangguan alam, sistem pengelolaan yang belum optimal, dan lemahnya sistem rehabilitasi serta operasi pemeliharaan (OP) terhadap infrastruktur irigasi kita. Keadaan demikian kalau dibiarkan terus akan mengganggu keamanan pangan nasional, yang berakibat pada stabilitas masa depan bangsa. Urgensi modernisasi 3) Perkembangan irigasi di dunia tak dapat dipisahkan dari persoalan pangan. Di banyak negara ketiga perkembangan irigasi sejak dekade 50 an sampai dengan periode 80 an meningkat dengan cepat tetapi pada periode setelahnya perkembangan irigasi menurun dengan cepat karena beberapa alasan. Alasan yang pertama adalah: (i) meningkatnya jumlah penduduk. (ii) di negara-negara berkembang telah terjadi kerusakan lingkungan semakin parah (iii) biaya pembangunan sistem irigasi dan OP sistem semakin lama semakin meningkat, berkurangnya dana OP selanjutnya akan mengimbas pada menurunnya kinerja irigasi. Di samping itu sebagian sistem irigasi yang dibangun pada awal masa pembangunan irigasi pada dekade tahun 50 dan 60 an telah habis umur teknisnya sesungguhnya memungkinkan untuk dilakukan rehabililtasi. Akan tetapi sebetulnya dengan terjadinya perubahan lingkungan ekologis upaya rehabilitasi saja tidak cukup. Dibutuhkan upaya lain berupa modernisasi irigasi. 4) Pembelajaran modernisasi di Cina air dipompa dari sungai yang dialirkan dalam sistem irigasi gravitasi. Di India dan Pakistan pelaksanaan modernisasi dikaitkan dengan pembangunan sebuah dam. Di Israel penyediaan air dilakukan dengan membangun pengambilan air tanah dari aquifer kemudian diberikan melalui sistem pemberi yang dilakukan seefisien mungkin dengan menggunakan drip dan irigasi curah. Penyediaan air irigasi juga digabungkan penyediaan air minum. Di Malaysia, sebagian sistem irigasi memperoleh air dari bendungan, sistem pompa dan sebagian lagi memakai sistem bendung.

Modernisasi irigasi di Indonesia 5) Modernisasi irigasi di Indonesia didefinisikan: upaya mewujudkan sistem pengelolaan irigasi partisipatif yang berorientasi pada pemenuhan tingkat layanan irigasi secara efektif, efisien dan berkelanjutan dalam rangka mendukung ketahanan pangan dan air, melalui peningkatan keandalan penyediaan air, prasarana, pengelolaan irigasi, institusi pengelola,dan sumber daya manusia. Dengan definisi ini maka irigasi di Indonesia diupayakan melalui lima pilar, yaitu: Peningkatan keandalan penyediaan air irigasi Perbaikan sarana dan prasarana irigasi Penyempurnaan sistem pengelolaan irigasi Penguatan institusi pengelola irigasi Pemberdayaan sumber daya manusia pengelola irigasi 6) Sebagai indikator modernisasi irigasi di Indonesia adalah: Peningkatan produktifitas air (kg GKG/m 3 air) Peningkatan pelayanan irigasi (kecukupan, keandalan, keadilan, dan kecepatan pelayanan) Peningkatan efisiensi irigasi Pengurangan biaya OP Peningkatan pengembalian biaya OP (OM cost recovery) Peningkatan keberlanjutan pembiayaan (financial sustainability) Berkurangnya perselisihan Berkurangnya kerusakan lingkungan (environment degradation) Penyediaan Air 7) Penyediaan air irigasi saat ini sering tidak stabil dan tidak handal, terutama pada sistem penyediaan air yang berasal dari aliran alam (river run off) berfluktuasi sangat besar. Hal ini terjadi karena fungsi daerah aliran sungai sebagai penyimpan air menurun akibat vegetasi hutan semakin berkurang. Sungai-sungai yang menjadi sumber air irigasi pada musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau hampir tidak ada airnya. 8) Dalam modernisasi irigasi dilakukan penyempurnaan sistem penyediaan air irigasi dengan membuat: bendungan, embung, waduk lapangan/ tunggu, saluran tampungan (long storage), pompa air. Hal ini dilakukan agar penyediaan air lebih stabil dan handal.

Prasarana Jaringan Irigasi 9) Prasarana jaringan irigasi; bendung, saluran, bangunan, alat ukur, pintupintu, jalan inspeksi, sarana drainase dan pengendali banjir serta sarana pelengkap lainya banyak yang rusak dan hilang. Kerusakan prasarana yang berat karena terlambatnya pemeliharaan akibat ketidakcukupan pendanaan OP. Sedangkan prasarana yang hilang akibat tidak cukupnya pengamanan dalam daerah irigasi. 10) Dalam modernisasi irigasi semua prasarana jaringan irigasi dikembalikan pada fungsinya sehingga dapat memberikan pelayanan optimum dengan cara: (1) terwujudnya saluran stabil bebas dari ancaman gerusan dan endapan, (2) toleransi lebih longgar dalam pembuatan lining, (3) bangunan irigasi yang dapat menjamin fleksibilitas pemberian air, (4) pintu elektromekanik atau otomatis, (5) alat ukur debit secara akumulatif, (6) fasilitas komputer dan telemetri. Sistem pengelolaan air 11) Sistem pengelolaan air irigasi sekarang umumnya berdasar pasok air (on supply) dengan metoda kendali hulu (upstream control). Rencana pembagian air ditentukan secara kaku (rigid) disesuaikan dengan dugaan ketersediaan air dan kebutuhan air irigasi tanaman sesuai dengan jadwal dan pola tanam yang telah disepakati (Rencana Tata Tanam Global) oleh Komisi Irigasi. Tingkat layanan disesuaikan dengan kemampuan pengguna air untuk membayar IPAIR dan biaya OP yang disediakan pemerintah. Tingkat layanan irigasi minimal di Indonesia adalah: (1) Indek Pertanaman 140-160% padi, 50% palawija; (2) Kehilangan air 30-40%; (3) Selang alokasi air 3-7 hari; (4) Produktivitas air 0,6-0,7 kg GKG/m 3 air; (5) Penyediaan air: kecukupan, keandalan, keadilan, keluwesan cukup; (6) Sistem pengaliran air orientasi semikebutuhan; (7)Pengendalian muka air pengendalian hulu; (8) Metoda penggunaan air: permukaan, curah, tetes fasilitas tersedia sebagian; (9) Penggunaan air kontinyu dan intermittent sebagian; (10) Hak guna air ada sebagian; (11) Ada drainase sehingga luas sawah gagal panen karena banjir 20-30%. 12) Pada proses modernisasi irigasi tingkat layanan selalu disesuaikan dengan keinginan pengguna air (petani). Semakin modern pertaniannya, maka semakin tinggi mutu tingkat layanan irigasi yang diinginkan. Tingkat layanan irigasi terdiri dari (a) kecukupan (adequacy), (b) keandalan (reliability), (c) keadilan (equity), dan (d) kelenturan (flexibility). Tingkat

layanan berdasar kebutuhan (on demand) merupakan suatu tingkat layanan tertinggi, dimana petani dapat menggunakan air irigasi kapan saja, berapa saja debitnya, dan berapa lama irigasinya, tergantung pada kebutuhan air tanaman (jenis tanaman) dan luas lahannya. Dengan tingkat layanan tertinggi ini, petani akan berinvestasi dengan memilih jenis tanaman dan teknologi pertanian yang paling menguntungkan, Tingkat layanan ini harus diimbangi dengan kemampuan membayar biaya layanan irigasi (ongkos air) untuk memenuhi kenaikan biaya OP dan peningkatan infratruktur sesuai dengan kesepakatan yang dicapai. Operasi Jaringan Irigasi 13) Pelaksanaan operasi jaringan irigasi saat ini menunjukkan kinerja yang belum optimal dengan indikasi sebagai berikut: (1) Perhitungan neraca air kurang akurat, (2) Operasional pintu terlalu lama sehingga tidak respon terhadap perubahan yang terjadi. Disamping itu kedisiplinan operasional pintu belum optimal, (3) Air yang dialirkan ke petak sawah cenderung boros, (4) Kehilangan air akibat faktor fisik saluran dan pengelolaan masih cukup besar, (5) Rencana Tata Tanam tidak diimplementasikan dengan konsisten, (6) Sebagian besar petani kurang puas dengan kinerja pelayanan. 14) Dalam modernisasi irigasi operasi jaringan irigasi disempurnakan dengan cara telemetri dan komputerisasi serta perbaikan prasarana irigasi. Kegiatan ini diharapkan menghasilkan: (1) Perhitungan neraca air akurat karena dilakukan real time (1-3 hari); (2) Operasional pintu lebih respon terhadap perubahan yang terjadi. Disamping itu kedisiplinan operasional pintu lebih dapat terjamin; (3) Air yang dialirkan ke petak sawah lebih hemat karena dihitung berdasarkan kebutuhan tanaman pada sehari sebelumnya; (4) Kehilangan air akibat faktor fisik saluran dan pengelolaan relatif kecil, karena kehilangan air diamati setiap tahun dan ditindaklanjuti dengan perbaikan; (5) Rencana Tata Tanam diimplementasikan dengan konsisten, karena penyediaan air lebih terjamin dan pemeriksaan tatatanam lebih intensif; (6) Sebagian besar petani merasa puas dengan kinerja pelayanan irigasi dan bersedia membayar IPAIR. Pemeliharaan Jaringan Irigasi 15) Menunjuk amanat UU no 7/2004 pasal 77 ayat 1 menyatakan: pembiayaanpembiayaan sumberdaya air ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumberdaya air, dan amanat PP No 20/2006 pasal 75 ayat 2 menyatakan: pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi primer dan

sekunder didasarkan atas angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi pada setiap daerah irigasi, maka biaya pengelolaan irigasi harus dihitung berdasarkan AKNOP. Praktek yang dilakukan selama ini perhitungan AKNOP selama perencanaan telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi pada kenyataannya realisasi pembiayaan yang diputuskan oleh pemegang otoritas keuangan lebih rendah dari analisa sebelumnya. Akibatnya pada saat pelaksanaan tidak semua kerusakan irigasi dapat diatasi, sehingga ada pekerjaan perbaikan yang tertunda (deferred maintenance). Akumulasi pekerjaan perbaikan yang tertunda ini selama bertahun-tahun akan mengganggu operasional sistem irigasi sehingga kinerjanya menurun yang berakibat pada jeleknya tingkat layanan irigsi. Dalam irigasi modern amanat yang tertuang dalam peraturan perundangan tersebut harus ditaati secara konsisten. Realisasi pembiayaan harus dipenuhi sesuai dengan AKNOP yang sudah dihitung sebelumnya. Dengan cara demikian diharapkan tidak ada lagi pekerjaan perbaikan yang tertunda, sehingga operasional irigasi dapat optimal sesuai dengn harapan irigasi modern. Pada akhirnya layanan irigasi sesuai dengan tingkat layanan minimal yang disepakati dapat terpenuhi. 17) Pengelolaan irigasi modern meliputi operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Di samping itu lembaga yang bertanggung jawab dalam OP irigasi harus bertanggung jawab pula dalam pengadaan pegawai (reqruitment) Institusi Pengelola Irigasi 18) Pengembangan kelembagaan; di pemerintah pusat terdapat empat kementerian yang menangani irigasi, selaras dengan instansi pusat maka di aras daerah baik provinsi maupun kabupaten terdapat empat instansi atau Satuan Kerja Pembangunan Daerah (SKPD) pula yang membidangi irigasi. Namun baik di provinsi dan kabupaten nama masingmasing SKPD sangat beragam. Tentu saja keragaman nama tersebut juga akan mempengaruhi tugas pokok intansi (tupoksi) dan kompetensi staf SKPD bersangkutan. 19) Di Indonesia fungsi koordinasi hampir di segala bidang sangatlah lemah. Di aras pemerintah pusat, meskipun terdapat empat kementerian yang membidangi irigasi tetapi tidak ada institusi yang ditunjuk sebagai pemimpin sub-sektor irigasi sehingga setiap kementerian yang terlibat dalam pengelolaan irigasi berjalan sendiri-sendiri. Dari sudut pandang

ilmu sistem maka keadaan ini akan sangat lemah karena sistem tersebut tidak dapat bekerja maksimal untuk mencapai tujuannya. Apalagi irigasi merupakan sebuah sistem yang kompleks. Tidak tercapainya tujuan sistem irigasi akan mempengaruhi sistem pangan nasional karena sistem irigasi merupakan subsistem pangan nasional. Untuk itu dalam irigasi modern diperlukan unit koordinasi tingkat pusat yang akan melakukan koordinasi dengan keempat kementeriaan tersebut. Selain itu dalam modernisasi perlu dilakukan langkah- langkah sebagai berikut: Membangun tentang konsep modernisasi dan human capital Menerbitkan kebijakan tentang modernisasi irigasi dan konsep pemberdayaan berbasis human capital Menciptakan system pembiayaan pengembangan dan pengelolaan irigasi modern, dengan menerapkan IPAIR sebagai partisipasi petani. Melakukan sosialisasi tentang institusi irigasi pembelajar berbasis human capital bagi para pelaku. Membentuk unit pelaksana manajemen pengetahuan di masingmasing kabupaten yang mempunyai DI modernisasi. Melakukan sosialisasi pengembangan dan pengelolaan irigasi dengan mengaktifkan kembali penyuluh pengairan seperti tertuang dalam Permen PU No.65/PRT/1993. Dibentuk Brigade Pengamanan Irigasi sebagai pejabat penyidik pegawai negeri sipil, seperti diamanatkan dalam UU No. 7/2004, dengan maksud mengamankan irigasi dari gangguan keamanan. Sumberdaya manusia 20) Sumberdaya manusia pada masa sakarang ini kondisi manusia pelaku irigasi dalam keadaan yang kurang menggembirakan baik pelaku dari kalangan birokrasi maupun petani. Sebagai pelaksana pengelolaan irigasi gabungan antara pemerintah dan petani maka kinerja individu staf irigasi akan tergantung atas beberapa unsur di antaranya ialah status, fungsi, pemberdayaan dan pelatihan, penghargaan, jumlah dan mutu pegawai. Dalam modernisasi irigasi pemberdayaan sumberdaya manusia dilakukan dengan cara sebagai berikut: (1) peningkatan status sebagai pegawai negeri; (2) pemberian jabatan fungsional ahli dan terampil; (3) penyelenggaraan pelatihan; (4) sertifikasi kompetensi; (5) pemberian insentif/penghargaan; (6) sistem pengadaan yang tepat, (7) penentuan jumlah dan mutu pegawai; (8) pemberian seragam kerja (uniform).

DAFTAR ISI SAMBUTAN... KATA PENGANTAR... EXECUTIVE SUMMARY... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... v vii ix xv xxi BAB 1 PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar belakang... 1 1.2. Pokok Masalah... 3 1.3. Kajian Pustaka... 4 1.4. Metode Pendekatan... 5 1.5. Maksud dan Tujuan Modernisasi Irigasi... 5 1.6. Definisi Modernisasi Irigasi... 6 1.7. Ruang Lingkup... 7 BAB 2 PERKEMBANGAN KEBIJAKAN IRIGASI DI INDONESIA... 8 2.1. Irigasi Indonesia dari Masa ke Masa... 8 2.1.1 Irigasi... pada 8 masa kerajaan 2.1.2 Irigasi... pada masa kolonial 9 2.1.3... Irigasi pada masa kemerdekaan 12 2.2. Perubahan Paradigma Pembangunan dan Kebijakan dalam Irigasi... 19 2.3. Irigasi Masa Depan... 29 BAB 3 MODERNISASI IRIGASI DI DUNIA DAN DI INDONESIA... 34 3.1. Modernisasi Irigasi di Dunia... 34 3.2. Pengalaman Modernisasi di Indonesia... 38 3.2.1.. Kasus 38 modernisasi d 3.2.2. Pelaksanaan program Perencan manajemen irigasi... 42 3.2.3. Pengembangan rancang ba di Kabupaten Gunung Kidul... 44

BAB 4 PEMBELAJARAN MODERNISASI IRIGASI... 46 4.1. Penyediaan Air... 46 4.2. Pengembangan Prasarana... 47 4.3. Sistem Pengelolaan Irigasi... 48 4.4. Institusi... 50 4.5. Sumber Daya Manusia... 51 4.6. Pembelajaran... 52 BAB 5 TANTANGAN PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN IRIGASI... 53 5.1. Pengembangan Irigasi... 56 5.2. Pengelolaan Irigasi... 56 5.3. Sistem Pembiayaan... 57 5.4. Kelembagaan... 58 5.5. Partisipasi Masyarakat... 59 BAB 6 KONSEP MODERNISASI IRIGASI DI INDONESIA... 60 6.1. Pengembangan Konsep dan Takrif Modernisasi Irigasi... 60 6.1.1. Arti... dan makna kata modernisasi 60 6.1.2. Pengembangan... 61konsep modernisa 6.1.3. Takrif... modernisasi 65 irigasi da 6.1.4.... Penetapan strategi pelaksanaan 66 6.2. Pelaksanaan... 68 6.2.1.... Study modernisasi 68 6.2.2.... Indeks Kesiapan Modernisasi 69 6.2.3.... Perencanaan modernisasi 70 6.2.4.... Pelaksanaan pengembangan 71 mode 6.2.5. Persiapan... Operasi 71 dan Pemelih BAB 7 PENYEDIAAN AIR... 73 7.1. Sistem Penyediaan Air... 73 7.2. Ketersediaan... 75 7.3. Stabilitas Penyediaan... 76 7.4. Keandalan... 76 7.5. Kehilangan... 77 7.6. Hak Guna Air... 78

BAB 8 PRASARANA IRIGASI... 80 8.1. Saluran... 80 8.1.1. Kondisi... saluran 80 8.1.2. Normalisasi... saluran 81 irigasi dan linnin 8.1.3... Irigasi pipa 82 8.1.4. Patok... kilometer, 82 hektometer da 8.1.5. Sipatan... penampang 83 (lining guidance) 8.2. Pengendalian sedimen... 83 8.2.1.... Konsep pengendalian sedimen 84 8.2.2.... Pengendalian lumpur di saluran 85 8.2.3.... Bangunan 85 pengeluar se 8.2.4. Bangunan... Penangkap Sampah 87 8.3. Bangunan Bagi... 87 8.3.1. Tipe... diatur 88 8.3.2. Tipe... tidak diatur 89 8.3.3.... Tipe kombinasi 89 8.3.4.... Sanggar tani 90 8.3.5.... Papan operasi 91 8.4. Pintu Bagi dan Pintu Pengatur pada Bangunan Bagi Tingkat Jaringan Utama... 91 8.4.1. Skot... balok 91 8.4.2. Pintu... sorong 92 8.4.3. Pintu... radial 92 8.4.4.... Pintu kombinasi 93 sorong dan merc 8.4.5.... Alat penggerak 94 8.4.6.... Bahan (baja, fiber, plat beton) 96 8.4.7. Atap... pelindung pintu 96 8.4.8.... Pengamanan prasara 97jaringan irigasi 8.5. Bangunan Ukur Debit... 97 8.5.1. Jenis... bangunan ukur 98 8.5.2.... Kelebihan dan kekurangan 99 8.5.3. Sistem pengukuran volume air terakumulasi (menerus). 99 8.5.4.... Tipe bangunan 100 ukur Dethri 8.5.5.... Bangunan 101 ukur debit yang dir

8.6. Jalan Inspeksi... 102 8.6.1. Perkerasan... 102 8.6.2. Pengamanan... jalan inspeksi 103 8.6.3. Fungsi... ganda 103 8.7. Sistem drainase dan pengendalian banjir... 103 8.7.1.... Kesatuan sistem irigasi 104 dan drainase 8.7.2.... Pintu pengendali banjir 105 8.8. Pengembangan Tersier... 105 8.8.1. Tiga... prasarana akses petani 106 8.8.2.... Aset P3A 107 8.9. Sarana Pelengkap... 108 8.9.3. Daerah... sempadan 108 8.9.4. Rumah... pengamat, juru dan 109 jaga 8.9.5. Transportasi... 109 8.9.6. Sistem... komunikasi 110 8.9.7.... Kantor 110 8.9.8.... Peralatan operasi dan 111 pemeliharaan BAB 9 PENGELOLAAN IRIGASI... 112 9.1. Pengelolaan Air Irigasi... 112 9.1.1.... Metoda Penggunaan air 112 irigasi 9.1.2.... Model pengelolaan air sekarang 116 9.1.3.... Model pengelolaan air 116masa depan 9.1.4. (level Tingkat of layanan services) sistem irigasi dan drainase... 120 9.1.5. State of the Art pengelolaan air irigasi... 128 9.1.6. Model tata letak petakan, sa dan jalan pertanian... 131 9.2. Sistem Informasi dan Komunikasi Pengelolaan Irigasi... 132 9.2.1.... Jaringan hidroklimatologi 132 dan hidrome 9.2.2. Telemetri... 133 9.2.3.... Sistem 134Informasi Pengelo 9.2.4. Sistem... 135Informasi Pengelol 9.2.5. Sistem... Informasi 137 Pengelolaan (S

9.3. Sistem Operasi... 137 9.3.1.... Pengumpulan data 137 9.3.2.... Perhitungan kebutuhan air 139 9.3.3.... Pembagian dan pemberian 146air 9.3.4.... Monitoring kehilangan air 155 9.3.5. Bukaan... pintu 155 9.3.6.... Pelaksanaan operasi 156 9.3.7. Blangko... operasi 158 9.3.8.... Monitoring dan evaluasi 159 9.4. Pemeliharaan... 161 9.4.1.... Jenis pemeliharaan 161 9.4.2. Penelusuran... saluran 161 9.4.3.... Pengelolaan aset irigasi 162 9.4.4. Perhitungan... AKNOP 163 9.4.5. Koordinasi... 163 9.4.6.... Pelaksanaan pemeliharaan 165 9.4.7.... Blangko pemeliharaan 166 9.4.8. Monito ring dan evaluasi... 166 BAB 10 KELEMBAGAAN... 168 10.1. Kelembagaan Irigasi Masa Sekarang... 168 10.1.1. Institusi penyusun dan aturan hukum perundangan irigasi... 169 10.1.2. Institusi koordinasi pembangunan pengelolaan irigasi... 169 10.1.3. Institusi... pengembang irigasi 170 10.1.4.... Institusi pengelola irigasi 171 10.1.5.... Institusi 172pelaksana pen 10.1.6. Institusi penerima manfa Pemakai Air, P3A)... 173 10.1.7.... Institusi pembiayaan irigasi 174 10.2. Kelembagaan Irigasi Modern... 174 10.2.1. human Membangun capital... konsep 175 10.2.2. Membangun organi irigasi sebagai bagian dari modernisiasi... 177 10.2.3. Membangu n insitusi koordinasi pengelolaan dan tata aturan irigasi modern... 181

10.2.4.... Membangun 182 Institusi penge 10.2.5. Membangunan Institus modern (Unit Teknis Pelaksana,UPT) Kabupaten... 183 10.2.6. Membangun Institusi penerima man (Perkumpulan Petani Pemakai Air, P3A) modern... 183 10.2.7. Membangun Institusi pembiaya modern... 184 BAB 11 SUMBER DAYA MANUSIA... 185 11.1. Keberadaan Pelaku Irigasi Saat Ini... 185 11.1.1.... Status dan fungsi 185 staf irigasi saat ini 11.1.2. Pemberdayaan... dan pelatihan 186 11.1.3. Penghargaan (reward)... 186 11.2. Keberadaan Pelaku Irigasi Modern... 187 11.2.1. Membangun manusia moder irigasi modern... 187 11.2.2. Status... 191dan fungsi staf pe 11.2.3. Pemberdayaan... dan pelatihan 192 11.2.4. Penghargaan (reward)... 192 11.2.5.... Kuantitas pegawai 192 11.2.6.... Uniform 192 BAB 12 EKONOMI DAN PEMBIAYAAN... 193 12.1 Investasi... 193 12.2 Keuntungan... 193 12.3 BCR dan IRR... 193 BAB 13 SISTEM PENGAWASAN, MONITORING & EVALUASI... 194 13.1 Sistem Pengawasan... 194 13.2 Monitoring dan Evaluasi... 194 BAB 14 PENUTUP... 195 DAFTAR PUSTAKA... 197

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya di awal pemerintahan Presiden Suharto... 24 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya di awal dasawarsa 90 an... 26 Gambar 2.3 Karakteristik good governance (UNESCAP 2005)... 27 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya pada masa reformasi... 30 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya pada masa depan... 33 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Retakan tanah timbunan pada konstruksi saluran (Arif and Mutiningrum,2003... 41 Salah satu pintu otomatis pada Intake Sidorejo, (Arif and Mutiningrum)... 41 Salah satu pintu otomatis AVIS di B.Sr 11 Di Sidorejo (Arif and Mutiningrum,2003)... 42 Gambar 5.1 Kelembagaan irigasi... 58 Gambar 6.1 Sistem proses penetapan strategi modernisasi irigasi dalam tiga ranah pengembangan berkelanjutan... 68 Gambar 8.1 Gambar 8.2 Bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder) type tabung pusaran... 86 Bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder) type terowongan (type saluran pembilas bawah)... 87 Gambar 8.3 Tata letak bangunan bagi sadap bentuk numbak... 89 Gambar 8.4 Kombinasi sorong dan ambal tetap... 94 Gambar 8.5 Gambar 8.6 Gambar 8.7 Sketsa salah satu potongan memanjang bangunan bagi/sadap dengan bangunan pelindung pintu dan motor penggerak pintu... 97 Sketsa peningkatan alat ukur yang ada menjadi alat ukur volumetrik... 100 Bangunan ukur Dethridge Meter (pengukuran volume air menerus)... 101

Gambar 9.1 Metode penggunaan air dengan irigasi curah (kiri) dan irigasi tetes (kanan)... 113 Gambar 9.2 Budidaya tanaman padi sawah... 114 Gambar 9.3 Gambar 9.4 Pengelolaan air di petakan sawah pada SRI-Organik (Jabar)... 115 Kondisi lengas tanah di daerah perakaran tanaman pada SRI-Organik (Jabar)... 116 Gambar 9.10 Proses Formulasi spesifikasi tingkat layanan untuk jaringan irigasi dan drainase yang ada (sumber: Malano, H.M., PJM van Hofwegen, 2006)... 126 Gambar 9. 11 Tata-letak petakan sawah di Jepang... 132 Gambar 9.12 Pengolahan tanah... 142 Gambar 9.13 Alir informasi dari lapang ke pusat operasional pengelolaan air (OMIS ver 7.00)... 146 Gambar 9.14 Upstream Control... 151 Gambar 9.15 Downstream Control... 152 Gambar 10.1 Hirarki DIPK perubahan dari data menjadi kearifan (wisdom) (Tobing, 2007)... 176 Gambar 10.2 Proses pemberdayaan yang mengedepankan pengelolaan modal kecerdasan (Tobing, 2007)... 177 Gambar 10.3 Peran pemerintah dalam pengembangan organisasi pembelajar dalam pengelolaan irigasi berbasis human captal (modifikasi dari Tobing, 2007)... 179 Gambar 10.4 Kerangka pengembangan untuk berbagi (Tobing, 2007)... 182 Gambar 11.1 Unsur kompetensi indivudual (Spencer dan Spencer, 1993 dalam Tjakraatmadja dan Lantu,2006... 189

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Perbedaan antara PP 77/2001 dengan PP no 20/2006.. 18 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Perkembangan teori pembangunan yang dianut masyarakat dunia sejak berakhirnya perang dunia kedua (Pieterse, 2001)... 21 Perbedaan karakteristik majanemen irigasi protektif dan manajemen provisi... 29 Kasus modernisasi irigasi di ZAOHE IRRIGATION DISTRICT (ZID), China (Peter Mollinga and Gao Hong,2002)... 36 Perbandingan keunggulan dan kelemahan antara kendali hulu dan hilir (Ankum, 1991)... 39 Panjang dan kapasitas saluran di jaringan utama DI SIDOREJO... 40 Tabel 3.4 Alat ukur di DI SIDOREJO... 40 Tabel 6.1 Perbedaan karakteristik irigasi produktif protektif dengan irigasi provisi (Pusposutardjo, 1999)... 64 Tabel 7.1 Sistem Penyediaan Air Irigasi... 73 Tabel 8.1 Kebaikan dan kekurangan pintu kombinasi dan skot balok... 94 Tabel 8.2 Tipe pintu ukur dan cara pengukurannya... 98 Tabel 9.1 Tingkat layanan minimal dan lanjutan pada modernisasi irigasi... 123 Tabel 9.2 Kerapatan stasiun hujan... 133 Tabel 9.3 Kebutuhan air setiap tahapan di beberapa daerah... 140 Tabel 9.4 Perbandingan keuntungan dan kerugian pada sistem kendali hulu dan hilir... 150 Tabel 11.1 Ciri manusia modern dan upaya pencapaian dalam pengelolaan iriagsi moder... 187

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Irigasi di Indonesia yang dibangun sejak masa pra kolonial sampai masa reformasi tahun 2011 telah dikembangkan seluas 7.200.000 Ha terdiri dari irigasi teknis, setengah teknis, dan sederhana; terdiri irigasi skala kecil sampai dengan skala besar. Selain untuk irigasi tanaman, daerah irigasi tersebut juga melayani pembangkitan listrik dan pemenuhan kebutuhan air untuk berbagai keperluan lainnya, termasuk untuk ibu kota propinsi dan beberapa kabupaten di sekitarnya; yaitu untuk industri, air minum, penggelontoran kota, perikanan. Dalam perjalanan waktu seiring dengan pertambahan penduduk dan aktivitas pembangunan dan pengembangan berbagai sektor telah terjadi peningkatan kebutuhan air untuk menunjang kegiatannya. Pada saat kemampuan penyediaan air terbatas, kompetisi penggunaan air antar pemanfaat air sering terjadi; yang dapat berakibat pada pengurangan alokasi air pada sektor tertentu. Pengurangan alokasi air bisa berakibat pada terganggunya sistem produksi suatu sektor sampai pada gagalnya produksi. Di sisi lain akibat pembangunan dan pengembangan yang kurang terkendali dan kurangnya konsistensi dalam mengimplementasikan tata ruang wilayah dan tata guna lahan, telah terjadi penurunan fungsi daerah aliran sungai (DAS) pada daerah irigasi yang bersangkutan dan DAS sekitar lainnya. Kondisi vegetasi yang makin menurun turut mempercepat penurunan fungsi daerah aliran sungai (DAS) tersebut. Fungsi DAS yang makin buruk telah mengakibatkan penurunan karakter hidrologis, yang menyangkut kestabilan aliran air dan bertambahnya sedimen. Debit puncak banjir maksimum pada musim hujan ternyata makin membesar dari tahun ke tahun, mengakibatkan genangan banjir makin luas dengan frekuensi makin sering. Sebaliknya debit andalan pada musim kemarau makin lama makin kecil, yang mengakibatkan tingkat kekeringan makin besar dengan frekuensi makin sering. Penurunan fungsi DAS juga meningkatkan erosi tanah yang memperbesar

2 laju sedimen, yang mengakibatkan penyempitan dan atau pendangkalan pada alur alam maupun saluran buatan, sehingga kapasitasnya jauh menurun. Selain itu dari sisi manajemen pemanfaatan air irigasi, kinerja pengelolaan irigasi (OP dan rehabilitasi) di Indonesia umumnya dapat dikatakan belum maksimal. Sistem penyediaan, pembagian, pemberian, dan penggunaan air irigasi belum dilakukan secara optimal, sehingga efisiensi air irigasi masih sangat rendah. Pemeliharaan sarana dan prasarana irigasi masih terbengkalai, sehingga banyak pekerjaan pemeliharaan tertunda. Pembiayaan OP sebagian besar belum memenuhi angka kebutuhan nyata OP (AKNOP), sesuai amanat UU No.7/2004 dan PP No. 20/2006. Kegiatan rehabilitasi dilakukan terlambat dengan pembiayaan terbatas, dan bahkan pada beberapa tempat belum dilakukan rehabilitasi meskipun keadaan bangunan hampir rusak total. Kinerja pengelolaan irigasi yang rendah ini disebabkan beberapa hal, yaitu antara lain institusi pengelola yang kurang mantap, sistem pembiayaan yang kurang memadai, kualitas, dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) yang kurang memenuhi syarat, dan sistem pengelolaan irigasi yang kurang sesuai. Pengelolaan irigasi yang kurang memuaskan ini berakibat pada penurunan layanan irigasi kepada petani. Petani sering menerima air irigasi tidak tepat jumlah dan tidak tepat waktu. Aspirasi dan keinginan petani sering tidak terpenuhi. Akibat lebih jauh dari pengelolaan irigasi yang kurang adalah kondisi dan fungsi infrastruktur irigasi yang kurang memadai. Saluran irigasi penuh sedimen, terkena erosi dan longsor tebing. Bangunan bagi rusak, pintu macet dan keropos, alat ukur dan bangunan pengendali banjir yang tidak berfungsi. Kondisi dan fungsi Infrastruktur irigasi yang kurang memadai ini diperparah dengan umur bangunan yang sudah melewati umur layanannya. Beberapa daerah irigasi di Indonesia sudah sangat tua peninggalan masa pra kolonial dan dibangun dengan teknologi sederhana yang berlaku pada waktu pembangunan dulu (ada yang dibangun sekitar abad 19). Disamping itu sistem pengelolaan irigasi di Indonesia sekarang dirasakan kurang memadai dan tidak sesuai dengan pergeseran paradigma modern. Dengan adanya isu perubahan iklim dan pemanasan global perlu

3 pengelolaan irigasi yang lebih efisien dan efektif. Harus diakui bahwa pengelolaan irigasi di Indonesia sekarang belum efektif dan efisien; hal ini ditandai dengan antara lain: periode pembagian air 2 mingguan, sistem informasi dan pengelolaan data secara manual, perintah operasi pintu secara manual, pengukuran air kurang memadai, sistem pembagian air secara manual, penggunaan air di lahan petani terlalu berlebih, dan kontrol pembagian air kurang memadai. Disamping itu pemeliharaan dan rehabilitasi kurang memadai dan sering terlambat pelaksanaannya. Oleh karena itu, perlu penyempurnaan sistem pengelolaan irigasi untuk mendapatkan sistem irigasi yang lebih efektif dan efisien. Munculnya permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh para pelaku pengelola irigasi belum melakukan sesuatu tata pamong (good governance) yang baik dalam pengelolaan irigasi. Untuk ke depan pemerintah harus mempunyai pedoman pelaksanaan irigasi yang baik. Sampai sekarang pemerintah belum mempunyai pedoman tentang pengelolaan irigasi yang bermakna kekinian atau modernisasi. Pedoman ini akan mengantar menemukan pemikiran sistem irigasi yang lebih efektif dan efisien berupa Modernisasi Irigasi di Indonesia. Sehingga penulisan buku dimaksudkan sebagai acuan dalam melakukan pemahaman tentang konsep dan pelaksanaan modernisasi irigasi di Indonesia. 1.2. Pokok Masalah Pokok masalah yang menjadi penyebab sehingga diperlukan modernisasi irigasi di Indonesia adalah: a. Umur infrastruktur sebagian irigasi di Indonesia yang telah melewati umur layanan (life time). Sebagian Irigasi di Indonesia dibangun masa prakolonial, awal kemerdekaan dan masa Orde Baru. Struktur bangunan atau bagian bangunan yang umur layanan telah melebihi 50 tahun, menunjukkan gejala degradasi karena pengaruh faktor luar dan/atau faktor internal. Untuk itu perlu perbaikan, penyempurnaan, dan mungkin penggantian. Selain itu bangunan tersebut dibangun dengan teknologi yang ada pada waktu, yang sebagian tidak sesuai dengan teknologi sekarang. Sehingga sebagian irigasi di Indonesia perlu penyempurnaan sesuai dengan perkembangan teknologi baru. b. Sistem pengelolaan irigasi sudah tidak memadai, sehingga tidak efisien.

4 Hal ini ditandai antara lain dengan: periode penyesuaian operasi pintu 2 mingguan, sistem informasi masih manual, perhitungan kebutuhan air dan jadwal pembagian air masih manual, pengukuran air yang tidak memadai, penggunaan air di lahan yang masih berlebih. Di samping itu faktor manusia pelaku OP belum seksama melakukan tugas, hak dan kewajibannya secara memadai. c. Kondisi dan fungsi saluran dan bangunan irigasi serta saluran pembuangan yang telah mengalami penurunan akibat kurang memadainya OP dan terlambatnya melakukan rehabilitasi. d. Terbatasnya pembiayaan OP dan rehabilitasi jaringan irigasi, yang tidak sesuai dengan angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi (AKNPI). Hal ini tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang ada di Indonesia. e. Belum lancarnya pengelolaan OP irigasi di lapangan, meskipun pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan irigasi pada 3 strata pemerintahan telah diamanatkan dalam UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No.20/2006 tentang Irigasi. Hal ini terjadi karena antara lain kurang mulusnya pemindahan tanggung jawab OP dari satu tingkat pemerintahan ke tingkat lainnya. Sehingga sering dijumpai di lapangan tidak ada kegiatan OP sama sekali, karena tingkat pemerintahan tertentu telah melepaskan tanggung jawab OP tetapi pemerintahan yang lain belum mau melaksanakan OP yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga unit pengelola OP di lapangan harus diperkuat. 1.3. Kajian Pustaka Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025, diisyaratkan bahwa pengelolaan sumber daya air dititikberatkan pada keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan melalui pendekatan demand management yang ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan dan konsumsi air. Seiring dengan itu, amanat yang tertulis dalam UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air pasal 77 ayat (1), yang bunyinya: Pembiayaan pengelolaan sumber daya air ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumber daya air.

5 Disamping itu juga terdapat amanat PP 20/2006 tentang Irigasi, pasal 75, ayat (2), yang bunyinya: Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder didasarkan atas angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi pada setiap daerah irigasi. Proses modernisasi yang diterapkan di beberapa negara telah ditulis oleh banyak ahli dan sebagian besar menyangkut tentang: Pengelolaan air dan sumber air Pelayanan pada petani Efektifitas pengelolaan infrastruktur irigasi. (FAO, Rome 2007 1 ; FAO, 1997 2 ; FAO, 1997 3 ; Malano HM and Paul JM van Hofwegen 4 ) 1.4. Metode Pendekatan Untuk melaksanakan kajian ini dilakukan dua macam pendekatan, yaitu kajian pustaka yang terutama ditujukan untuk menelusuri keadaan sistem irigasi di Indonesia sekarang serta penerapan modernisasi irigasi yang akan datang, termasuk syarat-syaratnya, anatomi modernisasi, tahapan penerapan, kecepatan modernisasi, dan sistem pembiayaan. Kegiatan kedua dengan melakukan penelitian keadaan irigasi di Indonesia yang sekarang berjalan, dengan mengecek langsung infrastrutur yang ada, pengelolaan yang diterapkan, kinerja pengelola, tingkat kepuasan petani, efektifitas sistem irigasi. Penelitian diperkuat dengan dialog langsung dengan staf Balai Wilayah Sungai dan petani penerima manfaat. Dilanjutkan dengan dialog langsung dengan Dinas Kabupaten/Kota, Dinas Propinsi, dan dengan Direktorat Irigasi dan Rawa. 1.5. Maksud dan Tujuan Modernisasi Irigasi Maksud modernisasi irigasi di Indonesia adalah mewujudkan sistem pengelolaan irigasi dalam memenuhi tingkat layanan (level of service) irigasi yang telah ditetapkan sebelumnya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. 1 Modernizing irrigation management- the MASSCOTE approach 2 Herve Plusquellec. How Design Management and Policy Affect The Peformance of Irrigation Project 3 Modernization of Irrigation Schemes: Past Experiences and Future Options 4 Management of Irigation and Drainage Systems: A Service Approach.

6 Tujuan modernisasi irigasi di Indonesia adalah mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani. Sebagai indikator dalam modernisasi irigasi tersebut diatas adalah sebagai berikut: Peningkatan produktifitas air (kg GKG/m 3 air) Peningkatan pelayanan irigasi (kecukupan, keandalan, keadilan, dan kecepatan pelayanan) Peningkatan efisiensi irigasi Pengurangan biaya OP Peningkatan pengembalian biaya OP (OM cost recovery) Peningkatan keberlanjutan pembiayaan (financial sustainability) Berkurangnya perselisihan Berkurangnya kerusakan lingkungan (environment degradation) 1.6. Definisi Modernisasi Irigasi Untuk mewujudkan modernisasi irigasi di Indonesia, perlu diperhatikan definisi dari institusi irigasi international: ICID: The process of improving an existing project to meet New project criteria. It includes changes to the existing facilities operasional procedures, management, and institutional aspects. These changes are designed to enhance the the economic and social benefits of the project. Unlike rehabilitation, modernization is not renovation of the project features in need of repair. FAO: Modernization irrigation are combined strategy of institutional, managerial and technological change with the objective to change from a supply to service oriented mode of operation. (Hans W. Wolter, 1997) Dengan memperhatikan definisi modernisasi dari dua institusi internasional tersebut, melewati kajian yang diuraikan pada berikut diusulkan definisi modernisasi irigasi di Indonesia: Indonesia: upaya mewujudkan sistem pengelolaan irigasi partisipatif yang berorientasi pada pemenuhan tingkat layanan irigasi secara efektif, efisien dan berkelanjutan dalam rangka mendukung ketahanan pangan

dan air, melalui peningkatan keandalan penyediaan air, prasarana, pengelolaan irigasi, institusi pengelola,dan sumber daya manusia. 7 1.7. Ruang Lingkup Lingkup permasalahan yang diangkat dalam pedoman modernisasi irigasi ini terbatas pada masalah-masalah yang bersifat strategis dan pokok dalam bidang-bidang utama yang menjadi pilar modernisasi irigasi di Indonesia, meliputi: a. Peningkatan keandalan penyediaan air irigasi b. Perbaikan sarana dan prasarana irigasi c. Penyempurnaan sistem pengelolaan irigasi d. Penguatan institusi pengelola irigasi e. Pemberdayaan sumber daya manusia pengelola irigasi.

8 BAB 2 PERKEMBANGAN KEBIJAKAN IRIGASI DI INDONESIA 2.1. Irigasi Indonesia dari Masa ke Masa Dari tinjauan buku sejarah tentang irigasi (van Setten van Meyer,1996) dapat diketahui bahwa irigasi menjadi tumpuan harapan masyarakat banyak dalam proses penyediaan pangan meskipun suatu negeri terletak di wilayah muson tropis. Indonesia yang terletak di wilayah muson tropis ini mempunyai ciri sangat khas. Banyak hujan yang hampir merata sepanjang tahun, dataran volkanis yang sangat subur di beberapa pulau utama menyebabkan penduduk Indonesia menjadikan teknologi padi sawah sebagai satu alternatif terbaik untuk pengembangan sistem pertanian. Meskipun demikian adanya betatan (dry spell) yaitu terjadinya hari-hari tanpa hujan menyebabkan petani Indonesia berupaya untuk mewujudkan teknologi irigasi sebagai satu upaya mengurangi resiko kegagalan panen karena kekurangan air. Biasanya air irigasi berasal dari sungai yang mengalir di dekatnya, dan sebagai bangunan dibuat sebuah bendung untuk menaikkan muka air. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa sistem irigasi di Indonesia sejak dahulu dirancang untuk melayani sistem budidaya padi sawah (rice based irrigation system). Karena mempengaruhi hajat hidup orang banyak maka sejak jaman dulu irigasi menjadi alat peneguh kekuasaan politik bagi pemerintah yang sedang berkuasa. Pada titik tertentu justru irigasi menjadi penentu sukes atau tidaknya pembangunan negara agraris dengan memakai suatu paradigma yang dianut pada masanya (Arif et al, 2010). 2.1.1 Irigasi pada masa kerajaan sebelum penjajahan Orang memperkirakan bahwa budidaya sawah telah ada di Indonesia beberapa abad sebelum tarikh Masehi. Budidaya sawah diduga berasal dari pengaruh budaya Dong-Son. Budaya ini dibawa sewaktu terjadi migrasi dari daratan Asia Tenggara. Hipotesis lain mengatakan bahwa budidaya sawah berasal dari Assam Utara dan kemudian menyebar ke beberapa wilayah, termasuk China, Philippina, dan Indonesia (van der Meer, 1979). Perkembangan

9 budidaya sawah kemudian terus berlanjut dengan dibangunnya jaringan irigasi gravitasi pada abad-abad berikutnya. Jaringan irigasi dibangun untuk mengantisipasi kegagalan panen akibat terjadinya banjir ataupun kekeringan. Pengetahuan ini diperoleh berdasarkan pengalaman empiris masyarakat. Pembangunan sistem irigasi secara utuh membutuhkan banyak tenaga kerja. Sudah barang tentu tenaga-tenaga kerja itu perlu diatur oleh suatu sistem kepemimpinan terpusat yang menjadi sumber kekuasaan sehingga dapat mengorganisasikan secara sepadan. Demikianlah manusia Indonesia hidup sejak ratusan tahun yang lalu dalam suasana agraris berbasis padi telah membentuk suatu budaya masyarakat hidrolik (Wittfogel,1975). Secara garis besar evolusi pengembangan irigasi mengikuti empat tahapan, yaitu: (i) tahap awal, (ii) pembentuk akhir, (iii) pengembangan kawasan, dan (iv) penguasaan oleh negara (Lombard,1996; van der Meer. 1979). Pada tahap-tahap awal pemerintah kerajaan tersebut hampir tidak pernah terlibat dalam pembangunan sistem irigasi. Semua pembangunan jaringan irigasi dilakukan oleh masyarakat sendiri tanpa bantuan pemerintah sama sekali. (P3PK,1995;Windya,1993). Di Jawa kebanyakan sistem irigasi desa dikembangkan atas inisiatif beberapa orang dengan dipimpin tetua desa. Baru pada tahap keempat setelah terbentuk sistem pemerintahan yang kuat, negara baru ikut dalam proses pembangunan sistem irigasi. Dalam pembangunan sistem irigasi sering dijumpai suatu kolaborasi antara pemuka agama, masyarakat dan penguasa kerajaan. Kerjasama terjadi karena masing-masing pihak saling berkepentingan dan saling menguntungkan serta mempunyai nuansa politik dan ekonomi. Masyarakat memperoleh keuntungan karena adanya pertambahan pendapatan akibat kenaikan produksi hasil pertanian, sedangkan negara akan mendapat memperoleh tambahan pendapatan pajak, serta pengakuan kekuasaan wilayah (Arif dkk,2010). 2.1.2 Irigasi pada masa kolonial Sistem pengelolaan irigasi hampir tidak berubah meskipun sistem kerajaan Hindu-Budha telah berganti menjadi kerajaan Islam. Masuknya bangsa Eropa ke Pulau Jawa pada abad ke-16 tidak serta merta merubah budaya dan teknologi tentang sumberdaya air termasuk irigasi. Pemerintah Kolonial Belanda mulai melakukan pembangunan sistem irigasi teknis di Indonesia

10 pada abad ke 19. Pembangunan itu tak dapat dipisahkan dari pelaksanaan kebijakan Sistem Tanam Paksa untuk memacu ekspor komoditi perkebunan ke pasar Eropa. Kebijakan ini diambil karena pemerintah kolonial mengalami kesulitan keuangan akibat perang Diponegoro. Pengembangan sistem perkebunan itu membutuhkan suatu sistem irigasi teknis untuk menjamin ketersedianya air bagi tanaman perkebunan. Pembangunan irigasi di masa kolonial Belanda dilakukan dalam beberapa tahapan. Paling tidak terdapat tiga periode pentahapan, yaitu: (i) masa tahun 1830-1885, sebagai masa pembangunan fisik bangunan utama (head work), (ii) masa tahun 1885-1920, tahap pembangunan jaringan irigasi secara utuh, dan (iii) periode 1920 1942 merupakan pelaksanaan operasional sistem secara mantap. Pentahapan ini juga berkaitan dengan tahapan perkembangan stabilitas administrasi Pemerintah Kolonial Belanda (Ravesteijn, 2003, van der Eng, 1996). Pada masa-masa awal pemerintah Kolonial baru mengembangkan falisitas bangunan utama (head work) yang dilakukan masih secara empiris dan mengadopsi bangunan irigasi yang telah dibangun penduduk asli. Tak jarang timbul persoalan akibat tidak sempurnanya rancangbangun. Tetapi semuanya itu selalu dapat diselesaikan melalui perbaikan secara in-situ (van Mannen, 1978, Wirosoemarto, 2001). Pada tahun 1854-1856 terjadi kelaparan yang sangat hebat di Demak dan Grobogan. Oleh sebab itu Pemerintah Kolonial Belanda membangun sistem irigasi yang ditujukan untuk memperluas lahan pertanian pangan. Daerah irigasi (DI) Glapan merupakan sistem irigasi pertama yang dibangun (van Niel, 2003, van Mannen, 1978, Wirosoemarto, 2001). Dengan demikian terdapat dua macam sistem irigasi teknis yang dikembangkan, yaitu dengan tujuan utama irigasi untuk perkebunan tebu dan sistem iriagasi untuk tanaman pangan. Kedua sistem irigasi itu di kemudian hari mempunyai ciri pengelolaan yang agak berbeda. Di satu pihak pemerintah kolonial Belanda juga tidak merubah sistem irigasi yang dibangun oleh masyarakat asli seperti Subak misalnya. Pembangunan sistem irigasi tahap pertama ini dilakukan bersamaan dengan pembentukan institusi pengairan Kolonial. Biro Pekerjaan Umum Kolonial dibentuk pada tahun 1854 dan kemudian ditingkatkan menjadi statusnya sebagai Departemen Pekerjaan Umum Kolonial (BOW) tahun 1866. Pembentukan Institusi Pengairan Kolonial itu tidak terlepas dari munculnya

beberapa konflik dan intrik antara petugas Depertemen Dalam Negeri dan Biro Pekerjaan Umum. (Ravesteijn, 2003; van der Eng,1996; van Maanen, 1986). Pembangunan tahap dua bertujuan untuk melengkapi sistem irigasi secara utuh. Pekerjaan ini dilakukan setelah melakukan penyigian (survey) beberapa tempat di Jawa. Penyusunan rancangbangun sedikit demi sedikit mulai menggunakan perpaduan teori modern dan tradisional tetapi masih selalu menggunakan kriteria kelayakan teknik dibandingkan ekonomi (van der Eng,1996). Terdapat satu hal menarik dari proses pembangunan itu yaitu bahwa bendung yang dibangun adalah selalu berdasarkan kekhasan lokasi. Pada masa ini pendidikan teknik hidrolika mulai diperhatikan. Sekolah Tinggi Teknologi Delft membuka jurusan Rekayasa Hidrolika untuk tipologi wilayah Hindia Belanda dan pada tahun 1921 dibuka Politeknik Bandung dengan bidang studi yang sama. Pembangunan sistem irigasi tahap kedua yang bernuansa teknokratik ini, menimbulkan sejumlah kritik dari para pejabat Departemen Dalam Negeri. Pembangunan dengan nuansa teknokratik telah menghilangkan kekhasan sistem irigasi di Jawa yang sebelumnya mempunyai sistem pengelolaan mirip Subak di Bali. Oleh sebab itu BOW mengadakan beberapa percobaan pengelolaan irigasi berbasis partisipasi masyarakat. Percobaan itu dilakukan di DI Pateguhan, Pasuruhan dan DI Pekalen keduanya di Jawa Timur. Percobaan di DI Pateguhan mengambil sistem Subak sebagai model sedangkan di DI Pakalen membentuk sistem pengelolaan irigasi baru dinamakan sistem uluulu golongan. Pada akhirnya pengusaha perkebunan lebih memilih sistem ulu-ulu golongan dari pada sistem Subak. BOW mengangggap bahwa sistem ulu-ulu golongan merupakan tata cara pengelolaan irigasi teknikal yang paling baik pada saat itu. Sistem ulu-ulu golongan ini kemudian dipakai di banyak tempat dengan beberapa modifikasi tergantung pada kekhasan lokasi (Ravesteijn, 2003; van der Eng,1996, van der Meer. 1979, Gelpke, 1986). Pada pembangunan sistem irigasi tahap kedua ini, BOW mulai meletakkan dasar-dasar tatacara Operasi dan Pemeliharaan (OP) irigasi beserta institusi pelaksananya. Pada pembangunan tahap ketiga ini persoalan OP semakin menonjol. Kekurangan air semakin besar karena semakin banyaknya pabrik gula 11

12 dibangun. Untuk mengatasi hal itu maka dibangunlah bendungan-bendungan besar dan waduk-waduk lapangan untuk mengairi tanaman tebu pada saat terjadi kekurangan air. Untuk melaksanakan pembangunan maka pihak perkebunan juga diminta berkontribusi. Adanya waduk lapangan meski dapat mengatasi kekurangan air, juga memunculkan pemahaman terhadap pentingnya persoalan hak air beserta sistem alokasi airnya. Sampai tahun 1941 total waduk yang telah dibangun mencapai kapasitas total sebesar 250 juta m 3 (van der Eng, 1996, Wirosumarto, 2001). 2.1.3 Irigasi pada masa kemerdekaan A. Masa sebelum reformasi Seperti halnya negara yang baru saja merdeka, Indonesia dihadapkan pada banyak persoalan,terutama keberkaitan dengan keamanan dan stabilitas politik, kehancuran ekonomi, kemiskinan dan kekurangan pangan. Keadaan ini berpengaruh terhadap pembangunan dan pengelolaan irigasi di Indonesia. Dari tahun 1945 sampai dengan masa pemerintahan Presiden Sukarno hanya sedikit sistem irigasi yang dibangun. Bahkan sistem irigasi yang dibangun pada masa penjajahan Belanda banyak yang terlantar (Wirosumarto, 2001, van der Eng, 1996, FTP-UGM, 2006b). Akibatnya Indonesia masih tetap menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Dengan mengacu pada fenomena-fenomena empiris yang muncul, maka pemerintahan Presiden Suharto memfokuskan pembangunan sektor sumberdaya air terutama pembangunan irigasi. Adapun tujuan pembangunan itu adalah agar dapat memotong garis kemiskinan melalui peningkatan produksi pertanian. Untuk mencapai tujuan, maka pembangunan irigasi dilakukan dengan memakai tiga strategi, yaitu: (i) pembangunan infrastruktur, (ii) pemberian insentif pada petani, dan (iii) pengembangan institusi, termasuk penyusunan hukum perundangan dan organisasi pengelolaannya (Afif, 1992). Sesuai dengan strategi yang dipilih, maka pembangunan irigasi dilakukan dengan lebih menekankan pada: (i) pembangunan fisik dengan orientasi pada pencapaian sasaran (target oriented), (ii) hampiran kerekayasaan yang berbasis pada pertimbangan teknis-ekonomis, (iii) asas sentralistik, dan (iv) keseragaman metode pelaksanaan dengan mengabaikan keragaman sosiokultural dan lingkungan strategis setempat.

13 Kebenaran pelaksanaan strategi pembangunan tersebut dapat dilihat dari kecepatan pembangunan lahan beririgasi di Indonesia yang sampai dengan tahun 1990 telah tercetak lebih dari 4,0 juta ha (Moohtar, 1992) dan hampir separuhnya terletak di Pulau Jawa. Pembangunan jaringan irigasi dengan terpusatkan di Jawa ini disebabkan oleh karena sejak dahulu kala Pulau Jawa mempunyai sejarah yang panjang dalam budidaya sawah beririgasi (Kartodihardjo dan Suryo, 1991, van Setten van der Meer, 1979). Model pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada waktu itu sebetulnya juga dilakukan pula oleh hampir seluruh negara berkembang, seperti terlihat dari data perkembangan lahan beririgasi di dunia pada kurun waktu antara tahun 1961 1990 mencapai lebih dari 100 juta ha, dengan 70 juta ha di antaranya terletak di Asia (Oi, 1997). Sebagai bagian dari pengembangan institusi, pada tahun 1974 dikeluarkan Undang-Undang tentang Pengairan sebagai pengganti aturan kolonial AWR 1936 menyusul kemudian penetapan Peraturan Pemerintah (PP) tentang irigasi tahun 1982 (Wirosumarto, 2001). Hampiran yang dipakai dalam pengelolaan irigasi masa orde baru ini disebut sebagai manajeman produksi. Asas ini mengedepankan monosentrisitas dengan menekankan pemerintah bertindak pelaksana manajemen irigasi di semua aras dan menentukan tujuan manajemen. Dengan demikian manajemen irigasi secara keseluruhan akan bersifat manajemen produksi. Salah satu ciri pelaksanaan manajemen produksi ini adalah pelaksanaan manajemen dengan fokus pada pendekatan teknis dan finansial (Huppert et al. 2001). Namun dengan segala kelebihan dan kekurangannya Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Hampiran teknis-ekonomis dalam pembangunan ini ternyata hanya mampu mewujudkan sebagian besar sasaran pembangunan infrastruktur saja, misalnya pencapaian swasembada beras (meskipun dalam waktu singkat). Hasil pembangunan yang tercapai dengan pertumbuhan laju ekonomi secara cepat ini justru tidak mampu untuk mengimbangi perkembangan dinamika masyarakat yang terjadi akibat dilaksanakannya pembangunan itu sendiri. Ketidaksepadanan pembangunan dengan hampiran teknis-ekonomis semata juga terjadi pada pembangunan sektor sumberdaya air pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh karena karakteristik pembangunan sumberdaya air lebih

14 bersifat pada transformasi sosiokultural masyarakat dan lingkungan. Hampiran teknis-ekonomis semata yang selama ini dilakukan dalam pembangunan sumberdaya air ternyata telah menimbulkan permasalahan sosial-politik dan budaya yang cepat berkembang di masyarakat. Dapat dicatat beberapa permasalahan yang timbul misalnya kasus Nipah, Kasus Kedungombo, pencemaran badan air di sungai-sungai besar, ketidakseimbangan biaya operasi dan pemeliharaan dengan investasi pembangunan irigasi, serta beberapa permasalahan lainnya. Persoalan-persoalan itu terus-menerus membelenggu kesuksesan yang pernah dicapai pemerintah sehingga dibutuhkan suatu perubahan. B. Masa reformasi Menyadari keinginan adanya perubahan dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air termasuk irigasi maka pada triwulan akhir tahun 1998, pemerintah pusat telah mulai memikirkan pentingnya untuk melanjutkan penataan kembali kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya air nasional. Langkah pertama adalah melalui keputusan sidang Kabinet bulan Oktober 1998 yang merekomendasikan penggunaan metode Pemahaman Partisipatif Kondisi Pedesaan (PPKP) atau Participatory Rural Appraisal, PRA untuk dipakai dalam perancangan dan pelaksanaan program-program yang tercakup dalam pengelolaan sumberdaya air termasuk program pelatihan yang diberikan kepada masyrakat. Langkah kedua adalah membentuk Kelompok Kerja (POKJA) yang bertugas untuk memikirkan kembali dan menetapkan kebijakan sumberdaya air nasional. Kelompok kerja ini beranggotakan unsur-unsur birokrasi dari Departemen terkait, wakil-wakil daerah dan LSM. Agar lebih dapat mencapai tujuan dan sasaran maka Kelompok kerja ini di bagi dalam beberapa kelompok. Salah satunya adalah Kelompok Kerja Irigasi. Dalam waktu relatif singkat, Kelompok Kerja Irigasi dengan dibantu oleh beberapa staf pengajar dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Andalas, dan Universitas Pajajaran telah dapat melahirkan suatu konsep Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tentang Pembaharuan Pengelolaan Irigasi. Konsep ini kemudian didiskusikan dalam Rapat Kerja Departemen Pekerjaan Umum, Republik Indonesia pada tanggal 13 April 1999 dengan dihadiri oleh para Wakil Gubernur Seluruh Indonesia dan pada akhirnya ditetapkan dalam

bentuk Instruksi Presiden (INPRES) no. 3/1999 tertanggal 26 April 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi (PKPI). Secara singkat PKPI 1999 ini mempunyai lima kebijakan yaitu masingmasing: (I) peninjauan kembali tugas dan tanggung jawab pengelola irigasi, (ii) pemberdayaan organisasi Petani Pemakai Air (P3A), (iii) penyerahan pengelolaan irigasi kepada P3A, (iv) dihimpunnya iuran pengelolaan irigasi, dan (v) perlu adanya keberlanjutan sistem irigasi. Meskipun PKPI 1999 ini terdiri atas lima kebijakan tetapi sebetulnya mempunyai satu azas yaitu pemberdayaan masyarakat. Kebijakan pertama dalam PKPI tentang redefinisi tugas dan tanggung jawab institusi pengelola irigasi secara harfiah dapat diartikan bahwa pemerintah berkewajiban untuk mendorong dan meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan irigasi yang selama ini banyak didominasi oleh pemerintah. Apabila kita definisikan bahwa irigasi sebagai suatu proses pengambilan air dari sumber, pengaliran air di saluran, pembagian air ke petak, memberikan air ke mintakat perakaran tanaman dan pengatusan kelebihan air, maka menurut PP23/82 hanya proses pemberian air pada tanaman di petak tersier saja yang menjadi wewenang petani. Selebihnya menjadi wewenang pemerintah. Peningkatan tersebut terutama ditujukan kepada masyarakat agar dapat memberikan peran lebih besar dalam semua proses pengelolaan irigasi termasuk pengambilan keputusan dan pengawasannya. Untuk itu diperlukan suatu tatanan institusi baru yang mengatur kewenangan pengelolaan irigasi pada semua aras. Bentuk kewenangan ini akan mengatur bentuk pola hubungan antara pemerintah dan masyarakat tani maupun tugas masing-masing pihak dalam pengelolaan irigasi secara kesetaraan dan kemitraan. Penyusunan tatanan baru tersebut harus dilakukan secara partisipatif dan dialogis baik antara masyarakat dengan pemerintah maupun antar instansi pemerintah terkait serta antar warga masyarakat yang terlibat. Tatanan baru yang dibentuk juga harus memperhatikan keragaman sosiokultural masyarakat setempat. Kebijakan kedua bermakna bahwa pemerintah menyadari akan pentingnya peran organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam pengelolaan irigasi sehingga pemerintah berkeinginan untuk lebih memberikan peran yang lebih besar, dari semula hanya sebagai organisasi sosial perkumpulan pemakai (users) air, menjadi suatu badan usaha ekonomi mandiri. Upaya 15

16 peningkatan peran ini dilakukan secara demokratis. Salah satu alternatif peningkatan peran P3A menjadi suatu lembaga ekonomi mandiri adalah dimungkinkannya suatu usaha bisnis berbasis pengelolaan air. Usaha ini akan memberikan konsekuensi bahwa air yang semula hanya dianggap sebagai masukan dalam proses produksi menjadi masukan modal dalam usaha ekonomi yang berorientasi pada keuntungan. Perwujudan kebijakan pertama dan kedua dilakukan melalui kebijakan ketiga, yaitu peningkatan peran masyarakat melalui penyerahan pengelolaan irigasi sebatas kemampuannya di seluruh aras sistem irigasi. Sehingga penyerahan pengelolaan irigasi (PPI) tersebut juga dilakukan secara bertahap, selektif dan demokratis. Pelaksanaan (PPI) ini harus dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat mengetahui imbalan dan keuntungan apa yang akan diperoleh dengan diserahkannya pengelolaan irigasi. Transparansi tentang imbalan dan keuntungan ini menjadi kunci suksesnya pelaksanaan kebijakan pembaharuan pengelolaan irigasi ini. Bentuk transparansi inilah yang tidak pernah dikerjakan dalam pelaksanaan program Penyerahan Irigasi Kecil (PIK) sehingga program tersebut cenderung agak kurang sukses dilaksanakan. Perbedaan yang sangat mendasar dalam PPI dengan PIK dapat terlihat dalam dua hal, yaitu: (I) latar belakang pelaksanaan, PIK mengartikan partisipasi sebagai mobilisasi, sedangkan PPI mengartikan partisipasi sebagai pemberdayaan masyarakat, (ii) dalam PIK alasan dilakukannya penyerahan adalah untuk mengurangi beban O&P irigasi, sedangkan dalam PPI alasan penyerahan adalah untuk maksud pemberdayaan masyarakat, dan (iii) dalam PIK aset diserahkan kepada P3A, sedangkan dalam PPI aset masih di tangan pemerintah. Oleh sebab itu dengan diserahkannya pengelolaan irigasi kepada petani tidak berarti bahwa pemerintah melepaskan tanggung jawabnya pada pengelolaan irigasi termasuk kegiatan Operasi dan Pemeliharaan (OP) nya, justru pemerintah berkewajiban untuk memberikan fasilitas agar masyarakat mampu mengelola jaringan irigasinya secara mandiri, Dengan diselenggarakannya proses pemberdayaan masyarakat tersebut secara tidak langsung diharapkan akan terjadi penurunan beban pemerintah dalam O&P secara perlahan.

Kebijakan keempat tentang penggalian iuran dana O&P dari masyarakat dikeluarkan tidak dengan maksud untuk lebih memberatkan petani dengan membebani iuran tambahan, tetapi justru untuk memperkuat kelembagaan petani agar mandiri dalam pengelolaan irigasi. Kunci sukses dari kebijakan keempat ini adalah kesederhanaan prosedur pemungutan iuran pengelolaan irigasi, transparansi dan akuntabilitas pengeloalan dana serta imbalan dan keuntungan yang akan diterima petani dengan pembayaran iuran pengelolaan irigasi. Kebijakan kelima tentang keberlanjutan irigasi menyebutkan secara khusus tentang pencegahan alih fungsi lahan dan kelestarian sumberdaya air. Hal ini bermakna bahwa keberlanjutan irigasi tidak hanya disebabkan oleh alih fungsi lahan sebagai keberlanjutan fisik saja tetapi juga disebabkan oleh sebab-sebab lain termasuk adanya perubahan lingkungan strategis maupun lingkungan ekologis sistem irigasi sehingga pada akhirnya mengancam keberlanjutan sistem irigasi secara fisik. Dari beberapa penelitian diperoleh informasi bahwa ketidakberlanjutan suatu sistem irigasi dapat disebabkan oleh beberapa sebab, termasuk ketidak berlanjutan sosial ekonomi dan lingkungan (Arif et al, 1998). Melalui PP 77/2001 maka sifat manajemen irigasi gabungan antara pemerintah dan petani digantikan oleh menajemen tunggal oleh petani. Peran pemerintah dibatasi pada pemberian fasilitasi OP serta rehabilitasi apabila petani tidak dapat melakukannya. (Arif, 2003). Dalam pelaksanaannya kemudian program pembaharuan irigasi tersebut secara cepat hanya terfokus pada pelaksanaan kebijakan kedua (pemberdayaan Perkumpulan Petani pemakai Air, P3A) dan kebijakan ketiga (PPI). Kebijakan pertama tidak pernah dihayati secara menyeluruh sehingga perubahan tatapikir (mindset) seluruh stakeholder manajemen irigasi tidak terbentuk (Arif, 2003). Untuk kebijakan keempat (prosedur pendanaan) belum pernah direalisasikan secara tuntas karena UU SDA no 7/2004 sudah disetujui untuk diundangkan dan UU ini tak berkesesuaian dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam PP 77/2001, terutama menyangkut penyerahan pengelolaan irigasi kepada P3A. Arif (2002) berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan yang terkandung dalam maklumat PKPI sebetulnya merupakan kebijakan-kebijakan yang berurutan dan tidak dapat dilaksanakan secara serentak. Apabila tidak maka akan 17

18 timbul bias dalam pelaksanaan dan bahkan menjadi kehilangan makna karena kelima kebijakan hanya diinterpretasikan sebagai satu kebijakan saja. Keadaan ini menjadi nyata setelah beberapa kasus pelaksanaan PPI telah gagal untuk dapat menampilkan keseluruhan program tersebut secara mendasar seperti yang dicita-citakan. Bahadury et al (2004) misalnya memberikan suatu contoh bahwa pelaksanaan PPI yang kurang tuntas di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta justru dapat mengancam keberlanjutan sistem irigasi yang telah diserahkan pada masyarakat tersebut. Sebetulnya PP 77/2001 secara mendasar telah memberikan beberapa perubahan dan memberikan arahan pelaksanaan manajemen irigasi baru yang sangat berbeda dengan PP 23/1982 yang digantikannya. Arif (2004) mencatat sebanyak enam dasar perubahan yang diajukan di samping terdapat beberapa kelemahan konseptual. Kelemahan tersebut menjadikan PP 77/2001 juga tidak mudah untuk diimplementasikan secara sepadan (CRRD-UGM-IWMI, 2003). Dengan dikeluarkannya UU no 7/2004 maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) no 20/2006 tentang irigasi menggantikan PP 77/ 2001. Banyak hal menarik untuk dicermati apabila kita membandingkan antara kedua PP tersebut. Beberapa perbandingan antara kedua PP tersebut disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Perbedaan antara PP 77/2001 dengan PP no 20/2006 Item PP 77/2001 PP no 20/2006 Tujuan dan sasaran irigasi Irigasi untuk peningkatan kesejahteraan petani Irigasi untuk ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraaan petani Kewenangan Seluruh sistem diserahkan Pengelolaan bersama, pemerintah/ pengelolaannya kepada organisasi petani pemerintah daerah di aras jaringan utama dan petani di jaringan tersier Azas manajemen Konsep partisipasi Sumber air irigasi Polisentrisitas Pemberdayaan Air atmosferik, air permukaan dan air tanah Polisentrisitas semu karena masih tersirat adanya superioritas pemerintah. Wadah koordinasi antar pengguna dapat dibentuk pada sistem irigasi multiguna Mobilisasi sumberdaya dan pemberdayaan secara bertahap dengan persyaratan adanya perkuatan pemahaman birokrasi Lebih menekankan pada air atmosferik dan air permukaan. Air tanah tidak diprioritaskan

19 Item PP 77/2001 PP no 20/2006 Kemungkinan pengembangan teknologi Sangat mendukung pengembangan teknologi dan konsep manajerial Sangat mendukung pengembangan teknologi dan konsep manajerial Secara bertahap azas polysentrisitas semu yang menunjukkan dominasi pemerintah dalam pelaksanaan PP 20/2006 sedikit demi sedikit mulai berkurang. Sesuai dangan UU no 7/2004 pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan irigasi harus dilakukan secara partisipatif. Melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no 30 /PRT/M/2007 dikeluarkan satu pedoman untuk melakukan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif. Namun Permen PU ini dinilai masih bersifat normatif dan harus dilanjutkan dengan petunjuk teknisnya karena kondisi sosio-masyrakat yang berbeda antara satu tempat dengan lainnya. 2.2. Perubahan Paradigma Pembangunan dan Kebijakan dalam Irigasi Berulang kali kita dengar tentang kata paradigma. Tetapi sebetulnya apakah yang dinamakan paradigma itu? Paradigma berasal dari kata dalam bahasa Yunani, paradeigma, yang berarti model, contoh atau pola. Selanjutnya banyak ahli telah mentakrifkan tentang arti paradigma itu (Barker, 1999, Suriasumantri, 1994). Dari banyak arti tersebut dapat ditakrifkan bahwa paradigma adalah: konsep dasar yang dianut oleh masyarakat tertentu, termasuk masyarakat ilmu, bukan merupakan ilmu melainkan sarana berpikir secara ilmiah. Munculnya paradigma atau konsep dasar baru ini dimulai sebagai luaran atau hasil penalaran intelektual terhadap suatu fenomena empiris. Munculnya suatu paradigma baru atau konsep dasar baru dalam pembangunan dimulai dengan adanya suatu upaya penalaran intelektual terhadap suatu fenomena empiris yang timbul karena adanya ketidakserasian hasil dalam pelaksanaan pembangunan yang dilakukan dengan memakai paradigma lama. Perubahan paradigma tentang pelaksanaan pengelolaan irigasi dapat dirunut dari masa kerajaan sebelum datangnya bangsa penjajah. Di Jawa kebanyakan sistem irigasi desa dikembangkan oleh inisiatif beberapa orang yang dipimpin oleh seorang tetua desa seiring dengan pembangunan atau pengembangan suatu desa. Kejadian ini bahkan untuk di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur telah berlangsung sejak awal adanya peradaban 5. 5 Lihat Lombard.D. 1996. vol 3 dan van Setten van der Meer (1979)

20 Pada awalnya pemerintah-pemerintah kerajaan hampir tidak pernah terlibat dalam pembangunan sistem irigasi tersebut. Keterlibatan pemerintah dalam pembangunan sistem irigasi dimulai pada saat beberapa desa bergabung atau digabungkan dalam satu kekuasaan. Pada masa itu pemerintah kerajaan baru membutuhkan pengakuan secara politik dan mereka mengadakan perjanjian dengan para tetua desa tersebut. Pemerintah memberikan bantuan pembangunan infrastruktur tetapi sebagai imbalan para tetua desa mendukung kekuasaan raja. Meskipun sifat pertanian beririgasi masih bersifat subsisten tetapi pemerintah secara politik mulai melakukan intervensi terhadap monopoli perdagangan beras dengan melalui sistem pajak yang dibayarkan dalam bentuk riel. Paradigma pemerintah yang mengambil jarak terhadap petani dalam manajemen irigasi ini terus berlanjut sampai jaman pemerintahan Mataram (Lombard, 1996). Adanya paradigma ini menyebabkan munculnya kemandirian para petani dengan tetap menjaga institusi irigasi beserta infrakstrukturnya masih berfungsi dengan baik meskipun sistem kerajaan dan pemerintahannya telah berganti beberapa kali (van der Meer. 1979; Prasodjo.2004). Adanya fakta keberhasilan nenek moyang kita dalam pengelolaan aset irigasi diduga disebabkan oleh adanya beberapa hal, yaitu: (i) masyarakat menganggap hakekat pemilikan air sebagai milik bersama, (ii) adanya kearifan lokal sehingga masyarakat berkemampuan membangun infrastruktur yang keseimbangan dengan lingkungannya, (iii) adanya institusi partisipasif yang kuat dalam penyelenggaraan irigasi secara mandiri, serta (iv) tidak adanya dominasi oleh suatu pihak termasuk negara dalam penguasan teknologi irigasi. Pada pertengahan abad ke 19 telah terjadi perubahan besar dalam sistem pertanian di Indonesia. Terjadi suatu perubahan paradigma sistem pertanian beserta sistem irigasinya. Sebagai pemicu perubahan paradigma adalah kesulitan keuangan yang sangat parah. Pemerintah Hindia Belanda dengan melakukan kebijakan tanam paksa pada tahun mulai melakukan intervensi besar-besaran dalam pelaksanaan manajemen sistem irigasi di Indonesia. Sistem irigasi yang semula dilakukan sendiri oleh kelompok tani telah diubah menjadi sistem irigasi pemerintah dengan tujuan utama adalah mendukung industri perkebunan gula dan tembakau. Meskipun demikian tidak seluruh sistem irigasi yang ada diambil alih menjadi sistem pemerintah. Sebagian

sistem irigasi yang terletak di daerah yang tidak sesuai untuk perkebunan tembakau dan tebu dibiarkan tetap sebagai sistem irigasi yang dikelola oleh kelompok petani sendiri atau menjadi milik desa. Sangat menarik dari pelaksanaan paridigma irigasi dan sistem pertanian adalah bahwa pemerintah Kolonial Belanda melakukan konsep pembelajaran secara bertahap sampai kurang lebih 150 tahun. Proses pembelajaran bertahap ini menyebabkan keberadaan institusi dan sebagian besar DI yang dibangun pemerintah kolonial Belanda masih tetap terjaga keberadaannya, bahkan DI yang rehabilitasi oleh pemerintah Indonesia pada awal dekade 1970 an itu merupakan DI yang dulu dibangun oleh pemerintah Kolonial Belanda tersebut (Wirosumarto, 2001). Setelah selesai Perang Dunia ke II maka timbul pemikiran-pemikiran baru dalam kosnteks pelaksanaan pembangunan pasca perang. Sejak masa itu maka berkembanglah berbagai teori pembangunan. Perkembangan teori pembangunan itu sendiri juga tak terlepas dari fenomena-fenomena politik yang berkembang di aras global. Suasana pasca perang dunia ke dua, munculnya perang dingin antara blok Barat dan Timur dan persaingan hegemoni politik dunia, runtuhnya pemerintahan sosialis dan komunis, perkembangan teknologi dan lain sebagainya sangat mewarnai perkembangan paradigma pembangunan yang dianut beserta teori pembangunan dan pelaku-pelakunya (Shepherd, 1998, van Ufford dan Giri, 2004, Pieterse, 2001). Lebih lanjut Pieterse (2001) memberikan sebuah matriks perkembangan teori pembangunan yang dianut masyarakat dunia seperti terlihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Perkembangan teori pembangunan yang dianut masyarakat dunia sejak berakhirnya perang dunia kedua (Pieterse, 2001) Makna Teori Period Perspektif Hegemoni pembangunan Penggerak 1950> Modernisasi Pertumbuhan ekonomi, modernisasi politik dan sosial- 1960> Teori ketergantungan 1970> Pembangunan alternatif Nasional akumulasi, otosentrik nilai kemanusiaan Amerika Serikat Dunia ketiga, negara G77 Teori pertumbuhan, fungsionalime struktural Neo-marxisme 21

22 1980> Pembangunan kemanusiaan Kapasitasi, peningkatan pemilihan kehendak dan pilihan manusia 1980> Neoliberalisme Pertumbuhan ekonomi, reformasi sosial, deregulasi, liberalisasi,privatisasi 1990> Pasca Pembangunan Authoritarian, engineering dan bencana Munculnya Asian dan Pasific Rim, munculnya pasar Globalisasi, penumpukan modal dan korpotisasi Kapabilitas masyarakat, negara pembangunan (development state) Ekonomi neoklasikalmonetarisme Van Uford, Giri dan Moose (2004) membagi perubahan-perubahan teori pembangunan tersebut menjadi tiga masa, yaitu (i) pembangunan yang dilakukan dengan tujuan perbaikan hidup umat manusia dalam suatu kesetaraan setelah perang dunia ke II, periode ini dimulai pada tahun 1946-949, (ii) periode pembangunan sebagai agenda politik dan administrasi, berlangsung antara tahun 1949-1990 an, dan (iii) periode pembangunan sebagai agenda kritis berlangsung pada tahun 1990-an sampai sekarang. Ditinjau dari pentahapan pelaksanaan pembangunan menurut van Ufford, Giri dan Moose (2004) maupun Pieterse (2001) seperti terlihat dalam Tabel 2.2, maka nampak bahwa dekade 60 an sampai dengan dekade 80 an muncul suatu teori pembangunan yang berazaskan modernisasi. Tiga strategi pembangunan irigasi masa Presiden Suharto itu sebetulnya menganut paham modernisasi dan dekolonisasi tersebut. Pada teori ini keberhasilan konsep diukur dengan adanya laju pembangunan ekonomi yang cepat. Agar dapat mencapai tujuannya maka digerakkanlah mesin birokrasi sehingga dominasi pemerintah akan sangat besar. Konsep ini secara global berlangsung sampai akhir dekade 80 an (Shepherd, 1998; van Ufford, Giri dan Moos, 2004; Pieterse, 2001). Konsep modernisasi bersendikan tiga pilar, yaitu (i) penyediaan investasi modal yang akan memicu kenaikan produksi, (ii) pemakaian sains dalam penyediaan produksi barang dan jasa, (iii) tumbuhnya konsep negara-bangsa (nation-state) sebagai suatu organsisasi besar dalam kekuatan politik dan ekonomi. Teori modernisasi juga memicu timbulnya urbanisasi. Munculnya ancaman kekurangan pangan dunia telah memaksa para ahli di pertanian untuk menemukan galur-galur tanaman pangan yang mampu untuk berproduksi tinggi dan berumur pendek. Untuk padi kemudian muncul

23 padi jenis-jenis IR yang dikembangkan oleh the International Rice Research Institute (IRRI) di Philippines. Galur-galur padi unggul ini memang mampu untuk berproduksi tinggi dan berumur genjah. Dari semula tanaman padi berumur 5-6 bulan menjadi hanya berumur 3 4 bulan saja dengan produksi hampir dua-tiga kali padi dalam. Meskipun demikian galur padi unggul ini juga sangat rentan terhadap penyakit, membutuhkan dosis pemupukan yang relatif tinggi dan diberi air irigasi yang cukup. Kemajuan teknologi ini sering disebut dengan revolusi hijau. Adanya inovasi-inovasi teknologi ini dikenal dengan revolusi hijau. Fenomena yang muncul pada sistem pembangunan pertanian beririgasi saat awal munculnya pemerintahan Orde Baru digambarkan pada Gambar 2.1. Pada pertengahan dasawarsa 70-80 an muncul teori-teori pembangunan yang lebih bersifat sosio-kultural masyarakat dan lebih menekankan pada pembangunan kemanusiaan dengan pelaksanaan partisipatif (Tabel 2.2). Untuk mengantisipasi ketaksepadanan yang muncul dari pendekatan teknisekonomis serta penggunaan azas sentralistik maka model pembangunan partisipatif ini lebih menekankan pada pembangunan sebagai proses belajar (Soedjadmoko, 1987; Korten, 1981; Chambers 1987). Agar dapat melaksanakan pembangunan sebagai proses belajar tersebut maka lahirlah beberapa teori pengumpulan informasi partisipatif seperti Rapid Rural Appraisal, RRA dan Participatory Rural Appraisal, PRA. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa munculnya permasalahan-permasalahan tersebut di atas merupakan fenomena empiris bentuk ketidakserasian antara hampiran teknis-ekonomis dengan kemampuan dan kapasitas pelaksana pembangunan yang masih menggunakan dan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan masyarakat (Pusposutardjo, 1994; 1996). Fenomena-fenomena yang sama sebetulnya juga muncul di beberapa negara lain yang melaksanakan strategi pembangunan serupa (Chambers, 1987, Jamieson. 1987, Beebe, 1987). Fenomena lainnya adalah munculnya globalisasi, yaitu suatu set kehidupan yang tidak merupakan suatu kebiasaan di suatu tempat (masyarakat), kemudian semakin lama menjadi semakin biasa. Proses globalisasi muncul dengan ditandai adanya lima jenis aliran (flow), yaitu: (I) aliran manusia antar daerah dan antar negara, (ii) aliran berbagai bentuk informasi melalui berbagai media, (iii) aliran teknologi, (iv) aliran modal antar negara (korporasi internasional), dan (v) aliran citra serta gagasan (McGinn, 1994 dalam Pusposutardjo dan Arif, 1999).

24 Gambar 2.1 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya di awal pemerintahan Presiden Suharto Dengan adanya proses globalisasi tersebut maka tuntutan masyarakat terhadap peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang dilakukan pemerintah juga meningkat dan terjadi secara global pula. Di pihak lain, pemerintah yang pada awalnya memelopori pembangunan jaringan irigasi secara besar-besaran mulai kesulitan memperoleh investasi dana untuk melakukan Operasi dan Pemeliharaan sistem jaringan yang

telah dibangun. Dari data yang diperoleh maka kemampuan pemerintah pada masa kolonial untuk melakukan OP irigasi adalah setara dengan 30 kg beras, pada tahun 1968 pada saat awal Pelita I menurun menjadi 17.5 kg beras dan pada tahun 1997/1998 kembali turun menjadi Rp.25.000/ha atau hanya 12,5 kg beras (Amron, 1999). Dirunut dari depan, sebetulnya pemerintah Orde Baru telah mulai melakukan proses pemikiran kembali tentang kebijakan sumberdaya air seperti ditunjukkan dalam arah Pembangunan Jangka Panjang kedua (PJP II) dan dimanifestasikan dalam kebijakan PELITA VI pada GBHN 1993 butir Ekonomi 2k (GBHN, 1993). Dalam butir tersebut disebutkan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya air tidak lagi hanya dititik beratkan pada pengembangan irigasi semata tetapi sudah diarahkan untuk mendukung semua sektor pembangunan secara terpadu, dengan partisipasi masyarakat, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Sedangkan pelaksanan irigasi ditujukan pada penyimpangan klimat. Meskipun upaya pemikiran kembali untuk meredefinisi paradigma baru dalam pembangunan sumberdaya air telah terdokumentasi, tetapi arah kebijakan pembangunan sumberdaya air seperti halnya kebijakan-kebijakan pembangunan lainnya tidak dilanjuti dengan perbuatan yang nyata. Banyak hal yang telah dilakukan tetapi sebagian besar justru saling bertentangan. Gambar 2.1 menyajikan karakteristik pembangunan irigasi pada masa-masa akhir pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto. Adanya pengaruh homogenisasi kultural dalam etika, moral dan kultur yang sangat nyata ini adalah munculnya tuntutan terhadap proses demokratisasi, penghormatan terhadap hak azasi manusia serta penegakan supremasi hukum yang menjadi tuntutan reformasi saat ini Munculnya fenomenafenomena tersebut selanjutnya memicu timbulnya paradigma baru dalam pembangunan dan pengelolaan irigasi yang dipakai pemerintah saat ini, yaitu: (I) bergesernya orientasi pembangunan dari pertumbuhan ekonomi menjadi pembangunan kemanusiaan secara berkelanjutan, (ii) pengakuan terhadap hak azasi manusia serta penegakan supremasi hukum, (iii) disepakatinya kesepakatan-kesepakatan global dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam dan (iv) otonomi pemerintahan sebagai wujud metafora masyarakat jaringan kerja dari Naisbit (1997) (dalam Gibson (ed), 1997). Dengan berakhirnya perang dingin maka oleh pihak donor diinginkan adanya suatu metode pembangunan baru dan dinamakan pembangunan partisipasi. Konsep ini berazaskan pada pelaksanaan good governance (Streeten, 2002; UNESCAP,2005, JICA,2005; Kinuthia-Njenga,2005:IMF,2003). Takrif 25

26 tentang Good Governance ini banyak sekali dan tergantung pihak-pihak yang berkepentingan. Bank Dunia mempunyai takrif sendiri, demikian pula IMF, semua tergantung pada kepentingannya masing-masing. Satu pengertian yang menarik tentang governance diberikan oleh Report of the Commission on Global Governance dalam Streeten (2002) sebagai berikut: Governance is the sum of the many ways individuals and instituions, public and private, manage their common affairs. It is a continuing process through which conflicting or diverse interests may be accomodated and co-operative action may be taken. It includes formal institutions and regimes empowered to enforce compliance, as well as informal arrangements that people and institutions either have agreed to or perceive to be in their interest. Gambar 2.2 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya di awal dasawarsa 90 an

27 Dengan pengertian tersebut di atas maka Governance lebih luas dari pada Government. Dalam skala sempit good governance juga merupakan satu cara pengambilan keputusan yang dilakukan atas dasar kesepakatan banyak pihak yang terlibat. Ciri-ciri pelaksanaan good governance disajikan dalam Gambar 2.3. Gambar 2.3 Karakteristik good governance (UNESCAP 2005) Sebetulnya konsep-konsep pembangunan yang ditawarkan pihak donor tersebut adalah tak lebih dari konsep neoliberlisme yang digerakkan oleh pasar. Kebetulan konsep ini bersamaan dengan terjadinya fenomena globalisasi yang didukung oleh perkembangan teknologi informatika dan multi media yang sangat pesat. Bahkan fenomena globalisme ini kemudian menjadi suatu teori ilmu pengetahuan baru dan disebut sebagai globalisme. Munculnya konsep-konsep pembangunan ini kemudian juga diikuti dengan konsep pembangunan berperspektif gender dan pembangunan berkelanjutan (Pieterse, 2001; Steger, 2002; Streeten,2002; JICA, 2005). Konsep pembangunan berazaskan neoliberalime ini mempunyai makna privatisasi, liberalisasi, deregulasi, dan desentralisasi. Statement konvensi Dublin dan Rio de Janeiro pada tahun 1992 jelas-jelas mencirikan konsep pembangunan berazaskan neoliberalisme dan konsep ini menjadi dasar pelaksanaan pengelolaan SDA yang disyaratkan oleh pihak donor untuk dipakai dan diimpelementasikan bagi negara-negara peminjam.

28 UU no 7/2004 secara jelas menyebutkan azas dan tujuan pengelolaan SDA di Indonesia dan diberikan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6. sedangkan beberapa bentuk kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan SDA diberikan dalam BAB II yaitu Pasal 13 sampai dengan pasal 19. Pasal-pasal tersebut kemudian menjadi suatu dasar bentuk hubungan kelembagaan antara pemerintah/pemerintah daerah dengan masyarakat. Pasal-pasal 2 sampai dengan pasal 6 secara jelas juga memberikan arahan tentang konsep pembangunan yang dianut oleh pemerintah Republik Indonesia dalam menjalankan reformasi sumberdaya air. Pasal 2 berbunyi: Sumberdaya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Bunyi pasal 2 ini nampaknya sesuai dengan takrif good governance seperti tersaji pada Gambar 2.3 (UN ESCAP, 2005). Sehingga mungkin tak salah kalau kita katakan bahwa pengelolaan SDA menurut UU no 7/2004 tersebut akan dikelola dengan mengikuti azas good governance dan Pasal 2 sebetulnya dapat disebut sebagai pasal tentang good water governance. Pasal-pasal tersebut merupakan dasar dari pengelolaan SDA dijadikan dasar dan dijabarkan pelaksanaannya dalam PP no 20/2006 serta PP lain dalam lingkup UU no 7/2004. Fenomena lain yang muncul adalah dilakukannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi serta pembagian kewenangan pengelolaan irigasi menurut luas layanannya. Dua kebijakan ini menyebabkan terjadinya perubahan intitusi pengelolaan irigasi baik di pusat maupun daerah. Apabila tidak dilakukan suatu koordinasi yang baik di antara para pengelola akan dapat menyebabkan kinerja pelayanan irigasi secara nasional yang kurang sepadan. Dalam PP no 20/2006 muncul beberapa pasal yang mengamanatkan perubahan kebijakan dalam pelaksanaan irigasi. Pemahaman terhadap pentingnya melakukan manajemen aset irigasi baik aset wujud maupun nirwujud menjadi suatu kebijakan yang sangat penting. Kebijakan ini muncul karena telah terjadi perubahan hampiran pelaksanaan pengelolaan pengelolaan irigasi dari teknikal menjadi manajerial. Hampiran ini disebut dengan pelaksanaan manajemen provisi. Dalam PP no 20/2006 dan Permen PU no 30 /PRT/M/2007 tentang pelaksanaan pengelolaan irigasi partisipatif hampiran provisi ini mulai dijalankan. Perbedaan karakteristik manajemen irigasi protekif dan manamemen provisi disajikan dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Perbedaan karakteristik majanemen irigasi protektif dan manajemen provisi No Diskripsi pembeda Manajemen Produksiprotektif Manajemen Provisi 1 Obyektif Penyelamatan tanaman Optimum kecukupan air 2 Azas majajemen dari penyimpangan klimat Kemerataan air Nilai produktifitas Pemerintah dominan Tujuan manajemen ditentukan pemerintah Partisipatif pemerintah sebagai penyedia layanan 3 Tanaman yang Tanaman pangan tujuan manajemen diset bersama Tanaman niaga dibudidayakan 4 Orientasi produksi Kepastian usaha tani Produksi omptimal 5 Satus air Air sebagai masukan Air sebagai modal 6 Jaringan irigasi produksi Dapat menjamin Berfungsi sebagai 7 Hak atas air kemerataan Air maksimum distribusi dan kontrol Nilai manfaat Gambar 2.4 menjabarkan paradigma yang dianut oleh UU no 7/2004 dan PP no 20/2006 beserta pelaksanaannya. 2.3. Irigasi Masa Depan Meskipun telah berjalan selama kurang lebih 12 tahun namun fenomena yang muncul sejak gerakan reformasi dilakukan masih gayut untuk dilakukan. Bahkan sebagian tuntutan reformasi belum dapat berjalan secara benar. Fenomena-fenomena yang muncul juga masih tetap gayut untuk dicermati. Namun di samping itu muncul kesadaran baru bahwa persoalan irigasi yang dulu hanya bertumpu pada pembangunan infrastruktur saat ini mulai ditinggalkan. Sampai saat ini belum ada kebijakan yang mengatur tentang kebijakan pengelolaan sumberdaya manusia dalam sektor irigasi, meskipun hal ini telah diamanatkan dalam PP 20/2006. Oleh sebab itu diperlukan suatu hampiran pembangunan kebijakan baru dalam pengelolaan SDM dalam pembangunan dan pengelolaan irigasi dengan mengadopsi pemikiran yang menganggap manusia secara utuh yaitu manusia yang mempunyai kecerdasan. Sebagai manusia yang utuh maka dia akan dapat mengembangkan seluruh potensinya tidak hanya tenaga fisiknya saja tetapi juga pengetahuan dan kemampuannya sebagai suatu hasil proses belajar. Konsep ini disebut sebagai konsep berbasis modal manusia atau human capital. Dengan apa yang dimilikinya maka manusia akan dapat mengembangkan kecerdasan 29

30 dan pengetahuannya untuk berkreasi dan berinovasi. Hampiran human capital memfokuskan untuk membangun suatu organisasi pembelajar dengan mengedepankan hampiran pengembangan modal manusia sebagai bagian dari modal kecerdasan (intelectual capital) yang dimilikinya. Dukungan teknologi informasi dan komunikasi menjadi mutlak harus dilakukan. Gambar 2.4 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya pada masa reformasi

31 Pada masa depan, persoalan OP akan menjadi sangat penting. Penggunaan manajemen aset menjadi lebih penting dari sebelumnya karena sangat menentukan aras pelayanan yang akan diberikan oleh pihak manajemen kepada pemanfaat dan biaya yang harus ditanggung oleh para pihak. Di satu sisi kemampuan pemerintah untuk melakukan pembiayaan OP secara relatif akan terus menurun karena kemampuan pemerintah terbatas sehingga perlu upaya penggalian dana lain dari para pemanfaat termasuk para pengguna pengguna aset. Mencermati adanya perubahan lingkungan strategis dan kebijakan tentang manajemen irigasi maka diperkirakan akan terjadi perubahan karakteristik wujud pelaksanaan OP irigasi di masa mendatang, yaitu: (i) OP irigasi dilaksanakan sebagai satu kesatuan manajemen dan bukan lagi sebagai dua kegiatan terpisah, tindakan Operasi (O) dan Pemeliharaan (P), (ii) OP irigasi dilaksanakan berbasis pada gerak permintaan (demand driven) daripada gerak pasok (supply driven), (iii) O&P irigasi dilaksanakan pada manajemen berbasis waktu nyata (real time) dan aliran tak tunak (unsteady flow), (iv) O&P irigasi akan berorientasi pada pencapaian hasil produksi pertanian serta bukan lagi sebagai tindakan antisipasi penyimpangan klimatik seperti telah disajikan dalam Tabel 2.3. Dengan melakukan OP secara baik, secara sepadan maka jaminan akan terwujudnya produksifitas air akan terjamin. Sampai saat ini posisi tawar irigasi terhadap penggunaan dan pemanfaatan air lainnya sangat rendah karena produktifitas air relatif juga sangat rendah dibandingkan lainnya Untuk itu nilai efisiensi pengelolaan irigasi harus tetap terjaga. Salah satu strategi yang harus dijalankan adalah dengan mempunyai institusi pengelolaan irigasi berbasis good governance, mutu manusia pelaku irigasi yang tidak hanya profesional tetapi juga sadar terhadap lingkungan yang terus berubah dan menjadi manusia pembelajar. Seperti diketahui sesuai dengan aturan hukum yang berlaku para pelaku irigasi di Indonesia akan terdiri atas pegawai pemerintah dan petani. Telah terbukti secara empiris bahwa petani telah mampu untuk mengolah data dan informasi yang diterimanya serta mengembangkannya menjadi pengetahuannya sejak berabad-abad yang lalu. Para petani itu telah dapat menghasilkan suatu teknologi dan kearifan lokal yang terbukti unggul selama

32 berabad-abad. Dengan semakin majunya teknologi dan sistem informasi saat ini fasilitasi terhadap penggunaan teknologi informasi tersebut sangat diharapkan. Sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan yang dihadapinya maka dasar pikiran petani dalam pengelolaan irigasi selalu berbasis efektifitas dan bukan pada efisiensi. Dengan keterbatasan sumberdaya maka dasar pikiran tersebut harus ditingkatkan sehingga petani memahami persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan air yang semakin rumit ini. Sebaliknya para pelaku birokrasi selalu berpikir efisiensi dan kadang mengabaikan dasar pikiran efektif.oleh sebab itu di lapangan terjadi disharmoni dalam pengelolaan irigasi. Konsep tujuan pengelolaan irigasi adalah terwujudnya harmonisasi antar pelaku yang dapat dicapai dengan berbagai cara. Dialog dan saling berbagi pengetahuan merupakan salah satu cara untuk mencapai harmonisasi itu. Dengan dasar berpikir yang serba cakup maka para pelaku akan dapat memahami terjadinya perubahan dinamika masyarakat beserta lingkungan strategisnya yang nantinya juga akan ikut mempengaruhi kinerja pengelolaan irigasi. Untuk itu para anggota birokrasi juga harus diberdayakan pula. Pemakai azas human capital sangat sesuai untuk dapat dipakai dalam pemberdayaan birokrasi. Sistem human capital dapat dipakai untuk mengembangkan pengetahuan birokrasi karena berbasis informasi. Selain itu azas human capital juga akan dapat mengatasi ego sektoral yang selama ini sering terjadi di antara para pelaku irigasi, karena dengan melakukan proses berbagi pengetahuan masing pihak akan dapat mengurangi rasa egosektoral yang selama ini terjadi. Proses berbagi pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tatap muka merupakan proses berbagi pengetahuan paling sering dilakukan karena dianggap mudah dilakukan. Namun dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi maka proses berbagi pengetahuan dan dialog tidak harus dilakukan secara tatap muka. Proses itu dapat dilakukan secara on line dengan memakai internet dalam bentuk beberapa cara teknologi. Dalam proses berbagi pengetahuan akan dapat didiskusikan dalam banyak hal termasuk cara peningkatan pelayanan pada petani sehingga proses pelayanan ini dapat mencapai kinerja yang diharapkan petani sesuai

33 dengan kinerja infrastruktur dan OP irigasi. Pada proses dialog dan berbagi pengetahuan maka aras layanan dalam bentuk kecukupan (sufficency), keandalan (reliability), equitas (equity), dan kelenturan (flexibility), indeks pertanaman serta biaya dapat didialogkan. Ciri-ciri pengelolaan rigasi masa depan disajikan seperti pada Gambar 2.5. Gambar 2.5 Paradigma pembangunan irigasi dan pelaksanaannya pada masa depan

34 BAB 3 MODERNISASI IRIGASI DI DUNIA DAN DI INDONESIA 3.1. Modernisasi Irigasi di Dunia Perkembangan irigasi di dunia tak dapat dipisahkan dari persoalan pangan. Di banyak negara ketiga perkembangan irigasi sejak dekade 50 an sampai dengan periode 80 an meningkat dengan cepat tetapi pada periode setelahnya perkembangan irigasi menurun dengan cepat pula karena beberapa alasan (Oi, 1997). Alasan yang pertama adalah: (i) dengan meningkatnya jumlah penduduk maka persaingan penggunaan air juga semakin meningkat, irigasi termasuk salah satu sektor lemah daya tawarnya dibandingkan dengan sektor pengguna lainnya, (ii) banyak di negara-negara berkembang telah terjadi kerusakan lingkungan yang semakin parah sehingga ketersediaan air untuk semua sektor menjadi berkurang, (iii) biaya pembangunan sistem irigasi dan OP sistem semakin lama semakin meningkat, berkurangnya dana OP selanjutnya akan mengimbas pada menurunnya kinerja irigasi dan akibatnya akan dapat menurunkan produksi hasil pertanian. Di samping itu sebagian sistem irigasi yang dibangun pada awal masa pembangunan irigasi pada dekade tahun 50 dan 60 an telah habis umur teknisnya sesungguhnya memungkinkan untuk dilakukan rehabililtasi. Akan tetapi sebetulnya dengan terjadinya perubahan lingkungan ekologis upaya rehabilitasi saja tidak cukup. Dibutuhkan upaya lain berupa modernisisasi irigasi. Dalam FAO (1997) modernisasi irigasi ditakrifkan sebagai:...suatu proses peningkatan aspek teknikal dan manajerial sistem irigasi yang gabungkan dengan pembaharuan institusional (jika dibutuhkan) dengan obyektif untuk pemanfaatan sumberdaya (tenaga kerja, air, ekonomi dan lingkungan) serta mengalirkan air irigasi sebagai bentuk layanan pada petani. Dalam takrif itu upaya modernisasi menekankan pada : (i) Adanya perubahan banyak aspek dalam sistem irigasi yang tidak hanya memperrtahankan keadaan dan kriteria sistem yang lama tetapi juga memenemukan kriteria baru; (ii) Terjadinya perubahan tidak hanya pada komponen perangkat keras tetapi juga perangkat lunak;

(iii) Semua upaya yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pada petani untuk memperoleh air irigasi sesuai dengan kebutuhannya sehingga dapat meningkatkan hasil pertanian dan pendapatan petani; (iv) Modernisasi tidak selalu berkenaan dengan pemakaian peralatan yang canggih tetapi lebih menekankan pada adanya pemahaman atau peningkatkan pengetahuan untuk mencapai seluruh tujuan. 35 Program modernisasi irigasi telah terjadi di banyak negara di dunia sejak beberapa dekade karena beberapa alasan. Biasanya program modernisasi dimulai dengan dikeluarkannya sebuah kebijakan yang mengikuti munculnya sebuah paradigma baru. Sebagai contoh Taiwan melakukan program modernisasi irigasi setelah melakukan kebijakan land reform pada tahun 1949 dan kemudian proses modernisasi dilakukan beberapa tahun setelahnya. Di Republik Rakyat China, program modernisasi irigasi di picu karena terjadi masalah dalam pembiayaan pengelolaan irigasi. Di Malaysia irigasi dilakukan untuk mendukung industri padi pemerintah. Kebutuhan terhadap modernisasi muncul setelah persoalan irigasi pada akhir dekade 1980 an industri padi itu menghadapi persoalan kekurangan tenaga kerja dan meningkatnya biaya produksi. Di samping itu kebutuhan terhadap air terus meningkat di beberapa tempat. Oleh sebab itu di banyak area pertanian beririgasi, upaya moderniasasi diprioritaskan dengan melakukan upaya managemen produksi pertanian dengan meningkatkan upaya penekan biaya, meningkatkan efiesiensi karena air juga dibutuhkan untuk penyediaan air baku bagi air bersih dan air untuk industri (Ghazalli, --). Satu contoh modernisasi di India dilakukan di Samrat Ashoka Sagar Project di Sungai Halalir,Madhya Prades. Kebutuhan modernisasi di DI Samrat Ashoka muncul karena terjadinya persoalan manajemen irigasi yang sangat buruk seperti ditujukkan oleh: (i) luas areal terairi relatif kecil dibandingkan dengan luas potensi DI, (ii) munculnya konflik hulu-hilir,dan antara petani kecil dan petani yang mempunyai lahan luas, (iii) sistem irigasi ini tidak dirancang untuk berfungsi pada musim penghujan (Kharif) sehingga apabila terjadi betatan akan mempengaruhi kinerja irigasi. Ketak-sepadanan manajemen ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah: (i) kekurangan rasa memiliki bagi para petani dan pelaku irigasi karena lemahnya infrastruktur institusi, dan (ii) kekurangan biaya OP sehingga infrastruktur terbengkalai.

36 Proses modernisasi yang dilakukan adalah rehabilitasi infrastruktur dan terjadinya proses pembaharuan institusi, sistem irigasi yang tadinya menjadi kewenangan pemerintah provinsi diubah menjadi kewenangan P3A. Biaya modernisasi ditanggung sebagian besar oleh Pemerintah Provinsi Madya Pradesh dan sebagian kecil oleh pemerintah pusat. Alasan penyerahan adalah pemerintah provinsi merasa keberatan menanggung beban pembiayaan irigasi yang terus membengkak (Ganesh Pangare, Rajat Hooja and Nitin Kaushal, 2003). Sesuai dengan takrif yang dibuat FAO maka pelaksanaan modernisasi iriagsi di banyak negara tidak dilakukan dalam satu aspek saja tetapi dilakukan secara multi dimensi, baik teknikal, manjerial, pembiayaan dan juga pembaharuan institusional. Pada dekade 80 sampai awal 2000 an penyerahan irigasi dari pemerintah kepada petani menjadi isu penting dalam pengelolaan irigasi (FAO,1997, Pisquile,2001) Satu kasus modernisasi yang dinilai berhasil di China disajikan dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1 Kasus modernisasi irigasi di ZAOHE IRRIGATION DISTRICT (ZID), China (Peter Mollinga and Gao Hong,2002) ITEM KETERANGAN Lokasi Suqian City, Jiangsu Province, P.R. China Luas 10,670 ha, masih ada sekitar 23.000 ha di hilir sistem sehingga sistem dapatnya diperluas Tanggal pembangunan 1970 Tipe sistem Irigasi pompa dari sungai yang dimasukkan dalam saluran gravitasi Tanaman utama Padi (summer) dan gandum (winter) OP Dilakukan pemerintah lokal sebelum pembaharuan dan perusahaan air setelah pembaharuan bersama P3A baik sebelum maupun setelah pembaharuan Sistem pemilikan tanah Tanah adalah milik negara, petani tidak berhak untuk menjual tanah. Setiap anggota keluarga memperoleh jatah garapan 0,087 ha Hak air Hak atas air hanya dimiliki oleh pemerintah. Petani hanya berhak untuk memakai air dilekatkan pada hak garap tanah. Debit maksimum 25 m 3 /detik Waktu mondernisasi 1997 Pembiayaan Pemerintah RR China, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Modernisasi lokal dan Bank Dunia dipakai untuk pembangunan sebagian perbaikan infrastrukutr dan pembaharuan institusi. Pemerintah Pusat berkontribusi terbesar Tipe tanah Loam dan lempung, sebagian lagi aluivial

Sebagai pemicu modernisasi adalah: (i) Adanya penurunan kinerja infrastruktur ditambah dengan mutu konstruksi bangunan yang buruk dari tahun 1960-1970, (ii) adanya pembaharuan kebijakan irigasi yang dilakukan pemerintah pada tahun 1990 an yang nantinya berimbas pada struktur pembiayaan, (iii) Berkurangnya pembiayaan pemeliharan disebabkan adanya pembaharuan pengelolaan irigasi, (iv) Terjadinya ketidakpuasan dalam pembiayaan yang berasal dari dana iuran irigasi yang tercampur dengan iuran di aras desa; (v) terjadinya kerancuan dalam pengelolaan irigasi antara birokrasi administrasi dengan birokrasi irigasi. Kinerja sebelum adanya modernisasi: (i) tidak ada pelaksanaan monitoring dan evaluasi kinerja sistem irigasi sehingga tidak ada informasi tentang kinerja sistem irigasi yang dapat dijadikan pedoman pengelolaan selanjutnya, (ii) semua pelaksanaan sistem operasi dilakukan secara manual sehingga biaya yang dibutuhkan untuk tenaga kerja sangat besar, (iii) tidak ada kantor petugas untuk melakukan operasi irigasi akibatnya adalah efisiensi sangat rendah dan sering terjadi kesalahan operasional, (iv) penggunaan iuran irigasi penggunaannya tidak untuk keperluan OP irigasi, (iv) tidak ada P3A yang kuat di seluruh ZID. Upaya perbaikan infrastruktur dilakukan dengan memakai teknologi sederhana. Pada prinsipnya semua tindakan dilakukan untuk meningkatkan efisiensi seperti misalnya melakukan lining saluran utama sampai 100%, saluran sekunder sebesar 29% dan tersier mencapai 40%. Pengukuran debit dilakukan dengan memakai tabulasi dan data dikalibrasi dengan memakai current meter. Upaya modernisasi institusi yang paling utama adalah dengan merubah status ZID dari kewenangan pemerintah lokal menjadi perusahaan pengelolaan sumberdaya air. Perubahan ini menyebabkan bahwa ZID selain mengurusi irigasi juga bertindak sebagai perusahaan air minum serta juga mempunyai bisnis lain di luar bisnis air. Untuk gaji upah pegawai diperoleh dari iuran air dan biaya pemeliharaan yang dilakukan oleh para pegawi sendiri. Di aras tersier pemeliharaan dilakukan oleh petani.training merupakan prioritas modernisasi untuk membentuk P3A yang kuat. Sebelum adanya modernisasi sudah dilakukan upaya penarikan iuran air dari para petani dikumpulkan pemerintah desa dan diserahkan pada pemerintah kota. Setelah ada pembaharuan maka iuran ditarik oleh perusahaan air dan 37

38 iuran terkumpul hanya dipakai untuk keperluan pengelolaan iriagsi termasuk gaji upah pegawai. Pemerintah kota juga harus membayar biaya air minum pada perusahaan air. 3.2. Pengalaman Modernisasi di Indonesia Dengan mengacu pada takrif modernisasi yang diberikan oleh FAO, maka sebenarnya telah terjadi beberapa kasus modernisasi irigasi di Indonesia. Satu kasus paling terkenal adalah pelaksanaan pengelolaan irigasi DI Sidorejo, Waduk Kedung Ombo. Beberapa kasus lainnya adalah Perancangan program aset manajemen kerjasama antara UGM dengan Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Kementerian Perkerjaan Umum (PU) (sebelumnya Direktorat Jenderal Pengairan) dan pengenalan irigasi mikro di Kabupaten Gunung Kidul oleh tim UGM. 3.2.1. Kasus modernisasi di Sidorejo, Waduk Kedung Ombo Tujuan utama pembangunan Sistem Irigasi Sidorejo adalah untuk mengairi lahan pertanian tadah hujan di Geyer, Toroh, dan Purwodadi. Di Sidorejo temasuk salah satu lahan di Sistem Irigasi Kedung Ombo dan sebagian DI tersebut masuk Daerah Irigasi Kepil. Pembangunan DI Sidorejo dilakukan dari 1987/1988 sampai 1990/1991 oleh pemerintah pusat dengan bantuan pendanaan dari Bank Dunia. Berbeda dengan negara lain di dunia, proses modernisasi sistem irigasi Sidorejo terjadi tanpa adanya pemicu kebijakan secara nasional dari pemerintah untuk melakukan proses modernisasi. Satu-satunya isu tentang kebutuhan modernisasi adalah keinginan pemerintah untuk membangun suatu sistem irigasi modernisasi secara teknikal di Sistem Irigasi Kadung Ombo dengan membangun pengelolaan irigasi dengan kendali hilir (downstream control), karena pemerintah memperoleh pinjaman lunak dari Bank Dunia untuk pembiyaannya (Arif dan Murtiningrum. 2003). DI Kepil yang dikembangkan menjadi DI Sidorejo tadinya merupakan DI kendali hulu. Seperti diketahui hampir semua pengelolaan sistem irigasi di Indonesia dilakukan dengan memakai sistem kendali hulu (upstream control). Perubahan pengelolaan yang pada awalnya memakai kendali hulu dan kemudian diubah menjadi kandali di hilir dianggap sebagai suatu proses modernisasi. Kendali hilir biasanya dipakai untuk on demand supply di petak tersier. Bandingan keunggulan dan kelemahan antara penggunaan kendali hulu dan hilir dapat dilihat dalam Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Perbandingan keunggulan dan kelemahan antara kendali hulu dan hilir (Ankum, 1991) No Kendali hulu (Upstream Control) Kendali hilir (Downstream Control) 1 Pengelolaan air harus dikendalikan oleh water operator center dimana instruksi bukaan pintu diberikan ke setiap regulator, berdasarkan ketersediaan air dan kebutuhan air 2 Pengetahuan sebelumnya tentang pola tanam dan kebutuhan air diperlukan untuk mendapat distribusi air yang tepat waktu 3 Pengukur debit dan pengatur debit diperlukan untuk mendistribusikan air dari bendung sampai ke sadap tersier 4 Pasok air yang diperlukan hanya tersedia secara bertahap dan selalu berkurang 5 Pengguna air sebelah hulu akan lebih diuntungkan daripada pengguna hilir, pada waktu terjadi kekurangan air 6 Aliran super kritis (misal bangunan terjun) dalam ruas saluran antar regulator masih diijinkan 7 Bangunan terjun dapat dipilih dikombinasikan dengan regulator 8 Tidak ada pembatas kemiringan dasar saluran 39 Kebutuhan air akan dipenuhi sepanjang debit di bendung tersedia Pengetahuan sebelumnya tentang pola tanam dan kebutuhan air, tidak diperlukan Pengukur debit tidak diperlukan. Parameter yang dikendalikan adalah elevasi muka air Debit yang diinginkan cepat segera tersedia sesuai kebutuhan Pada waktu kekurangan air, pengguna sebelah hilir masih diuntungkan Aliran super kritis (misal bangunan terjun) dalam ruas saluran antar regulator tidak diijinkan. Hanya diijinkan pada regulator saja Bangunan terjun hanya mungkin pada regulator Kemiringan saluran harus cukup kecil untuk manampung wedge storage untuk pasok air seketika, biasanya < 0,3 permil DI Sidorejo merupakan DI paling hulu dari Sistem Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, mengambil air dari Sungai Serang, terletak di dua Kabupaten Boyolali dan Grobogan mempunyai luas layanan 5.717 ha. Dengan demikian saat ini pengelolaan DI Sidorejo ini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Tetapi sebenarnya DI Sidorejo pernah mengalami perubahan kewenangan pengelolaan beberapa kali sesuai dengan perubahan sistem hukum yang terjadi. Bahkan pada masa pelaksanaan PP 77/2001 sebagian layanan sekunder pernah diserahkan pada petani. Pembagian pengelolaan irigasi dengan kendali hilir dilakukan dengan memakai pintu-pitu otomatis. Infrasturktur yang ada di DI Sidorejo dapat dilihat pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4.

40 Tabel 3.3 Panjang dan kapasitas saluran di jaringan utama DI SIDOREJO Saluran Nama Panjang (km) Kapasitas (l/det) Pimer Sidorejo 13,153 9.071 Sekunder Dimoro. 1,790 632 Sekunder Pilang 1,186 632 Sekunder Kauman 3,792 551 Sekunder Kepuh Gendingan 4,145 671 Sekunder Kranggan Harjo 8,026 2.201 sekunder Karangsari 2,410 632 Sumber: GORI, 1990 Tabel 3.4 Alat ukur di DI SIDOREJO Type Alat Ukur Jumlah AVIO 2 AVIS 5 Distributor 27 AMIL 1 Romijn 24 Broad Crested 2 Sumber: GORI, 1990 Kinerja pengelolaan memakai kendali hilir hanya dapat berjalan selama dua tahun, yaitu pada saat uji coba, setelah itu pemakaian pengelolaan hilir di DI Sidorejo tak pernah lagi dapat berfungsi dengan baik. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa sebab, yaitu: (i) Kegagalan memenuhi persyaratan teknis yaitu debit minimal tidak pernah dipenuhi (ii) kesalahan pembangunan infrastruktur, dan (iii) kekurangan biaya OP, tidak adanya kepedulian dalam OP. Kegagalan untuk memperoleh debit minimal menyebabkan pintu otomatis tak dapat berfungsi dengan baik. Akibatnya adalah operasi irigasi juga tak dapat terlaksana dengan baik sehingga pada akhirnya terjadi proses perusakan pintu-pintu (vandalisme) oleh petani dan pengelolaan irigasi secara kendali hilir sulit dilakukan lagi. Kesalahan pembangunan infrastruktur terjadi karena timbunan tanah diambilkan dari tanah yang berbeda karakteristiknya dengan tanah asli sehingga terjadi retak tanah cukup besar di musim kemarau. Retakan tenah menyebabkan tanah timbunan tidak kuat beban konstruksi pintu otomatis dan menyebabkan kebocoran saluran. Setelah diserahkan pada pemerintah provinsi kebutuhan O&P minimal tak dapat dipenuhi sehingga sistem O&P irigasi tak dapat berfungsi dengan baik. Gambar 3.1 menunjukkan retakan tanah timbunan di saluran, Gambar 3.2 dan Gambar 3.3 memperlihatkan gambar bangunan pintu otomatis AVIO dan AVIS.

41 Gambar 3.1 Retakan tanah timbunan pada konstruksi saluran (Arif and Mutiningrum,2003 Gambar 3.2 Salah satu pintu otomatis pada Intake Sidorejo, (Arif and Mutiningrum)

42 Gambar 3.3 Salah satu pintu otomatis AVIS di B.Sr 11 Di Sidorejo (Arif and Mutiningrum,2003) Baik sebelum peyerahan kewenangan pengelolaan pada tahun 1993 pada pemerintah provinsi pembentukan dan pelatihan P3A dilakukan oleh Proyek Tata Guna Air (PTGA) Upaya ini dinilai cukup berhasil karena kinerja P3A sangat bagus. Pada waktu pelaksanaan PP 77/2001 satu sekunder telah diserahkan pada petani dan memberikan hasil kinerja cukup bagus. Pelaksanaan pemungutan iuran irigasi (IPAIR) berjalan dengan baik dengan aras efektivitas pemungutan mencapai lebih dari 70% dengan jumlah iuran lebih besar dibandingkan dengan iuran yang dilakukan di Kulon Progo di Yogyakarta. Pada tahun awal dekade 2000 an sudah terbentuk beberapa Federasi P3A di aras Sekunder, dimikian pula induk P3A sudah digagas untuk dibentuk. 3.2.2. Pelaksanaan program Perencanaan Aset manajemen irigasi Pada tahun 1995, Universitas Gadjah Mada mengadakan kerja sama dengan Southamton University, UK dan Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen PU (sekarang Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Kementerian PU) untuk mengenalkan pelaksanaan Perencanaan Manajemen Aset Irigasi (PMAI) di Indonesia. Pengembangan konsep MAI dipicu oleh adanya perubahan manajemen perusahaan air minum dari pemerintah Inggris kepada sebuah perusahan swasta. Dalam penyerahan aset air minum itu dipandang

pentingnya dilakukan suatu tindakan manajemen aset baik untuk keperluan penyerahan kewenangan maupun pelaksanaan manajemen ke depan. Karena ada kemiripan dalam pengelolaan aset air minum dengan irigasi maka digagaslah untuk menyusun pelaksanaan PMAI. Sejak tahun 1996 program manajemen aset irigasi ini dikembangkan sendiri oleh FTP-UGM dan difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Sumberdaya Air. Program PMAI merupakan upaya modernisasi piranti lunak dalam pengelolaan iriagsi yang sangat sesuai untuk dipakai dalam kegiatan OP irigasi. Perencanaan manajemen aset yang dikembangkan oleh FTP- UGM ini dicirikan oleh analisis strategis secara terpadu dari umur pakai infrastruktur untuk menentukan nilai kepemilikan (actual cost) dan operasi aset infrastruktur. Semuanya ini bertujuan agar pihak manajemen dapat menyusun strategi jangka panjang yang paling efektif (ditinjau dari segi biaya) untuk mencapai tingkat pelayanan tertentu. Dengan kata lain, progam manajemen aset harus dapat memberikan gambaran yang jelas kepada organisasi pelaksana manajemen irgasi dan pengguna tentang implikasi finansial dari penyediaan pelayanan pada aras tertentu (Arif, Subekti dan Kurniawan, 2001). Piranti lunak PMA FTP-UGM dapat bekerja secara lentur dan disesuaikan dengan kebijakan program pemerintah. Penggunaan PMAI juga merupakan salah satu sarana untuk berbagi pengetahuan antara pemerintah dengan petani dalam pelaksanaan OP. Sampai saat ini PMAI dilaksanakan di lebih dari 40 DI di Jawa, terutama BBWS Brantas dan Serayu Opak. Selama pengembangannya sudah terdapat tiga versi piranti lunak PMAI, yaitu: (i) versi 1, merupakan progam asli, (ii) versi 1-a, merupakan program asli yang dikembangkan, formula prioritas aset diperbaiki, (iii) versi 2, progam digabungkan dengan program penetapan tata tanam, berbasis spasial, (iv) versi 3 merupakan pengembangan versi 2 dengan tambahan pemilihan prioritas pemeliharaan/rehabilitasi aras sekunder dan multi daerah irigasi (DI). Penetapan prioritasi untuk aras sekunder dan DI ditetapkan dengan memperhatikan luas layanan,investasi biaya yang dibutuhkan, dan potensial produksi yang akan dicapai. Meskipun program PMAI dapat berjalan dengan baik tetapi belum muncul sebagai suatu kebutuhan masyarakat pelaku pengelolaan irigasi untuk melakukan PMAI secara institusional secara mandiri. PMAI hanya sekedar 43

44 proses penggunaan Teknologi Informasi dan belum menjadi suatu kebutuhan penggunaan bagi para pelaku pengelolaan irigasi. Saat ini FTP-UGM tidak lagi mengembangkan PMAI versi baru karena Pemerintah telah mempunyai piranti lunak Pengelolaan Aset Irigasi (PAI) dengan bantuan pihak donor. FTP- UGM sekarang hanya mengembangkan konsep pembelajaran manajemen aset irigasi sebagai sebuah upaya pembelajaran pendidikan. Apa yang dialami oleh FTP-UGM dalam pengembangan manajemen aset irigasi akan dapat pula terjadi pada upaya pemerintah mengembangkan program PAI apabila proses pembelajaran dan upaya berbagi pengetahuan tidak kerjadi. 3.2.3. Pengembangan rancang bangun irigasi mikro di Kabupaten Gunung Kidul Pada tahun 1992-1993 Tim FTP-UGM telah mengembangkan sistem teknik irigasi mikro, yaitu sistem irigasi curah (sprinkler irrigation) bertekanan rendah dan sistem irigasi tetes (trickle irrigation), dan sistem irigasi semprot bergerak otomatis (moveable irrigation sprayer) untuk dialihkan ke masyarakat tani Desa Bogor, Kecamatan Playen. Pengembangan rancang bangun alih teknologi irigasi didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut: (i) Masyarakat tani Gunung Kidul akan lebih memilih teknologi irigasi yang dikembangkan karena baik secara teknikal maupun ekonomikal akan lebih efisien dan efektif, (ii) Dengan memakai teknologi yang akan dialihkan maka akan lebih banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan petani untuk menambah penghasilannya dengan cara pengembangan teknologi pasca panen. (iii) Apabila berhasil maka para petani Gunung Kidul yang gemar merantau untuk bekerja di kota akan kembali ke desa. Sistem irigasi curah bertekanan rendah dirancang untuk dibuat dari pipa tembaga yang banyak digunakan untuk alat rumah tangga dan terdapat di toko besi setempat. Rancang bangun didasarkan atas rancang bangun irigasi curah taman yang juga banyak tersedia di toko-toko taman di kota tetapi tidak terdapat di toko desa. Pembuatan satuan pencurah sangat mudah sehingga bengkel las desa mampu untuk membuatnya sendiri. Tekanan air pada pipa lateral sistem berasal dari bak air berketinggian 7 m. Air dipompa dari sumur berjeluk 8-12 m

45 dialirkan ke dalam bak. Sistem irigasi curah dirancang dengan menggunakan alat yang terdapat di lokasi pengembangan, dua tipe penetes (emitter) dirancang untuk digunakan, yaitu: (i) pipa plastik akuarium berkepala tetes paku ulir, debit penetes disesuaikan dengan tekanan paku ulir pada dinding pipa; (ii) alat penetes menggunakan limbah rumah sakit penetes infus. Secara teknikal, kedua sistem teknologi irigasi tidak mempunyai kendala yang berarti. Pengukuran-pengukuran hidrolika sistem aliran dalam pipa memberikan hasil cukup akurat sehingga sistem irigasi curah yang dirancang dapat memberikan debit berkisar antara 0,1 l/det 0,21 l/det pada keragaman tekanan 90,32 cm air dan diameter pembasahan berkisar antara 3,5 m 12 m (Rochdiyanto dan Arif, 1993). Irigasi tetes juga memberikan kinerja teknikal cukup bagus. Dengan keragaman tekanan piezometrik antara 100-110 cm sampai 200-225 cm air maka debit rerata juga beragam antara 3,33 11,62 cm 3 /menit. Penghematan penggunaan air juga dapat mencapai 36,67% dibandingkan penggunaan gembor. Jumlah hari kerja dalam usaha tani juga lebih kecil apabila dibandingkan dengan penggunaan gembor, yaitu masing-masing 10,4 HOK untuk irigasi tetes dibandingkan 16,96 HOK untuk gembor. Sedangkan hasil tanaman semangka adalah 310 kg/300 m 2 irigasi tetes dibandingkan dengan gembor (Rochdiyanto dan Arif, 2003). Meskipun secara teknikal maupun ekonomikal penggunaan irigasi tetes lebih bagus tetapi petani desa lebih menyukai penggunaan gembor dibandingkan dengan penggunaan irigasi tetes maupun irigasi curah. Begitu proyek percontohan selesai maka seluruh instalasi irigasi yang telah dikembangkan tidak lagi dioperasikan. Kanibal terhadap aset irigasi perlu diperhitungkan.

46 BAB 4 PEMBELAJARAN MODERNISASI IRIGASI Bahasan dalam BAB 3 menuntun kita bahwa setiap negara yang melakukan proses modernisasi irigasi akan berkutat pada persoalan lima pilar pelaksanaan pengelolaan irigasi,yaitu (i) penyediaan air, (ii) prasarana. (iii) pengelolaan air irigasi, (iv) institusi, dan (v) sumberdaya manusia. Sebetulnya masih ada dua unsur penting dalam pengelolaan irigasi yaitu pembiayaan dan azas legal pelaksanaan pengelolaan. Di Indonesia saat ini berlaku UU no 7/2004 tentang Sumberdaya Air dan PP 20/2006 tentang irigasi. Kedua sumber hukum itu merupakan dasar pengelolaan irigasi di Indonesia. Sebaiknya pelaksanaan modernisasi irigasi di Indonesia masih disandarkan pada kedua sumber hukum ini. 4.1. Penyediaan Air Penyediaan air dilakukan dengan mengacu pada ketersediaan air ada dan peningkatan keandalannya meski kadang harus ditempuh pengembangan teknologi yang relatif mahal. Sesuatu yang mutlak diperhitungkan adalah dengan melakukan satu cara untuk dapat menutup biaya penyediaan air. Taiwan memakai sistem bendungan tipe urugan untuk membagikan air. Di Cina air dipompa dari sungai yang dialirkan dalam sistem irigasi gravitasi. Di India dan Pakistan pelaksanaan modernisasi dikaitkan dengan pembangunan sebuah dam. Di Israel penyediaan air dilakukan dengan membangun pengambilan air tanah dari aquifer kemudian diberikan melalui sistem pemberi yang dilakukan seefisien mungkin dengan menggunakan drip dan irigasi curah. Penyediaan air irigasi juga digabungkan dengan penyediaan air minum. Di Malaysia, sebagian sistem irigasi memperoleh air dari bendungan, sistem pompa dan sebagian lagi memakai sistem bendung. Di Indonesia yang beriklimat tropis dengan banyak hujan banyak memakai sistem irigasi yang mengandalkan penaikan muka air sungai melalui sebuah bendung dan dialirkan secara gravitasi. Sebetulnya sistem paling ideal dalam penyediaan air adalah sistem bendungan terutama untuk menghadapi terjadinya penyimpangan klimat. Sistem ini dapat juga direkomendasikan untuk dapat dilakukan pada proses modernisasi irigasi,

47 tetapi pelaksanaan pembangunan mempunyai beberapa kelemahan apabila diimplementasikan di Indonesia sebagai berikut: (i) biaya investasi tinggi, (ii) mempunyai persolaan sosial tinggi terutama dalam penyediaan lahan,dan (iii) harus dikaitkan dengan upaya pelestarian daerah atasan untuk menjamin kebelanjutannya. Saat ini sangat sukar untuk memperoleh dana investasi untuk pembangunan sebuah bendungan. Selain mahal pembangunan bendungan juga memerlukan waktu relatif lama. Beberapa ahli ilmu lingkungan juga kurang menyukai pembangunan bendungan karena dapat merusak lingkungan. Di Jawa pembangunan bendungan sudah sangat sukar untuk dilakukan karena kepadatan penduduk dan keterbatasan lahan, sehingga dapat memicu persoalan sosial lebih tinggi. Apabila dilaksanakan pembangunan sebuah bendungan harus dikaitkan dengan pelaksanaan konservasi daerah atasan. Namun pembangunan bendungan skala menengah-kecil masih memungkinkan untuk dikembangkan. Menaikkan keandalan penyediaan air irigasi dapat dilakukan pula di dalam DI, yaitu dengan membangun beberapa waduk lapangan (waduk kerja) dalam beberapa bentuk misalnya (waduk lorong, long stroge). 4.2. Pengembangan Prasarana Persoalan sarana dan prasarana menjadi bagian penting untuk modernisasi irigasi di beberapa negara karena merupakan satu bagian dari pengembangan aspek teknologi. Sebagai dasar pembangan aspek sarana dan prasanana adalah tercapainya pengelolaan irigasi yang efisien dan efektif serta berwawasan lingkungan. Di beberapa negara seperti China, Taiwan, Pakistan, India dan Australia untuk mencapai tujuan tersebut dengan melakukan lining saluran, meskipun demikian modernisasi prasarana irigasi tidak dilakukan di India. Tipe bangunan masih sama seperti yang ada sebelum dilakukan proses modernisasi, tetapi di Cina dilakukan peningkatan bentuk prasarana dengan memasang alat-alat ukur secara elektromekanik (Pangare, Hooja and Kaushal, 2003, Mollinga and Hong, 2002). Modernisasi di Spanyol dilakukan dengan memberikan dua bentuk pilihan pada petani, yaitu memilih bentuk irigasi permukaan atau dengan irigasi curah, tentu saja beberapa faktor penentu pengambilan keputusan seperti investasi awal, tenaga kerja, tanaman yang diusahakan maupun keuntungan yang

48 diharapkan. Universitas dapat bertindak sebagai konsultan untuk pemilihan keputusan tersebut (PlayaÂn,E, A. Slatni, R. Castillo, J.M. Faci,1999). Di Australia pengaliran air dari saluran utama ke lahan petani dilakukan dengan pipa karena sangat mudah untuk mengalirkan air irigasi dengan aliran bertekanan serta untuk menghindari kehilangan air. Demikian pula di Pakistan, air dari bendung sebagian ada yang dialirkan dengan pipa. Penggunaan pipa sebagai bagian dari proses modernisasi irigasi juga dilakukan di Syria dan negara lain seperti Israel yang menggunakan metode pemberian air irigasi bertekanan. Di Pakistan sistem irigasi yang melakukan program modernisasi (Tarbela Dam Project, Pehur High Level Canal Project) menggunakan dua sistem pengelolaan hulu dan hilir. Penggunaan kendali hilir juga menggunakan pintu-pintu AIVO dan AVIS seperti yang dlgunakan di DI Sidorejo, Indonesia (Arif dan Murtiningrum, 2003), sedang di sistem yang menggunakan kendali hulu pembagian air dilakukan dengan memakai pintupintu radial (Habib, 2002). Otomatisasi irigasi dan remote control dilakukan juga di Taiwan dan Australia. Di Taiwan persoalan polusi air dan lingkungan juga menjadi perhatian karena banyaknya pabrik-pabrik yang beroperasi di sekitar DI yang dilakukan modernisasi irigasi, oleh sebab itu di jaringan irigasi juga dipasang alat-alat kontrol polusi. (Hai-Sheng, 2002) Jaringan drainase juga merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem jaringan irigasi di banyak negara beriklim kering seperti Pakistan, India, Syria dan Israel,karena apabila terjadi masalah drainase wilayah rawan drainase akan dapat menyebabkan terjadinya proses salinasi yang dapat mengancam keberlanjutan sistem irigasi. Di wilayah kering areal rawan drainase muncul karena terjadinya pemompaan air irigasi secara berlebihan. 4.3. Sistem Pengelolaan Irigasi Setelah proses modernisasi dilakukan pembangunan prasarana irigasi dan kemudian diikuti dengan pengembangan sistem OP sebagai bagian dari pelaksanaan pengelolaan irigasi. Di banyak negara seperti China, Taiwan, dan India pembangunan sistem OP juga dikaitkan dengan pembangunan institusi pengelolaan irigasi secara keseluruhan. Di Pakistan pengembangan manual OP menjadi bagian tak terpisahkan dari tugas konsultan perancangan. Manual OP merupakan satu persyaratan untuk

49 dapat tercapainya sistem pengelolaan irigasi yang baik. Di dalam manual OP tersebut dicatat semua hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pengeloaan air irigasi secara keseluruhan. Penetapan hak guna air air menjadi bagian dari modernisasi. Di Australia operasi dilakukan dengan secara real time basis dengan mengimplementasikan otomatisasi pintu-pintu air dan komputerisasi. Selain itu penggunaan komputer memungkinkan untuk menggunakan model-model pengelolaan irigasi seperti dilakukan oleh Malaysia yang mengimplementasikan sistem pengelolaan berbasis permintaan. Sistem ini akan dapat berjalan dengan baik apabila dilakukan analisis informasi seraca kontinyu dan tersistem secara real time. Komputerisasi juga dilakukan di Pakistan untuk membuat sistem operasi dapat dilakukan dengan lentur. Dalam pelaksanaan operasi, persoalan hak guna air sangat ditekankan. Di Taiwan setiap petak tentu mempunyai hak guna air yang terdaftar di kantor pelaksana pengelola irigasi setempat. Di Indonesia pemakaian komputer untuk pengelolaan irigasi pernah dilakukan, seperti misalnya di DI Rentang dan waduk Sempor. Sayang proses komputerisasi tersebut tidak dapat berlanjut dikarenakan beberapa sebab, yaitu: (i) kurang adanya budaya pemeliharaan pada petugas pengelolaan irigasi, (ii) perangkat lunak yang sukar diperoleh karena tergantung pada pihak pembangun, dan (iii) kurangnya dana OP irigasi. Sekarang perbaikan sistem OP menggunakan teknologi informasi sedang dilakukan di DI Bondoyudo, Lumajang-Jember dengan mengganti sistem blangko menjadi bentuk sistem informasi. Penggunanan aset manajemen irigasi sebagai bagian dari modernisiasi pengelolaan irigasi dilakukan di banyak negara, seperti Australia, Vietnam, Amerika Serikat dan juga Indonesia. Kesulitan yang dihadapi oleh Universitas Gadjah Mada dalam pengembangan program aset manajemen di Indonesia adalah kurangnya perhatian pelaku dalam perawatan sistem dan institusionalisasi program dalam kegiatan yang berkelanjutan. Keberhasilan modernisasi prasarana dan sarana irigasi tak akan dapat berjalan apabila pola pikir masyarakat pelaku irigasi tak berubah. Di masa depan pelaksanaan manajemen aset irigasi akan menjadi tulang punggung pelaksanaan pengelolaan irigasi.

50 4.4. Institusi Di semua negara yang melakukan modernisasi irigasi, pengembangan sistem prasarana tentu tak dapat dipisahkan dengan pengembangan institusi, bagai satu keping mata uang dengan dua muka. Bahkan di India modernisasi yang mencakup pengembangan institusi saja karena meskipun dilakukan pembangunan prasarana masih bentuk dan tipe yang sama dengan sistem lama. Di sebagian besar negara yang melakukan modernisasi pembaharuan kebijakan pengembangan institusi dalam proses modernisasi seperti di India dan China selalu dihubungkan dengan penyerahan pengelolaan sistem irigasi. Di India penyerahan dilakukan dari pemerintah pada masyarakat tani, sedangkan di China penyerahan dilakukan dari pemerintah daerah pada perusaahan swasta yang juga mengelola air minum kota. Dengan diserahkannya kewenangan pengelolaan dari pemerintah ke petani maka dibentuk suatu badan hukum untuk melakukan tugas kewenagan tersebut. Penggabungan antara perusahaan air minum dan irigasi juga dilakukan di Israel dan Australia. Terjadi subsidi silang dari konsumen air minum pada petani (Pangare, Hooja and Kaushal, 2003, Mollinga and Hong, 2002). Sebelum melaksanakan modernisasi setiap negara mengeluarkan satu payung hukum sebagai perkuatan azas legal pelaksanaan modernisasi. Dengan azas legal tersebut maka para pihak dalam pengelolaan irigasi akan dapat melakukan proses modernisasi dengan seksama dan bersandar pada kepastian hukum yang berlaku di masing-masing negara. Adanya landasan hukum juga akan menjamin keberlanjutan pelaksanaan modernisasi irigasi. Selain pengembangan institusi pelaksanaan modernisasi juga dikaitkan pula dengan pengembangan sistem pembiayaan. Semua negara yang menerapkan modernisasi melakukan pembaharuan sistem pembiayaan. Dalam pembaharuan itu secara jelas terungkap bagaimana sistem irigasi yang telah dimodernisasi dapat terus berkelanjutan dengan aturan yang jelas. Yang menarik adalah pelaksanaan iuran air (water fee) diberlakukan pada petani di semua negara. Kebijakan penarikan iuran air irigasi juga pernah dilakukan di Indonesia pada akhir dekade 90 an tetapi dibatalkan karena kurang sepadannya pelaksanaan cara penarikan iuran dan alokasi dana peruntukan. Maraknya kebijakan modernisasi yang dikaitkan dengan perubahan paradigma pengelolaan irigasi di aras global yang berkembang pada pertengahan dekade 80 an dan menjadi trend sampai awal dekade 2000 an.

51 Kebijakan penyerahan pengelolaan irigasi pada petani pernah dilakukan di Indonesia pada saat berlakunya kebijakan Penyerahan Irigasi kecil (PIK) dan penyerahan sistem secara bertahap melalui Inpres 3/1999 dan seluruh sistem dalam PP 77/2001. Setelah berlakunya UU no 7/2004 proses penyerahan irigasi tidak diberlakukan lagi. 4.5. Sumber Daya Manusia Pembangunan konsep sumberdaya manusia merupakan suatu upaya sangat penting dalam pelaksanaan modernisasi irigasi di dunia. Dua kata kunci keberhasilan pelaksanaan modernisasi adalah (i) adanya tambahan kesejahteraan bagi para pihak, dan (ii) adanya prosfesionalisme para pelaku. Di China meskipun terjadi alih status pegawai negeri ke pegawai perusahaan swasta karena kesejahteraannya meningkat maka alih status tersebut tidak menjadikan masalah besar. Peningkatan profesionalisme para pelaku sebagian besar dilakukan melalui pelatihan baik pada kalangan staf pemerintah maupun petani. Apabila dalam sistem irigasi tersebut belum siap dengan P3A nya maka organisasi itu harus dibentuk secara partisipatif. Hasil mengesankan dilakukan di China,pada tahun 1998-1999 dilakukan pembentukan sejumlah 18 P3A berbasis pada saluran sekunder dibentuk di Zaohe Irrigation System, China dan sebanyak 78 sub Kelompok berbasis desa (Mollinga and Hong, 2002). Meskipun dikatakan bahwa pelaksanaan pembentukan dilakukan secara partisipatif tetapi dengan sistem pemerintahan otoriter akan sangat sulit diperoleh hasil maksimal tanpa dilakukan upaya yang bersifat top-down. Pelaksanaan pelatihan di India dilakukan dengan sistem bertahap dimulai melakukan trainning for trainors (ketua P3Adan wakilnya dan staf insinyur di masingmasing DI) baru diteruskan pada petani. Di Indonesia, pada waktu dilakukan modernisasi di DI Sidorejo pelatihan hanya dilakukan pada petugas OP provinsi, Kabupaten dan penjaga pintu. Petani tidak dilibatkan dalam proses pelatihan sehingga terjadi adanya kesenjangan pengetahuan antara petani dan staf dinas. Akibatnya adalah terjadi aksi yang tidak sepadan dalam bentuk anarki terhadap sistem irigasi apabila sistem tidak memberikan fungsi yang baik menurut prosedur pengelolaan. Di masa depan kedudukan manusia dalam proses modernisasi sistem irigasi akan menjadi fokus utama karena pembangunan yang dilakukan bertujuan

52 untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat tani seperti dicantumkan dalampp 20/2006. 4.6. Pembelajaran Dari proses pelaksanaan modernisasi irigasi baik di dunia maupun Indonesia yang disajikan, dapat ditarik pelajaran sebagai berikut: i. Bahwa dalam proses modernisasi irigasi di dunia selalu terdapat progam pemicu timbulnya pelaksanaan modernisasi irigasi di dunia, misalnya adanya program penyerahan kewenangan irigasi pada baik pada sektor swasta seperti di China ataupun pada petani seperti di India, atau land reform di Taiwan, sedangkan di Malaysia dipicu adanya perbaikan proses pembiayaan. Pemicu program itu kemudian diikuti dengan transfomasi institusi, teknologi dan pembiyaan. Ketiga proses transformasi itu memunculkan strategi pelaksanaan modernisasi irigasi di masingmasing tempat; ii. Tanpa adanya transformasi ketiga aspek utama dalam irigasi tersebut pelaksanaan modernisasi sangat rentan dengan kegagalan seperti yang terjadi dalam beberapa proses modernisasi irigasi di Indonesia. iii. Proses modernisasi irigasi juga mengacu pada pelaksanaan pengelolaan irigasi masa depan yang lebih baik dengan mengupayakan peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan irigasi, menghormati partisipasi, kearifan lokal dan berwawasan lingkungan. Proses pelaksanaan modernisasi irigasi pada lima pilar irigasi juga dilakukan dengan mengacu pada proses pembelajaran yang dibahas tersebut. iv. Mengingat keadaan irigasi di Indonesia menghadapi berbagai kendala, antara lain: prasarana irigasi yang habis umur layanannya, berkurangnya debit andalan akibat penurunan fungsi DAS, kerusakan infrastruktur akibat lemahnya OP dan rehabilitasi, rendahnya sistem pembiayaan OP, alih fungsi lahan irigasi, dan pengaruh pemanasan global serta perubahan iklim, perlu didorong program pemicu irigasinya adalah keberlanjutan irigasi. Atas dasar itu maka pemicu program ini akan ditindaklanjuti dengan program strategis, antara lain penguatan institusi, pemberdayaan SDM, pembuatan tampungan air/reservoir, penyempurnaan pintu elektronik, telemetri dan komputerisasi.

53 BAB 5 TANTANGAN PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN IRIGASI Peraturan Pemerintah tentang Irigasi No 20/2006 pasal 2 ayat (1), mengamanatkan bahwa: irigasi berfungsi mendukung produktifitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, yang diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi. Pasal ini mengamanatkan bahwa pengembangan dan pengelolaan irigasi ditujukan utamanya mendukung ketahanan pangan nasional. Salah satu unsur dalam ketahanan pangan adalah kecukupan pangan bagi seluruh penduduk di Indonesia. Tahun 2010 dalam ketahanan pangan untuk 237 juta penduduk, pemerintah telah memproduksi beras 40,88 juta ton beras plus impor beras sebesar 2,2 juta ton beras. Upaya produksi beras tersebut didukung dengan irigasi seluas 7,2 juta Ha. Namun disadari bahwa kapasitas dan percepatan penambahan pengembangan dan pengelolaan irigasi sangat terbatas akibat keterbatasan sumber daya alam. Lahan yang cocok untuk irigasi sudah semakin terbatas, sedang yang bisa dikembangkan untuk irigasi kecil-kecil yang kurang layak untuk dikembangkan. Lahan yang cocok untuk irigasi dalam skala besar hampir habis. Pengembangan irigasi harus berkompetisi dengan perkebunan, pemukiman dan tanaman tahunan lahan kering. Ketersediaan air juga sudah semakin kritis, baik dari sisi jumlah maupun kestabilan. Ketersediaan air membesar pada musim hujan sehingga menyebabkan banjir, dan semakin kecil pada musim kemarau sehingga mengakibatkan kekeringan dan gagal panen. Kompetisi pemanfaatan air terjadi dengan pemanfaat air lainnya: air minum, air industri, tambak dan perikanan, pembangkit tenaga air. Air yang semakin terbatas ini diperparah dengan pengaruh pemanasan global dan perubahan iklim, dimana salah satu indikasinya yang nyata adalah kejadian perubahan agroklimat ekstrim yang berakibat perubahan ketersediaan air. Puncak banjir membesar dan debit andalan mengecil dari waktu ke waktu.

54 Terkait dengan pengelolaan irigasi (operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi) ternyata dalam kondisi yang belum optimal. Berdasar survai yang dilakukan FAO di seluruh dunia, terdapat 1,5 juta Ha sawah setiap tahun hilang karena bencana banjir, kerusakan infrastruktur irigasi, atau akibat salinasi. Di samping itu diperkirakan 30 juta Ha sawah beririgasi mengalami kerusakan berat dan 60 80 juta Ha mengalami kerusakan ringan. Mengapa kerusakan irigasi sedemikian parah dan besar? Sebagian besar studi berkesimpulan bahwa penyebab utama adalah lemahnya kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) yang dilakukan oleh pengelola irigasi. Beberapa pemerhati irigasi menggaris bawahi gejala ini bahwa: Kelemahan dalam perancangan dan perencanaan teknis irigasi adalah masalah yang besar, namun kelemahan dalam OP adalah masalah yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan pendapat salah seorang Presiden Internasional Commision on Irrigation and Drainage (ICID), bahwa: Sistem irigasi di beberapa belahan dunia telah menunjukkan kinerja di bawah potensi yang dimilikinya. Indonesia sebagai negara dengan mengkonsumsi beras cukup besar, telah mengembangkan irigasi seluas 7,2 juta Ha sejak peninggalan zaman Belanda sampai dengan tahun 2010. Irigasi tersebut telah mengalami kerusakan seluas 3,81 juta Ha (52,9%), di mana 0,71 juta (9,9%) rusak berat dan 3,10 juta ( 43%) rusak ringan 6. Kerusakan ini diakibatkan oleh karena gangguan alam dan lemahnya OP terhadap infrastruktur irigasi kita. Keadaan demikian kalau dibiarkan terus akan mengganggu keamanan pangan nasional, yang berakibat pada stabilitas masa depan bangsa. Sesuai pendapat Ronald P Cantrel, Direktur Jenderal Internasional Rice Research Institute (Kompas 24 Februari 2007): Kunci stabilitas masa depan Indonesia terletak pada kemampuannya untuk menjamin ketahanan pangan dan keberhasilan pembangunan masyarakat pedesaannya. Melihat gejala ini semua pemangku kepentingan irigasi sepakat betapa pentingnya OP dalam menjaga keberlanjutan irigasi. Namun kenyataan di lapangan ditemui adanya Maintenance Paradox, yaitu gejala dimana semua orang di satu pihak meyakini kerusakan irigasi akibat OP yang kurang memadai, sehingga menyadari betapa pentingnya OP, tetapi di lain pihak perhatian terhadap kegiatan OP dilupakan. Mengapa hal ini bisa terjadi? 6 Sumber: Ditjen SDA (2012)

55 Kelemahan OP irigasi ditandai dengan rendahnya prioritas kegiatan OP, tidak adanya komitmen pemerintah dalam menangani OP, pembiayaan yang tidak memadai, dan rendahnya tenaga pelaksana OP baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Akibat dari ini semua sistem OP kurang berjalan sebagaimana mestinya. OP irigasi selalu kurang prioritas dibanding dengan pembangunan baru. Akibatnya kerusakan infrastruktur irigasi terjadi dan kinerja irigasi menjadi jelek, sehingga perlu dilakukan rehabilitasi. Kejadian ini berulang terus. Sehingga muncul lingkaran setan (viscous circle) yang tidak berujung: bangun- OP jelek- rehab, bangun- OP jelek- rehab (Huppert dkk, 2011). Menurut catatan sejak PELITA I sampai dengan PELITA V telah dilakukan rehabilitasi irigasi kurang lebih 3,5 juta Ha. Namun kegiatan tersebut dilakukan hanya mencakup kurang lebih 2 juta Ha sawah. Artinya selisihnya yaitu 1,5 juta Ha, dilakukan untuk rehabilitasi ulang pada daerah irigasi yang sama. Padahal biaya untuk melakukan rehabilitasi akibat OP yang tertunda jauh lebih besar dibanding biaya OP yang mestinya normal dikeluarkan tiap tahun. Sistem seperti ini tentunya kurang efisien. Akibat lemahnya OP, air irigasi sampai di sawah dalam jumlah yang kurang memadai, sehingga indeks pertanaman (IP) dan produktifitas pertanian rendah. Akhirnya produksi menurun dan ujung-ujungnya pendapatan dan kesejahteraan petani berkurang. Hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan terus, karena kinerja irigasi merupakan pendukung utama ketahanan pangan nasional. Terkait dengan peningkatan produksi pangan, upaya penambahan IP terbatas karena ketersediaan air yang tidak memungkinkan, peningkatan produktifitas tanaman juga hampir mencapai titik maksimum (levelling off). Namun masih ada upaya lain dalam peningkatan produksi pangan, yaitu: Peningkatan produktifitas air (berat GKG per 1 m 3 air). Penambahan pasokan air, dengan membuat tampungan air. Peningkatan efisiensi air, dengan mengurangi kehilangan air. Penerapan irigasi hemat air. Peningkatan tingkat layanan irigasi. Kelima upaya tersebut merupakan sebagian proses modernisasi irigasi. Namun upaya modernisasi irigasi masih menhadapi beberapa tantangan.

56 5.1. Pengembangan Irigasi Dalam pengembangan irigasi, yang diartikan pembangunan baru atau peningkatan (upgrading), perlu dilakukan penyesuaian terkait dengan modernisasi: Pengembangan irigasi langsung modernisasi: dalam pengembangan ini seluruh kegiatan dilakukan dalam rangka memenuhi kegiatan modernisasi irigasi. Hal ini tentunya semua kriteria modernisasi yang tertuang dalam 5 pilar modernisasi irigasi diusahakan terpenuhi secara optimum, agar setidaknya terpenuhi tingkat layanan irigasi modern minimal (level of service). Pengembangan irigasi dalam tahap persiapan modernisasi: dalam pengembangan ini kegiatan dilakukan dalam rangka memenuhi sebagian kegiatan modernisasi irigasi. Hal ini tentunya kriteria modernisasi yang tertuang dalam 5 pilar modernisasi irigasi hanya bisa terpenuhi sebagian. Kelak saat sumber daya tersedia dan kondisi telah memungkinkan dapat ditingkatkan menjadi modernisasi irigasi. Pengembangan irigasi secara konvensional: dalam pengembangan ini kegiatan dilakukan dalam rangka memenuhi sistem irigasi konvensional. Hal ini tentunya tidak perlu dikaitkan dengan kriteria modernisasi yang tertuang dalam 5 pilar modernisasi irigasi. Keadaan ini diterapkan mengingat daerah irigasi tersebut tidak layak diterapkan modernisasi irigasi, yang disebabkan antara lain: skala terlalu kecil, sumber air yang terbatas, SDM tidak memadai. 5.2. Pengelolaan Irigasi Keadaan irigasi di Indonesia yang rusak seluas 3,81 juta Ha memerlukan kegiatan rehabilitasi dengan kecepatan yang tinggi agar kondisi dan fungsi irigasi segera pulih seperti semula. Tetapi modernisasi memerlukan pembenahan yang cermat, meliputi institusi, SDM, sistem manajemen, dan infrastruktur. Penyempurnaan dalam modernisasi perlu waktu yang lama, sehingga tidak bisa mengimbangi kecepatan rehabilitasi.

Untuk itu dalam rehabilitasi perlu dilakukan penyesuaian terkait dengan program modernisasi, yaitu: Rehabilitasi langsung modernisasi Rehabilitasi dalam tahap persiapan modernisasi Rehabilitasi secara konvensional Dalam pengelolaan irigasi yang diartikan kegiatan OP dan rehabilitasi, akan menghadapi tantangan dalam menerapkan modernisasi irigasi. Tantangan dalam kegiatan OP irigasi: Kemauan pimpinan dan petugas OP melakukan perubahan dalam mengelola irigasi Perubahan mindset petugas OP dalam melayani keinginan petani Konsistensi petugas OP dalam menerapkan sistem modernisasi Kelengkapan fasilitas dan peralatan dalam mengelola irigasi modern. 57 5.3. Sistem Pembiayaan Seperti dijelaskan di atas sasaran akhir dari modernisasi irigasi adalah efisiensi air bertambah, produktifitas air irigasi naik, dan tingkat layanan irigasi makin baik. Kegiatan ini dapat dicapai tentunya dengan biaya investasi dan pengelolaan yang semakin besar. Hal ini menjadi tantangan bagi pihak eksekutif (dalam hal ini menteri, gubernur, dan bupati/walikota) dan legislatif (DPR dan DPRD) apakah mempunyai komitmen politis dalam menyediakan biaya modernisasi. Tantangan dalam sistem pembiayaan modernisasi irigasi adalah: Kemampuan dan kemauan membiayai dalam menambah pasokan air dengan membangun tampungan air atau waduk. Kemampuan dan kemauan membiayai investasi dalam telemetri, komputerisasi, dan elektromekanisasi atau otomatisasi. Kemampuan dan kemauan membiayai investisasi prasarana, fasilitas dan peralatan modernisasi irigasi. Kemampuan dan kemauan membiayai pemberdayaan petugas OP, berupa pelatihan, pendampingan, dan sertifikasi. Kemampuan dan kemauan membiayai perbaikan sistem penggajian.

58 Kemampuan dan kemauan membiayai pemberian insentif kepada petugas OP dan petani. 5.4. Kelembagaan Modernisasi irigasi adalah sistem pengelolaan yang berorientasi pada tingkat layanan irigasi yang dilaksanakan secara efektif dan efisien. Hal ini akan terlaksana kalau didukung institusi yang kuat, mantap, dan koordinatif. Tantangan kelembagaan dalam modernisasi irigasi diperlukannya kelembagaan pengelola irigasi yang mantap seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.1. KELEMBAGAAN IRIGASI Menteri Gubernur Bupati REGULATOR Walikota DEVELOPER Badan- Pelaksana- Proyek- Pembangunan UNIT DI PJT II OPERATOR KOORDINATOR ( Komisi irigasi) USER USER: Petani Perkotaan Energi Industri Perkebun Gambar 5.1 Kelembagaan irigasi Regulator: Diperlukan institusi pembuat regulasi yang kuat dan konsisten dalam modernisasi irigasi. Institusi sekaligus berfungsi pengawasan dan pembinaan. Institusi regulator irigasi mengikuti peraturan perundangan yang berlaku. Koordinator: Diperlukan badan koordinasi yang bisa mengkoordinir seluruh stakeholder irigasi dalam menjalankan modernisasi irigasi. Institusi ini berupa komisi irigasi, yang dalam pelaksanaan modernisasi irigasi perlu berkoordinasi lebih intensip. Developer: Modernisasi irigasi memerlukan penyempurnaan fisik secara bertahap dan periodik, sehingga untuk menangani ini diperlukan unit pelaksana penyempurnaan prasarana irigasi. Institusi ini bisa oleh BWS, BBWS, SKPD dan UPT daerah.

59 Operator: untuk melaksanakan sistem modernisasi perlu unit pelayanan yang tersendiri, yang khusus melayani pengelolaan irigasi dalam daerah irigasi. Struktur organisasi ini perlu di set up sehingga fungsi komando sejak dari bangunan utama sampai pintu sadap tersier dan saluran pembuangan terintegrasi dalam pemberian pelayanan irigasi kepada petani. User: Institusi pemanfaat air (P3A) harus makin diperkuat, mengingat blok tersier yang menjadi tanggung jawab P3A akan juga akan mengikuti modernisasi. Perkuatan P3A, akan diteruskan sampai GP3A dan IP3A karena periode operasi pintu mengarah ke harian (real time basis). 5.5. Partisipasi Masyarakat Semangat partisipasi dalam PP 20 tentang irigasi adalah pemberdayaan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pengambilan keputusan bersama antara pemerintah dan petani. Sehingga peran petani dalam berpartisipasi harus semakin ditingkatkan. Apalagi cakupan modernisasi akan sampai tingkat tersier, di mana P3A harus semakin aktif dalam pengelolaan irigasi ini.

60 BAB 6 KONSEP MODERNISASI IRIGASI DI INDONESIA 6.1. Pengembangan Konsep dan Takrif Modernisasi Irigasi 6.1.1. Arti dan makna kata modernisasi Dari pustaka yang ada, terdapat banyak sekali definisi tentang kata modernisasi. Modernisasi berasal dari kata modern yang berarti maju, modernity atau modernitas. Kata ini dapat diartikan sebagai nilai-nilai (fisik, material, dan sosial) yang mempunyai keberlakuan dalam aspek ruang dan waktu, serta kelompok sosial yang lebih luas atau universal. Konsep modern ini lazim dipertentangkan dengan tradisi, berarti nilai-nilai yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma yang keberlakuannya tergantung kepada ruang atau tempat, waktu, dan kelompok atau masyarakat tertentu. Nilai tradisi mempunyai keberlakuan terbatas, tidak bersifat universal7. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa kata modernisasi bermakna sebagai suatu proses perubahan dari sesuatu yang dianggap kuno menjadi sesuatu yang baru dan dapat bertahan pada masa akan datang lebih baik. Modernisasi berkonotasi pada kekinian dan terjadinya proses perubahan dipicu oleh beberapa kebutuhan untuk berubah, yaitu: (i) adanya peningkatan status maupun peningkatan mutu kehidupan, (ii) adanya teori/ konsep/ paradigma atau teknologi baru, (iii) adanya perubahan lingkungan baik ekologis maupun strategis, atau (iv) perubahan status finansial. Kadangkadang keempat sebab itu terjadi bersamaan, misalnya munculnya suatu fenomena empiris akan memunculkan dibutuhkan paradigma baru untuk menjalani suatu kehidupan. Proses modernisasi memunculkan nilai-nilai baru yang berlaku di masyarakat. Fenomena terjadinya proses modernisasi itu juga berlaku untuk perubahan yang terjadi pada sistem irigasi. 7 http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2172089-pengertianmodernisasi/#ixzz1f73weeof

61 6.1.2. Pengembangan konsep modernisasi irigasi Pada hakekatnya sistem irigasi akan terdiri atas lima unsur, yaitu (i) teknologi, (ii) institusi, (iii) aturan hukum, (iv) ekonomi dan soslal, serta (v) lingkungan (Burton,2010). Unsur teknologi dalam PP 20/2006 dirinci lebih jauh menjadi unsur penyediaan air, prasarana, dan pengelolaan iriagsi, sehingga dalam PP 20/2006, disebutkan bahwa kelima unsur tersebut merupakan lima pilar irigasi,yaitu (i) penyediaan air,(ii), prasarana,(iii) pengelolaan irigasi, (iv) institusi, (v) dan manusia. Dalam pemahaman tentang modernisasi irigasi kelima unsur tersebut juga telah mengalami proses perubahan secara bersamaan dan bermakna kekinian. Di Indonesia, sebagian besar sistem irigasi kita dibangun pada masa kolonial dan direhabilitasi pada dekade 1960 an 1980 an. Oleh sebab itu sebagian dari sistem irigasi tersebut telah habis umur teknis atau umur layanannya dan perlu dipikirkan bentuk pembangunannya kembali. Sudah barang tentu persyaratan teknis dan lingkungan strategis saat ini telah berubah sama sekali dengan lingkungan strategis semula. Mengembalikan bentuk rancang bangun dengan rehabilitasi sesuai dengan rancang bangun semula kadangkadang sudah tidak memungkinkan lagi karena semua lingkungan strategis maupun ekologis sistem irigasi sudah berubah. Diperlukan kriteria rancang bangun baru agar sistem irigasi tersebut dapat berfungsi secara sepadan bersesuaian dengan lingkungannya pada masa kini. Pada masa lalu paradigma pembangunan dan pengelolaan irigasi yang dipakai lebih memfokuskan pada pembangunan prasarana. Persoalanpersoalan manusia dan kemanusiaan yang sebenarnya menjadi inti dari pembangunan dan pengelolaan irigasi sangat diabaikan karena dianggap tidak penting. Pengabaian terhadap masalah ini menjadikan timbulnya permasalahan berkepanjangan dalam sistem pengelolaan irigasi; beberapa di antaranya adalah (i) terjadinya ketidak sepadanan perancangan dan pembangunaan sistem irigasi, (ii) pengabaian terhadap sistem OP, sehingga timbul suatu paradok OP dan tidak adanya budaya pemeliharaan sistem irigasi yang telah dibangun, (iii) timbulnya kesenjangan pengetahuan antara staf pengelolaan irigasi pemerintah dengan petani, menyebabkan timbulnya budaya kekerasan dalam pelaksanaan OP, tidak adanya rasa memiliki dan rasa tanggung jawab serta yang terpenting (iv) tidak tercapainya kesejahteraan petani seperti yang dicita-citakan sebelumnya.

62 Selama kurun waktu 50 tahun itu juga terjadi kenaikan penduduk yang pesat sehingga meningkatkan pula kebutuhan sumberdaya termasuk air dan lahan. Ketersediaan air untuk irigasi juga semakin lama semakin berkurang dan karena harus bersaing dengan pemakaian lain. Kebutuhan untuk air minum, energi dan kesehatan dan industri juga meningkat dengan pesat. Di sisi lain telah terjadi kerusakan lingkungan yang parah karena eksploitasi sumberdaya alam yang cukup serius di banyak tempat. Keadaan ini menyebabkan sistem irigasi harus dikelola secara efisien dan efektif. Teknologi irigasi hemat air menjadi pilihan dalam pengelolaan irigasi modern. Persaingan penggunaan sumberdaya air dan lahan juga telah memicu suatu kebutuhan untuk merubah manajemen irigasi berbasis pasok menjadi manajemen berbasis permintaan. Manajemen air berbasis permintaan tidak dapat lagi memakai asumsi manajemen tunak. Di satu pihak untuk sistem pertanian berbasis padi maka pasok air irigasi dilakukan secara tunak (steady state). Dalam pelaksanaannya pemberian air irigasi akan dilakukan dalam suatu kurun waktu tertentu. Oleh sebab itu pelaksanaan pemberian air irigasi berbasis manajemen tak tunak membutuhkan pengembangan teknologi dan manajerial yang baru. Infrastruktur dan sistem manajemen irigasi berbasis tak tunak seharusnya mulai dikembangkan. Perubahan karakteristik dari manajemen irigasi berbasis penggerak pasok menjadi penggerak permintaan membutuhkan infrastruktur irigasi yang mampu untuk menyediakan air irigasi secara lebih akurat dan dapat mengakomodasi permintaan layanan petani yang beragam. Pengembangan teknologi infrastruktur irigasi di Indonesia berlangsung lambat sejak diketemukannya pintu-pintu ukur Romijn yang dirancang pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Meskipun ada penemuan baru yang memperkaya pengembangan irigasi di Indonesia. Hampiran pembangunan yang dulunya berfokus pada pembangunan prasarana telah berubah menjadi pembangunan yang memfokuskan pada manusia dan kemanusiaan. Salah satu hal yang ditekankan pada hampiran ini adalah pelaksanaan partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya air termasuk irigasi. UU no 7/2004 dan PP no 20/2006 telah menyatakan untuk melakukan hampiran partisipasi dalam pelaksanaannya. Pengelolaan irigasi modern juga harus dilakukan oleh manusia modern. Oleh sebab itu diperlukan suatu hampiran baru yang mengadopsi pemikiran untuk

dapat menganggap manusia yang utuh yaitu manusia yang mempunyai kecerdasan (human capital). Sebagai manusia yang utuh maka dia akan dapat mengembangkan seluruh pengetahuan dan kemampuannya sebagai suatu hasil proses belajar. Modal manusia (human capital) menganggap manusia sebagai makhluk khalifah Allah di muka bumi yang mempunyai kecerdasan intelektual, emosional dan sosial-spritual secara utuh. Dengan apa yang dimilikinya maka manusia akan dapat mengembangkan kecerdasan dan pengetahuannya untuk berkreasi dan berinovasi. Pengembangan human capital menuntut pengembangan manusia agar dapat mencapai fitrahnya sebagai pemberi makna, sebagai sumber pengungkit dan penghela organisasi untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua pihak. (Tjakraatmadja, 2006). Pelaksanaan hampiran human capital memfokuskan untuk membangun suatu organisasi pembelajar dengan mengedepankan hampiran pengembangan modal manusia sebagai bagian dari modal kecerdasan (intelectual capital) yang dimilikinya. Menurut Alex Inkeles dalam Anonim (2010), ciri-ciri manusia modern adalah sebagai berikut: Memiliki sikap hidup untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka untuk perubahan. Memiliki keberanian untuk menyatakan pendapat atau opini mengenai lingkungannya sendiri atau kejadian yang terjadi jauh di luar lingkungannya serta dapat bersikap demokratis. Menghargai waktu dan lebih banyak beorientasi ke masa depan daripada masa lalu. Memiliki perencanaan dan pengorganisasian. Percaya diri dan perhitungan Hemat Taat hukum Berwawasan lingkungan Menghargai harkat hidup manusia lain. Percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Menjunjung tinggi suatu sikap di mana imbalan yang diterima seseorang haruslah sesuai dengan prestasinya dalam masyarakat 8. 8 http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/05/modernisasi/ 63

64 Pada masa mendatang tantangan global yang dihadapi oleh para pelaku irigasi akan lebih berat. Terjadinya perubahan klimat yang dirasakan semakin kuat, adanya krisis pangan dan energi akan sangat mempengaruhi pengelolaan irigasi masa depan. Meskipun demkian pengelolaan irigasi juga menjadi tumpuan harapan untuk menyelesaikan masalah. Oleh sebab itu pengelolaan irigasi masa depan akan bersifat lentur, dan itu hanya dapat dilakukan dengan menggunakan sistem teknologi informasi dan komunikasi yang maju. Sejak ahkir dekade 1990 an paradigma irigasi secara global telah berubah dari manajemen berfokus pada masalah produksi pangan dan bersifat protektif menjadi manajemen provisi yang memfokuskan pada bentuk pelayanan pada pengguna. Perbedaan nyata antara kedua bentuk manajemen irigasi itu adalah bahwa tujuan majanemen diset besama antara pelaku manajemen sedangkan pada sistem manajemen produksi protektif tujuan manajemen diset oleh pelaksana manajemen. Pada sistem manajemen gabungan antara pemerintah dan petani biasanya tujuan manajemen ditentukan oleh pemerintah tanpa pelibatkan petani. Tabel 6.1 menyajikan perbedaan antara karakteristik sistem irigasi protektif dengan sistem irigasi produktif. Tabel 6.1 Perbedaan karakteristik irigasi produktif protektif dengan irigasi provisi (Pusposutardjo, 1999) No Deskriptor Tipe pengelolaan sistem irigasi pembeda Irigasi protektif Irigasi provisi 1 Obyektif Menyelamatkan tanaman dari kekurangan air karena penyimpangan cuaca Optimum kecukupan air untuk budidaya tanaman 2 Azas manajemen Pemerataan perolehan air di Nilai produktifitas lahan yang irigasi seluruh petak yang dilayani memperoleh layanan air irigasi 3 Tanaman yang dibudidayakan Tanaman pangan sebagai bagian dari subsistence farming Tanaman niaga yang dibutuhkan pasar 4 Orientasi produksi Kepastian usaha tani Produksi optimal dengan keuntungan finansial 5 Status air Air sebagai masukan penyelamat produksi yang disediakan Air sebagai modal usaha tani dan sarana produksi lain 6 Sistem manajemen yang dikehendaki Penyebaran air di seluruh petak layanan Pemberian air dengan produktivitas usaha tani secara optimal

No Deskriptor Tipe pengelolaan sistem irigasi pembeda Irigasi protektif Irigasi provisi 7 Jaringan irigasi Sistem irigasi yang baik Sistem penyediaan, distribusi dan kontrol pemakaian air untuk kekurangan dan kelebihan air Berdasarkan pemikiran di atas maka karakteristik pengelolaan iirigasi modern dapat disusun dan di sajikan seperti terlihat pada Kotak 6.1. Dari Kotak 6.1 dapat diketahui perubahan karakteristik irigasi dari paradigma lama ke paradigma baru. Perubahan karakteristik ini menyiratkan adanya suatu sistem irigasi yang dapat menunjang usaha agribisnis untuk menjamin adanya perluasan kesempatan kerja dan kemandirian secara sosial-ekonomi organisasi pengelolanya. 6.1.3. Takrif modernisasi irigasi dan strategi pelaksanaan Telah diketahui pada beberapa bab sebelummya bahwa beberapa negara di dunia telah melakukan proses modernisasi sejak beberapa tahun lampau. Dari sebuah lokakarya yang diadakan FAO pada tahun 1995 diperoleh suatu takrif yang telah dituliskan pada Bab Tiga. Kita tuliskan kembali takrif tersebut sebagai berikut: Kotak 6.1 CIRI-CIRI PENGELOLAAN IRIGASI MODERN Dari perubahan lingkungan ekologis dan strategis maka dapat dijabarkan ciri-ciri pengelolaan irigasi modern sebagai berikut: esifien dan efektif lentur berbasis waktu nyata memfokuskan pada pelayanan pada pengguna berdasarkan aras layanan (level of service, LOS) yang disepakati berbasis pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (termasuk pengembangan human capital dan sistem teknologi komunikasi dan informasi)...suatu proses peningkatan aspek teknikal dan manajerial sistem irigasi yang digabungkan dengan pembaharuan institusional (jika dibutuhkan) dengan obyektif untuk pemanfaatan sumberdaya (tenaga kerja, air, ekonomi dan lingkungan) serta mengalirkan air irigasi sebagai bentuk layanan pada petani. 65

66 Takrif lain tentang modernisasi irigasi diberikan oleh ICID sebagai berikut: The process of improving an existing project to meet the new criteria. It includes changes to the existing facilities operational procedures, management, and institutional aspects. These changes are designed to enhance the economic and social benefits of the project. Unlike rehabilitation, modernization is not renovation of the project features in need of rrepair (ICID) Kedua takrif tersebut menekankan bahwa upaya modernisasi irigasi merupakan suatu proses perubahan tidak hanya menyangkut peningkatan kinerja prasarana tetapi kinerja manajemen dan institusi. Selain itu modernisasi mempunyai tujuan pelayanan pada petani dan adanya peningkatan keuntungan ekonomi dan sosial. Adanya kata new criteria dalam takrif ICID menunjukkan bahwa saat ini dibutuhkan kriteria baru dalam pelaksanaan pengelolaan irigasi karena adanya perubahan lingkungan ekologis dan strategis yang telah terjadi saat ini. Telah diketahui bersama bahwa di Indonesia telah dipunyai PP no 20/2006 tentang irigasi sebagai aturan hukum yang dipakai sebagai landasan semua kegiatan dan upaya pembangunan dan pengelolaan irigasi, termasuk modernisasi irigasi. Dengan mengacu pada PP no 20/2006 tersebut serta kedua takrif yang telah disepakati masyarakat global maka dapat usulkan sebuah takrif tentang modernisasi irigasi di Indonesia sebagai berikut: Upaya mewujudkan sistem pengelolaan irigasi partisipasi secara efektif, efisien, berkelanjutan dalam rangka mendukung ketahanan pangan dan air melalui upaya peningkatan penyediaan air, prasarana, pengelolaan irigasi, institusi pengelola dan manusia pelaku pengelolaan irigasi. Dengan memahami adanya takrif tentang modernisasi irigasi di Indonesia maka perlu untuk dilakukan penetapan strategi pelaksanaan kedepan. 6.1.4. Penetapan strategi pelaksanaan Tujuan pengelolaan irigasi seperti yang dinyatakan dalam PP no 20/2006 adalah tercapainya ketahanan pangan dan kesejahteraan petani dan keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan irigasi seperti yang dicitacitakan akan dapat tercapai dengan pengembangan VISI pengelolaan irigasi modern di masa depan sebagai berikut:

Terwujudnya sistem irigasi yang berkelanjutan, efektif, dan efisien berbasis pada kemanusiaan untuk kesejahteraan masyarakat Visi ini akan dapat tercapai apabila kesepadanan lima pilar irigasi dapat dilakukan. Proses pencapaian bentuk kesepadanan tersebut menjadi MISI pengelolaan irigasi dengan modernisasi secara terinci misi tersebut akan dapat disebutkan sebagai berikut: (i) melakukan upaya peningkatan keandalan penyediaan air irigasi yang terukur sesuai dengan kebutuhan petani baik jumlah,waktu maupun mutunya; (ii) perbaikan sarana dan prasarana irigasi secara berkelanjutan, efektif dan efisien sesuai dengan kearifan lokal dan kebutuhan pengelolaan irigasi sebagai satu kesatuan pengembangan wilayah sungai; (iii) menyempurnakan sistem pengelolaan irigasi berbasis gerak permintaan (demand driven) untuk memenuhi kebutuhan petani sesuai dengan jumlah,waktu dan mutu, dan dilakukan secara partisipatif; (iv) melakukan penguatan institusi pengelolaan irigasi sebagai organisasi pembelajar, (v) memberdayakan SDM pengelola irigasi sebagai modal manusia (human capital) sehingga dapat menciptakan manusia yang utuh, sehingga dapat mengembangkan seluruh pengetahuan dan kemampuannya sebagai suatu hasil proses belajar. 67 Dengan hampiran sistem proses kesepadanan maka kelima pilar irigasi itu akan dapat dinyatakan menjadi tiga ranah pengembangan modernisasi irigasi secara berkelanjutan, yaitu (i) pengembangan institusi dan manusia, (ii), pengembangan teknologi serta (iii) pembiayaan pengelolaan irigasi. Sebagai sebuah sistem maka bentuk kesepadanan tersebut harus dilakukan oleh manusia pelaku dengan pola pikir sebagai manusia modern dan berkesimbangan dengan lingkungannya, baik ekologis maupun strategis. Gambar 6.1 menyajikan konsep pelaksanaan strategi modernisasi irigasi.

68 Gambar 6.1 Sistem proses penetapan strategi modernisasi irigasi dalam tiga ranah pengembangan berkelanjutan Untuk memperoleh hasil pelaksaaan yang sepadan maka dipilih strategi pelaksanan bertahap sesuai dengan kemampuan sistem serta persyaratan pendukungnya. Kesiapan itu dinyatakan dengan analisis Indeks Kesiapan Modernisasi Irigasi (IKMI). 6.2. Pelaksanaan 6.2.1. Study modernisasi Sebelum menerapkan modernisasi irigasi perlu dilakukan penjajagan terlebih dahulu, untuk dapat mengetahui gambaran awal kinerja sistem irigasi melalui studi modernisasi irigasi berupa apraisal singkat (Rapid Appraisal Prosedure- RAP). Kegiatan RAP meliputi antara lain: Studi ketersediaan air, kebutuhan air, neraca air yang ada, serta penjajagan kemungkinan tambahan pasokan air berupa pembangunan waduk atau embung. Studi kinerja sarana prasarana irigasi, menyangkut kondisi dan fungsi serta rekomendasi penyempurnaan dalam rangka modernisasi: elektromekanikal dan otomatisasi kalau perlu. Termasuk dalam studi ini adalah fasilitas OP: kantor, rumah petugas OP, jalan inspeksi dan usaha tani, trasportasi, komunikasi, dan peralatan OP.

Studi tentang sistem pengelolaan irigasi ada, mengkaji tingkat layanan irigasi, mengkaji kelemahan dan hambatan dalam pengelolaan irigasi serta rekomendasi perbaikannya menyangkut pencatatan data, sistem telemetri, komputerisasi, transfer perintah operasi pintu dan elektromekanikal/ otomatisasi. Studi tentang keadaan institusi yang ada, mengkaji kelemahan dan hambatan, merekomendasikan perkuatan institusi yang dilakukan dalam rangka modernisasi. Termasuk dalam studi ini adalah sistem pembiayaan dan peraturan perundangan. Studi tentang sumber daya manusia yang ada: kualitas, kuantitas, status, jabatan, kompetensi. Kajian permasalahan dan hambatan dalam SDM serta rekomendasi pemberdayaannya. Studi tentang kinerja sistem irigasi: luas lahan terairi, luas panen, intensitas tanam, pola tanam dan tata tanam, produktifitas tanaman. Melaksanakan pengelolaan aset manajemen (PAI). 69 Sesuai dengan prinsip irigasi partisipatif, dalam kegiatan ini perlu dilakukan pertemuan konsultasi masyarakat (PKM) I dengan para pemanfaat air irigasi, dan PKM II dengan aparat pemerintah. Sebagian data dalam studi ini dipakai untuk perhitungan indeks kesiapan modernisasi irigasi, yang dianalisa dalam sub-bab berikut ini. 6.2.2. Indeks Kesiapan Modernisasi Sebagian irigasi di Indonesia dalam keadaan rusak yang kondisi dan fungsinya tidak memadai untuk masuk dalam modernisasi, karena kinerja irigasi sistem yang terlalu rendah. Penerapan modernisasi dalam daerah irigasi seperti ini akan memerlukan biaya yang mahal dan tidak efisien. Bagi daerah yang kinerjanya baik bisa langsung diterapkan modernisasi, bagi yang kinerja kurang perlu melewati masa perbaikan sebagai tahap persiapan modernisasi. Untuk itu setiap daerah irigasi yang akan diterapkan modernisasi harus disaring dulu dengan menganalisa IKMI. Cara menganalisa IKMI seperti tertuang dalam lampiran 2.

70 Hasil dari IKMI kesiapan daerah irigasi dapat dikategorikan dalam 3 bagian: Nilai >80 predikat memadai: modernisasi bisa langsung diterapkan Nilai 50 sampai 80 predikat cukup: modernisasi ditunda, dilakukan penyempurnaan sistem irigasi 1-2 tahun Nilai <50 predikat kurang: modernisasi ditunda, dilakukan penyempurnaan sistem irigasi 2-4 tahun Nilai kurang 30 predikat sangat kurang: modernisasi tidak perlu dilakukan pada daerah tersebut, atau dilakukan penyempurnaan yang fundamental. 6.2.3. Perencanaan modernisasi Setelah studi dan RAP dilakukan, serta nilai IKMI memungkinkan untuk dilakukan modernisasi kegiatan selanjutnya adalah perencanaan modernisasi. Titik berat kegiatan ini adalah membuat perencanaan modernisasi lebih detail hasil kajian dalam studi modernisasi sebelumnya: Analisa detail ketersediaan air, kebutuhan air dan neraca air yang diperlukan saat modernisasi, serta kalau diperlukan tambahan pasokan air merencanakan tampungan air berupa pembangunan waduk, embung, pompa, dan tampungan saluran (long storage). Merencanakan penyempurnaan prasarana irigasi, menyangkut bangunan utama, saluran bangunan primer dan sekunder, saluran dan bangunan tersier, saluran dan bangunan pembuang dan fasilitas lainnya. Penyempurnaan pintu air dalam rangka modernisasi: elektromekanikal dan otomatisasi kalau perlu. Merencanakan fasilitas dan kelengkapan OP irigasi: rumah pengamat dan juru, kantor dan gudang, jalan inspeksi dan usaha tani, sistem komunikasi, fasilitas transportasi, peralatan OP, fasilitas keselamatan kerja. Disamping itu juga harus direncanakan perbaikan tersier dalam rangka modernisasi. Merencanakan penyempurnaan sistem pengelolaan irigasi ada, meliputi sistem telemetri, sistem komputerisasi, dan elektromekanikal/otomatisasi. Dilengkapi penyempurnaan sistem OP irigasi, utamanya dengan operasi harian (real time operation basis). Sebagai sasaran antara dapat dilakukan operasi 3 atau 7 harian dulu. Hal ini dilakukan untuk memenuhi tingkat layanan irigasi yang direncanakan dan dalam rangka pengelolaan irigasi berorientasi layanan (Service oriented managemen SOM).

71 Disamping itu harus direncanakan partisipasi petani di tingkat tersier. Merencanakan institusi yang akan mengelola irigasi modern setempat, meliputi struktur organisasi, tupoksi, sistem koordinasi. Merencanakan pembentukan atau perkuatan institusi yang diperlukan: komisi irigasi, forum daerah irigasi, dinas yang membidangi irigasi, dan IP3A, GP3A serta P3A. Termasuk dalam perencanaan ini adalah sistem pembiayaan dan peraturan perundangan. Merencanakan kebutuhan sumber daya manusia yang akan menangani modernisasi irigasi, menyangkut: kualitas, kuantitas, dan kompetensi. Merencanakan kegiatan pemberdayaan yang diperlukan: pelatihan, sertifikasi kompetensi dan pendampingan. Menetapkan tingkat layanan (level of service) minimal, yang diakses lewat konsultasi publik. Melakukan studi AMDAL. Sesuai dengan prinsip irigasi partisipatif, dalam kegiatan ini perlu dilakukan pertemuan konsultasi masyarakat (PKM) I dengan para pemanfaat air irigasi, dan PKM II dengan aparat pemerintah. 6.2.4. Pelaksanaan pengembangan modernisasi Tahap pelaksanaan pengembangan modernisasi irigasi dimaksudkan kegiatan merealisasikan semua aspek yang telah direncanakan, termasuk kegiatan fisik dan non fisik. Sebaiknya tahap pengembangan ini dilakukan jangan terlalu lama, yaitu antara 1 sampai 3 tahun. Bagi daerah irigasi yang IKMI tinggi mungkin dapat selesai 1 tahun, namun bagi daerah yang IKMI rendah dapat sampai 3 tahun. Yang terpenting terpenuhi syarat minimal modernisasi irigasi, seperti tertuang dalam tingkat layanan (LOS) minimal tertuang dalam Tabel 9.1 Setelah itu penyempurnaan modernisasi dapat dilkakukan sambil jalan. Sebagai tahap akhir dilakukan uji pengaliran, untuk mendapat kepastian bahwa: air mengalir lancar sampai ke sawah paling ujung, pintu dan alat ukur bisa beroperasi normal, saluran dan bangunan berfungsi baik, sistem telemetri dan komputerisasi dapat dioperasikan. 6.2.5. Persiapan Operasi dan Pemeliharaan (PROM) Sebelum daerah irigasi masuk dalam tahap pengelolaan, perlu dilakukan kegiatan PROM. Maksud kegiatan ini adalah agar proses penyerahan antara pelaksana kepada pengelola irigasi berjalan dengan baik, sehingga pengelola bisa menjalankan tugasnya dengan segala alat bantu yang ada.

72 Untuk itu dalam PROM terdapat beberapa barang dan dokumen yang harus dicek: Gambar peta irigasi Gambar skema irigasi Gambar skema bangunan irigasi Gambar purna laksana (as built drawing) Sistem telemetri dan komputerisasi Manual OP Struktur organisasi Daftar falisitas dan perlengkapan OP Daftar pegawai dan petugas OP Daftar P3A yang terkait Selain itu juga harus dicek bersama: Kepastian bahwa sistem berjalan baik Kepastian bahwa petugas dapat mengelola sistem Kepastian bahwa P3A dapat berpartisipasi dalam modernisasi di tingkat tersier. Kepastian air sampai ke sawah 6.2.6. Pengelolaan irigasi modern Sesuai dengan definisi modernisasi irigasi, bahwa modernisasi irigasi bukan tujuan akhir. Tapi suatu proses penyempurnaan sistem irigasi yang harus dilakukan terus menerus yang berorientasi pada pelayanan para pemanfaat air. Untuk itu masuk tahapan pengelolaan artinya melaksanakan modernisasi sesuai rencana, sekaligus melakukan monitoring terus menerus sebagai masukan untuk penyempurnaan sistem irigasi. Bagan alir tentang modernisasi seperti terlihat dalam lampiran 1.

73 BAB 7 PENYEDIAAN AIR 7.1. Sistem Penyediaan Air Penyediaan air irigasi di Indonesia ada 2 (dua) sistem; sistem pertama berdasarkan ketersediaan air secara alami (river runoff), sistem kedua dipilih bila sistem pertama tidak cocok lagi atau gagal untuk penyediaan air, karena tidak stabil, dan tidak andal yaitu sistem penyimpanan air dengan waduk/ bendungan (air saat kelebihan disimpan digunakan saat kekurangan). Tabel 7.1 Sistem Penyediaan Air Irigasi Sistem penyediaan air irigasi Ketersediaan Stabilitas Keandalan Dengan Bendung peninggi air River runoff; tergantung fluktuasi debit sungai Tidak stabil karena tergantung musim, perubahan daya resap air pada basin sungai (nilai KRS cenderung memburuk), dan perubahan iklim global Tergantung besarnya debit yang tersedia dari sungai yang berasal dari luas basin penangkapan air atau tangkapan air sungai Dengan Tampungan waduk Dapat diatur sesuai volume waduk Stabil karena air kelebihan dapat disimpan di waduk, dikeluarkan saat diperlukan. Waduk berfungsi sebagai pengganti ketidakmampuan basin menyimpan air. Lebih andal, karena dapat diatur sesuai volume waduk Sistem penyediaan air irigasi saat ini dari aliran sungai (river run off) yaitu aliran alam yang berfluktuasi, telah terjadi perbedaan debit maksimum dan debit minimum yang sangat besar. Bahkan ada sungai pada musim hujan terjadi debit banjir semakin besar dan di musim kemarau hampir tidak ada airnya atau air sungai mengering. Akibatnya sistem penyediaan air irigasi akan sangat terganggu, musim tanam kedua gagal total. Pembangunan Irigasi di Indonesia menurut catatan terakhir Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum, sawah beririgasi seluas 7,2 juta ha. Dari luas tersebut hanya sekitar 10% yang airnya dari waduk/bendungan; selainnya air bersumber dari bendung peninggi air, pengambilan bebas (free intake), atau pompa.

74 Masalah yang dihadapi oleh banyak daerah irigasi adalah sistem penyediaan air yang tergantung pada aliran alamiah sungai (river runoff) telah menimbulkan ketersediaan air yang sulit diperkirakan sebelumnya sehingga tidak tepat waktu dan tidak tepat volume. Pada sungai-sungai tertentu sistem tersebut tidak layak lagi dipertahankan, maka perlu ditingkatkan dengan membangun bendungan penampung air di hulu, atau dibangun waduk tunggu sekitar daerah irigasi, dan atau pemanfaatan tinggi jagaan saluran sebagai long storage. Sistem penyediaan air yang mengandalkan aliran sungai terganggu oleh karena daya simpan air di daerah basin sungai atau daerah tangkapan sungai sudah banyak berubah akibat penutup lahan banyak yang terbuka atau vegetasi hutan berkurang akibat tekanan pertumbuhan penduduk. Disamping itu tata ruang yang banyak diabaikan akibat kepentingan sesaat. Sehingga aliran dasar (base flow) sungai menjadi semakin kecil pada musim kering. Keadaan ini diperparah dengan adanya pengaruh perubahan iklim global. Dalam konsep modernisasi irigasi sistem penyediaan air harus menghasilkan air yang stabil dan tidak terganggu, atau selalu dapat dipenuhi tepat waktu, tepat volume sesuai dengan luas tanam yang direncanakan. Untuk memilih sistem penyediaan air yang stabil, perlu dilakukan usahausaha meliputi: 1) Memeriksa sistem penyediaan yang ada apakah masih layak dipertahankan, memeriksa fluktuasi dan kecenderungan debit maksimum dan minimumnya setiap tahun dan kecenderungan ketersediaan volume air setiap tahun. Debit maksimum dan minimum dapat menentukan besaran Koefisien Regim Sungai (KRS), KRS yang semakin membesar mencirikan daya resap daerah tangkapan air semakin menurun atau hutan semakin berkurang. Sedangkan kecenderungan ketersediaan volume air setahun yang menurun dapat mencirikan sungai bersangkutan semakin tidak mampu menyediakan air untuk irigasi; 2) Bila memang tidak stabil, sistem penyediaan yang ada harus dirubah dengan cara yang lain (sistem bank air atau waduk tahunan). Prinsip waduk tahunan menambah pasokan air dengan cara menyimpan air kelebihan dan menggunakannya saat kekurangan yaitu membangun

75 prasarana tampungan air seperti; waduk di daerah hulu, embung-embung dalam daerah irigasi (waduk tunggu) bila secara topografi memungkinkan, atau long storage dengan memanfaatkan tinggi jagaan saluran primer dan sekunder. 7.2. Ketersediaan Ketersediaan air irigasi didasarkan atas perhitungan debit andalan, yaitu debit yang secara statistik kemungkinan terpenuhinya 80%. Perhitungan debit andalan ini didasarkan atas data debit sungai minimal 20 tahun sebelum pembangunan irigasi. Pengalaman selama ini nilai debit andalan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya data aliran sungai setelah pembangunan irigasi. Hal ini bisa terjadi karena penurunan fungsi daerah aliran sungai akibat perubahan vegetasi dan tekanan penduduk. Selain daripada itu penurunan fungsi daerah aliran sungai juga menyebabkan membesarnya puncak banjir pada musim hujan, dan kekeringan pada musim kemarau. Akibatnya akan didapatkan sawah gagal panen karena terkena banjir dan puso karena kekurangan air. Akibat dari pemanasan global dan perubahan iklim telah mengubah perkiraan rencana penyediaan air sepanjang tahun pada daerah-daerah irigasi yang telah dibangun pada waktu sebelumnya. Konsep modernisasi mengharapkan ketersediaan air tidak boleh terjadi penurunan yang signifikan. Sehingga Indeks Pertanaman padi dapat dicapai 160 sampai 200%, dan palawija 50%. Alasannya supaya irigasi efektif dan efisien. Untuk mengatasi masalah penyediaan air perlu ada usaha penyadaran manusia terhadap lingkungan atau Manusia sadar lingkungan dan usaha secara struktural dan non struktural: 1) Proses perubahan modernisasi dimulai dari pengembangan konsep harmonisasi pengelolaan wilayah sungai hulu-hilir; 2) Usaha nonstruktural yang dapat mempertahankan daya resap daerah tangkapan tidak banyak berubah seperti: konservasi daerah hulu, penanaman hutan kembali, pembuatan check dam, embung-embung kecil di anak-anak sungai, pemanfaatan lahan miring secara terasering dalam daerah tangkapan;

76 3) Menambah pasokan air dengan membangun prasarana seperti membangun tampungan air seperti; waduk, embung, tampungan saluran (long storage) dengan memanfaatkan tinggi jagaan saluran primer dan sekunder. 4) Konsisten dalam implementasi tata ruang; 5) Melakukan evaluasi/review debit andalan 80% (bila sudah pernah dihitung) guna mengecek karakteristik DAS. 7.3. Stabilitas Penyediaan Stabilitas penyediaan air yang dimaksudkan adalah perubahan debit setiap waktu tidak terlalu besar bedaanya atau tidak sering terjadi kekurangan air pada waktu yang sama setiap tahun. Saat ini telah dirasakan banyak daerah irigasi ketersediaan airnya tidak stabil karena tergantung aliran sungai yang dihasilkan dari daerah tangkapan yang sudah banyak terganggu (tutupan lahan berkurang) akibat tidak konsistennya implementasi tata ruang. Dalam konsep modernisasi penyediaan air harus stabil, maka kepastian ketersedian air di sungai saat ini perlu dikaji ulang. Apakah river run off yang ada sekarang masih bisa dipertahankan atau telah menjadi salah satu permasalahan dalam menjamin kestabilan penyediaan air irigasi. Usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk membuat kestabilan penyediaan sama seperti mengatasi masalah penyediaan air paragraf 7.1. 7.4. Keandalan Keandalan air irigasi saat ini sering tidak tercukupi dibanding dengan perhitungan debit andalan yang sudah diperkirakan sebelumnya, sehingga banyak ditemui tahun-tahun tanam yang kekurangan air. Konsep modernisasi mengharapkan keandalan ketersediaan air irigasi lebih mantap tidak sering terjadi kekurangan. Usaha-usaha konsep harmonisasi hulu-hilir dalam hal konservasi perlu dilakukan dengan aturan yang jelas dan tegas, termasuk ketaatan dalam implementasi tata ruang. Usaha-usaha yang perlu dilakukan membuat keandalan sama seperti mengatasi masalah penyediaan air dan kestabilan penyediaan.

77 Daerah irigasi yang akan di modernisasi harus diperiksa terlebih dahulu tentang ketersediaan, kestabilan, dan keandalan airnya. Cara evaluasi sistem penyediaan dan keandalan air irigasi yang berasal dari aliran alam atau river runoff adalah: 1) Periksa atau hitung debit andalan berdasar seri data sebelum pembangunan irigasi (Data A). Bandingkan debit andalan ini (Q80%-A) dengan kurva aliran tahunan dari saat pembangunan sampai dengan sekarang. 2) Hitung debit andalan berdasarkan seri data sebelum pembangunan sampai dengan sekarang (Data B). Sebut debit ini Q80%-B. 3) Bandingkan Q80%-A dengan Q80%-B: Jika Q80%-A Q80%-B maka sistem irigasi dapat dipertahankan. Jika Q80%-A > Q80%-B maka keandalan air irigasi harus ditingkatkan dengan membangun tampungan air, waduk, embung, tampungan saluran (long storage) atau perbaikan vegetatif DAS hulu. 7.5. Kehilangan Kehilangan air irigasi mulai dari pintu pengambilan (intake) sampai ke sawah saat ini diperkirakan sekitar 40 50%. Dibandingkan dengan besarnya air untuk konsumsi tanaman (consumptive use) kehilangan air ini relatif besar. Besaran angka ini dipakai pada hampir di seluruh daerah irigasi sejak perencanaan sampai dengan saat pengoperasiannya. Dalam pelaksanaan operasi jarang sekali dilakukan pengecekan besarnya kehilangan air, demikian juga jarang sekali dilakukan upaya fisik dan manajemen air guna mengurangi kehilangan air ini. Sehingga efektifitas dan efisiensi sistem irigasi tidak dapat diketahui secara pasti. Dalam modernisasi irigasi kehilangan air aktual harus diketahui dengan cara melakukan pemeriksaan minimal satu tahun sekali dengan alternatif sebagai berikut: 1) Metode penggenangan (imponding): metode ini biasa dilakukan menjelang pengeringan saluran yang setiap ruas saluran digenangi selama 24 jam dengan menutup pintu hulu dan pintu hilir. Pengamatan

78 dilakukan dengan mengukur perubahan kedalaman air sejak awal dan akhir selama penggenangan. Volume kehilangan air akibat dari penguapan dan bocoran saluran. Akumulasi kehilangan air dari semua ruas saluran merupakan kehilangan air dalam sistem. 2) Metode pemasukan (inflow) dan pengeluaran (outflow): metode ini dapat dilakukan kapan saja pada setiap ruas saluran dimana alat ukur pemasukan dan pengeluaran telah dilakukan kalibrasi dengan Current Meter. Debit diamati setiap waktu tertentu dalam periode yang ditetapkan (misal 1 jam), setelah tercapai pengaliran tunak (steady flow). Volume pengamatan adalah perkalian antara debit rata-rata dengan periode waktu tersebut. Selisih volume air antara pemasukan dan pengeluaran merupakan volume air yang hilang pada ruas saluran. Akumulasi kehilangan air dari semua ruas saluran merupakan kehilangan air dalam sistem. Modernisasi irigasi mengharapkan kehilangan air sekitar 20%, dengan cara mengamati sebab-sebab kehilangan dan lokasi kebocoran hasil pemeriksaan tersebut, sekaligus mencari jalan keluar perbaikan fisik jaringan maupun penyempurnaan manajemen air. 7.6. Hak Guna Air Pengaturan air secara konstitusional diatur didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang berbunyi bumi, air dan segala isinya dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan pasal 28h ayat (1) yang berbunyi Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selain Undang-Undang Dasar ada juga tentang pemenuhan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat memang diamanatkan dalam UU 7/2004 tentang sumber daya air merupakan prioritas utama. Berdasarkan kepada dua hal tersebut, yaitu: pertama, kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi akses terhadap air, dan kedua, karakter/sifat air yang khusus, maka menjadi keniscayaan bagi negara untuk pengaturan yang tujuannya agar hak asasi manusia tersebut dapat dihormati, dilindungi dan dipenuhi.

79 Menurut PP No. 20 tahun 2006, tentang irigasi pasal 31 menyatakan bahwa: 1) Hak guna air untuk irigasi berupa hak guna pakai untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi; 2) Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan untuk pertanian rakyat; 3) Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan untuk keperluan pengusahaan di bidang pertanian. Jadi hak guna air untuk irigasi jelas dan tegas dalam ketentuan yang ada di negara. Kebutuhan sehari-hari dan pertanian harus diutamakan dan dipenuhi oleh negara. Dalam modernisasi irigasi hak guna air irigasi harus diberikan kepada kelompok tani untuk kelangsungan pengelolaan sistem irigasi. Hal ini dilakukan agar kelompok tani mendapat jaminan bahwa air irigasi tidak terdesak keberadaannya oleh pengguna air lainya yang perioritasnya lebih rendah.

80 BAB 8 PRASARANA IRIGASI 8.1. Saluran 8.1.1. Kondisi saluran Saat ini kondisi saluran irigasi sebagian besar rusak hampir sekitar 80%, pada bagian tertentu tebing saluran longsor, tertimbun oleh sedimen lumpur dan sampah serta semak-semak rerumputan hingga mengeras karena sudah lama tidak dibersihkan/digali, sehingga kemampuan membawa air berkurang. Bila diliwatkan debit sebesar yang semestinya akan timbul luapan yang dapat membahayakan tanggul saluran pada timbunan. Permasalahan saluran irigasi di samping sudah lama digunakan juga ketidakcukupan dana pemeliharaan. Akibatnya usaha yang terencana untuk mengembalikanya pada fungsi semula tidak dapat terlaksana. Umumnya perubahan bentuk saluran pada saat ini diakibatkan oleh; 1) Saluran berubah luas basahnya, misal membesar karena ada tebing saluran yang longsor/tergerus, tertimbun sedimen dan lain sebagainya; 2) Interaksi manusia dan hewan di sepanjang saluran, misal: pengambilan air ilegal, tempat turun minum dan mandi ternak yang tidak semestinya, jembatan penyeberangan dan tangga cuci dibuat masyarakat tidak sesuai kaidah hidraulik aliran; 3) Tumbuhan pohon atau semak-semak pada dinding saluran. Dalam modernisasi irigasi semua kerusakan dan kekurangan tersebut perlu diatasi dengan pemeliharaan yang terencana baik perencanaan dan pendanaannya. Disamping itu perlu upaya-upaya agar kerusakan saluran seminimal mungkin, dengan menciptakan metode struktur konstruksi yang dapat menjadikan umur layanan lebih lama, yang akhirnya dapat memperkecil biaya operasi dan pemeliharaan. Untuk mencapai maksud dan tujuan modernisasi tersebut maka pada saluran perlu dilakukan usaha antara lain: 1) Pengurangan kebocoran; perlu ada usaha mengatasinya antara lain seperti lining permukaan saluran;

2) Stabilitas lereng; lereng saluran longsor menimbun kaki lereng sehingga bentuk trapesium saluran berubah; untuk hal ini perlu usaha yang dapat mengurangi kelongsoran lereng diantaranya diproteksi dengan lining; 3) Proteksi permukaan tanah: permukaan tanah saluran yang mudah tererosi oleh aliran air atau air hujan perlu diproteksi dengan lining saluran. 4) Pengamanan; saluran harus punya ruang yang tidak dapat dipengaruhi oleh aktifitas luar, maka sempadan saluran perlu penertiban. Maksud dan tujuannya adalah agar penyaluran air irigasi sesuai waktu dan kuantitasnya, kehilangan air dapat diminimalkan serta biaya operasi dan pemeliharaan berkurang. 8.1.2. Normalisasi saluran irigasi dan linning Normalisasi saluran irigasi pada prinsipnya adalah mengembalikan saluran kepada bentuk yang sesuai desain semula, dengan maksud bisa mengalirkan air sesuai dengan kebutuhan air maksimum yang dirancanakan. Saluran irigasi dibedakan menurut fungsi dan besarannya meliputi tingkatan (primer, sekuder, tersier, kuarter dan saluran drainase) ada lagi pecahan dari kuarter disebut saluran cacing. Kegiatan normalisasi saluran yang sekaligus diperkuat dengan lining beton harus disesuaikan dengan ukuran saluran. Normalisasi sering terlambat dilakukan, sehingga kapasitas saluran jauh berkurang dibanding dengan dengan kapasitas semula. Dalam modernisasi irigasi bila kapasitas saluran sudah berkurang atau melebihi maksimal 15%, saluran harus dinormalisir. Selama ini pekerjaan lining saluran dilakukan pada kondisi sebagai berikut: 1) Melewati daerah yang lolos air; 2) Pada tikungan yang tajam; 3) Melewati daerah pemukiman; 4) Mengatasi erosi lereng saluran akibat aliran air atau air hujan; 5) Mengatasi tanaman liar. Dengan persyaratan tersebut pelaksanaan lining saluran disaring secara ketat, sehingga menyebabkan kehilangan air disepanjang saluran relatif lebih besar. Dalam modernisasi irigasi diharapkan lining saluran lebih ditolerir agak longgar agar kehilangan air irigasi dapat ditekan sampai 20%. Khususnya didaerah lolos air sebaiknya lining saluran dapat diterapkan penuh, kiri kanan dan dasar saluran. 81

82 Selain daripada itu perlu diterapkan jenis lining baru berupa lapisan kedap air (membran) dari geotextile atau plastik, disamping tiga jenis lining yang sudah berjalan pada irigasi konvensional, yaitu beton, pasangan batu kali, dan tanah liat. 8.1.3 Irigasi pipa Penyaluran air irigasi dengan sistem pipa saat ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Pada masa mendatang karena lahan semakin sempit dan air harus dimanfaakan sehemat mungkin hal itu perlu dipikirkan dalam cita-cita modernisasi irigasi. Kendala-kendala pemanfaatan pipa sebagai pengantar air; adalah karena tidak ada tekanan yang cukup dalam pipa. Sehingga air bergerak lambat dan sedimentasi susah terangkat dari dalam pipa, akibatnya pipa mudah rusak/ lapuk. Untuk daerah irigasi didataran tinggi dan tersedia tekanan yang cukup dari bentuk topografi, atau dataran rendah yang memungkinkan dibuat menara penampung air untuk menciptakan tekanan tinggi, penggunaan pipa sebagai pengantar air ke daerah irigasi bisa dilakukan. Daerah dataran tinggi umumnya sungai-sungai yang ada kecil dan lahan yang dapat dijadikan irigasi juga tidak luas, sehingga keperluan debit air juga kecil. Maka sistem irigasi pipa cukup efektif dan efisien untuk dilakukan. Untuk daerah irigasi di dataran rendah perlu perhitungan yang matang tentang keekonomisan pemanfaatan sistem irigasi pipa. Pertimbangan dilakukan dengan tinjauan: harga tanah/lahan, biaya pengadaan pompa termasuk OP-nya, biaya jaringan pipa dan pembangunan menara, hasil yang akan didapat, dan manajemen irigasi. 8.1.4. Patok kilometer, hektometer dan sempadan Pada saat ini patok kilometer, hektometer dan sempadan hampir tidak ada ditemukan pada daerah irigasi. Akibatnya identifikasi lokasi saluran terkait dengan OP menjadi lebih sulit. Disamping itu sering terjadi penyerobotan lahan milik pengairan.

83 Dalam modernisasi diharapkan sepanjang saluran harus dipasang patok kilometer, hektometer dan sempadan yang berguna sebagai petunjuk lokasi untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan serta untuk mengetahui batas daerah kepemilikan dalam rangka pengamanan aset irigasi. 8.1.5. Sipatan penampang (lining guidance) Kondisi saluran tanah mudah berubah bentuk dari trapesium berubah menjadi bentuk lengkung yang tidak teratur. Kaki lereng saluran tertimbun akibat bagian dinding saluran atas longsor ke dasar saluran, sehingga bentuk aslinya hilang. Akibat dari kejadian ini sulitnya mengidentifikasi penampang saluran yang akan dinormalisir. Dalam modernisasi irigasi, untuk saluran primer yang besar atau lebar yang belum diperkuat atau dilining, diberi sipatan penampang (lining guidance). Sebagai maal (pertanda bentuk saluran) yang dibuat pada jarak tertentu terbuat dari beton dengan tulangan praktis. Sipatan penampang ini dipasang melintang saluran (sepanjang lereng kirikanan dan dasar saluran) tebal 20 cm, lebar sekitar 1,0 m, dibuat setiap jarak 25,00-100,00 m. Dengan adanya sipatan penampang ini diharapkan dapat menjadikan pedoman saat operasi dan pemeliharaan serta normalisasi saluran. 8.2. Pengendalian sedimen Kondisi saat di saluran irigasi banyak sedimen pasir halus dan lumpur mengendap, hingga sampai mengurangi luas tampang basah saluran yang diperlukan. Bahkan sedimen dari saluran hanyut sampai ke sawah sehingga menambah tinggi permukaan tanah sawah. Kontong lumpur di lokasi bendung yang sudah dibangun dengan biaya mahal tidak diopersikan secara teratur sesuai petunjuk manual OP; sehingga hasilnya kurang efektif. Kinerja dan desain kantong lumpur ini tidak pernah dievaluasi, apakah berfungsi dengan baik atau tidak. Masalahnya bukan karena konsep dan desain yang kurang baik, tetapi pada pemanfaatan serta pengoperasian yang belum dilakukan secara benar. Sosialisasi dan pelatihan kepada petugas masih kurang, sehingga petugas tidak memahami manfaatnya.

84 Dalam modernisasi irigasi masalah lumpur diusahakan jangan terlalu banyak sampai ke dalam saluran, apalagi sampai ke lahan sawah. Hal ini akan dapat menjadikan sawah lebih tinggi dari muka air di saluran tersier. Maka perlu dibuat konsep yang baru untuk cara mengatasinya. Seperti; membuat kantong lumpur yang efektif di belakang intake dan bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder) untuk menangkap sekaligus membuang lumpur di saluran. 8.2.1. Konsep pengendalian sedimen Konsep pengendalian sedimen yang baru didasarkan pengalaman sebelumnya. Kantong lumpur saat yang lalu dan sampai sekarang dibangun untuk menangkap sedimen >0.074 mm. Akibatnya dimensi kantong lumpur lebih panjang dan memerlukan tinggi tekanan (head) yang besar pada waktu pengurasan. Gaya seret (tractive force) pada saluran ke arah hilir harus selalu lebih besar atau samat n t n 1 dengan maksud agar tidak terjadi pengendapan di saluran. Akibatnya kemiringan saluran relatif lebih besar ke arah hilir. Sedimen yang tidak tertangkap pada kantong lumpur masuk ke sawah petani. Akibatnya elevasi sawah petani makin naik. Saat ini tidak ada petunjuk OP tata cara pengendalian sedimen, maka perlu dibuatkan pentunjuk dan pelatihan petugas dalam pengoperasiannya. Pada modernisasi irigas kantong lumpur yang baru akan dibangun untuk menangkap sedimen >0.088 mm, agar dimensi kantong lumpur lebih pendek dan memerlukan tinggi tekanan (head) yang relatif kecil pada waktu pengurasan. Gaya seret (tractive force) pada saluran ke arah hilir tidak harus selalu lebih besar atau sama ( t n t n 1) dengan maksud agar di beberapa tempat sengaja sedimen diendapkan kemudian dikuras keluar saluran meliwati bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder) melintang saluran; yang dipilih pada saluran yang memotong alur alam (natural stream). Dengan demikian sedimen yang tidak tertangkap pada kantong lumpur dan tidak dapat dikeluarkan oleh sedimen excluder di saluran akan masuk ke sawah petani dalam jumlah yang lebih kecil, sehingga tidak berdampak negatif.

85 Sasaran konsep modernisasi sistem pengendali sedimen: 1) Lebih murah, 2) mudah dioperasikan, 3) pro lingkungan, 4) lentur (flexible) Penyesuaian kantong lumpur dan perubahan konsep gaya seret (tractive force) di saluran dapat dilakukan pada saat rehabilitasi irigasi dengan tetap memperhatikan justifikasi sosial, ekonomi dan teknis. 8.2.2. Pengendalian lumpur di saluran Untuk sungai-sungai yang banyak membawa lumpur dan pasir, saluran induk dilengkapi dengan bangunan penangkap lumpur/kantong lumpur sebagai pengendali sedimen masuk ke saluran irigasi. Bangunan pengendali sedimen dibangun setelah pintu intake, tetapi bila masih dimungkinkan ada sedimen yang masuk ke saluran irigasi dan akan mengendap, maka sesuai dengan konsep yang tertuang butir 8.2.1, pada lokasi-lokasi tertentu di saluran induk dan atau di sekunder dibangun sediment excluder. Bangunan sediment excluder dibangun pada saluran irigasi yang memenuhi persyaratan seperti; pada lokasi tersebut terdapat alur alam (natural stream) yang berdekatan untuk pengeluran lumpur yang sudah tertangkap di saluran. 8.2.3. Bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder) Dalam modernisasi irigasi kedepan bangunan pengeluar sedimen dari saluran irigasi dapat direncanakan dalam 2 (dua) tipe, yaitu: 1) Tipe tabung pusaran (Vortex Tube); tabung dibangun melintang dasar saluran tegak lurus atau miring ke arah saluran, dengan bagian atas terbuka untuk masuk lumpur dan tertahan dalam tabung. Sedimen yang tertahan dalam tabung dibuang ke arah samping saluran dan masuk/ dibuang ke alur alam. Pada bagian pengeluaran (outlet) harus dilengkapi pintu.

86 2) Type terowongan penyaring sedimen (Tunnel Sediment Excluder); sama juga dengan tipe diatas dibangun melintang dasar saluran dengan bagian atas terbuka bentuknya persegi panjang, dibuat lebih lebar sehingga lebih banyak menangkap sedimen. Sedimen yang tertahan dalam trowongan persegi panjang di buang ke arah samping saluran dan masuk/dibuang ke alur alam. Gambar 8.1 Bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder) type tabung pusaran

87 Gambar 8.2 Bangunan pengeluar sedimen (sediment excluder) type terowongan (type saluran pembilas bawah) 8.2.4. Bangunan Penangkap Sampah Pada saluran irigasi yang meliwati daerah pemukiman saat ini sering ditemui banyak terdapat sampah-sampah mengapung seperti plastik, hanyutan bekas-bekas pembersihan saluran; rerumputan dan tumbuhan air lainnya yang dapat menumpuk pada bangunan-bangunan irigasi. Dalam modernisasi irigasi sampah-sampah ini harus segera diangkat dan ditumpuk pada bangunan pengumpul sampah. Agar sampah-sampah tersebut dapat tertahan, pada saluran perlu pada setiap jarak 2 km dibuat saringan sampah (sebaiknya digabungkan dengan bangunan yang sudah ada seperti bangunan bagi dan atau jembatan penyebrangan). Untuk pengolahan sampah yang sudah ditumpuk, dibangun bangunan penumpuk sampah disebelah luar tanggul saluran berdekatan dengan saringan penangkap dan selanjutnya diolah menjadi kompos. 8.3. Bangunan Bagi Bangunan bagi adalah bangunan pada saluran irigasi primer dan sekunder yang fungsinya membagi dan mengukur (ke tingkat saluran di bawahnya). Pada bangunan tersebut umumnya terdapat pintu sorong dan kadang terdapat

88 skot balok sebagai pengatur muka air, serta pintu ukur untuk mengukur air keluar dari bangunan bagi tersebut ke sekunder dan atau ke tersier. Kondisi saat ini bangunan bagi pada daerah irigasi sebagian besar pintupintu rusak, karena pemeliharaan yang tidak kontinu akibat kekurangan dana. Kondisi yang diharapkan pada modernisasi irigasi penuh adalah semua kekurangan pada bangunan bagi perlu diatasi, maka bila perlu modifikasi bangunan bagi lengkap dengan pintu-pintu dan alat ukur serta kelengkapanya. Maksud dan tujuan dari perbaikan atau modifikasi, serta pelengkapan kekurangan-kekurangan di bangunan bagi adalah untuk mengoptimalkan fungsinya sebagai pengatur muka air dan pembagi air, agar supaya pengelolaan irigasi efektif dan efisien. Pada paragraf berikut ini akan dijelaskan beberapa sistem yang ada pada bangunan bagi tentang tipe pengaturan muka air dan pengukuran aliran. 8.3.1. Tipe diatur Muka air dan aliran air di bangunan bagi mengunakan tipe diatur yaitu menggunakan 3 jenis prasarana pengatur, yaitu: pintu pengatur muka air, pintu bagi, dan bangunan pengukur debit. Masalah yang dihadapi selama ini pada bangunan bagi prasarana pengatur tidak terpelihara dengan baik. Dana pemeliharaan kurang sehingga pintupintu rusak dan bagian dari bangunan hilang dicuri orang. Kelemahan tipe ini adalah: Kalau kekurangan tenaga penjaga pintu air dan posisi bangunan jauh terpencil, maka akan mengakibatkan fungsi pengaturan hilang. Kalau pintu hilang atau macet dan tidak ada penggantian atau perbaikan, maka fungsi pengaturan hilang. Dalam modernisasi irigasi bangunan bagi tipe diatur harus dijamin keamanan bangunan dari pencurian dan kelancaran fungsi bangunan serta dijamin keberadaan petugas dalam pengoperasian bangunan bagi.

89 8.3.2. Tipe tidak diatur Tipe tidak diatur atau proporsional di Indonesia belum banyak digunakan, air yang ada di bangunan bagi dibiarkan keluar sesuai dengan lebar bukaan bangunan. Sarana pengatur di bangunan bagi ini dengan membuat bukaan secara proporsional, tanpa dilengkapi dengan pintu bagi, pintu pengatur dan bangunan pengukur debit. Agar pembagian dapat proporsional bangunan bagi ini disyaratkan: 1) Elevasi ambang ke segala arah sama tinggi; 2) Bentuk ambang ke segala arah sama; 3) Lebar bukaan proporsional dengan luas layanan. Pada modernisasi irigasi bangunan bagi tipe tidak diatur ini tidak dapat diterapkan, karena tidak bisa membagi air sesuai dengan kebutuhan akibat dari sistem golongan dan giliran. 8.3.3. Tipe kombinasi Tipe kombinasi pada bangunan bagi dimaksudkan adalah kombinasi antara tipe proporsional dan tipe diatur. Artinya terdapat tiga jenis prasarana pengatur yaitu pintu pengatur muka air, pintu bagi, dan bangunan pengukur debit ditambah 3 syarat proporsional: elevasi sama, bentuk ambang sama, lebar bukaan sebanding dengan luasan. Tipe ini bisa dilihat dalam Gambar 8.3. Gambar 8.3 Tata letak bangunan bagi sadap bentuk numbak

90 Dalam modernisasi irigasi bangunan bagi tipe kombinasi ini akan diterapkan atau akan dipakai sebagai alternatif tipe diatur. Keuntungan dari sistem ini adalah dapat mengatasi pembagian air secara proporsional sementara pada saat terjadi kemacetan pintu, pencurian pintu atau absennya penjaga pintu air. Disamping itu tipe ini mengeliminir ketidakadilan pembagian air akibat efek kecepatan datang yang tidak merata. Dalam tipe ini semua jurusan air mendapat efek kecepatan datang yang sama, seperti halnya tipe Numbak yang telah diterapkan Subak di Pulau Bali. 8.3.4. Sanggar tani Perlengkapan pada bangunan bagi seperti; Sanggar tani, yang merupakan tempat berkumpulnya petani dan petugas pengairan. Gunanya untuk tempat membicarakan segala sesuatu tentang permasalahan pengairan dan pertanian. Saat ini sebagian ada tapi sudah rusak, bahkan ada juga belum pernah dibangun seharusnya pada lokasi itu perlu ada. Permasalahan yang dihadapi antara lain kurangnya perhatian dalam hal komunikasi. Sehingga prasarana yang berkaitan dengan komunikasi seperti sanggar tani terlupakan pembangunannya. Kerusakan bagi sanggar tani yang sudah dibangun adalah akibat dana pembangunan dan pemeliharaan yang tidak mencukupi, dan walau ada dana terbatas lebih diprioritaskan untuk saluran dan bangunan. Pada modernisasi irigasi sangar tani dan kelengkapanya tersebut merupakan suatu keharusan perlu diadakan pada setiap bangunan bagi/bagi sadap. Sanggar tani ini adalah bangunan terbuka berkukuran 3 ~ 5 m x 3 ~ 5 m. Kelengkapan sangar tani antara lain; tempat duduk keliling dari pasangan batu kali, papan tulis untuk coret-coretan apa yang dibicarakan. Maksud dan tujuannya adalah disamping membuka komunikasi antar petani dan petugas irigasi dalam permasalahan yang dihadapinya, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan irigasi dapat dipecahkan. Komunikasi juga berguna untuk pengembangan, meningkatkan pemahaman, pengetahuan sumber daya manuasia dalam pengelolaan jaringan irigasi.

91 8.3.5. Papan operasi Papan operasi sebagian ada, tapi tidak kontinu diisi informasi, sepertinya tidak dianggap penting, bahkan cat dasarnya sudah pudar dimakan waktu, karena tidak ada pemeliharaan. Masalahnya pengertian petugas yang kurang dalam pengelolaan, menganggap tidak penting informasi tersebut. Petani juga tidak mau berpedoman pada informasi, lebih suka bicara langsung dengan petugas untuk memenuhi harapannya, artinya pengelolaan irigasi belum berjalan. Dalam modernisasi irigasi informasi penting, pengelolaan memerlukan pengertian bersama diantara berbagai pihak stakeholder. Maksud dan tujuannya adalah keterbukaan informasi, sehingga semua pihak belajar hidup dalam kelompok yang mementingkan saling pengertian dan keterbukaan yang jujur. Sehingga mengurangi silang sangketa antarstakeholder sumber daya air. 8.4. Pintu Bagi dan Pintu Pengatur pada Bangunan Bagi Tingkat Jaringan Utama Pada saat ini baik pintu bagi maupun pintu pengatur banyak mengalami kerusakan. Hal ini ditunjukkan adanya kemacetan pintu maupun korosi pada daun pintu. Keadaan ini diakibatkan oleh kurang memadainya kegiatan pemeliharaan maupun rehabilitasi pintu. Disamping itu secara hidraulik ditinjau dari fleksibilitas dan sensitivitas menunjukkan kinerja yang kurang memadai. Hal ini disebabkan karena sifat aliran yang berbeda (aliran atas dan aliran bawah) antara saluran menerus dan saluran cabang. Dalam modernisasi irigasi pintu bagi dan pintu pengatur didesain sedemikian rupa sehingga menghasilkan fleksibilitas dan sensitivitas yang memadai. Hal ini bisa dicapai dengan cara menciptakan kedua pintu tersebut mempunyai sifat aliran yang sama, yaitu aliran atas semuanya atau aliran bawah semuanya. 8.4.1. Skot balok Dilihat dari segi konstruksi, pengatur muka air tipe skot balok merupakan peralatan yang sederhana. Balok balok profil segi empat itu ditempatkan tegak lurus terhadap potongan segi empat saluran. Balok balok tersebut

92 disangga di dalam sponeng/alur, yang lebih besar 0,03 m sampai 0,05 m dari tebal balok balok itu sendiri. Skot balok hanya efektif dan efisien pada bangunan saluran irigasi, dengan lebar bukaan kurang dari 1,50 m. Skot balok sebagai pengatur peninggi air termasuk yang relatif baik dari segi hidraulik, karena sipat aliran yang melimpas di atas dapat mengontrol atau membatasi aliran air di hulu sampai batas elevasi skat balok, bila terjadi kelalaian dalam pengoperasianya. Kelemahan skot balok adalah: sukar pengoperasianya, karena berat, memerlukan waktu, perlu tenaga kerja yang banyak, perlu alat angkat manual yang dapat dibawa-bawa ke tempat yang memerlukan. Disamping itu kelemahan yang menyolok adalah kemampuan mengatur muka air secara bertahap (step wise) dan tidak dapat secara menerus (continous wise). Atas dasar pertimbangan tersebut beberapa skot balok diganti dengan pintu sorong. Dalam modernisasi irigasi dibatasi skat balok dengan bentang maksimum 1,5 m. Sebagai gantinya adalah pintu sorong yang digerakkan secara manual atau elektromekanik. 8.4.2. Pintu sorong Pintu sorong dipasang pada jaringan utama adalah sebagai pengganti skot balok karena kesulitan pemasangan dan pengangkatan yang sukar lagi berat dan memerlukan tenaga kerja yang banyak serta memerlukan alat angkat bergerak. Lebar standar pintu sorong atau untuk pintu pembilas bawah (undersluice) adalah 0,50 ; 0,75 ; 1,00 ; 1,25 dan 1,50 m. Kedua ukuran yang terakhir memerlukan dua stang pengangkat. Skot balok kenyataannya lebih baik dari pintu sorong dalam hal pengatur muka air, karena aliranya di atas, sehingga muka air tidak terlalu turun. Beda dengan pintu sorong yang aliran bawah, muka air akan banyak turun. Dalam modernisasi irigasi pintu sorong seperti ini masih diperlukan. 8.4.3. Pintu radial Bentuk khusus dari pintu sorong adalah pintu radial, digunakan untuk bukaan yang lebar, diperlukan karena ada maksud dapat membuka secara otomatis pada ketinggian air tertentu atau dapat dioperasikan secara elektromekanik sesuai dengan syarat pengoperasian terkait dengan elevasi muka air.

93 Pintu radial banyak digunakan pada bendung gerak di daerah dataran rendah. Pada tinggi muka air tertentu pintu membuka/dibuka, sehingga genangan akibat pembendungan tidak meluas lebih dari muka air batas yang diinginkan. Pada saluran induk irigasi yang besar dan saluran cukup lebar, menggunakan pintu radial dapat mengurangi beratnya tugas membuka dan menutup pintu. Kelemahan dari pintu ini adalah hanya dapat memfasilitasi pengurasan sedimen, tetapi tidak bisa menghanyutkan sampah dan benda terapung di depannya. Dalam modernisasi irigasi pintu radial harus dilengkapi dengan pintu ayun anakan (flap gate) yang dapat dioperasikan tersendiri untuk menghanyutkan sampah dan benda terapung tersebut. 8.4.4. Pintu kombinasi sorong dan mercu tetap Bentuk lain tipe kombinasi adalah gabungan ambal tetap dengan pintu sorong, tipe ini pengganti kesulitan bongkar pasang skot balok yang panjang dan berat sebagai pintu pengatur. Kombinasi Ambal tetap dan pintu sorong dapat berfungsi sebagai pengatur muka air yang baik. Perlu diteliti berapa tinggi dan bentuk yang tepat agar pengaturan muka air di bangunan bagi lebih efektif dan efisien. Bangunan bagi dengan pengatur muka air kombinasi pintu sorong dengan ambal tetap, dilengkapi juga lobang penguras agar air dan sedimen di hulu pintu tidak tertahan sampai mengeras (setiap saat dapat dibilas). Dalam modernisasi irigasi sebagai alternatif dapat dipakai pintu kombinasi ini. Alasannya mempunyai keistimewaan, yaitu dapat menguras sedimen dan dapat menghanyutkan sampah dan benda-benda terapung. Pintu kombinasi mercu yang telah distandarkan dalam kriteria perencanaan irigasi tahun 2011 masih dapat diterapkan dalam modernisasi.

94 Kombinasi Sorong dan Ambal Tetap Gambar 8.4 Kombinasi sorong dan ambal tetap Tabel 8.1 Kebaikan dan kekurangan pintu kombinasi dan skot balok Item Kombinasi sorong dan ambal tetap Skat balok Pengoperasian Mudah, ringan Sulit dan berat Penaikan muka air Dapat dilakukan sesuai yang Harus menyesuaikan dengan di-inginkan tinggi skat balok yang tersedia Ketahanan/umur layanan Tahan lama Mudah lapuk, tidak tahan lama Keperluan tenaga kerja Lebih sedikit Lebih banyak (bila manual) Alat penggerak Dapat dengan elektromekanikal Harus manual dengan bantuan alat pengangkat Sedimen disaluran Melalui lobang kecil kadang bisa tertahan harus diangkat Dapat mengalir ke hilir tanpa hambatan 8.4.5. Alat penggerak Alat penggerak pintu saat ini untuk pintu-pintu yang besar sebagian sudah menggunakan elektrik seperti di bendung untuk pintu-pintu banjir pada bendung gerak. Sedangkan untuk pintu pada intake masih secara manual baik pada bendung gerak maupun bendung tetap. Pada saluran primer dan sekunder alat penggerak pada umumnya manual/tenaga manusia. Daya elektrik untuk penggerak dibangkitkan oleh genset yang ditempatkan di sekitar lokasi bendung. Permasalahan yang dihadapi pada umumnya adalah biaya operasi dan pemeliharaan yang tidak mencukupi. Modernisasi irigasi mengharapkan semua pintu-pintu yang sukar dioperasikan secara manual karena berat dan memerlukan banyak tenaga manusia harus dengan alat penggerak elekromekanik. Tujuannya agar dapat dilakukan dengan cepat sehingga lebih efektif dan efisien dalam operasi jaringan irigasi.

95 8.4.5.1. Manual Sebagian besar pintu-pintu saat ini masih digerakkan secara manual seperti: pintu sorong, pintu ukur, skot balok. Masalah yang dihadapi penggerak secara manual adalah diperlukan banyak tenaga kerja dan memerlukan waktu yang lama untuk mengoperasikan. Modernisasi irigasi diusahakan untuk pintu-pintu pada saluran primer dan sekunder yang besar atau lebar, harus diganti dengan alat penggerak elektromekanikal. Toleransi pintu secara manual diberikan dalam kondisi sebagai berikut: 1) Lebar pintu kurang dari 80 cm; 2) Luas layanan kurang dari 2000 ha; 3) Terletak di daerah terpencil; 4) Tidak terdapat jaringan listrik 8.4.5.2. Elektromekanik Saat ini penggunaan alat penggerak dengan elektromekanik masih jarang dipakai. Sebagian daerah irigasi sudah menggunakan yaitu untuk buka tutup pintu-pintu pada bendung gerak. Eletromekanik adalah pengerak sistem ulir yang biasanya diputar dengan stank secara manual, sekarang pemutaran dilakukan dengan motor listrik. Masalahnya biaya untuk alat dan tenaga listrik sebagai penggerak. Banyak daerah irigasi jauh dari jalur jaringan listrik, maka dipakai generator set sehingga biaya jadi mahal. Pada modernisasi irigasi, tidak hanya pintu bedung tetapi juga bagi pintu-pintu di saluran yang besar dan berat bila dilakukan manual, harus digerakkan dengan sistem elektromekanik. Keharusan menggunakan penggerak elektromekanik terkait erat dengan toleransi pintu manual dalam butir 8.4.5.1. 8.4.5.3. Otomatisasi Otomatisasi untuk penggerak dimungkinkan untuk pintu-pintu banjir dan pintu peluapan pada saluran pembawa, bila muka air naik pada taraf tertentu pintu membuka, dan bila muka air turun pada taraf tertentu pintu menutup secara otomatis. Masalahnya tidak banyak digunakan otomatisasi, karena otomatisasi memerlukan pemeliharaan yang teratur, perlu bersih dari

96 gangguan kotoran dan sampah-sampah dan sedimen, sebab bila kurang pemeliharaan otomatisasi akan terganggu/macet dan rusak. Pada modernisasi irigasi pembukaan dan penutupan pintu secara otomatis akan dilakukan pada kondisi yang secara teknis dan hidraulik memungkinkan untuk dipasang, dengan maksud dan tujuan efektif dan efisien pengelolaan jaringan irigasi. 8.4.6. Bahan (baja, fiber, plat beton) Bahan pintu saat ini sebagian besar terbuat dari kayu, plat baja. Kelemahan dari bahan baja terjadinya korosi dan mudah dicuri orang, sedangkan kayu harganya makin mahal dan sulit didapatkan di pasaran. Permasalahan pokok bahan pintu adalah bagaimana mendapatkan bahan yang tidak menarik untuk dicuri. Balai Irigasi Puslitbang SDA telah melakukan penelitian bahan pintu dari fiber dan plat beton. Uji coba telah dilakukan di daerah irigasi di Kabupaten Garut untuk pintu-pintu ukuran kecil. Dalam modernisasi irigasi pintu irigasi dari bahan fiber dan pelat beton dapat dipakai disamping bahan baja dan kayu. 8.4.7. Atap pelindung pintu Pintu-pintu yang ada pada bangunan bagi/sadap saat ini sebagian besar tidak terlindung dari panas dan hujan. Akibat dari hal tersebut umur ekonomis atau ketahanan pintu dan perlengkapannya bisa menurun. Frekuensi pemeliharaan semakin singkat karena cat pintu cepat pudar dan rusak, gemuk untuk ulir cepat mengering kemampuan pelumasanya dapat menurun. Masalahnya selama ini, ada anggapan bahwa besi lebih tahan hujan dan panas, tapi kenyataannya tidak demikian, air yang masuk ke sela-sela kecil konstruksi pintu tidak mudah mengering secara alami, malah menimbulkan karat dan pelapukan besi. Kondisi modernisasi irigasi pintu-pintu harus dilindungi dari hujan dan panas dengan membangun atap pelindung pintu. Atap pelindung sebaiknya terbuat dari beton bertulang. Manfaat bangunan ini selain melindungi pintu dan perlengkapannya juga memberikan kenyamanan bekerja bagi penjaga pintu air.

97 atap bangunan pelindung motor listrik penggerak pintu Gambar 8.5 Sketsa salah satu potongan memanjang bangunan bagi/ sadap dengan bangunan pelindung pintu dan motor penggerak pintu 8.4.8. Pengamanan prasara jaringan irigasi Pengamanan dengan satpam hanya pada kantor-kantor juru dan jarang ada pengamanan untuk jaringan dan bangunan pintu dan alat ukur. Saat ini kurang diperhatikan untuk itu, sehingga pintu alat ukur mudah diubah-ubah dan dirusak oleh pihak-pihak yang memerlukan air, dicuri, akhirnya tidak lengkap, tidak bisa dioperasikan. Pada modernisasi irigasi pengamanan ini sangat penting untuk mencapai efektif dan efisiennya pengelolaan jaringan irigasi. Pada bangunan bagi/ sadap terdapat pintu sorong, alat ukur ke saluran sekunder dan alat ukur ke saluran tersier, semua pintu dan alat ukur ini harus dilindungi dan diberi kotak pengaman untuk peralatan penggeraknya. Maka alat penggerak pintu dikurung dalam kotak dari besi atau beton, agar aman dari pengrusakan dan pencurian. 8.5. Bangunan Ukur Debit Kondisi saat ini ada yang tidak sepantasnya seperti pintu sorong difungsikan sebagai pengganti alat ukur seperti pada intake bendung, padahal ada bangunan ukur setelah saluran penangkap lumpur tetapi tidak itu yang dibaca untuk pemantauan pemberian air irigasi. Kondisi bangunan ukur pada sebagian bangunan sadap baik di saluran induk dan sekunder serta ke arah saluran tersier sudah banyak rusak dan tidak segera diperbaiki dan sebagian tidak berfungsi, dan tidak pernah dikalibrasi.

98 Kendala dan permasalahan; diantaranya petugas tidak paham hakiki penggunaanya dan air dipandang masih tersedia banyak dan cukup, bila ada kerusakan tidak segera langsung ditangani perbaikanya, akhirnya karena air perlu disalurkan kepada petani pintu ukur dirusak dan diabaikan kegunaannya, dan ini berlangsung lama. Pada modernisasi semua kekurangan harus sudah dipenuhi dan kesulitan hambatan harus diatasi. Alat ukur dapat dipilih sesuai dengan kepantasan dan keperluan serta kecocokan dalam pemenuhan syarat hidraulik seperti; ambang lebar, Parshall Flume. Beberapa tempat tetap memakai Romijn, dan semua hasil pembacaan debit sudah harus menghasilkan akumulasi debit yang disalurkan (usahakan peningkatan alat ukur yang sudah ada). Pada pelaksanaan dapat dilakukan bertahap seperti sebagian alat ukur volumetrik pada saluran primer. Dan pada modernisasi penuh semua alat ukur volumetrik pada saluran primer dan sekunder. Maksud dan tujuannya adalah mencapai efektif dan efisiennya dalam pengelolaan jaringan irigasi. 8.5.1. Jenis bangunan ukur Beberapa dari bangunan pengukur dapat juga dipakai untuk mengatur aliran air. Berikut ini beberapa jenis bangunan ukur pernah digunakan di Indonesia. Bangunan ukur dapat dibedakan menjadi bangunan ukur aliran atas bebas (free overflow) dan bangunan ukur alirah bawah (underflow). Tabel 8.2 Tipe pintu ukur dan cara pengukurannya Tipe Mengukur dengan Mengatur Bangunan ukur Aliran Atas Tidak Ambang lebar Bangunan ukur Aliran atas tidak Parshall Bangunan ukur Aliran atas tidak Cipoletti Bangunan ukur Aliran bawah Ya Romijn Bangunan ukur Aliran bawah Ya Crump-de Gruyter Bangunan sadap Aliran bawah Ya Pipa sederhana Constant-Head Aliran bawah Ya Orifice (CHO) Cut Throat Flume Aliran atas tidak Sumber: KP irigasi.

Penempatan alat ukur umumnya pada jaringan irigasi adalah di saluran primer yaitu pada intake pemasukan air, di cabang saluran jaringan primer dan di bangunan sadap sekunder maupun tersier. 8.5.2. Kelebihan dan kekurangan Tipe bangunan ukur air dengan aliran atas, dapat digunakan sekalian untuk mengatur tinggi muka air. Dalam pengoperasiannya diperlukan pengaturan tinggi muka air di depan pintu ukur agar dapat meluap di atas meja alat ukur. Tipe alat ukur aliran atas tidak dapat menyalurkan air bila air di saluran relatif kecil/di bawah meja peluapan. Alat ukur tipe aliran atas ini rawan dengan tertahanannya sedimen di depan pintu ukur. Tipe bangunan ukur aliran bawah, tidak memerlukan pengaturan muka air, asal ada air di depannya bangunan ukur dapat berfungsi mengukur. Tipe pengukur aliran bawah dapat menyalurkan air pada debit saluran relatif kecil. 8.5.3. Sistem pengukuran volume air terakumulasi (menerus) Pada saat ini alat pengukuran air untuk kebutuhan irigasi tidak dapat mengetahui berapa meter kubik air diperlukan untuk menghasilkan per kilogram padi gabah kering giling. Padahal untuk menilai suatu kegiatan efektif dan efisien perlu data terukur, maka untuk itu diperlukan pengukuran volume air terakumulasi/menerus, sehingga setiap saat dapat diketahui berapa meter kubik air sudah dialirkan. Dengan adanya pengukuran menerus tersebut dapat dianalisis, kenapa dan apa sebabnya terjadi pemborosan air, dan apa usaha yang harus diperlukan agar pemakaian air lebih efektif dan efisien. Sistem pengukuran menerus adalah seperti meteran pada air minum PAM, air yang masuk ke irigasi diukur akumulasi volumenya, sekarang masih belum digunakan. Pada modernisasi irigasi cara pengukuran terakumulasi (menerus) ini akan diterapkan, sehingga dapat diketahui berapa meter kubik air yang diperlukan untuk menghasilkan tiap kilogram gabah kering giling atau kilogram beras. Prinsip pencatatan akumulasi volume air irigasi dapat diilustrasikan dalam skema Gambar 8.6, dengan uraian sebagai berikut: 1) Alat ukur debit terpasang diketahui rumus hubungan antara kedalaman air dan debit air (kedalaman air dapat dibaca dari elevasi muka air); 99

100 2) Muka air dicatat secara menerus oleh sensor yang dipasang di sekitar alat ukur debit; 3) Muka air yang dicatat tersebut diterjemahakan kedalam grafik debit yang diproses secara elekronik; 4) Akumulasi debit pada periode tertentu merupakan volume air yang mengalir pada periode yang sama. Skema Peningkatan Alat Ukur yang ada menjadi Alat ukur Volumetrik Alat ukur yang ada Peningkatan dengan Pembacaan muka air dan waktu menggunakan sensor elekrik (h, t) Perumusan debit Q = f(h) Akumulatif debit atau volume air V = f(q,t) Gambar 8.6 Sketsa peningkatan alat ukur yang ada menjadi alat ukur volumetrik 8.5.4. Tipe bangunan ukur Dethridge Meter (Australia) Bangunan ukur tipe Dethridge Meter dapat mengukur debit secara menerus. Prinsip pengukurannya adalah sudu-sudu berbentuk V dipasang pada sekeliling roda. Roda berputar akibat dorongan air dari elevasi yang tinggi ke elevasi yang rendah (arah aliran), satu kali roda berputar akan terangkut volume air sebanyak ruang antara sudu-sudu (sepanjang keliling roda). Banyak kali putaran roda menghasilkan volume air yang sudah dikeluarkan. Bangunan ukur ini belum dikenal di Indonesia, tetapi telah banyak digunakan di Australia. Diciptakan sekitar tahun 1910 oleh J.S Dethridge sebagai pegawai State River and Water Supply Commission, Victoria 9. Alat ini dipakai oleh Commission setelah ditest selama 3 tahun. Kesalahan alat ukur ini sekitar lebih kurang 3,5% untuk kondisi aliran jatuh bebas. Bangunan ukur tipe Dethridge Meter dapat dilihat pada Gambar 8.7 bentuknya seperti kincir air, dimana lingkaran kincir rapat dengan lantai (lantai mengikuti bentuk lengkung roda kincir). 9 Kraatz D.B; I.K Mahajan, 1975. Small Hydraulic Structures. FAO, Rome

101 Gambar 8.7 Bangunan ukur Dethridge Meter (pengukuran volume air menerus) 8.5.5. Bangunan ukur debit yang direkomendasikan Bangunan ukur seperti yang ada sebelumnya masih dapat digunakan, tetapi perlu modifikasi agar dapat mencatat volume akumulasi air yang telah diukur. Masalah saat ini tidak jelas apakah daerah irigasi tersebut sudah bisa hemat air atau belum, dan apa yang harus dilakukan tidak dapat diketahui, karena tidak ada evaluasi yang terukur, guna memperbaiki kinerja penyediaan air irigasi. Pada modernisasi irigasi bangunan ukur yang direkomendasikan adalah bangunan ukur yang dapat mengukur dan menghitung langsung volume air yang dilewatkan. Agar dapat dievaluasi penggunaan air setiap kilogram gabah kering giling atau kilogram beras. Alat ukur yang direkomendasikan adalah: 1) Semua alat ukur debit yang tertera dalam kriteria perencanaan irigasi dapat digunakan setelah dilengkapi dengan sensor muka air yang dapat menghitung akumulasi volume air irigasi secara elekronik. 2) Alat ukur Dethridge Meter yang dilengkapi dengan pencatatan yang dapat menghitung akumulasi volume air irigasi secara elekronik.

102 8.6. Jalan Inspeksi Saat ini sebagian besar jalan inspeksi rusak, berfungsi ganda sebagai jalan inspeksi dan jalan umum. Kondisi ini memang sulit diselesaikan terutama pada daerah irigasi di daerah baru berkembang, jalan umum tidak ada, satu-satunya hanya jalan inspeksi daerah irigasi. Bahkan ada saluran tidak dilengkapi dengan jalan inspeksi, sehingga menyulitkan operasi dan pemeliharaan serta transportasi hasil panen petani. Dalam modernisasi irigasi perlu ada aktivitas memberikan pengertian dan kesadaran melalui pertemuan dengan dengan pejabat setempat serta melakukan pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi dalam bidang keirigasian. Pemda setempat harus ditingkatkan kepeduliannya terhadap prasarana irigasi dan sumber daya air; khususnya fungsi dan keamanan jalan inspeksi. Jalan inspeksi dibangun sesuai dengan kriteria jalan yang dikeluarkan oleh Bina Marga dan penggunaan jalan inpeksi sesuai dengan kelas jalannya. 8.6.1. Perkerasan Dalam irgasi konvensional ada dua jenis perkerasan yang akan digunakan: 1) Permukaan kerikil yang dipadatkan setebal 15 cm; 2) Permukaan bitumen diletakkan pada base 15 cm dan subbase 15-40 cm; Jalan dengan perkerasan kerikil (jalan tahan cuaca) Penggunaan kerikil alamiah untuk perkerasan setebal 15 cm adalah suatu pemecahan yang paling murah. Bahannya harus sesuai dengan kriteria. Perkerasan dengan bitumen Jalan inspeksi yang lebih penting yang dilewati oleh cukup banyak kendaraan komersial dapat dibuat dengan lapisan subbase 15 40 cm, lapisan base 15 cm dan lapisan permukaan dengan bitumen. Kriteria perkerasan digunakan standar yang ada Kriteria Perencanaan Irigasi tahun 2011. Dalam modernisasi irigasi dipakai perkerasan dengan bitumen. Hal ini dimaksudkan agar mendapatkan perkerasan yang lebih stabil, kemudahan

103 bagi petugas OP dalam melakukan manuver pengelolaan air, serta memberikan kenyamanan dalam bekerja. 8.6.2. Pengamanan jalan inspeksi Pengaman jalan inspeksi saat ini dengan membuat portal yang memberikan ukuran bukaan tertentu baik lebar dan tinggi dibatasi. Namun kenyataanya banyak kendaraan keluar masuk dengan merusak portal. Akibatnya kondisi jalan inspeksi makin rusak. Dalam modernisasi irigasi pengamanan jalan inspekasi harus dilakukan secara ketat, dengan cara mempertahankan fungsi portal secara optimal. Pelanggaran pemanfaatan jalan inspeksi harus diproses secara hukum yang berlaku. Hal ini dimaksudkan karena kerusakan jalan inspeksi akan mengganggu petugas OP dalam memberikan pelayanan kepada petani. 8.6.3. Fungsi ganda Pada prinsipnya jalan inspeksi diprioritaskan untuk kendaraan petugas OP dan pengawas saluran irigasi. Namun kenyataannya masyarakat sekitar daerah irigasi berkehendak memanfaatkan sebagai jalan umum. Tetapi sebenarnya daya dukung jalan inspeksi tidak direncanakan untuk kendaraan umum; sehingga kalau akan berfungsi ganda perlu dipertimbangakan secara cermat terkait dengan keamanan stabilitas jalan inspeksi dan saluran irigasinya. Dalam modernisasi irigasi kalau jalan inspeksi berfungsi ganda harus ada penertiban sebagai berikut: 1) Diminta secara tertulis oleh Pemda; 2) Perkerasan diperkuat dengan lapisan aspal atau beton atas biaya pemda; 3) Perkuatan tanggul dan/atau lereng saluran atas biaya pemda; 4) As jalan digeser keluar (ke arah luar saluran), sehingga tercipta ruangan untuk operasi dan pemeliharaan irigasi selebar 3-4 m. 8.7. Sistem drainase dan pengendalian banjir Masalah sistem drainase dan pengendalian banjir pada waktu yang lalu sudah dipikirkan dalam perencanaan daerah irigasi, tetapi tidak dilaksanakan pembangunannya menjadi satu paket dengan jaringan irigasi pembawa.

104 Hal ini disebabkan juga oleh administrasi pemerintah, dimana instansi yang menangani irigasi berbeda dengan instansi yang menangani drainase dan pengendalian banjir. Secara khusus untuk drainase dalam petak tersier sudah tertera dalam lay out perencanaan tersier, tetapi detail desain dan volume pekerjaannya tidak tercantum dalam BOQ pekerjaan tersier; akibatnya pekerjaan drainase tidak dilaksanakan pembangunannya. 8.7.1. Kesatuan sistem irigasi dan drainase Sistem irigasi merupakan satu kesatuan dengan sistem drainase, air yang sudah masuk ke sawah akan keluar untuk sawah lebih rendah dan terakhir pada sawah terendah harus ada penyalurannya ke alur alam atau sungai yang ada. Kondisi drainase saat ini masih buruk, bahkan air buangan tidak tertata dengan baik, kadang tergenang di lahan pertanian bagian terendah tanpa jelas kemana penyalurannya. Hal seperti itu harus diselesaikan dengan membuat satu kesatuan antara sistem irigasi dan drainase. Kondisi saat ini sistem Jaringan Drainase kurang mendapat perhatian, sejak dari perencanaan, pelaksanaan dan OP. Maka dalam modernisasi irigasi ini harus dilakukan perubahan yang signifikan agar masalah sistem drainase dan pengendalian banjir memjadi satu kesatuan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi. Maksud dan tujuannya agar daerah persawahan tidak terendam banjir, air buangan daerah persawahan ada penyalurannya menuju alur alam atau sungai berdekatan. Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan sistem jaringan drainase: Saat Perencanaan: (a) Perencanaan drainase dimasukan dalam perencanaan sistem irigasi; (b) Drainase perlu difasilitasi dalam dokumen: Skema irigasi, skema bangunan irigasi, blangko OP. Saat Pelaksanaan a) Jalan inspeksi sepanjang drainase harus dibangun; b) Jaringan drainase harus dibangun lengkap sampai alur pembuang alam.

Saat Operasi dan Pemeliharaan 105 a) Perlu pemeliharaan baik pada sistem drainase buatan maupun sistem drainase alam; b) Sediakan cukup anggaran untuk kegiatan OP drainase; c) Petani memahami fungsi saluran drainase di petak tersier. Akibatnya petani mau membangun sendiri saluran drainase tersier. 8.7.2. Pintu pengendali banjir Saat ini pintu pengendali banjir tidak begitu jelas posisi, fungsi dan cara pengoperasiannya. Dalam daerah irigasi seharusnya juga ada pintu-pintu pengendali banjir seperti di daerah yang rendah atau bagian hilir dari daerah irigasi. Pintu pengendali banjir berfungsi mengatur air pada pertemuan drainase sekunder dan alur alam. Sehingga air dari lahan persawahan dapat mengalir lancar ke alur alam, dan sebaliknya air pembuangan pada alur alam tidak mendorong ke hulu saluran drainase sekunder. Dalam modernisasi irigasi pintu pengendali banjir harus direncanakan secara cermat, dibangun dan dioperasikan secara memadai. Disamping itu manual harus disiapkan, petugas diberi pelatihan, maksud dan tujuan disosialisasikan. 8.8. Pengembangan Tersier Kondisi saat ini pengembangan dan pengelolaan sistem tersier kurang terintegrasi dengan baik dengan indikasi sebagai berikut: (1) Dialog antara pemerintah dengan petani kurang intensif; (2) Partisipatif belum mengarah pada pemberdayaan masyarakat pengguna air; (3) Ketidaksesuaian pelaksanaan pengembangan tersier terkait antara fungsi pemerintah dan petani dengan kenyataan implementasi lapangan (wewenang dan tanggung jawab terletak pada petani, pemerintah menfasilitasi); (4) Belum semua lahan petani mempunyai akses tiga hal: a. Saluran pembawa, b. Saluran pembuang, c. Jalan usaha tani. (5) Belum ada ketegasan tentang kepemilikan lahan yang digunakan untuk prasarana irigasi tersier secara berkelanjutan; (6) Pengelolaan air ditingkat tersier belum memadai.

106 (7) Pemberdayaan P3A dalam bidang pengembangan dan pengelolaan tersier belum mempunyai konsep yang jelas setelah munculnya PP N0.38 tahun 2008. Dalam modernisasi irigasi, pengembangan dan pengelolaan sistem tersier perlu dilakukan perbaikan sebagai berikut: (1) Dialog antara pemerintah dengan petani perlu di-intensifkan; (2) Partisipatif diharapkan mengarah pada pemberdayaan masyarakat pengguna air; (3) Perlunya penyesuaian pelaksanaan pengembangan tersier terkait antara fungsi pemerintah dan petani dengan kenyataan implementasi lapangan (wewenang dan tanggung jawab terletak pada petani, pemerintah menfasilitasi); (4) Semua lahan petani mempunyai akses tiga hal: a. Saluran pembawa, b. Saluran pembuang, c. Jalan usaha tani. (5) Perlunya ketegasan tentang kepemilikan lahan yang digunakan untuk prasarana irigasi tersier secara berkelanjutan (seyogyanya prasarana tersier menjadi aset P3A); (6) Pengelolaan air ditingkat tersier menjadi bagian modernisasi irigasi. (7) Pemberdayaan P3A dalam bidang pengembangan dan pengelolaan tersier harus mempunyai konsep yang jelas. 8.8.1. Tiga prasarana akses petani Tiga prasarana akses petani yang dimaksudkan adalah: (1) Saluran dan bangunan pembawa tersier dan/atau kuarter; (2) Saluran dan bangunan pembuang tersier dan/atau kuarter; dan (3) Jalan usaha tani. Saat ini tidak semua petani mempunyai 3 akses tersebut. Pada irigasi petak ke petak (plot to plot), empat sampai dengan enam petani menempati dalam suatu jalur yang sama dimana petani sebelah hulu akan mendapat air irigasi langsung dari saluran kuarter, sedang petani paling hilir berhubungan langsung dengan saluran pembuang kuarter. Petani di tengahnya mendapat air dari petak petani sebelah hulu dan membuang air ke petak petani sebelah hilir. Keadaan ini memaksa kegiatan petani akan tergantung pada kegiatan petani sebelahnya, sehingga petani secara individual tidak dapat leluasa melakukan aktivitasnya.

107 Disamping itu tidak semua petak tersier mempunyai jalan usaha tani. Jalan inspeksi yang sekaligus dapat berfungsi sebagai jalan usaha tani, hanya terdapat pada saluran primer dan sekunder. Hal ini menyebabkan petani secara individual mengalami kesulitan mengangkut peralatan, sarana produksi dan hasil produksi ke dan dari sawahnya. Dalam modernisasi irigasi dianjurkan setiap petani mendapat air langsung dari saluran kuarter dan dapat membuang air langsung ke saluran pembuang kuarter. Sehingga pengelolaan air dalam suatu petak petani tidak perlu tergantung dengan petakan yang lain. Dengan demikian petani dapat melakukan aktivitasnya kapan dia mau. Disamping itu setiap saluran tersier maupun kuarter harus dilengkapi dengan jalan inspeksi yang berfungsi sekaligus sebagai jalan usaha tani, yang lebarnya 1,5 2,0 m. 3 Asset milik petani Tersier Quartier dan pembuang Jalan usaha tani Asset milik Irigasi Jalan inspeksi Sekunder Gambar 8.8 Skema 3 akses P3A dalam petak tersier 8.8.2. Aset P3A Saat ini aset P3A sebagai institusi kelembagaan tidak begitu jelas, terutama dalam petak tersier yang dikatakan dikelola oleh petani P3A. Kepemilikan yang ada hanya untuk lahan masing-masing petani, tetapi prasarana irigasi dalam petak tersier tidak jelas kepemilikannya. Status tanah tempat saluran pembawa dan pembuang dibangun hanya dipinjamkan dan dicatat dalam dokumen desa. Masalahnya akan timbul bila terjadi pemindahan kepemilikan lahan, maka prasarana irigasi ikut pindah ke pihak lain yang mungkin akan mempermasalahan keberlangsungan prasarana tersebut.

108 Dalam modernisasi irigasi semua prasarana irigasi di dalam petak tersier menjadi aset P3A. Sehingga status kepemilikan tanah dan prasarana irigasi dalam petak tersier menjadi kuat meskipun kepemilikan tanah berpindah. Alternatif untuk menjadikan prasarana irigasi dalam petak tersier menjadi milik P3A dapat diupayakan melalui musyawarah mufakat sebagai berikut: (1) Lahan tempat prasarana irigasi terletak diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya kepada P3A, dan selanjutnya disertifikatkan atas nama P3A ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). (2) Lahan tempat prasarana irigasi terletak langsung diganti rugi oleh P3A dengan cara mengumpulkan dana dari setiap anggota P3A, dengan cara kontan atau cicilan pasca panen. Setelah lunas lahan tersebut disertifikatkan atas nama P3A ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). 8.9. Sarana Pelengkap Sarana pelengkap dalam irigasi konvensional kurang mendapatkan perhatian. Hal ini disebabkan karena utamanya penyediaan dana untuk keperluan pengadaan dan pemeliharaan sarana pelengkap irigasi tersebut kurang memadai. Sehingga ketersediaan dan atau keadaan sarana tersebut kurang memadai, misal rumah pengamat, juru, penjaga pintu air, kantor, alat transportasi, sistem komunikasi dan peralatan OP. Dalam modernisasi irigasi sarana pelengkap irigasi tersebut harus disediakan dan dipelihara agar tetap berfungsi untuk menunjang petugas OP dalam melayani petani. Hal ini dilakukan karena modernisasi irigasi menuntut kecepatan dalam merespon/mensikapi aspirasi petani. Dibawah ini adalah rekomendasi sarana pelengkap yang harus disediakan dalam modernisasi irigasi. 8.9.3. Daerah sempadan Daerah sempadan dalam hal ini adalah batas daerah milik saluran dan bangunan, harus dibuatkan batas yang jelas, mengikuti batas tanah yang pernah dibebaskan, tetapi sebagian daerah irigasi di Indonesia tidak melakukan hal itu. Karena telah berlangsung lama sempadan ini tidak ditertibkan, sekarang harus ditertibkan. Kendalanya pada data pembebasan tanah yang tidak

109 dilanjutkan kepada pensertifikatan, di sini timbul masalah karena sebagian areal sempadan sudah dimanfaatkan pihak lain. Maka satu-satunya jalan dengan pemutihan dan yang diperlukan sebagai sempadan saluran dan bangunan harus dibebaskan lagi, dan segera dipasang patok batas sempadan (atau segera dilakukan pensertifikatan). 8.9.4. Rumah pengamat, juru dan jaga Rumah pengamat kondisi saat ini ada tetapi kurang komplit dalam daerah irigasi dan sebagian rusak. Terlihat tidak terawat oleh pemiliknya, ada yang sudah tidak ada penghuninya. Petugas yang bekerja sehari-hari di irigasi seperti; pengamat, juru, penjaga harus disediakan rumah tinggal di lokasi kerjanya. Rumah tinggal ini harus disediakan dana pemeliharaannya sama dengan penyediaan dana untuk pemeliharaan rutin prasarana irigasi. Dalam modernisasi irigasi setiap pengamat, juru, petugas operasi bendung (POB), dan petugas pintu air (PPA) disediakan rumah secara memadai. Desain kamar dan ruangan dalam rumah pengamat sebaiknya dibuat lengkap sekurang-kurangnya ada 2 kamar tidur, 1 ruangan tamu, dan serta dapur, WC dan kamar mandi, sehingga petugas betah tinggal. 8.9.5. Transportasi Kondisi saat ini transportasi untuk petugas seperti mobil untuk seksi dan pengamat, sepeda motor untuk juru, sepeda untuk PPA dan POB tidak memadai untuk bertugas menjalakan kegiatannya. Transportasi; daerah irigasi merupakan kawasan yang khusus, walaupun merupakan kawasan umum dalam suatu wilayah pemerintahan. Petugas yang bekerja di daerah irigasi tidak cukup hanya memanfaatkan angkutan umum, karena dia harus menangani masalah-masalah sepesifik bidang keirigasian yang tersebar dalam daerah irigasi secara cepat dan tepat. Maka diperlukan transpotasi yang khusus untuk petugas irigasi. Dalam modernisasi irigasi alat transpotasi harus dipenuhi sesuai dengan rekomendasi dalam Permen PU No. 32/PRT/M/2007 tentang pedoman OP irigasi, yaitu mobil untuk seksi dan pengamat, sepeda motor untuk juru, sepeda untuk PPA dan POB. Hal ini dilakukan karena modernisasi irigasi menuntut pelayanan irigasi secara prima.

110 8.9.6. Sistem komunikasi Kondisi saat ini sistem komunikasi belum memadai, bahkan belum ada baik antar petugas maupun petugas dengan petani. Komunikasi merupakan hal segera cepat harus berlangsung dalam rangka pengelolaan suatu daerah irigasi, sehingga keputusan dapat cepat diambil oleh pengambil keputusan. Dalam modernisasi irigasi komunikasi dilakukan sebagai berikut: (1) Data yang dibaca dikirim ke pusat dengan telemetri; (2) Perintah bukaan pintu ditransfer dengan telemetri; (3) Komunikasi antar petugas atau petani dan petugas dengan internet, telpon dan HP. 8.9.7. Kantor Kondisi saat ini sebagian kantor rusak, kurang komplit dan kurang fasilitas. Kegiatan yang dilakukan seperti penanganan administrasi dan kegiatan perkantoran tidak berjalan secara memadai. Kantor dan fasilitasnya dalam daerah irigasi sangat penting dalam pengelolaan irigasi. Kantor untuk petugas harus disediakan dengan lengkap sehingga petugas betah bekerja, termasuk dana pemeliharaannya sama dengan penyediaan dana untuk pemeliharaan rutin prasarana irigasi. Dalam modernisasi irigasi kantor disediakan, fasilitas dipenuhi, sehingga petugas dapat bertugas dengan layak dan betah bekerja. Untuk memudahkan operasional modernisasi irigasi fasilitas kantor diatur sebagai berikut: (1) Dibuat kantor tersendiri pada setiap daerah irigasi; (2) Untuk daerah irigasi yang besar dapat dibuat kantor tersendiri pada setiap subdaerah irigasi atau setiap sekunder; (3) Disediakan ruangan kantor yang melekat pada rumah pengamat dan juru;

111 8.9.8. Peralatan operasi dan pemeliharaan Kondisi saat ini peralatan operasi dan pemeliharaan masih belum lengkap, bahkan sangat kurang baik peralatan yang ringan maupun peralatan berat. Banyak sekali peralatan operasi dan pemeliharaan yang harus disediakan seperti; peralatan yang bersifat ringan dan peralatan berat. Peralatan ini harus ada tersedia beserta tempat penyimpanannya dan selalu dipelihara agar tidak rusak atau macet saat diperlukan/digunakan. Dalam modernisasi irigasi setiap daerah irigasi harus dipengkapi dengan peralatan operasi dan pemeliharaan secara memadai. Peralatan tersebut setidak-tidaknya adalah: (1) Peralatan OP langsung: alat pemotong rumput, stamper, current meter, theodolit, waterpass dan meteran, stop watch; (2) Perlengkapan: helm, jas hujan, sepatu boot, senter, cangkul, skop, ganco, linggis, gerobak dorong, sabit, parang, mesin gergaji potong; (3) Peralatan OP tidak langsung: mobil pengangkut bahan, P3K.

112 BAB 9 PENGELOLAAN IRIGASI 9.1. Pengelolaan Air Irigasi Irigasi adalah suatu usaha manusia untuk menambah kekurangan air dari pasok hujan untuk pertumbuhan optimum tanaman yang dibudidayakan. Drainase adalah suatu usaha manusia untuk membuang kelebihan air yang merugikan pertumbuhan tanaman yang dibudidayakan. Tidak ada irigasi tanpa drainase, sehingga di Jepang muncul istilah irrinage (irrigation and drainage) yakni irigasi dan drainase menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Pengelolaan irigasi bertujuan untuk mengatur jumlah sumberdaya air yang tersedia bervariasi terhadap waktu dan tempat, dengan jumlah kebutuhan air irigasi tanaman untuk memaksimalkan tingkat produktivitas dan intensitas pertanaman tertentu di suatu daerah irigasi. Untuk memahami bagaimana pengelolaan air irigasi seharusnya, perlu dipahami bagaimana sebenarnya air irigasi diaplikasikan di lahan pertanian (on farm) untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. 9.1.1. Metoda Penggunaan air irigasi Metoda penggunaan air irigasi untuk tanaman dapat digolongkan ke dalam empat jenis: (a) irigasi permukaan (surface irrigation), (b) irigasi bawahpermukaan tanah (sub-surface irrigation), (c) irigasi curah (sprinkler), dan (d) irigasi tetes (drip atau trickle irrigation). Irigasi curah dan tetes disebut juga irigasi bertekanan (pressurized irrigation). Pemilihan metoda irigasi tersebut tergantung pada: (a) air yang tersedia, (b) klimat, (c) tanah, (d) topografi, (e) kebiasaan, dan (f) jenis dan nilai ekonomi tanaman. Pada irigasi permukaan berdasarkan perbedaan status kelembaban tanah dan keperluan air tanaman dibedakan menjadi dua hal yakni: (a) irigasi padi sawah dan (b) irigasi untuk tanaman bukan padi sawah (upland crops). Di Indonesia tanaman semusim bukan padi sawah disebut dengan palawija.

113 Gambar 9.1 Metode penggunaan air dengan irigasi curah (kiri) dan irigasi tetes (kanan) Di Indonesia sebagian besar irigasi termasuk pada irigasi permukaan. Irigasi bertekanan curah dan tetes banyak digunakan di perusahaan agroindustri. Irigasi curah pada perkebunan tebu, kopi, nenas, bawang, dan jagung. Irigasi tetes pada pertanian rumah kaca untuk melon, cabai, paprika, dan bunga krisyan. Pada irigasi permukaan, pemberian air irigasi lewat permukaan tanah ke tanaman, yang diklasifikasikan menjadi dua cara yakni pemberian air berkala (intermittent) dan kontinyu (continuous) 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Untuk tanaman padi sawah dapat dilakukan secara kontinyu atau secara berkala. Pemberian air kontinyu dengan debit kecil (misalnya 1 liter/ detik/ha) 10 pada petakan sawah, air akan menyebar seragam dengan cepat karena kondisi tanah dalam keadaan tergenang. Cara pemberian ini lebih mudah dalam operasionalnya dibandingkan dengan cara berkala. Pemberian berkala dilakukan dengan debit besar dan waktu irigasi yang singkat, tetapi dilakukan dengan selang waktu (interval) pemberian air tertentu, memerlukan usaha yang lebih besar dalam operasionalnya. Untuk tanaman non padi kondisi tanah dalam keadaan kering, maka air irigasi harus diberikan dengan debit besar 11 supaya air menyebar seragam dalam waktu yang singkat ke seluruh petakan, sehingga efisiensi pemakaian air 12 (application efficiency) menjadi cukup besar. Batas atas adalah lengas 10 8,64 mm/hari sama dengan debit kontinyu 1 liter/detik/ha 11 Biasanya sekitar 5-10 liter/detik 12 Efisiensi pemakaian air: Jumlah air yang ditahan di daerah perakaran tanaman dengan jumlah air yang diberikan di petakan

114 tanah pada kapasitas lapang (field capacity) dan batas bawah pada RAM (ready available moisture) atau MAD (management allowable defficiency). RAM besarnya sama dengan p (depletion level) 13 x TAM (total available moisture). TAM adalah lengas tanah pada kapasitas lapang dikurangi dengan lengas tanah pada titik layu (wilting point). Pada prinsipnya irigasi dilakukan untuk menjaga lengas tanah di daerah perakaran tanaman pada kondisi optimum untuk pertumbuhan tanaman yakni antara batas atas dan batas bawah. Selang waktu irigasi dihitung dengan jumlah air pada batas atas dan batas bawah dibagi dengan besarnya ET max (Evapotranspirasi Tanaman Maksimum). Metoda tersebut dilakukan terkait erat dengan tiga unsur utama (tanah, air, dan tanaman). Pada praktek penggunaan irigasi di lapangan pada saat perencanaan air irigasi dihitung berdasarkan atas penggunaan konsumtif (evapotranspirasi) dan kehilangan air akibat perkolasi setelah dikurangi dengan hujan efektif. Pada saat operasi perhitungan tersebut disederhanakan lagi dengan perkiraan kebutuhan air secara global sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman: pengolahan tanah, pembenihan, padi muda, pembungaan, padi tua, dan menjelang panen. Pada prakteknya metoda ini dapat lebih disederhanakan, misalnya dalam pemilihan selang irigasi yang berlaku umum untuk selama periode pertumbuhan tanaman. Pemberian air secara berkala dilakukan antar blok kwarter. Gambar 9.2 Budidaya tanaman padi sawah Akhir-akhir ini berkembang di masyarakat suatu teknologi budidaya sawah yang hemat air, dan berproduksi tinggi yakni suatu teknologi yang disebut dengan SRI (system of rice intensification). 13 Tingkat deplesi (p) pada tingkat kepekaan tanaman terhadap kekeringan. Semakin peka semakin besar nilainya

115 SRI dikembangkan sejak tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S.J, seorang pendeta Perancis yang bertugas di Madagaskar sejak tahun 1961. Sebelum tahun 1999 SRI hanya dikenal dan dipraktekkan di Madagaskar saja. Sekarang ini dicobakan di hampir 50 negara dengan hasil produksi SRI sekitar 7-10 ton GKP/ha. Di Jawa Barat model SRI ini disertai dengan berkembangnya pertanian organik ramah lingkungan, sehingga dikenal dengan nama SRI-Organik. Dengan konsep yang sedikit berbeda Litbang Pertanian mengajukan konsep PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu). Baik pada SRI maupun PTT, air irigasi diberikan secara berkala melalui parit kecil (caren) di petakan sawah, dengan batas atas genangan 3 cm, dan batas bawah pada kondisi tanah retak rambut yakni kadar air antara kapasitas lapang dengan jenuh. Fluktuasi genangan air di petakan sawah digambarkan seperti pada Gambar 9.3. Kondisi lengas tanah seperti pada Gambar 9.4. Genangan (mm) Pengelolaan Air SRI-Jabar 25,0 20,0 Penyiangan dengan Gasrok 15,0 10,0 5,0 Macak-macak Pengeringan Macak-macak 0,0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 Pengeringan 105 Awal Vegetatif-Anakan Pembungaan Pengisian Bulir - Masak Pematangan Susu HST dan Tahap Pertumbuhan Gambar 9.3 Pengelolaan air di petakan sawah pada SRI-Organik (Jabar) Selang waktu irigasi dihitung dengan jumlah air pada batas atas dan batas bawah dibagi dengan besarnya ETmax+Perkolasi. Tergantung pada sifat fisik tanahnya selang irigasi pada MK biasanya antara 4-5 hari, sedangkan pada MH antara 6-8 hari. Pada kondisi ini aerasi di daerah perakaran tanaman akan menciptakan pertumbuhan akar yang baik, jumlah anakan maksimum dan akhirnya produksi lebih tinggi. Penerapan metoda SRI/PTT di daerah irigasi memungkinkan adanya peluang untuk menaikkan IP akibat dari penghematan air irigasi dan kenaikan produktivitas. Akan tetapi harus disertai dengan sistem operasional irigasi dengan cara berkala di tingkat

116 antar kwarter dalam petak tersier atau sistem irigasi giliran (rotasi) di tingkat sekunder. mm Air 20.0 10.0 0.0 0-10.0-20.0-30.0 4 Kondisi lengas tanah Batas Bawah pf 2.0 Pengelolaan Air SRI di Lahan kasus Manonjaya MT2 Selang irigasi 5 harian, Hujan efektif: 0 mm 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56 60 KAI = 531 mm 64 68 72 76 80 84 88 92 96 100 104-40.0-50.0 Hari Setelah Tanam Gambar 9.4 Kondisi lengas tanah di daerah perakaran tanaman pada SRI-Organik (Jabar) 9.1.2. Model pengelolaan air sekarang Kondisi tata letak petakan lahan umumnya tidak teratur sehingga saluran irigasi dan drainase tidak terpisah. Kadang-kadang tidak ada saluran drainase, dan jalan usahatani tidak tersedia. Akibatnya adalah pemberian air dilakukan dari petak ke petak (plot to plot), traktor tangan susah masuk untuk pengolahan tanah. Pada MT2 dimana pengolahan tanah dilakukan pada akhir MH sehingga diperlukan waktu lama untuk menunggu genangan air turun di petakan sawah supaya traktor dapat segera bekerja, sulit untuk menerapkan metoda irigasi berkala genangan dangkal seperti pada SRI/ PTT. 9.1.3. Model pengelolaan air masa depan Sistem irigasi dan drainase harus dikelola sebagai suatu sistem pelayanan (service system) yang tanggap terhadap kebutuhan dan perubahan kemauan pemanfaat air irigasi. Perbaikan kinerja irigasi adalah prasyarat jika kita berhadapan dengan tantangan untuk memproduksi pangan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan akibat peningkatan jumlah penduduk dalam lingkungan persaingan air dengan industri, perkotaan dan kebutuhan lingkungan yang sehat.

117 Pengelolaan irigasi modern adalah suatu pengelolaan irigasi berorientasi pelayanan (service oriented management, SOM) dengan bentuk kelembagaan dan keteknikan berbiaya efektif untuk mengatur jaringan dan sistem operasi menuju capaian tingkat pelayanan yang telah disepakati. Ada 4 (empat) unsur kunci dalam pengelolaan irigasi dan drainase berbasis pelayanan berkelanjutan: (a) Berorientasi output: biaya pelayanan didasarkan pada seberapa baik pengembangan operasi dan program pengelolaan aset (b) Melibatkan pengguna (user) dalam penentuan tingkat dan biaya pelayanan yang disepakati, serta dalam pengelolaan irigasi. (c) Organisasi irigasi dan drainase harus mampu menyediakan biaya pelayanan baik secara langsung dari konsumen (petani) ataupun dari subsidi pemerintah (d) Didasarkan pada kerangka hukum untuk melindungi kebutuhan pengguna, organisasi pelayanan, dan kepentingan masyarakat. Dalam modernisasi irigasi di Indonesia ditetapkan tingkat layanan minimum yang harus dipenuhi dalam daerah irigasi modern seperti tertuang dalam Tabel 9.1, kolom 4. (Layanan Operasional Minimal). Untuk selanjutnya mengarah kepada Layanan Operasional Penuh seperti tertuang dalam Tabel 9.1 kolom 5. Pengelolaan air seyogyanya dikembangkan berdasarkan kebutuhan (on demand) daripada berdasar pasok (on suplly) seperti yang dilakukan selama ini. Pengelolaan berbasis kebutuhan (on demand) memerlukan informasi dari semua faktor saling pengaruh yang dikelola di dalam proses pendukung pengambilan keputusan. Dengan perkembangan teknologi elektronik sekarang ini pengelolaan informasi waktu nyata (real time) dan perhitungannya menjadi memungkinkan. Hal ini dapat memberikan perbaikan pengelolaan waktu nyata untuk peningkatan produksi pertanian melalui pengelolaan air sistem terpusat berbasis komputer. Tujuan utama pertanian beririgasi adalah memaksimalkan pendapatan petani melalui pemanfaatan sumberdaya secara optimum di sektor pertanian. Sekarang ini 80% air yang ada digunakan untuk sektor pertanian. Sektor irigasi adalah pengguna air terbesar, dengan nilai ekonomi relatif rendah, efisiensi rendah, dan bersubsidi tinggi. Kendala kurangnya tenaga kerja pertanian, lahan, dan sumber air mengharuskan pengembangan irigasi

118 dengan sasaran meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) dan produktivitas (hasil) melalui program modernisasi manajemen sistem yang ada. Kondisi sekarang dengan total efisiensi irigasi sekitar 35-45% dengan EMA (efisiensi manfaat air) sekitar 0,3 kg beras/m 3 air, menyediakan ruang yang cukup untuk perbaikan berkelanjutan di sektor irigasi. Program modernisasi irigasi bertujuan memperbaiki kinerja irigasi dan secara umum untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Sasarannya menghasilkan produktivitas pertanian rerata 6 ton GKG/ha, membutuhkan air 6.000 m 3 air atau EMA = 0,6 kg beras/m 3 air, dengan IP 200% padi dan 50% palawija. Hal ini dicapai melalui program pengurangan kehilangan air, penghematan konsumsi air tanaman, Iuran OP Irigasi, penurunan biaya operasional dan pemeliharaan. Tujuan ini dicapai dengan cara intervensi teknologi dan pengelolaan untuk memproduksi padi menyertakan sejumlah besar volume air sebagai sumberdaya yang semakin langka (lahan, air, tenaga kerja, dan kapital). Sekarang ini aturan operasional irigasi dirasakan tidak fleksibel dengan setting bangunan kontrol tetap tidak berubah untuk periode hari operasional tertentu (umumnya dua-mingguan, atau 10 harian). Sedangkan keperluan air di lapangan berubah secara spasial dan temporal sesuai dengan perubahan cuaca dan jadwal agronomi petani yang memerlukan penyesuaian waktu secara nyata (real time). Dalam modernisasi irigasi pemberian air irigasi dilakukan harian didasarkan atas persamaan: ET dihitung harian berdasarkan data klimat, P dihitung 2 mingguan sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman, hujan efektif dihitung harian dari data hujan harian. Prinsip perhitungan kebutuhan air tersebut akan dilakukan dengan sistem komputerisasi dengan empat prinsip: (a) Cara membaca data, (b) Cara mentransfer data ke pusat operasi, (c) Cara menghitung dan menampilkan dalam tayangan, (d) Cara menyampaikan perintah bukaan pintu ke petugas OP. Sebagai ilustrasi unsur pokok dalam operasional irigasi pada OMIS, perhitungan kebutuhan air, dan skhema alir informasi, dapat dilihat pada Gambar 9.6, Gambar 9.7, Gambar 9.7, dan Gambar 9.8.

119 Gambar 9.5 Unsur pokok dalam operasional irigasi pada OMIS t = -1 t = 0 t = +1 t = +2 Periode Operasi (2 mg, 1 mg, 3 hari, atau harian) Hitung: Wetness index awal Data hujan aktual t = 0 Data debit aktual t = 0 Dugaan Hujan efektif pada t = 0. Hitung: S Aktual dan KAI Aktual Metoda Weather Forcasting dari Internet Luas jenis tanaman dan tahap pertumbuhan S Akt > KAI Akt, Hitung Excess (+) S Akt < KAI Akt, Hitung Defisit (-) Kebutuhan Air Tanaman (KAT) Hitung: KAI seperti pada tahap t = 0 Kebutuhan Air Irigasi (KAI) Gunakan Excess/Defisit pada perhitungan KAI periode t = +1 Gunakan data hujan dan debit di Set bukaan pintu untuk t = +1 bendung pada t = -1. Duga debit di bendung pada t = 0. Metoda: misal Sacramento Hitung Water Balance: Jika S > D, gunakan KAI, set bukaan pintu Jika S < D, gunakan Faktor K, set bukaan pintu

120 Gambar 9.6 Skema perhitungan kebutuhan air pada setiap periode operasional pada OMIS 14 Gambar 9.7 Skema alir informasi pada OMIS (1) Gambar 9.8 Skema alir informasi pada OMIS (2) 9.1.4. Tingkat layanan (level of services) sistem irigasi dan drainase Tingkat layanan didefinisikan sebagai suatu rangkaian (set) operasi baku (standard operation) yang dirancang oleh lembaga irigasi sebagai hasil konsultasi dengan pengguna dan pemerintah untuk mengelola jaringan 14 Operation and Management Irrigation System

121 irigasi/drainase. Tingkat layanan selalu dikaitkan dengan tingkat harga/biaya layanan. Kemauan dan kemampuan pengguna untuk membayar layanan tergantung pada tingkat keuntungan usahatani dan tingkat keandalan pasok air serta aturan sangsi jika pembayaran tidak sesuai dengan yang disyaratkan. Mutu tingkat layanan sistem irigasi dan drainase dinyatakan dengan 4 (empat) parameter yakni (a) kecukupan (adequacy), (b) keandalan (reliability), (c) keadilan (equity), dan (d) kelenturan (flexibility). Kecukupan (adequacy) sistem irigasi, adalah suatu pengukur kemampuan jadwal pasok air memenuhi kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman optimal. Biasanya dinyatakan dengan perbandingan antara jumlah pasok air aktual yang diberikan dengan yang diperlukan tanaman. Dalam hal drainase kecukupan drainase adalah alat pengukur kemampuan sistem drainase untuk mengendalikan kelebihan air ke suatu tingkat kerugian minimum. Keandalan (reliability) adalah alat pengukur tingkat kepercayaan (confidence) jadwal distribusi pasok air dalam sistem irigasi dan pengendalian kelebihan air dalam sistem drainase. Juga didefinisikan sebagai keragaman sesaat (uniformity temporal) dari nisbah antara jumlah air aktual yang diberikan dengan yang diperlukan sesuai jadwal pemberian. Keandalan tergantung pada bentuk pasok air. Jika pasok airnya sistem aliran kontinyu, maka keandalan berkaitan dengan besarnya harapan bahwa suatu debit atau muka air tertentu akan disamai atau dilampaui (berkaitan dengan keragaman debit di saluran utama). Pada sistem dengan pasok aliran air intermittent (misal irigasi rotasi) akan berkaitan dengan kemampuan ketepatan menduga selang waktu (interval) irigasi dan besarnya debit. Keadilan (equity) adalah suatu pengukur pasok air yang adil sesuai dengan hak guna air. Umumnya didefinisikan sebagai pasok air aktual ke pengguna berkaitan dengan andil alokasi air (allocated share) yang telah disepakati. Keadilan juga berarti di mana semua petani baik petani besar ataupun kecil, berada di hulu atau di hilir, berada pada kondisi yang sama baik dalam kekurangan maupun kelebihan air. Umumnya kondisi sekarang baik kekeringan maupun kelebihan air seringkali berada di lokasi hilir. Di Indonesia tingkat keadilan dilaksanakan dengan menerapkan faktor K (faktor koreksi), pasten, factor palawija relatif (FPR) yang sama baik di lokasi hulu maupun di hilir.

122 Kelenturan (flexibility) adalah pengukur tingkat kenyamanan pengguna (users) untuk memilih frekuensi (selang irigasi), besarnya debit, dan lama pasok air irigasi. Pada tingkat layanan terbaik di mana tingkat kelenturannya tinggi (umumnya downstream control), memerlukan infrastruktur kendali hidraulik dan prosedur operasi yang canggih (biasanya juga lebih mahal dan menuntut keterampilan operator yang lebih tinggi). Hal ini bertujuan untuk menghasilkan produktivitas tanaman dan pendapatan petani yang lebih baik. Ini terjadi karena pada sistem yang lentur memungkinkan petani yakin untuk berinvestasi dengan jenis tanaman dan teknologi pertanian terbaik guna menghasilkan produktivitas dan keuntungan maksimum. Umumnya pada sistem ini pembayaran iuran OP irigasi dihitung berdasarkan volumetrik (Rp/ m 3 air). Sebaliknya, jadwal pasok air yang kaku (rigid) dapat mendistribusikan air dengan kendali hidraulik infrastruktur yang lebih sederhana (umumnya upstream control). Kendala utama dalam sistem ini adalah ketidakmampuan pasok air sesuai dengan jumlah aktual yang diperlukan tanaman/petani dan ketidak-mampuan memanfaatkan hujan yang terjadi sebagai bagian dari pasok air. Walaupun sistem pasok dilakukan dengan kaku, perbaikan kelenturan penggunaan air di tingkat usahatani juga akan diperoleh jika petani punya kolam tampungan cadangan air atau punya akses ke penggunaan airtanah dengan pompa air. Di Thailand setiap lahan usahatani (luasan antara 1,6 2,4 ha) dibagi menjadi 4 bagian (30%:30%:30%:10%.). Bagian pertama 30% dipakai untuk kolam simpanan air dan budidaya ikan; 30% kedua untuk padi sawah; 30% ketiga untuk palawija/sayuran; dan 10% untuk rumah, jalan, kandang ternak dan fasilitas umum. Sistem ini dikenal dengan sistem monkey cheek 15 Tingkat layanan minimal dan lanjutan pada modernisasi irigasi tercantum pada Tabel 9.1, sedangkan hubungan antara tingkat layanan, biaya layanan, dan infrastruktur, dinyatakan dengan Gambar 9.9. 15 Sumber: Frank van Steenbergen, Albert Tuinhof and Lenneke Knoop, 20 11. Transforming Landscapes - Transforming Lives. IFAD-FAO.

123 Tabel 9.1 Tingkat layanan minimal dan lanjutan pada modernisasi irigasi No Indikator tingkat Irigasi Irigasi modern layanan konvensional Minimal Lanjutan 1 Indek Pertanaman 120% padi, palawija 20% 140-160% padi, 50% palawija 160-200% padi, palawija 50% 2 Kehilangan air 40-60% 30-40% 10-30% 3 Selang alokasi air 10-15 hari 3-7 hari 1-3 hari 4 Produktivitas air 0,5 kg GKG/m 3 0,6-0,7 kg GKG/ m3 air 0,8-1,0 kg GKG/ m3 air 5 Penyediaan Kurang Cukup Baik Air: kecukupan, keandalan, keadilan, keluwesan 6 Sistem pengaliran air Orientasi pasok Orientasi Semikebutuhan Orientasi kebuthan penuh 7 Pengendalian muka air Pengendalian hulu Pengendalian hulu Pengendalian hilir sebagian 8 Metoda Dominan irigasi Fasilitasi irigasi Fasilitasi irigasi penggunaan permukaan permukaan, curah, permukaan, curah, air: Permukaan, tetes sebagian tetes penuh Curah, Tetes 9 Penggunaan air Kontinyu Kontinyu dan Intermittent penuh Intermittent sebagian 10 Hak guna air Belum ada Ada sebagian Ada penuh 11 Drainase Luas sawah gagal panen karena banjir tidak diketahui Luas sawah gagal panen karena banjir 20-30% Luas sawah gagal panen karena banjir 0-20%

124 TINGKAT LAYANAN IRIGASI- DRAINASE KESEPAKATAN LAYANAN Spesifikasi Layanan Kondisi Layanan Akuntabilitas KENDALI ALIRAN Pemberian Air Operasional Manajemen BIAYA LAYANAN MANAJEMEN ASET Pemeliharaan Rehabilitasi Pergantian Modernisasi INFRA- STRUKTUR Gambar 9.9 Hubungan tingkat layanan, biaya layanan, dan infrastruktur (Malano, H.M., P.J.M. van Hofwegen, 2006) Formulasi spesifikasi tingkat layanan untuk jaringan irigasi dan drainase yang ada (existing) Ada beberapa faktor penentu mutu tingkat layanan irigasi yakni (a) hak guna air,(b) kebijakan irigasi, (c) budidaya pertanian, (d) kondisi tanaman, tanah, dan klimat; dan (e) kondisi sumberdaya air (Gambar 9.9). Pada Gambar 9.9 tersebut dijelaskan bahwa: (a) Tingkat layanan yang berlaku akan berkaitan dengan tingkat manajemen, infrastruktur, dan tingkat pembiayaan OP yang berlaku; (b) Jika diinginkan peningkatan tingkat layanan (kepuasan pengguna), maka diperlukan usaha peningkatan manajemen, infrastruktur dan biaya layanan; (c) Pilihan optimum ditentukan dalam suatu proses konsultasi antara pemberi dan penerima layanan. Kondisi pengelolaan air irigasi di Indonesia sekarang dan yang akan datang dijelaskan sebagai berikut:

125 Kondisi sekarang Kondisi pengelolaan air irigasi di Indonesia sekarang adalah sebagai berikut: a. Pengelolaan operasional air irigasi didasarkan pada Analisis Neraca Air antara dugaan ketersediaan air dengan hitungan kebutuhan air berdasarkan Rencana Tata Tanam Usulan. Produk ahirnya adalah berupa Rencana Tata Tanam Global (RTTG) yang disosialisasikan lewat pertemuan Komisi Irigasi dan disahkan dengan SK Bupati. b. Berdasarkan kesepakatan RTTG tersebut, maka dirancang: (a) sistem golongan, (b) pola tanam definitif, (c) penjadwalan irigasi, dan (d) masa pengeringan saluran untuk pemeliharaan jaringan. c. Alokasi air dirancang dimana besarnya debit dihitung sampai ke pintu sadap tersier yang akan diterima oleh P3A. Kemudian P3A mengaturnya di dalam petak tersier ke petak kwarter dan ke masing-masing petak petani d. Karena air tidak diukur secara volumetrik, maka iuran biaya OP irigasi petani dinyatakan dalam Rp/ha/MT e. Selang waktu operasional 2 mingguan atau 10 harian f. Pada musim kemarau (MT2 dan MT3) berdasarkan analisis neraca air dirancang pola tanam padi gadu ijin dan palawija di setiap petak tersier g. Debit ketersediaan air dirancang dengan debit andalan 80%. Artinya seharusnya keandalan (reliability) nya juga sekitar 80% berhasil atau 20% gagal. h. Sekarang ini sudah ada instrumen pengukur kinerja irigasi, tetapi banyak yang tidak melakukan dan melaporkannya i. Jika tidak ada kesesuaian antara rencana dengan kenyataan yang merugikan petani. Misalnya kekurangan air atau kelebihan air yang menyebabkan gagal panen, sekarang ini petani tidak dapat menuntut ganti rugi, karena ketidak jelasan antara biaya layanan (IPAIR) dan tingkat layanannya.

126 Gambar 9.10 Proses Formulasi spesifikasi tingkat layanan untuk jaringan irigasi dan drainase yang ada (sumber: Malano, H.M., PJM van Hofwegen, 2006) Kondisi ke depan (modernisasi irigasi) Kondisi pengelolaan air irigasi pada modernisasi irigasi adalah sebagai berikut: a. Di masa depan jika pada MT2 atau MT3 terjadi gagal panen karena kekurangan air di lokasi gadu ijin (dengan kejadian lebih dari 20%), maka Dinas Pengairan harus bertanggung jawab. Pertanggung jawaban ini tergantung pada tingkat layanan dan tingkat pembayaran layanan (IPAIR) yang telah disepakati bersama. Jika petani sudah membayar IPAIR sesuai kesepakatan, tetapi layanan Dinas Pengairan tidak memenuhi kesepakatan tersebut, maka petani berhak untuk tidak membayar IPAIR pada MT itu 16. Begitu pula dengan gagal panen yang terjadi karena kebanjiran di MT1. b. Jika gagal panen karena kekurangan air terjadi di lokasi gadu tak-ijin, maka itu merupakan resiko petani sendiri sehingga Dinas Pengairan tidak perlu bertanggung jawab. Berita gagal panen karena kemarau panjang sekarang ini tidak jelas di mana lokasi dan pertanggung jawabannya. 16 No water no money

127 Sehingga setiap tahun pemerintah (Kementerian Pertanian) selalu menyediakan dana yang cukup besar untuk menyediakan kembali bibit padi untuk mereka yang gagal panen. Kejadian ini akan lebih merugikan jika lokasi kejadian pada lokasi sawah yang mendapat kredit usahatani (KUT). c. IPAIR harus dikelola oleh P3A dan besarnya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi usahatani (kg GKP/ha/MT). Jika besarnya IPAIR tidak memenuhi besarnya AKNOP, maka sisanya merupakan kewajiban pemerintah untuk mensubsidinya. d. Secara umum besarnya AKNOP di jaringan utama sekitar US$ 20/ha/ tahun (Rp 200.000/ha/tahun). Pemerintah hanya mampu membiayai sekitar 50%, sehingga sisanya diharapkan dari IPAIR. Dengan demikian besarnya IPAIR sekitar Rp 100.000/ha/tahun atau sekitar Rp 50.000/ ha/mt (17 kg GKP/ha/MT, jika harga gabah Rp 3.000/kg GKP). Jika termasuk biaya operasional dan pemeliharaan di jaringan tersier, maka IPAIR sekitar 34 kg GKP/ha/MT (Rp 100.000/ha/MT). Hasil penelitian di DI Rentang tahun 2012, menunjukkan bahwa dengan pola tanam padipadi-bera, rerata pendapatan bersih petani sekitar Rp 2 juta/ha/bulan. Sehingga untuk petani dengan luas garapan 1 ha, besarnya IPAIR Rp 100.000/ha/MT nampaknya tidak akan memberatkan. e. Apabila kondisi pertanian kita sudah semakin maju (modern) dengan luas garapan per petani semakin luas (minimal 1 ha) dan terjadi diversifikasi tanaman ke arah jenis tanaman hotikultura atau industri yang ekonomi tinggi. Maka petani mulai akan menginginkan sistem pengelolaan air irigasi berbasis kebutuhan (on demand) dengan tingkat kelenturan tinggi. Untuk itu diperlukan perhitungan peningkatan biaya manajemen OP dan biaya peningkatan infrastruktur irigasi (misalnya dengan downstream control) yang akan menghasilkan kesepakatan baru antara mutu layanan dengan biaya layanan. Untuk mendapatkan mutu keadilan (equity) yang baik dan tingkat penghematan penggunaan air yang tinggi, biaya layanan harus dilakukan secara volumetrik (Rp/m 3 air). f. Penghematan penggunaan air bertujuan untuk meningkatkan IP di daerah irigasi menjadi 200% padi dan 50% palawija (padi-padi-palawija).

128 g. Penghematan air dilakukan dengan cara: (a) memperkecil kehilangan air di jaringan utama dari sekitar 50% menjadi sekitar 30%, dan (b) memperbesar efisiensi pemakaian air (water application efficiency) di tingkat usahatani. Dengan adanya mutu kelenturan maksimum, sehingga petani dapat mengambil air kapan saja, berapa banyak, dan berapa lama sesuai dengan keperluan tanaman dan luas lahan yang dimiliki. h. Dengan semakin besarnya luas lahan garapan per petani (minimal 1 ha) dan semakin kurangnya ketersediaan tenaga kerja manusia di sektor pertanian karena tersedianya lapangan pekerjaan yang luas di luar sektor pertanian,.maka akan terjadi modernisasi pertanian di bidang penggunaan alat/mesin pertanian, teknologi budidaya, dan juga di bidang teknologi irigasi dengan teknologi irigasi hemat air dan tenaga kerja (misalnya irigasi curah atau irigasi tetes). Penggunaan alat/ mesin pertanian sudah terjadi di daerah irigasi di Sulawesi Selatan di mana pengolahan tanah, tanam, penyemprotan, panen, pengeringan, dan pengolahan hasil sudah mulai menggunakan alat dan mesin-mesin pertanian. Irigasi permukaan masih dominan karena umumnya pola tanamnya padi-padi-bera. Jika terjadi diversifikasi tanaman ke arah tanaman ekonomi tinggi seperti tanaman industri dan sayuran, maka bukan tidak mungkin akan berkembang sistem irigasi curah dan tetes menggantikan sistem irigasi permukaan. 9.1.5. State of the Art pengelolaan air irigasi 17 Beberapa model pengelolaan air telah dikembangkan sesuai dengan keperluan pengelola irigasi. Model tersebut mempunyai proses yang hampir sama yakni konversi data dasar agroklimat menjadi kebutuhan air irigasi dan jadwal pemberian air (2 mingguan atau 1 mingguan) melalui aplikasi model simulasi tanaman. Beberapa model mensimulasikan operasional saluran. Hanya sebagian kecil dari model tersebut menyediakan analisis kinerja irigasi didasarkan pada evaluasi data yang dipantau dibandingakan dengan sasaran (target) yang direncanakan. Beberapa model digunakan untuk tujuan khusus yang memerlukan peralatan khusus membuatnya lebih jelimet dan lebih mahal. Program pengelolaan air sekarang ini berisikan: 17 Sumber: Mohd. Azhari Bin Ghazalli, 2003. Modernisation of Irrigation and Drainage Management for Agricultural Production

129 (a) Model optimasi dan simulasi untuk menghasilkan nilai-nilai peubah keputusan (decision variables) atau indikator kinerja, dari input dan kendala yang ada (b) GIS memungkinan analisis dan penyajian informasi dalam data spasial (c) Sistem pakar berdasarkan pada kepakaran dan pengetahuan mampu memproses aturan dan simbol menghasilkan keputusan melalui aturan logik yang menyediakan keterangan bagaimana keputusan dicapai oleh pengguna (users) (d) Paket statistik dan grafik yang menganalisis dan menayangkan hasil (e) Sistem fuzzy logic akhir-akhir ini telah digunakan sebagai alat analisis untuk pengambilan keputusan, khususnya dalam memadukan pengalaman para pengguna yang umumnya tersedia secara kualitatif. Keberhasilan dan kegagalan pengelolaan air tergantung pada faktor peubah yang berkaitan dengan program perangkat lunak (software programs). Program perangkat lunak harus bersifat mudah dan nyaman digunakan (user friendly) dan harus dikembangkan mengikuti alur pikir yang ada di otak pengguna dan operator. Proses pengembangan program harus melibatkan pengguna sebanyak mungkin. Sebelum diaplikasikan di lapang, program harus diuji secara baik. Pendekatan modular menghasilkan kelenturan (fleksibilitas) dalam pemutakhiran data (updating) dan mudah diselaraskan (incorporating) dengan teknologi komputer yang baru. Pada dasarnya sistem pengelolaan air terdiri dari lima (5) komponen yakni: (a) Sistem kendali (control system) terdiri dari bangunan kontrol hidraulik seperti weir, pompa, bangunan bagi, dan lainnya bertujuan untuk mengendalikan aliran air; (b) Sistem bangunan/alat ukur yang memantau debit air. Parameter dapat diukur secara manual atau otomatik. Untuk operasional waktu nyata (real time), paling tidak sebagian alat ukur dilengkapi dengan alat ukur otomatik telemetri; (c) Sistem informasi yakni sistem keairan yang dikomputerisasi. Model matematik mensimulasikan proses yang relevan dan tanggap pada sistem keairan;

130 (d) Sistem penunjang keputusan (decision support system, DSS) adalah otaknya yang mampu mengakses hasil simulasi untuk memilih strategi operasional terbaik. Dalam sistem otomatisasi penuh, DSS memutuskan aksi dan kemudian mentransfer intruksi ke sistem kendali/kontrol; (e) Sistem tayangan berfungsi sebagai alat komunikasi antara sistem dan manajer irigasi. Integrasi perangkat lunak dalam kerangka pengelolaan air memerlukan komitmen kuat antara manajemen dengan staf proyek. Data diperlukan untuk operasional software secara efektif kemungkinan tidak dikumpulkan pada awalnya, instruksi rinci distribusi air tidak dikeluarkan, dan dalam banyak hal komputer belum dimanfaatkan secara optimum. Dalam hal ini maka sistem manajemen komputerisasi seyogyanya dikembangkan secara in-house. Pelatihan adalah sebagai faktor utama menuju keberhasilan implementasi program manajemen air, akan tetapi harus disadari bahwa sistem manajemen komputerisasi bukanlah akhir dari segalanya. Itu hanyalah suatu alat untuk membantu manajer irigasi dalam proses pengambilan keputusan. Sistem pengelolaan air yang berhasil seyogyanya mempertemukan tujuan dan sasaran sistem dengan memanfaatkan sebanyak mungkin fasilitas sistem, data dan personalia yang tersedia. Informasi yang diperlukan oleh manajer irigasi seyogyanya diberikan posisi sentral. Paling tidak sistem harus mampu berkinerja seperti berikut: (a) Mampu menjembatani operasional bangunan kontrol penting, sensor muka air dan alat hidrometeorologi, dan mentransmisikan data ke komputer pusat di ruang operasi utama; (b) Melaksanakan pengolahan dan penyimpanan data dalam sistem; (c) Mensimulasikan kinerja sistem irigasi pada beberapa skenario dan strategi berbeda sebelum kejadian; (d) Menyajikan tampilan kondisi sistem air yang berlangsung dan hasil simulasinya dalam bentuk tampilan dan format yang mudah difahami dengan cara menggunakan tabel, grafik, peta, dan kode warna, sehingga memudahkan untuk pengambilan keputusan.

131 9.1.6. Model tata letak petakan, saluran irigasi, drainase dan jalan pertanian Modernisasi irigasi harus dibarengi dengan modernisasi pertanian. Ciri pertanian modern adalah: (a) tata letak petakan lahan pertanian dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan operasional dan pemeliharaan sistem budidaya pertanian, (b) mengantisipasi kebutuhan dan kendala ke masa depan, (c) setiap petakan lahan harus punya akses ke tiga hal yakni saluran irigasi, saluran drainase, dan jalan usahatani. Sebagai contoh dari tata-letak petakan lahan pertanian yang modern dapat dilihat pada Gambar 9. 11, yang merupakan rancangan petakan lahan di Jepang pada masa awal modernisasi. Pada waktu itu jenis traktor yang digunakan adalah traktor roda dua, dan alat semprot power sprayer. Akhirakhir ini umumnya digunakan traktor roda empat sehingga lebar petakan diubah menjadi 50 sampai 100 m. Penggunaan alat semprot menggunakan boom sprayer dengan jarak jangkauan yang lebih jauh dari pada power sprayer. Semakin luas petakan sawah memerlukan mesin perataan tanah dilengkapi dengan alat yang akurat seperti lasser levelling, karena untuk budidaya padi sawah diperlukan kedalaman air genangan yang seragam di seluruh petakan dan untuk itu diperlukan tanah yang betul-betul datar. Setiap petakan sawah punya akses ke tiga hal yakni (a) saluran irigasi, (b) saluran drainase, dan (c) jalan usahatani. Petakan dibuat ukuran lebar 30 m dan panjang 100 m (luas 0,3 ha), setiap 10 petakan bergabung menjadi 1 blok petakan (3 ha), 2 blok petakan bergabung menjadi satu blok pengelolaan usahatani (6 ha), jarak antar saluran irigasi 200 m, di tengahnya ada saluran drainase, pada tanggul saluran irigasi dibuat jalan usahatani (farm road) lebar 1,5-2,0 m, jalan akses (acces road) setiap jarak 300 m (10 x lebar petakan) dengan lebar jalan 3 m, elevasi muka air di saluran drainase 0,8 m di bawah lahan, elevasi muka air di saluran irigasi 15 cm di atas lahan. Ukuran petakan sawah 30 m x 100 m mempunyai alasan kultural sebagai berikut, pada waktu itu di Jepang sudah terjadi kekurangan tenaga kerja sehingga yang bekerja di sawah hanyalah suami-istri petani. Untuk penyemprotan pestisida/herbisida digunakan power sprayer diletakkan di punggung sang suami, yang berjalan sepanjang pematang, sedangkan ujung selang lainnya dipegang oleh sang istri di pematang sebelah lebar petakan.

132 Kemudian keduanya berjalan di sepanjang pematang petakan menyemprot tanaman. Berdasarkan pengalaman lapang ternyata lebar optimum adalah 30 m. Jika menggunakan lebar lebih besar dari 30 m, diperlukan mesin power sprayer yang lebih besar tetapi sang suami tidak tahan memikulnya. Maka dari segi ergonomi diputuskan lebar petakan 30 m. Kemudian seminggu sebelum panen air di petakan sawah dibuang ke saluran drainase sampai tanah cukup kering sehingga mesin panen (combine harvester) mudah bergerak di petakan sawah. Gambar 9. 11 Tata-letak petakan sawah di Jepang Berdasakan pengalaman panjang petakan 100 m menghasilkan tanah cukup kering dalam jangka waktu satu minggu drainase, apabila lebih dari 100 m dibutuhkan waktu lebih dari satu minggu. Untuk memudahkan sistem drainase dilengkapi dengan pengontrol muka air (relief well). Untuk keperluan modernisasi pertanian sesuai dengan kebutuhan mesin pertanian karena kekurangan tenaga kerja pertanian, maka dilakukan program konsolidasi lahan sehingga petakan menjadi beraturan sesuai dengan rancangan tata-letak yang baru. 9.2. Sistem Informasi dan Komunikasi Pengelolaan Irigasi 9.2.1. Jaringan hidroklimatologi dan hidrometri Stasiun agroklimatologi terdiri dari beberapa alat yang mengukur hujan harian, suhu udara maksimum-minimum dan rerata harian, kecepatan angin pada ketinggian 2 m, jam penyinaran harian (campbel stokes), kelembaban udara relatif harian, panci evaporasi.

133 Untuk keperluan irigasi stasiun hujan dipasang di setiap saluran sekunder yang mewakili luasan kurang lebih 2.500 ha. Untuk keperluan Daerah Aliran Sungai, sebagai pegangan untuk kerapatan stasiun hujan tergantung pada kondisi geografik seperti pada Tabel 9.2. Menurut KP 01: untuk daerah bergunung sekitar 50 km 2 /stasiun hujan, sedangkan daerah datar sekitar 100 km 2 /stasiun hujan. Untuk stasiun agroklimat cukup 2 stasiun per kabupaten. Setiap daerah irigasi modern harus dilengkapi dengan setidak-tidaknya satu stasiun hidrometri berupa Alat Pencatat Muka Air Otomatis (AWLR) di bangunan utama. Tabel 9.2 Kerapatan stasiun hujan 18 Geografik areal Km2 per stasiun Pulau kecil bergunung dengan hujan tak beraturan 25 Tropikal areal bergunung 100-250 Tropikal areal datar 600-900 Daerah kering (arid) 1.500-10.000 9.2.2. Telemetri Sistem telemetri adalah suatu sistem dimana alat yang dapat mengukur, merekam, dan mentransmisikan data secara waktu nyata dari jarak jauh ke pusat pengolahan data. Menghimpun data/informasi diperlukan untuk penjadwalan irigasi dan memantau tingkah laku sistem irigasi dalam waktu nyata. Keperluan dasar untuk mentransmisikan data agroklimat guna perhitungan kebutuhan air untuk tanaman dan pengelolaan alokasi air. Muka air dikonversi ke debit saluran. Ada tiga metoda merekam muka air yakni tipe pelampung, tipe capacitance, dan tipe ultra-sonic. Tipe pelampung adalah tipe tertua untuk merekam muka air. Menggunakan potentiometer untuk menkonversi gerak pelampung ke signal berkode berbentuk analog yang dikonversi ke digital. Tipe capacitance mengukur perubahan kapasitans dimana kedalaman air dikonversi. Kapasitan fungsi kontanta dielektrik bahan antara dua konduktan insulasi, ukuran konduktor, dan panjang liquid. Tipe ultrasonik menggunakan gelombang suara yang diproyeksikan ke muka air dan diterima kembali pada titik yang diketahui di atas muka air. Waktu perjalanan diukur secara elektronik dan jarak ke muka air dapat diketahui. 18 Sumber: WMO (1969) di dalam Vijay P. Singh, 1992. Elementary Hydrology. Prentice Hall Inc, New Jersey, USA.

134 Pencatat hujan tipe tipping-bucket menghitung jumlah hujan per satuan waktu. Untuk transmisi data, ada berbagai metoda komunikasi antara sistem sensor dan komputer sekarang ini sering digunakan seperti radio-frequency telemetry system, telephone line, private line, satelit dll. Saat ini PT. INTI telah membuat dan memasarkan sistem telemetri berbasis SMS, dimana data dari remote area (curah hujan, tinggi muka air dll ) dikirim via SMS ke server computer dan mungkin sekarang pengiriman data dengan GPRS. Data tersebut juga bisa di down load di remote area. Sebagai contoh produk yang sudah siap dipasarkan adalah FFWS (Flood Forcasting Warning System) hasil kerjasama antara ITS, UNDIP, PT INTI, dan Puslitbang Air. 9.2.3. Sistem Informasi Pengelolaan (SIP) jaringan utama Dinas Pengairan mengalokasikan air irigasi ke petak-petak tersier berdasarkan kebutuhan air untuk tanaman dan ketersediaan air irigasi di bendung. Perencanaan pola tanam global di daerah irigasi dilakukan tiga (3) bulan sebelum awal musim tanam dengan tahapan proses sebagai berikut: a. Setiap P3A di masing-masing petak tersier mengisi rencana pola tanam dengan bantuan juru pengairan. Pola tanam tersebut berisikan luasan areal padi, palawija dan tanaman lainnya pada MT1 (Musim Hujan), MT2 (Musim Kemarau 1) dan MT3 (Musim Kemarau 2) yang direncanakan untuk musim tanam yang akan datang. Setiap juru pengairan mengumpulkan data tersebut ke masing-masing pengamat pengairan dan dari pengamat ke dinas pengairan kabupaten. b. Di dinas pengairan kabupaten kebutuhan air irigasi untuk seluruh daerah irigasi dengan pola tanam usulan akan dihitung dan dibandingkan dengan dugaan ketersediaan air hujan dan debit sungai untuk periode musim tanam yang akan datang. Beberapa penyesuaian dilakukan, termasuk pula jadwal pengeringan saluran untuk perbaikan dan pemeliharaan. Usulan jadwal dan pola tata tanam global diserahkan ke panitia irigasi di tingkat kabupaten. c. Panitia irigasi mengkaji kembali usulan jadwal dan pola tanam tersebut, kalau perlu dilakukan beberapa perbaikan, kemudian disahkan oleh bupati sebagai ketua panitia irigasi tingkat kabupaten.

135 d. Rencana detail jadwal dan pola tanam untuk setiap petak tersier disusun oleh dinas pengairan kabupaten dan diserahkan kepada setiap P3A oleh juru pengairan. Informasi di setiap petak tersier meliputi: Tanggal mulai pengolahan tanah dan tanggal tanam untuk padi (sistem golongan) Jadwal waktu pengeringan saluran Jumlah luasan areal tanaman padi, palawija dan tanaman lainnya setiap musim tanam MT1, MT2, MT3). e. Berdasarkan informasi tersebut P3A menyusun rencana detail di masingmasing petak tersier mencakup urutan pembagian air untuk pengolahan lahan di setiap unit rotasi. Pada Musim Kemarau (MT2 dan MT3) siapa, dimana dan berapa luasnya yang tanam padi serta siapa, dimana dan berapa luasnya yang tanam palawija. Dalam modernisasi irigasi data dasar dicatat dalam blangko yang diserahkan kepada juru pengairan. Juru pengairan akan mentransfer data ke pusat komputer dengan sistem link komputer. Data dari DAS dikirim ke pusat komputer dengan sistem telemetri. Pusat komputer melakukan perhitungan neraca air dan bukaan pintu di seluruh daerah irigasi; dan mengirim perintah ke pengamat dan juru pengairan agar diteruskan ke semua PPA (secara skematis dinyatakan pada Gambar 9.7 dan 9.8. Alir informasi dari lapang ke pusat operasional pengelolaan air). 9.2.4. Sistem Informasi Pengelolaan (SIP) jaringan tersier Operasional irigasi di jaringan utama biasanya dilakukan setiap periode irigasi 10 hari, 2 mingguan atau setengah bulanan. Untuk menetapkan alokasi debit air di petak tersier dilakukan tahapan seperti berikut: a. Pengumpulan data lapangan di setiap petak tersier mengenai areal aktual pengolahan lahan dan tahap pertumbuhan tanaman sampai pada akhir periode irigasi yang sedang berlangsung dan dugaan untuk periode irigasi berikutnya. b. Perhitungan total jumlah kebutuhan air di setiap petak tersier, pintu bagi dan di bendung. c. Pendugaan ketersediaan air irigasi di bendung untuk periode yang akan datang berdasarkan data aktual periode sebelumnya.

136 d. Perhitungan Faktor K (faktor koreksi) yakni perbandingan antara dugaan debit air yang tersedia di tingkat bendung dengan dugaan total debit air yang diperlukan di seluruh daerah irigasi (gross) untuk periode yang akan datang. e. Menghitung kembali alokasi debit air di setiap petak tersier dengan memberi bobot Faktor K pada setiap debit yang diperlukan di masingmasing petak tersier. f. Menyampaikan informasi besarnya debit yang akan diberikan di pintu tersier untuk periode irigasi yang akan datang ke setiap P3A. Dalam modernisasi irigasi operasional pengelolaan air irigasi hampir tidak berbeda dengan cara konvensional, tetapi karena setiap petak individu petani mempunyai 3 akses berupa saluran pembawa, saluran pembuang, dan jalan usaha tani serta ketatnya alokasi air perlu ada penyesuaian sebagai berkut: a. Periode pengaturan air harus mengikuti periode operasi saluran utama; b. Pengelolaan air tingkat tersier harus dilakukan secara intensif dan cermat, mengingat alokasi air di bangunan sadap telah dihitung secukupnya dengan komputer; c. Intensitas musyawarah antar petani harus dilakukan makin sering untuk menghindari perselisihan. Unit Operasional Menurut KP 05 (Kriteria Perencanaan Irigasi bagian Petak Tersier, 1986), untuk dapat mendistribusikan air secara sistematis, petak tersier harus dibagi ke dalam unit-unit operasional. Unit operasional tersebut harus mempunyai batas yang jelas di lapangan dimana masing-masing memperoleh air dari satu atau beberapa sumber (pintu) air. Terdapat tiga tingkatan unit operasional yakni blok sub tersier, blok kwarter dan jalur petakan (farm strips). Pendekatan unit operasional dari bawah (downstream) adalah sebagai berikut: PETAK SAWAH JALUR BLOK KWARTER BLOK SUB-TERSIER PETAK TERSIER Pada daerah dengan topografi bergelombang umumnya di dalam jalur, air irigasi diberikan dari petak ke petak. Untuk mempercepat pengaliran air ke petakan bagian bawah umumnya di petakan atas dibuat saluran cacing di pinggir pematang atau di tengah-tengah petakan (kakalen). Batas setiap jalur sulit dibuat dalam suatu rancangan (berdasarkan garis kontur yang ada), akan tetapi pada pelaksanaannya di lapangan para petani akan dapat

137 membatasinya. Sistem ini menghasilkan suatu sistem operasional yang jelimet sehingga tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh petani di lapangan. Akibatnya ketidakseimbangan antara hulu-hilir pada musim kemarau selalu merupakan hal yang umum terjadi di daerah irigasi teknis. 9.2.5. Sistem Informasi Pengelolaan (SIP) drainase Pada prinsipnya OP saluran drainase adalah menjaga kemampuan debit yang mengalir sesuai dengan rencana. Permasalahannya adalah endapan sedimen dan kotoran sampah dan tebing sungai. Pemeliharaannya harus rutin dan berkala membersihkan kotoran dan mengangkat sedimen sepanjang tahun. Pada saluran drainase primer di pantai harus rutin dilakukan pengerukan. Kondisi sekarang ini jaringan saluran drainase di petak tersier banyak yang diubah jadi lahan pertanian karena petani melihat bahwa sistem drainase di tersier tidak bekerja dengan baik akibat tidak terpeliharanya saluran drainase di sekunder, primer, dan utama. Sistem informasi pengelolaan drainase sekarang ini hampir tidak ada. Petugas tidak mengetahui bagaimana kinerja sistem drainase. Kejadian banjir tidak bisa diperkirakan dan diantisipasi. Dalam modernisasi harus ada sistem informasi pengelolaan drainase dengan garis besar sebagai berikut: a. Juru pengairan melakukan inspeksi rutin (mingguan) di lokasi-lokasi tertentu dan melaporkan ke pusat komputer; b. Selain inspeksi rutin juru pengairan harus melakukan inspeksi pasca banjir; c. Informasi tersebut diolah di Pusat Komputer agar menghasilkan perintah pengendalian banjir dan pengelolaan saluran drainase. 9.3. Sistem Operasi 9.3.1. Pengumpulan data Pada keadaan sistem pengelolaan irigasi sekarang, pengelolaan informasi dilakukan dengan mengisi blanko-blanko yang disediakan sesuai ketentuan berupa pengumpulan data, tahap perencanaan dan tahap operasional seperti tertuang dalam Pedoman OP Irigasi Permen PU No 32/PRT/M/2007. Pengumpulan data dilakukan secara manual. Selama ini dilakukan sebagai berikut:

138 Data hujan, debit air, luas tanaman, jenis tanaman, umur tanaman, kerusakan tanaman yang terkena banjir, keadaan tanaman yang kekeringan ditulis dalam blanko per kejuron (750 ha-1.500 ha) oleh juru pengairan dan dilaporkan setiap 10 hari/15 hari ke pengamat pengairan untuk diproses atau diteruskan ke atasannya. Pengamat memproses atau mengevaluasi data per sistem hidrologi per sekunder/per daerah irigasi (5.000 ha-7.500 ha) secara manual/dihitung, dikelompokkan, kemudian dibawa ke rapat di kantor irigasi kabupaten bersama seksi operasi dan pemeliharaan. Di kantor irigasi kabupaten, data dikelompokkan per daerah irigasi dan per kabupaten/kota, dievaluasi dari seluruh pengamat untuk dilaporkan ke provinsi dan pemerintah pusat lewat balai wilayah sungai. Kendala terkumpulnya data sangat lama, apabila dipakai untuk mengambil keputusan selalu terlambat, menjemukan dan tidak akurat. Dalam rangka modernisasi operasi pemeliharaan irigasi dan drainase dengan pola pemberian air semi-demand dan kendali hulu, diharapkan data lapangan terkumpul secara real-time dan terkirim ke pusat operasi utama untuk diolah oleh komputer dengan adanya software manajemen pengumpulan data dan telemetri. Data yang diperoleh dari lapangan diolah meliputi: a. Data debit/data elevasi muka air (sensor muka air) di bangunan-bangunan utama saluran induk, saluran sekunder dan saluran drainase utama. Data bukaan pintu utama dan sekunder, data debit dan lamanya pompa. b. Data curah hujan dari banyak stasiun hujan di catchment area dan di banyak kawasan areal irigasi yang masing-masing diwakili satu stasiun curah hujan atau stasiun klimatologi telemetri,.dan data elevasi waduk, data titik kritis dari sungai. Dari data hidrologi dan klimatologi dianalisa sebagai alokasi air dengan sotware komputer. c. Data pertanian, jenis tanaman, luas tanam, umur tanaman per petak tersier atau per sistem hidrologi, tetap pada awal laporan menggunakan tenaga juru pengairan yang bersangkutan melaporkan data tersebut lewat sistem SMS dengan handphone atau lewat komputer atau lewat telepon dengan modem. Data tanaman tersebut diperoleh dari Kelompok P3A yang mengirim ke juru pengairan lewat SMS. d. Data ini dikumpulkan untuk menghitung kebutuhan air untuk tanaman, dapat terkirim ke pusat komputer setiap saat atau dapat diprogram

139 terkirim setiap hari jam 08.00 pagi lewat kantor komputer lokal. Dengan adanya pengumpulan data lewat informasi teknologi diteruskan/ diproses atau diolah oleh komputer di pusat ruang operasi utama, diharapkan pengolahan data dalam rangka pengelolaan irigasi modern khususnya operasional irigasi dilaksanakannya pengelolaan irigasi berorientasi pelayanan (Service Oriented Management-SOM) dengan data real-time. Dengan software komputer, data yang masuk kemudian diolah, dianalisa menjadi analisa data hujan, ramalan run off dari daerah tangkapan hujan, ramalan hujan efektif dengan perkiraan 70%, 80% dan 90%, ramalan inflow mingguan. Data ketinggian air di waduk, data di titik kritis di sungai di upstream dan downstream untuk mengetahui ketersediaan air. Data luas tanaman, umur tanaman dan jenis tanaman untuk setiap lokasi diketahui kebutuhan airnya, kemudian dibuatkan simulasi operasi jaringan irigasi. Supervisor komputer mengolah dan memilih, besarnya kebutuhan air dan intervalnya kemudian dikirim ke lapangan tergantung program pengiriman. Pengiriman dapat setiap hari, 3 hari, mingguan atau bulanan sebagai laporan kemudian disimpan di hard-disk. 9.3.2. Perhitungan kebutuhan air 9.3.2.1. Kondisi sekarang Perhitungan Kebutuhan Air Pada pengelolaan irigasi konvensional di Indonesia, dalam perhitungan kebutuhan air irigasi ada tiga macam perhitungan yaitu: a. Berdasar penyelidikan yang diadakan di daerah Demak, padi genjah: 2 minggu pembasahan dan pembajakan 2,52 l/dt/ha 2 minggu pengolahan dan pembibitan 0,31 l/dt/ha 1 minggu penanaman 1,03 l/dt/ha 3 minggu pemberian air penuh 1,55 l/dt/ha 2 minggu 80% pemberian air penuh 1,24 l/dt/ha 2 minggu 60% pemberian air penuh 0,93 l/dt/ha 2 minggu 40% pemberian air penuh 0,62 l/dt/ha 2 minggu 20% pemberian air penuh 0,31 l/dt/ha 2 minggu tidak diberi air

140 b. Dalam perhitungan kebutuhan air, dalam pembagian dan pemberian air berdasarkan perbandingan dengan dasar kebutuhan air untuk polowijo terhadap tanaman-tanaman di sawah dari masa garap, tanam dan panen. Besarnya kebutuhan air untuk polowijo 0,25 l/det/ha musim kemarau, 0,20 l/det/ha musim hujan. Berdasar hasil percobaan dan pengalaman untuk masing-masing daerah, perbandingan kebutuhan air setiap tahapan sebagai berikut: Tabel 9.3 Kebutuhan air setiap tahapan di beberapa daerah Kegiatan Daerah Keterangan Madiun Bojonegoro Lain Perhitungan Pawinihan 15 20 20 Garap sawah 4,5 6 6 Tanam padi 3 5 4 Tanam tebu 1,5-1,5 pabrik Tanam tebu bibit 1,5-1,5 Polowijo 1 1 1 kebutuhan air dinyatakan sebagai Luas Polowijo Relatip (LPR) sesuai dengan jenis tanaman dan umur tanam. Perhitungan kebutuhan air untuk padi pada pengelolaan irigasi modern, sesuai dengan teori/faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan air untuk tanaman yang meliputi: penyiapan lahan, penggunaan konsumtif, perkolasi, rembesan, dikurangi curah hujan efektif. Untuk penyiapan lahannya dipakai Lengkung Tegal, tetapi setelah lahir Kriteria Perencanaan Irigasi tahun 1986, dipakai metoda van de Goor dan Zilsjtra. 9.3.2.2. Kondisi modernisasi Kebutuhan air tanaman secara tidak langsung dihitung dengan menggunakan rumus empirik berdasarkan data unsur cuaca, dengan menduga nilai evapotranspirasi tanaman acuan 19 (ETo). Akhir-akhir ini FAO (1999) merekomendasikan metoda Penman-Monteith untuk digunakan jika data iklim tersedia (suhu rerata udara harian, jam penyinaran rerata harian 20, kelembaban relatif rerata harian, dan kecepatan angin rerata harian). Selain itu diperlukan juga data letak geografi dan elevasi lahan di atas permukaan laut. Nilai ETo dinyatakan dalam satuan mm/hari setiap bulan dari Januari 19 Evapotranspirasi tanaman acuan (Reference crop evapotranspiration). ETo adalah jumlah air yang dievapo-transpirasikan oleh tanaman rumputan dengan tinggi 15-20 cm, tumbuh sehat, menutup tanah dengan sempurna, pada kondisi cukup air 20 Data jam penyinaran BMG dilakukan selama 8 jam per hari (jam 08.00-16.00). Untuk mengkonvesikan dalam 12 jam per hari, dilakukan konversi S=0,6 Z+0,12, S: rasio jam penyinaran 12 jam, Z: rasio dengan penyinaran 8 jam/hari (BMG) (Berney&Partners, 1985).

141 sampai Desember. Selanjutnya untuk mengetahui nilai ET tanaman (ETc) tertentu maka ETo dikalikan dengan nilai Kc yakni koefisien tanaman yang tergantung pada jenis tanaman dan tahap pertumbuhannya (persamaan /1/). Nilai Kc tersedia untuk setiap jenis tanaman (Tabel 9.3). /1/ Keperluan air untuk tanaman ETc (mm/hari) ini dipenuhi oleh air hujan (efektif) dan kalau tidak cukup oleh air irigasi. Keperluan air irigasi atau KAI (mm/hari) dinyatakan dengan persamaan/2/: /2/ Hujan efektif (Re) (mm/hari) adalah bagian dari total hujan yang digunakan untuk keperluan tanaman. Perhitungan ETo dan daftar nilai Kc untuk berbagai jenis tanaman ada dalam program CROPWAT. Perhitungan hujan efektif mengikuti KP. Re = 1/15 x 70% x R5, R5 adalah hujan setengah bulanan dengan kala ulang 5 tahun. Keperluan air irigasi untuk tanaman padi Seringkali dikatakan bahwa irigasi tanaman padi di sawah adalah merupakan suatu proses penambahan air hujan untuk memenuhi keperluan air tanaman. Tanaman padi sawah memerlukan air cukup banyak dan menginginkan genangan air untuk menekan pertumbuhan gulma dan sebagai usaha pengamanan apabila terjadi kekurangan air. Selama terjadinya genangan air maka perkolasi akan terjadi, dengan demikian perkolasi merupakan proses yang tidak dapat dihindarkan dalam budidaya padi sawah. Keperluan air irigasi untuk tanaman padi dinyatakan dengan persamaan /3/. /3/ Di daerah tropik walaupun pada musim hujan, sering terjadi suatu periode kering sampai 3 minggu tidak turun hujan. Pada situasi tersebut diperlukan air irigasi untuk menjamin pertumbuhan tanaman padi yang baik. Pada umumnya tinggi genangan air adalah sekitar 50-75 mm untuk padi varietas

142 unggul (HYV) 21, sedangkan untuk varietas lokal antara 100-120 mm. Maksimum genangan air yang diijinkan pada HYV adalah sekitar 15 cm.22. Apabila laju evaporasi sekitar 2-6 mm/hari dan perkolasi atau rembesan sekitar 6 mm/hari, maka lapisan genangan air tersebut akan mencapai nol pada selang waktu 4 sampai 15 hari, apabila tidak ada hujan dan air irigasi. Apabila situasi tersebut berlanjut sampai beberapa minggu terutama pada masa pertumbuhan tanaman yang peka terhadap kekeringan maka akan terjadi pengurangan produksi. Suatu tetapan konversi keperluan air biasanya dinyatakan dengan mm/hari yang dapat dikonversi ke suatu debit kontinyu pada suatu areal yakni 1 l/det/ha = 8,64 mm/hari atau 1 mm/hari = 0,116 l/ det/ha 23. Pengolahan tanah Beberapa faktor penting yang menentukan besarnya keperluan air selama pengolahan tanah adalah sebagai berikut: Waktu yang diperlukan untuk pengolahan tanah yakni periode waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pengolahan tanah, pertambahan areal pengolahan tanah dalam suatu grup petakan sawah yang sangat tergantung pada ketersediaan tenaga kerja manusia, hewan atau traktor. (b) Volume air yang diperlukan untuk pengolahan tanah, yang tergantung pada lengas tanah dan tingkat keretakan tanah pada waktu mulai pengolahan tanah (c) Laju perkolasi dan evaporasi (d) Kedalaman lapisan tanah yang diolah menjadi lumpur. Gambar 9.12 Pengolahan tanah 21 HYV: High Yielding Variety (varietas unggul) 22 Berdasarkan penelitian di IRRI (International Rice Research Institute), Los Banos, Filipina 23 1liter =10-3 m 3 ; 1 ha = 10 4 m 2 ; 1 hari = 24 jam = 24 x 60 x 60 detik

143 Periode lama pengolahan tanah Kondisi sosial dan tradisi yang ada serta ketersediaan tenaga kerja manusia, hewan atau traktor di suatu daerah sangat menentukan lamanya pengolahan tanah. Pada umumnya periode yang diperlukan setiap petakan sawah untuk pengolahan tanah (dari mulai air diberikan sampai siap tanam) adalah sekitar 30 hari. Sebagai suatu pegangan biasanya sekitar 1,5 bulan diperlukan untuk menyelesaikan pengolahan tanah di suatu petak tersier. Pada beberapa kasus di mana alat dan mesin mekanisasi tersedia dalam jumlah yang cukup, periode tersebut dapat diperpendek sampai sekitar 1 bulan. Total periode pengolahan tanah di suatu daerah irigasi biasanya antara 1,5 sampai 3 bulan tergantung pada jumlah golongan yang dipakai. Debit yang diperlukan untuk pengolahan tanah Laju penambahan areal pada waktu pengolahan tanah di suatu jalur petakan-petakan sawah yang mendapat pasok air dari satu inlet secara kolektif dalam suatu petak tersier, akan menentukan besarnya debit yang diperlukan. Menurut van de Goor dan Zijlstra (1968) laju pemberian air untuk pengolahan tanah dinyatakan dengan persamaan /4/. /4/; k = MT/S dimana I: laju pemberian air (mm/hari), M: topping up requirement atau Perkolasi+Evaporasi (mm/hari), T: lama periode pengolahan lahan dari mulai awal pemberian air sampai tanam (hari), S: jumlah air yang diperlukan untuk menjenuhkan tanah dan menciptakan lapisan genangan air (mm). Umumnya keperluan air pengolahan tanah berkisar antara 1,5-1,7 l/det/ha untuk nilai M antara 5-8 mm/hari dan S=300 mm dengan T=30 hari. Nilai S=300 mm digunakan untuk MT1, sedangkan S=250 mm untuk MT2. Keperluan air pada berbagai tahap pertumbuhan tanaman Tahap pertumbuhan padi dibagi menjadi: (a) pesemaian (10-30 hss) 24, (b) periode pertumbuhan vegetatif (0-60 hst), (c) periode reproduktif atau generatif (50-100 hst) dan (d) periode pematangan (100-120 hst). Periode pesemaian 24 hss: hari setelah semai; hst: hari setelah tanam

144 Periode ini merupakan awal pertumbuhan yang mencakup tahap perkecambahan benih serta perkembangan radicle (akar muda) dan plume (daun muda). Selama periode ini air yang dikonsumsi sedikit sekali. Apabila benih tergenang cukup dalam pada waktu cukup lama sepanjang periode perkecambahan, maka pertumbuhan radicle akan terganggu karena kekurangan oksigen. Areal pesemaian umumnya antara 2%-10% dari areal tanam. Lama pertumbuhan antara 20-25 hari. Jumlah keperluan air di pesemaian kurang lebih sama dengan penyiapan lahan. Sehingga keperluan air untuk pesemaian biasanya disatukan dengan keperluan air untuk pengolahan tanah. Pertumbuhan vegetatif Periode ini merupakan periode berikutnya setelah tanam (transplanting) yang mencakup (a) tahap pemulihan dan pertumbuhan akar (0-10 hst), (b) tahap pertumbuhan anakan maksimum (10-50 hst), dan (c) pertunasan efektif dan pertunasan tidak efektif (35-45 hst). Selama periode ini akan terjadi pertumbuhan jumlah anakan. Segera setelah tanam, kelembaban yang cukup diperlukan untuk perkembangan akar-akar baru. Kekeringan yang terjadi pada peiode ini akan menyebabkan pertumbuhan yang jelek dan hambatan pertumbuhan anakan sehingga mengakibatkan penurunan hasil. Pada tahap berikutnya setelah tahap pertumbuhan akar, genangan dangkal diperlukan selama periode vegetatif ini. Beberapa kali pengeringan (drainase) membantu pertumbuhan anakan dan juga merangsang perkembangan sistem akar untuk berpenetrasi ke lapisan tanah bagian bawah. Fungsi respirasi akar pada periode ini sangat tinggi sehingga ketersediaan udara (aerasi) dalam tanah dengan cara drainase (pengeringan lahan) diperlukan untuk menunjang pertumbuhan akar yang mantap. Selain itu drainase juga membantu menghambat pertumbuhan anakan tak efektif (non-effective tillers). Periode reproduktif (generatif) Periode ini mengikuti periode anakan maksimum dan mencakup tahap perkembangan awal malai (panicle primordia) (40-50 hst), masa bunting (50-60 hst), pembentukan bunga (60-80 hst). Situasi ini dicirikan dengan pembentukan dan pertumbuhan malai. Pada sebagian besar periode

145 ini dikonsumsi banyak air. Kekeringan yang terjadi pada periode ini akan menyebabkan beberapa kerusakan yang disebabkan oleh terganggunya pembentukan panicle, pembungaan dan fertilisasi yang berakibat pada peningkatan sterilitas sehingga mengurangi hasil. Periode pematangan Periode ini merupakan periode terakhir dimana termasuk tahapan pembentukan susu (80-90 hst) (milky), pembentukan pasta (90-100 hst) (dough), matang kuning (100-110 hst) dan matang penuh (110-120 hst). Selama periode ini sedikit air diperlukan dan secara berangsur-angsur sampai sama sekali tidak diperlukan air sesudah periode matang kuning. Selama periode ini drainase perlu dilakukan, akan tetapi pengeringan yang telalu awal akan mengakibatkan bertambahnya gabah hampa dan beras pecah, sedangkan pengeringan yang terlambat mengakibatkan kondisi kondusif tanaman rebah. Keperluan air irigasi di pintu tersier dan di bendung Perhitungan KAI di atas adalah merupakan kebutuhan air netto tanaman di lahan. Keperluan air irigasi di beberapa tingkatan dikoreksi dengan besarnya efisiensi irigasi yang terjadi. a. Keperluan air irigasi di petakan sawah = KAI/Efisiensi pemakaian air (%) b. Keperluan air irigasi di Pintu Tersier = Keperluan air irigasi di petakan sawah/efisiensi penyaluran air di petak tersier (%) c. Keperluan air irigasi di Pintu Sekunder = Keperluan air irigasi di Pintu Tersier/Efisiensi penyaluran air di jaringan sekunder (%) d. Keperluan air irigasi di Bendung = Keperluan air irigasi di Pintu Sekunder/Efisiensi penyaluran air di jaringan primer (%) Dalam modernisasi perhitungan kebutuhan air setiap periode operasi (1-3 harian) dinyatakan dengan Gambar 9.13.

146 Gambar 9.13 Alir informasi dari lapang ke pusat operasional pengelolaan air (OMIS ver 7.00) 9.3.3. Pembagian dan pemberian air 9.3.3.1. Pembagian air di jaringan utama Sistem pembagian dan pemberian air pada irigasi konvensional tergantung ketersediaan air di intake (on supply) kemudian diatur, dibagi dan diukur untuk bisa sampai ke petak sawah. Pembagian air dilakukan setiap 10 hari atau 15 hari tergantung wilayah pengelolaan irigasi. Dasar pembagian dan pemberian air dari ketetapan pengamat atau pengelola irigasi kabupaten setelah mengevaluasi debit rata-rata dalam 10 hari atau 15 hari dibandingkan debit kebutuhan tanaman untuk sejumlah intake tersier, bangunan bagi sekunder atau intake primer. Hasil perbandingan tersebut berupa faktor K atau faktor polowijo relatif, kemudian ditetapkan untuk 10 hari atau 15 hari mendatang. Tujuan pembagian dan pemberian air adalah on supply untuk dibagi merata sesuai kebutuhan tanaman untuk seluruh daerah irigasi. Apabila jumlah air tidak cukup, maka diambil tindakan berupa aturan giliran. Metoda ini mempunyai kendala apabila air tidak cukup (menjelang musim kemarau/betatan), aturan giliran tidak tegas, petani membutuhkan air, maka

147 akan timbul rebutan air dan berlanjut kerusakan pintu air atau pembobolan saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier. Sistem pembagian dan pemberian air pada irigasi modern didasarkan kebutuhan air (on demand), pembagian dan pemberian air berdasarkan kebutuhan tanaman yang berorientasi pelayanan (Service Oriented Management, SOM). Pembagian dan pemberian air tidak kaku setiap 10 hari atau 15 hari dialiri air sesuai ketersediaan air, tetapi setiap saat, setiap hari atau setiap 3 hari air diatur bagi kebutuhan pelayanan air untuk tanaman di lapangan. Ketersediaan air guna mencukupi kebutuhan pelayanan air untuk petani dan lainnya, maka pada irigasi modern dilakukan untuk tanaman padi cara intermittent atau PTT atau irigasi dangkal. Ketersediaan air yang cukup dilakukan pembangunan waduk besar atau waduk kecil di lapangan untuk suplesi jaringan irigasi. Atau dibangun pompa air tanah atau pompa air sungai kemudian dibuat conjungtive use. Dan dapat juga dengan lining saluran induk, sekunder, tanggul saluran dipertinggi dengan irigasi downstream control. Untuk daerah irigasi atau lapangan yang telah menerapkan irigasi hemat air (misalnya SRI, PTT atau genangan dangkal kontinyu), sistem yang diterapkan adalah Demand Oriented System. Hasil pelayanan penyaluran air yang nyata ke unit satuan lahan atau sawah adalah: a. Pengukuran volume air ke unit satuan lahan harus baik, alat ukur dioperasikan dengan tepat dan tercatat. b. Kemudahan (fleksibilitas) tidak terbatas baik frekuensi, debit dan lamanya aliran dan pengguna air dapat mengatur dalam beberapa hari. c. Kepastian aliran (reliability) untuk setiap satuan lahan, dimana air selalu tiba dengan frekuensi, debit aliran, dan lamanya dapat dipastikan, volumenya diketahui. d. Keadilan penyaluran air ke setiap unit lahan (equity), semua petak lahan di daerah irigasi ini dan di setiap petak tersier menerima pelayanan penyaluran air yang sama. Guna lebih memudahkan pembagian dan pemberian air, harus ada perencanaan rancangan tata tanam global untuk satu tahun dan khusus untuk tanaman padi sistem golongan diterapkan secara menyeluruh dan konsisten.

148 Pengaturan dan pemberian air diatur oleh program komputer dan dikirim setelah mendapatkan/mengevaluasi data hidrometeorologi/ debit, muka air, kebutuhan air untuk tanaman, hujan/perkolasi dari sebanyak mungkin fasilitas sistem, data real-time dan petugas (personalia) yang tersedia. Tampilan dari simulasi komputer mengolah data, mudah dipahami dengan menggunakan tabel, grafik, gambar dan kode warna sehingga memudahkan untuk mengambil keputusan dalam rangka pembagian dan pemberian air. Hasil simulasi mungkin perlu penyesuaian antara rancangan satu tahun dengan keadaan saat itu. Perhitungan pembagian dan pemberian air dilakukan oleh pusat komputer. Kemudian dikirim ke pengamat pengairan, dan ke juru pengairan untuk dirinci per tersier dan dilaksanakan oleh PPA dengan remote kontrol pada setiap pintu (setiap pintu besar dipasang microprocessor) dan power dan petugas pintu manual setiap sadap tersier. Cara alokasi air ke petak tersier terdiri dari tiga hal yang tergantung pada kebijakan pemberian air sebagai berikut: (1) Pasok Diatur (Arranged Supply): dinas irigasi menentukan debit pemberian air irigasi ke petak tersier berdasarkan dugaan jumlah air yang diperlukan tanaman, atau berdasarkan ketersediaan air di bendung. Sistem kendali aliran air biasa disebut dengan kendali hulu atau upstream control. Suatu rencana operasional harus dibuat sebelumnya. Rencana tersebut terdiri dari: (a) Tanggal mulai dan ahir musim tanam, (b) waktu pengeringan saluran untuk pemeliharaan, (c) jumlah distribusi air, (d) jadwal pemberian air ke masing-masing petak tersier, (e) pola tanam yang disarankan. (2) Semi-demand supply: Dinas irigasi menentukan pemberian air ke petak tersier berdasarkan pada permohonan awal dari pengguna air. Sejumlah air dilepas dari bendung dan didistribusikan ke jaringan irigasi berdasarkan jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya. Waktu respon akan menentukan keterlambatan antara permintaan dengan pemberian. Sistem kendali aliran air biasanya upstream control. Permintaan jumlah air dari setiap petak tersier dihitung dan dibandingkan dengan ketersediaan air, dan aktual alokasi diputuskan oleh pengelola, sehingga akan ada waktu tenggang (time lag). (3) On-demand supply: pengguna air menentukan jumlah air ke petak tersier, dan akan menerima pasok segera setelah permohonan diajukan

149 ke Petugas Irigasi. Petugas pintu air akan membuka pintu sadap tersier setiap saat (frekuensi fleksibel), menerima debit kecil atau besar sesuai permintaan (debit fleksibel), dan mengalirkan air selama dibutuhkan (lama irigasi fleksibel). Sistem distribusi air di jaringan utama harus bersifat pengaturan sendiri (self regulating), seperti pada downstream control. Upstream Water Control (UWC) Sistem kendali hulu (upstream water control) adalah sistem kendali aliran dimana suatu regulator akan mempertahankan muka air konstan di bagian hulu (Gambar 9.14). Sistem ini dioperasikan berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan. Debit di setiap sadap tersier harus sudah ditentukan, dijumlahkan dan dimasukkan faktor efisiensi penyaluran untuk menghitung debit di sekunder dan di primer. Jika terjadi perubahan debit di bendung, maka perubahan debit akan bergerak ke arah hilir secara bertahap dalam waktu yang cukup lama. Downstream Water Control (DWC) Pada DWC muka air sebelah hilir regulator dipertahankan konstan sehingga biasa disebut downstream water level control (Gambar 9.15). Debit pada setiap regulator muka air secara otomatik disesuaikan dengan akumulasi kebutuhan air irigasi di sebelah hilir. Kendali hilir (downstream control) dipasang di saluran primer atau sekunder, tidak di sistem tersier. Kendali hilir biasanya dipakai untuk on demand supply di petak tersier. Jika kapasitas dan simpanan saluran cukup besar, ada kemungkinan petak tersier mengambil air lebih banyak tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Akan tetapi perlu dicek supaya kapasitas saluran tidak terlampaui. Prosedur pasok air lebih sederhana dan lebih andal (reliable) daripada upstream control, karena secara otomatik sistem akan tanggap pada perubahan debit di petak tersier. Pada downstream control diperlukan level top canals dengan tanggul horisontal antar ruas regulator untuk fasilitas debit nol. Kapasitas saluran harus cukup besar mengakomodir volume yang besar berkaitan dengan muka air pada debit nol yang berada di atas muka air pada debit maksimum. Pengguna air dapat memutuskan frekuensi, debit dan lama penggunaan air irigasi. Hal ini membuat Dinas Irigasi lebih mudah, dan petani dapat memanfaatkan air lebih baik di petakan sawah. Perbandingan keuntungan

150 dan kerugian pada sistem kendali hulu dan hilir dinyatakan pada Tabel 9.4. Tabel 9.4 Perbandingan keuntungan dan kerugian pada sistem kendali hulu dan hilir 25 No Upstream Control Downstream Control 1 Pengelolaan Air harus dikendalikan oleh water operator center dimana instruksi bukaan pintu diberikan ke setiap regulator, berdasarkan ketersediaan air dan kebutuhan air 2 Pengetahuan sebelumnya tentang pola tanam dan kebutuhan air diperlukan untuk mendapat distribusi air yang tepat waktu 3 Pengukur debit dan pengatur debit diperlukan untuk mendistribusikan air dari bendung sampai ke sadap tersier 4 Pasok air yang diperlukan hanya tersedia secara bertahap dan selalu berkurang 5 Pengguna air sebelah hulu akan lebih diuntungkan daripada pengguna hilir, pada waktu terjadi kekurangan air 6 Aliran super kritis (misal bangunan terjun) dalam ruas saluran antar regulator masih diijinkan Kebutuhan air akan dipenuhi sepanjang debit di bendung tersedia Pengetahuan sebelumnya tentang pola tanam dan kebutuhan air, tidak diperlukan Pengukur debit tidak diperlukan. Parameter yang dikendalikan adalah elevasi muka air Debit yang diinginkan cepat segera tersedia sesuai kebutuhan Pada waktu kekurangan air, pengguna sebelah hilir masih diuntungkan Aliran super kritis (misal bangunan terjun) dalam ruas saluran antar regulator tidak diijinkan. Hanya diijinkan pada regulator saja 7 Bangunan terjun dapat dipilih dikombinasikan dengan regulator Bangunan terjun hanya mungkin pada regulator 8 Tidak ada pembatas kemiringan dasar saluran Kemiringan saluran harus cukup kecil untuk manampung wedge storage untuk pasok air seketika, biasanya < 0,3 permil 25 Sumber: Ankum, P. 1991. Flow Control in Irrigation Systems. International Institute for Hydraulic and Environmental Engineering, Delft, The Netherlands.

151 Gambar 9.14 Upstream Control

152 Gambar 9.15 Downstream Control 9.3.3.2. Metoda penggunaan air pada padi sawah Terdapat dua metoda pemberian air untuk padi sawah yakni: (a) Genangan terus-menerus (continuous submergence) yakni sawah digenangi terus menerus sejak tanam sampai panen; (b) Irigasi terputus atau berkala (intermittent irrigation) yakni sawah digenangi dan dikeringkan berselangseling. Permukaan tanah diijinkan kering pada saat irigasi diberikan. Keuntungan dan kerugian irigasi berkala adalah sebagai berikut: (a) menciptakan aerasi tanah, sehingga mencegah pembentukan racun dalam tanah, dan merangsang pertumbuhan akar optimum; (b) menghemat air

153 irigasi; (c) mengurangi masalah drainase; (d) mengurangi emisi metan 26, ; (e) operasional irigasi lebih susah. Keuntungan irigasi kontinyu adalah: (a) tidak memerlukan kontrol yang ketat; (b) pengendalian gulma lebih murah; (c) operasional irigasi lebih mudah. Perhitungan interval waktu irigasi padi sawah dengan pemberian air secara berkala dihitung dengan persamaan /5/. /5/ n: interval/selang irigasi (hari), BA: Batas atas genangan (mm), BB: Batas bawah genangan (mm), ETc max: Maksimum evapotranspirasi (mm/hari), Per: Perkolasi (mm/hari), Re: hujan efektif (untuk tingkat pengamanan dapat diasumsikan nol). Metoda pemberian air pada non-padi Untuk tanaman non-padi sawah kondisi tanah dalam keadaan kering, maka air irigasi harus diberikan dengan debit besar 27 supaya air menyebar seragam dalam waktu yang singkat ke seluruh petakan, sehingga efisiensi pemakaian air (application efficiency) menjadi cukup besar. Umumnya untuk tanaman palawija air irigasi diberikan lewat permukaan dengan metoda alur (furrow irrigation) atau guludan. Perhitungan interval waktu irigasi non-padi dihitung dengan persamaan /6/. /6/ RAM: Lengas tanah segera tersedia (ready available moisture) (mm), p: faktor deplesi, TAM: Total lengas tanah tersedia (total available moisture) (mm) = {Kapasitas Lapang (% vol) - Titik Layu (% vol)} x Kedalaman akar (mm), ETc max: evapotranspirasi maksimum (mm/hari). Besarnya faktor deplesi (p) tergantung pada tingkat kepekaan tanaman terhadap kekeringan. Umumnya nilai p sayuran lebih kecil dari tanaman palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau). 26 Penelitian di Taiwan: emisi metan pada genangan kontinyu (28.85±3.25 g/m2; rerata laju emisi 9.54±1.07 mg m-2 h-1) lebih besar daripada intermittent (rerata 15.27±1.46 g/ m2; rerata laju emisi 5.39±0.56 mg m-2 h-1). 27 Biasanya sekitar 5-10 liter/detik

154 Penggunaan air dalam irigasi konvensional Penggunaan air dalam sistem irigasi konvensional, pada umumnya boros utamanya penggunaan air untuk tanam padi. Penggunaan air di sawah/ bersih (netto) adalah air untuk evapotranspirasi, perkolasi, penggantian lapisan air, curah hujan efektif sebagai pengurang kebutuhan air. Selain itu ada kebutuhan air untuk menghambat pertumbuhan gulma setinggi 3 cm sampai 5 cm saat padi setelah tanaman 4 hari sampai 30 hari. Kemudian setelah padi umur 35 hari sampai 7 hari sebelum panen air genangan setinggi 5 sampai 10 cm, hanya ada pengeringan 5 hari saat padi umur 50 sampai 55 hari. Penggunaan air lainnya adalah kehilangan air di lapangan tergantung struktur dan jenis tanah. Penggunaan air pada irigasi modern Pada pengelolaan irigasi sistem modern, diharapkan penggunaan air efisien, hemat air, sedikit mungkin air terpakai perkolasi, tetapi air terpakai hanya untuk consumtive use saat periode vegetatif. Tujuan menciptakan aerasi yang baik di daerah perakaran sehingga merangsang pertumbuhan akar yang kuat. Pada periode anakan sawah lebih baik dikeringkan supaya jumlah anakan lebih banyak. Pada periode pembungaan dan periode pengisian bulir sampai masak susu, sawah diairi terus menerus dipertahankan macakmacak sebesar 0-5 mm. Fase ini tanaman padi sangat peka terhadap kekurangan air. Implementasinya pengelolaan irigasi dilakukan dengan sistem intermittent dan konsep pengelolaan tanaman terpadu. Air irigasi diberikan secara berkala melalui parit kecil (caren) di petakan sawah, dengan batas atas genangan 3 cm dan batas bawah pada kondisi tanah retak rambut yakni kadar air antara kapasitas lapang dengan kapasitas jenuh. Selang irigasi dihitung dengan jumlah air batas atas dan batas bawah dibagi dengan besarnya Evapotranspirasi Maksimum Tanaman+Perkolasi. Ternyata untuk musim kemarau (MK) pemberian air 5 hari sekali selama 24 jam dan musim hujan (MH) pemberian air 7 hari sekali. Sistem pemberian air seperti ini dapat dilakukan dengan cara rotasi antar kwarter. Besarnya pemberian air setinggi 20 mm dimanfaatkan untuk melaksanakan penyiangan dengan menggunakan alat penyiang landuk atau grendul. Penggunaan air bruto irigasi padi di intake adalah kebutuhan air (netto) di sawah ditambah kehilangan air di intake.

155 Dengan demikian periode operasi irigasi real time (1-3 hari) diterapkan pada jaringan primer dan sekunder sampai ke pintu sadap tersier. Sedangkan selang (interval) irigasi diterapkan di dalam tersier sampai ke petak sawah petani. 9.3.4. Monitoring kehilangan air Perkiraan kehilangan air di saluran, selama ini diasumsikan sebagai berikut: Kehilangan air di tersier sebesar 20%, efisiensi = 80% Kehilangan air di sekunder sebesar 10%, efisiensi = 90% Kehilangan air di primer sebesar 10%, efisiensi = 90% Efisiensi total = 0,8 x 0,9 x 0,9 = 0,64 = 64% Perkiraan seperti itu diterapakan di seluruh daerah irigasi di sepanjang waktu operasi irigasi. Hal ini akan menimbulkan ketidakcermatan dalam menghitung penyediaan air di pintu pengambilan. Seharusnya kehilangan air di saluran dilakukan pengamatan seperti yang tertulis pada sub Bab 7.5. tentang kehilangan air. Berdasar kehilangan air ini dihitung kembali efisiensi irigasi yang akan dipakai untuk operasional irigasi di masa datang. Disamping itu dapat dipakai sebagai masukan perbaikan bangunan atau saluran untuk menekan kehilangan air. Monitoring kehilangan air di sawah kita sebut perkolasi, berpengaruh sekali pada saat kebutuhan air untuk pengolahan tanah, pada sistem irigasi konvensional atau irigasi modern. Pada pertumbuhan tanaman padi vegetatif, fase peranakan, fase pembungaan sampai pengisian bulir perkolasi terjadi. Monitoring kehilangan air di saluran dilakukan setiap tahun atau setiap musim (setahun dua kali), tujuan untuk memperkecil bocoran setelah mengetahui sebab-sebabnya. 9.3.5. Bukaan pintu Pada sistem jaringan irigasi dengan pengelolaan konvensional, masalah membuka dan menutup pintu sudah ada pedomannya. Untuk pintu-pintu intake tersier dibuka/diatur bukaannya sesuai debit air yang ditetapkan setiap 10 hari atau 15 hari sekali, demikian pula pintu-pintu pada bangunan pengatur dan pembagi. Khusus untuk pintu intake saluran induk dibuka penuh sesuai elevasi muka air di bendung setiap hari, tetapi saat terjadi banjir pintu ditutup

156 sebagian besar guna menghindari waled atau sedimen akibat banjir masuk saluran. Kemudian pintu flushing bendung dibuka setelah banjir rendah, guna menggelontor waled atau sedimen di muka intake saluran. Kendala terjadi kalau banjir tengah malam secara mendadak dan petugas pintu air jauh dari bendung, maka terjadi keterlambatan tutup pintu intake saluran induk yang berakibat sedimen masuk saluran. Akibat sedimen masuk saluran terjadilah masalah bergulir, pertama saluran induk dangkal, kapasitas saluran berkurang utamanya saat musim kemarau, sehingga ada sawah yang tidak dapat air. Petani dirugikan, petani berebut air, petani merusak saluran dan bangunan air. Pada sistem modernisasi pengelolaan irigasi, dengan buka tutup pintu setiap saat yang dikendalikan dari ruang operasi utama, maka kejadian sedimen masuk saluran tidak terjadi, sebab: (a) Sistem mampu menjembatani operasional bangunan kontrol penting (pintu-pintu utama), dan lewat sensor muka air dan alat hidrometeorologi kemudian mentransmisikan data ke komputer pusat di ruang operasi utama; (b) Pintu utama buka tutup secara elektrik dengan dikontrol oleh mikroprosesor dengan komputer yang tenaga listriknya didapat dari PLN atau tenaga solar cell; (c) Sistem mensimulasikan kinerja sistem irigasi dengan beberapa skenario, maka diambil/didapat strategi keputusan sebelum kejadian. Berarti pintupintu bangunan bagi dan sadap tersier dan pintu-pintu utama drainase buka tutupnya berdasar keputusan setelah diolah oleh komputer, bisa setiap hari, bisa tiga hari sekali; (d) Setiap pintu-pintu utama di bangunan bagi atau sadap ada petugas pintu air yang mengoperasikan/menjaga operasi pintu dan tetap Juru Pengairan bertanggung jawab pelaksanaannya atas perintah dari pusat ruang operasi komputer. 9.3.6. Pelaksanaan operasi Pada pelaksanaan operasi irigasi konvensional berdasarkan irigasi on supply atau irigasi pasok air berdasar persediaan air di sungai dengan tujuan

157 pengelolaan air untuk menyelamatkan tanaman dari kekurangan air apabila tidak ada hujan. Pelaksanaan pengaturan, pembagian pengukuran debit air untuk diberikan ke sawah secara merata ke seluruh areal. Tanaman yang diutamakan adalah padi sebagai dasar ketahanan pangan. Cara pelaksanaannya dengan diawali rancangan Rencana Tata Tanam Global Tahunan yang dibuat oleh staf operasi Kantor Irigasi Kabupaten dan dibantu oleh pengamat yang terkait. Kenyataan Rencana Tata Tanam Global ini dibuat sekali tanpa ada perubahan yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Irigasi Kabupaten dan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten dan ditetapkan oleh Bupati untuk dilaksanakan. Komisi irigasi tidak melakukan rapatrapat khusus, tetapi diajak musyawarah saat rapat bulanan di Kabupaten. Pelaksanaan operasi irigasi untuk membagi air irigasi yang ada, berdasar laporan debit harian yang dilaporkan oleh juru setiap 10 hari/15 hari, kemudian mengevaluasi laporan tanaman dari juru pengairan per tersier (sistem hidrologi) dengan menghitung kebutuhan air yang dikonversi dengan Luas Polowijo Relatip (LPR), maka diketahui Faktor Polowijo Relatip (FPR). Dari nilai FPR yang diketahui, maka dirumuskan nilai FPR mendatang. Atau nilai FPR diganti Pasten atau untuk Jawa Barat diganti faktor K. Apabila nilai FPR atau Pasten atau K lebih kecil dari keadaan normal maka diadakan aturan gilir pembagian air. Pembagian dan pemberian air semacam ini tidak akurat, tidak sesuai kebutuhan tanaman, utamanya saat musim kemarau, air dibagi apa adanya. Kendala dan kelemahan sistem tersebut adalah: a. Perhitungan neraca air kurang akurat b. Operasional pintu terlalu lama sehingga tidak respon terhadap perubahan yang terjadi. Disamping itu kedisiplinan operasional pintu belum optimal. c. Air yang dialirkan ke petak sawah cenderung boros d. Kehilangan air akibat faktor fisik saluran dan pengelolaan masih cukup besar e. Rencana Tata Tanam tidak diimplementasikan dengan konsisten f. Sebagian besar petani kurang puas dengan kinerja pelayanan

158 Dalam modernisasi irigasi dimana harus dapat diwujudkan tingkat layanan seperti tertuang pada Tabel 9.1 (Tingkat layanan minimal dan lanjutan pada modernisasi irigasi), operasional irigasi akan disempurnakan dengan empat tahapan yakni: (a) pembacaan data secra cepat dan tepat, (b) transfer data dengan sistem telemetri, (c) komputerisasi perhitungan neraca air dan pembagian serta pemberian air, dilengkapi dengan tayangan di monitor, (d) perintah bukaan pintu dengan link computer. Keuntungan dari sistem ini adalah: a. Perhitungan neraca air akurat karena dilakukan real time (1-3 hari) b. Operasional pintu lebih respon terhadap perubahan yang terjadi. Disamping itu kedisiplinan operasional pintu lebih dapat terjamin c. Air yang dialirkan ke petak sawah lebih hemat karena dihitung berdasarkan kebutuhan tanaman pada sehari sebelumnya d. Kehilangan air akibat faktor fisik saluran dan pengelolaan relatif kecil, karena kehilangan air diamati setiap tahun dan ditindak-lanjuti dengan perbaikan e. Rencana Tata Tanam diimplementasikan dengan konsisten, karena penyediaan air lebih terjamin dan pemeriksaan tata-tanam lebih intensif f. Sebagian besar petani merasa puas dengan kinerja pelayanan irigasi dan bersedia membayar IPAIR 9.3.7. Blangko operasi Bentuk blangko operasi irigasi pada beberapa provinsi tidak sama, dengan prosedur laporan periodik sepuluh harian atau mingguan. Blangko operasi diawali laporan oleh juru pengairan dihimpun tiap petak tersier kemudian dilaporkan ke pengamat pengairan, dihimpun dan dievaluasi tiap sistem irigasi atau sistem hidrologi sewilayah pengamat. Hasil laporan dari pengamat dilaporkan ke Dinas Irigasi Kabupaten/Kota dihimpun dan dievaluasi tiap sistem irigasi sewilayah masing-masing daerah irigasi. Blangko-blangko diisi secara manual dan dikirim oleh juru saat rapat periodik dan pengamat mengisi blangko juga cara manual dan dikirim ke Dinas Irigasi Kabupaten saat rapat bulanan. Blangko-blangko laporan kemudian dikondisikan dengan kewenangan pengelolaan daerah irigasi yang bersangkutan yaitu daerah irigasi kewenangan Pemerintah Pusat. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Blangko operasi yang dibuat sebagai Lampiran Peraturan

159 Menteri Pekerjaan Umum Nomor 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi Pemeliharaan Jaringan Irigasi perlu ditambahkan kolom-kolom lokasi areal sawah berada di tersier mana. Hal ini untuk menyempurnakan sistem pembagian dan pemberian air berada pada satu sistem hidrologi. Jenis blangko operasi sebanyak empat belas (14) jenis yang harus diisi rutin. Kendalanya laporan blangko sering terlambat. Pada pengelolaan irigasi modern, pengisian blangko berkurang karena data lapangan yang menggunakan alat sensor dan transmiter mengirim secara otomatis ke pusat komputer. Tetapi data kondisi tanaman dan debit di sadap tersier dicatat dan dihimpun lewat blangko atas dasar komunikasi handphone dari P3A kepada Juru Pengairan. Data tersebut dikirim ke pusat komputer lewat link komputer, atau lewat handphone serta SMS pada saat komputer macet. Pada sistem irigasi modern, Sistem Informasi Managemen (SIM) dengan pangkalan komputer, dengan tenaga dan kapasitas yang besar, berarti efektif penggunaan SIM, maka akan ada penghematan dalam waktu dan biaya. Jaringan kerja dengan fasilitas komunikasi dan transmisi data yang murah memungkinkan untuk mengelola, mengintegrasikan database dan meningkatkan proses komunikasi. Meskipun SIM dengan komputer memberikan fleksibilitas dan cakupan yang sangat besar, ketidak-adaan fasilitas komputer (misal rusak) tidak boleh menghambat pelaksanaan SIM, dapat dikerjakan kembali secara manual. Blangko-blangko tetap harus siaga dan akan digunakan apabila fasilitas komputer rusak. Terkait khusus dengan produktivitas air yang harus dilaporkan, maka selain luas tanam, data lain yang harus diukur adalah luas panen dan ubinan (ton GKP/ha) yang didapat bekerja sama dengan Mantri Pertanian. Disamping itu perlu didata luas lahan yang puso (kekeringan) dan gagal panen karena banjir. Untuk itu perlu disiapkan kolom khusus pada blangko yang bersangkutan. 9.3.8. Monitoring dan evaluasi Pada sistem irigasi konvensional, sistem monitoring dan evaluasi mengalami kelambatan karena dari membaca blangko-blangko yang dilaporkan cara manual dan dikirim dengan kurir, kemudian disimpulkan. Monitoring pelaksanaan operasi dilakukan dengan menggunakan daftar simak bagan di blangko operasi. Blangko operasi yang ada sebagai Lampiran Peraturan

160 Menteri PU Nomor 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi Pemeliharaan Jaringan Irigasi perlu ditambahkan kolom-kolom lokasi areal sawah berada di tersier mana. Hal ini untuk menyempurnakan sistem pembagian dan pemberian air berada pada satu sistem hidrologi. Kemudian blangko tersebut dikondisikan dengan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Blangko operasi irigasi yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Timur berdasar Luas Polowijo Relatip sebagai satuan kebutuhan air (pengganti pasten) juga dapat dipakai. Blangko-blangko operasi irigasi yang diisi oleh Juru Pengairan dan Pengamat Pengairan setiap 10 hari/15 hari diisi adalah sebagai data monitoring, meliputi data curah hujan, data pengukuran debit (bangunan ukur tersier, bangunan bagi sekunder dan bangunan intake saluran induk), data pengukuran debit di bendung (pagi, siang dan sore), data luas tanaman (padi, polowijo, tebu dan lainnya), data hasil ubinan, data kerusakan tanaman, dan data perijinan tanaman/data permintaan tanam padi gadu. Evaluasi operasi irigasi berasal dari blangko-blangko yang diisi oleh pengamat pengairan dikirim ke Dinas Irigasi Kabupaten/Kota, kemudian dihimpun menjadi laporan data setiap daerah irigasi, merupakan suatu hasil evaluasi monitoring. Terutama laporan keadaan irigasi yang menggambarkan perhitungan penetapan Faktor Polowijo Relatip untuk Jawa Timur, atau penetapan faktor K untuk selain Jawa Timur merupakan hasil evaluasi keadaan kecukupan air/pembagian/pemberian air berdasar irigasi on supply. Lampiran hasil ubinan, laporan hujan, laporan debit dan laporan tanaman selama satu tahun juga merupakan hasil evaluasi operasi irigasi. Tetapi untuk sistem irigasi modern, monitoring dan evaluasi cepat tersedia setiap saat karena sudah diproses oleh komputer dan disimpan untuk sewaktu-waktu ditayangkan berupa tabel, grafik, peta dan kode warna yang memudahkan untuk dievaluasi oleh pengambil keputusan. Hasil evaluasi selain dikirim pada pengelola irigasi setempat, juga setiap bulan sebagai rekapitulasi monitoring dan evaluasi dikirim ke institusi irigasi propinsi, institusi irigasi pemerintah atau BWS/BBWS. Evaluasi diperoleh dari proses monitoring. Tampilan yang diperlukan evaluasi adalah: (a) Kinerja pertanian Teknik produksi, panen, metode irigasi yang memadai, manajemen pertanian dan hasil ekonomi, efisiensi penggunaan air di lapangan.

161 (b) Kinerja pengelolaan air Kehilangan air (phisik), efisiensi penggunaan air ke seluruh areal irigasi, perkolasi dalam (deep percolation), rembesan pada saluran kehilangan air (operasional), skedul penyaluran air yang memadai. 9.4. Pemeliharaan 9.4.1. Jenis pemeliharaan Pada jaringan irigasi pada umumnya, maupun pada jaringan irigasi modern, jenis pemeliharaan untuk bangunan dan saluran sama saja. Tingkat pemeliharaan pencegahan (rutin dan berkala), biasanya dikerjakan dengan swakelola, demikian pula peralatan mesin, peralatan elektronik dimonitor, jangan sampai rusak. Pemeliharaan penanggulangan/pemeliharaan darurat yang dikerjakan bergotong-royong antara pemerintah dan masyarakat. Pemeliharaan berat atau rehabilitasi, yang dikontrakkan. Kendala pada pemeliharaan adalah mutu pemeliharaan atau mutu saat pembangunan awal yang baik akan berumur panjang, sedangkan mutu yang kurang akan berumur pendek dan membutuhkan pemeliharaan yang mahal. Perbedaan pada sistem irigasi modern adalah pemeliharaan peralatan elektronik/komputer, peralatan komunikasi, peralatan jarak jauh, hubungan radio, monitor jarak jauh dan bangunan fasilitas lain. 9.4.2. Penelusuran saluran Pada sistem jaringan irigasi umumnya atau sistem jaringan irigasi modern, penelusuran saluran yang dilakukan bersama dengan P3A untuk mengetahui kerusakan bangunan dan saluran tetap sama dilakukan. Juru pengairan setiap saat melakukan penelusuran saluran, apabila ditemukan kerusakan maka juru pengairan membuat laporan kerusakan dan dilaporkan ke atasannya setiap 10 hari/15 hari. Apabila ada kerusakan bocor, pemeriksaan dilakukan saat berfungsi, bersama-sama Kepala Seksi Pemeliharaan Dinas Irigasi Kabupaten. Apabila kerusakan pada pondasi/dasar bangunan/dasar saluran, maka pemeriksaannya dilakukan saat pengeringan. Kendala yang terjadi adalah keterlambatan juru pengairan mengetahui kerusakan, karena

162 tidak tersedianya sepeda motor untuk menelusuri saluran. Pada sistem irigasi modern, penelusuran untuk mengetahui kerusakan rutin dilakukan dan segera diambil tindakan pemeliharaan. Di samping itu juga sebagai masukan rencana pemeliharaan tahun berikutnya. 9.4.3. Pengelolaan aset irigasi Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Pasal 67 ayat (2) (5), inventarisasi jaringan irigasi dilaksanakan setahun sekali, inventarisasi pendukung irigasi dilaksanakan lima tahun sekali. Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi pelaksanaan pengelolaan aset irigasi setiap tahun. Evaluasi pelaksanaan pengelolaan aset irigasi dilakukan untuk mengkaji ulang kesesuaian antara rencana dan pelaksanaan pengelolaan aset irigasi. Evaluasi dilakukan secara luas dari keseluruhan jaringan irigasi, misalnya hasil kerja yang buruk termaksud adalah disebabkan karena keadaan dana yang tidak mencukupi untuk operasi dan pemeliharaan, sehingga keuntungan nya kurang mencukupi, atau karena pengaruh ekonomi luar, pengaruh sosial atau karena pengaruh lingkungan. Beberapa hal yang harus disebutkan di dalam kajian adalah: (a) Dokumentasi pencatatan biaya pembangunan dan perkiraan hasilnya (b) Cukup tidaknya hasil pembangunan dibanding biaya operasi dan pemeliharaan (c) Keuntungan dari pembangunan kepada petani, pemerintah dan lainlain. (d) Perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan pengeluaran yang diperlukan. (e) Kesimpulan-kesimpulan mengenai pertanian atau mengenai teknik yang terkait. (f) Perubahan sosial dan lingkungan serta implikasi yang diakibatkan. (g) Efektivitas institusional di dalam mengupayakan sistem yang efisien dan efektif dalam pengoperasian dan pelayanan kepada pengguna air. Program pemeliharaan dan rehabilitasi serta investasi irigasi lainnya harus didasarkan atas hasil kajian pengelolaan aset irigasi.

163 9.4.4. Perhitungan AKNOP Menunjuk amanat UU no 7/2004 pasal 77 ayat 1 menyatakan: pembiayaanpembiayaan sumberdaya air ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumberdaya air, dan amanat PP No 20/2006 pasal 75 ayat 2 menyatakan: pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder didasarkan atas angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi pada setiap daerah irigasi, maka biaya pengelolaan irigasi harus dihitung berdasarkan AKNOP. Praktek yang dilakukan selama ini perhitungan AKNOP selama perencanaan telah dilakukan sesuai dengan persturan perundangan yang berlaku. Tetapi pada kenyataannya realisasi pembiayaan yang diputuskan oleh pemegang otoritas keuangan lebih rendah dari analisa sebelumnya. Akibatnya pada saat pelaksanaan tidak semua kerusakan irigasi dapat diatasi, sehingga ada pekerjaan perbaikan yang tertunda (deferred maintenance). Akumulasi pekerjaan perbaikan yang tertunda ini selama bertahun-tahun akan mengganggu operasional sistem irigasi sehingga kinerjanya menurun yang berakibat pada jeleknya tingkat layanan irigasi. Dalam irigasi modern amanat yang tertuang dalam peraturan perundangan tersebut harus ditaati secara konsisten. Realisasi pembiayaan harus dipenuhi sesuai dengan AKNOP yang sudah dihitung sebelumnya. Dengan cara demikian diharapkan tidak ada lagi pekerjakan perbaikan yang tertunda, sehingga operasional irigasi dapat optimal sesuai dengn harapan irigasi modern. Pada akhirnya layanan irigasi sesuai dengan Tabel 9.1 (Layanan Operasional) dapat terpenuhi. 9.4.5. Koordinasi Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Pasal 12 dan 3, Komisi Irigasi Kabupaten/Kota membantu Bupati/Walikota dan Komisi Irigasi Provinsi membantu Gubernur (Pasal 13 ayat 1, 2 dan 3), melaksanakan koordinasi membantu Bupati/Gubernur dalam rangka pengelolaan irigasi. Dalam rangka koordinasi diharapkan Komisi Irigasi ditingkat Kabupaten dan Provinsi segera terbentuk dan berfungsi untuk melaksanakan koordinasi: (1) Dalam membantu Gubernur atau Bupati/Walikota (a) Merumuskan kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi (b) Merumuskan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi bagi pertanian dan keperluan lain

164 (c) Merumuskan rencana tahunan penyediaan air irigasi (d) Merekomendasi prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi (2) Hanya membantu Bupati (a) Merumuskan pola dan rencana tata tanam pada daerah irigasi masing-masing dalam kabupaten/kota, dengan penetapan ditandatangani Bupati/Walikota. (b) Memberi pertimbangan mengenai izin alih fungsi lahan beririgasi. Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Pasal 28 ayat 1 sampai 6, Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab terhadap pemberdayaan P3A Pemerintah Provinsi dan Pusat memberi bantuan teknis kepada kabupaten/kota dalam pemberdayaan dinas dan P3A. Diharapkan pelaksanaan koordinasi dalam rangka pengelolaan irigasi pada umumnya atau irigasi modern dapat terwujud dengan benar, apabila pemerintah memfasilitasi/ubsidi pada dinas (pelaksana manajemen) dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten Kota melaksanakan pemberdayaan pada petani (P3A). Kemudian dinas (pelaksana manajemen) menyediakan jasa pelayanan kepada petani dengan dibantu koordinasi oleh Komisi Irigasi. Kendala utama adalah setelah ada teknologi yang dapat bekerja sesuai rancang bangun dengan dukungan institusi (dinas/pelaksana manajemen) dan penyediaan dana secara sepadan, maka koordinasi dapat berfungsi. Dalam irigasi modern kagiatan koordinasi antar pemangku kepentingan irigasi harus dilakukan lebih intensif, karena sering terdapat kesenjangan antara tingkat layanan yang harus disediakan pemerintah dengan layanan aktual yang diterima pengguna. Agar system koordinasi berjalan sesuai dengan harapan, dalam irigasi modern harus dipenuhi sebagai berikut: 1. Disediakan biaya khusus (termasuk honorarium) untuk kegiatan koordinasi; 2. Disediakan sekertariat dan ruangan khusus utuk Komisi Irigasi; 3. Melakukan rapat koordinasi minimal 4 kali setahun.

165 9.4.6. Pelaksanaan pemeliharaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaan irigasi berdasar luas yang ditetapkan. Untuk pelaksanaan pemeliharaan dan operasi irigasi kewenangan Pemerintah Pusat, yang bersifat rutin atau berkala, dan dilaksanakan dengan cara swakelola oleh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Jenis pemeliharaan irigasi ada beberapa macam, yaitu: a. Pemeliharaan rutin, dilaksanakan cara swakelola terus menerus sepanjang tahun b. Pemeliharaan berkala, adalah pemeliharaan untuk mencegah kerusakan kecil/sedikit tidak menjadi kerusakan berat, dilaksanakan cara swakelola, bahan dan tenaga tukang disediakan oleh Dinas, petunjuk, pengawasan dan transportasi oleh dinas. c. Pemeliharaan darurat, adalah pemeliharaan segera ditangani cara sementara karena banjir, bencana alam, pelaksanaan dapat cara gotong royong dengan bahan dari Dinas. Tahun berikutnya harus disempurnakan dengan rehabilitasi. d. Pemeliharaan berat, memerlukan rehabilitasi, pelaksanaan dikontrakkan. Meskipun empat jenis pemeliharaan tersebut telah diterapkan pada irigasi sekarang ini, tetapi masih ada kekurangan dalam mengatasi kerusakankerusakan kecil/sedang yang sifatnya mendadak tetapi strategis (misalnya tanggul/saluran jebol, kebocoran saluran, pintu macet, tembok retak, tanggul longsor dan lain sebagainya). Dalam modernisasi irigasi perlu diwujudkan suatu unit pemeliharaan khusus (UPK) yang mampu segera bergerak merespon kerusakan tersebut. Dalam hal bekerja UPK harus dilengkapi dengan: a. Mobil khusus (pick up) mengangkut bahan dan peralatan b. Bahan dan material siap pakai c. Peralatan dan perlengkapan secukupnya d. Tukang dan pekerja yang siap tugas

166 9.4.7. Blangko pemeliharaan Blanko-blanko yang dibuat meliputi blanko operasi dan pemeliharaan. Blanko tersebut sebagai data dan informasi untuk digunakan sebagai membantu pengawasan kegiatan sehari-hari, pengecekan kembali dan evaluasi progres untuk mencapai tujuan bagi petugas managemen. Untuk mengolah arus data dan informasi supaya hasil yang didapat optimal, maka harus dilakukan perencanaan dan pemeliharan yang baik terhadap Sistem Informasi Managemen (SIM). Tanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaan SIM secara jelas harus ditetapkan. Pengisian blanko pemeliharaan diisi oleh pengawas pekerjaan di lapangan dan juga ada blanko yang diisi oleh juru pengairan sebagai petugas operasi dan pemeliharaan yang paling depan, kemudian disampaikan kepada pengamat pengairan. Berdasar Lampiran Peraturan Menteri P.U Nomor 32/ PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, terdapat sepuluh jenis blanko-pemeliharaan Irigasi. Pada sistem irigasi modern, sistem Informasi Managemen (SIM) dengan pangkalan komputer, dengan tenaga dan kapasitas yang besar, berarti efektif penggunaan SIM, maka akan ada penghematan dalam bentuk waktu dan biaya. Jaringan kerja dengan fasilitas komunikasi dan transmisi data yang murah memungkinkan untuk mengelola, mengintegrasikan database dan meningkatkan proses komunikasi. Meskipun SIM dengan komputer memberikan fleksibilitas dan cakupan yang sangat besar, ketidakadaan fasilitas komputer (misalnya rusak) tidak boleh menghambat pelaksanaan SIM dapat dikerjakan kembali secara manual. Sebagai kelengkapan Buku Catatan Pemeliharaan, dalam irigasi modern perlu disiapkan Catatan Pemeliharaan yang dituangkan dalam skhema irigasi dan bangunan setiap tahun yang, disebut Skhema Pemeliharaan Irigasi Tahunan. 9.4.8. Monitoring dan evaluasi Monitoring pemeliharaan ada beberapa item-item yang harus dimonitor dan secara tegas dan jelas dikerjakan oleh unit organisasi yang bertanggung jawab. Rincian yang diperlukan dalam rencana monitoring adalah kegiatan pemeliharaan, jadwal pelaksanaan dan biaya komponen utama, tempat setiap kegiatan, metode dan prosedur setiap kegiatan, format/bentuk, rincian

167 dan cara penyimpanan serta distribusi informasi kemana saja. Evaluasi pemeliharaan, berasal dari kumpulan proses monitoring yang ditampilkan secara sistematis. Organisasi yang bertanggung jawab mengevaluasi secara jelas ditunjuk. Informasi umum yang diperlukan untuk setiap jenis evaluasi sebagai berikut: Sumber data (hasil monitoring) Waktu pelaksanaan evaluasi Metode yang digunakan mengevaluasi Format/bentuk untuk evaluasi yang didistribusikan Siapa yang menerima laporan dan kapan Jenis pemeliharaan jaringan irigasi: a. Pemeliharaan jaringan irigasi yang dilaksanakan secara swakelola pemantauan dilakukan secara swakelola baik pemeliharaan rutin maupun pemeliharaan berkala dilakukan oleh Dinas/Pengelola irigasi bersama P3A/GP3A/IP3A. Pemantauan dilakukan terhadap realisasi penggunaan sumberdaya yang meliputi: tenaga, bahan (pelumas, cat, dsb), peralatan secara berkala dipantau dan dibandingkan dengan program pemeliharaan rutin antara rencana yang telah ditetapkan dan dituangkan dalam blanko 06-P. Waktu pemantauan dapat ditetapkan harian atau mingguan oleh Dinas setiap akhir bulan dilakukan evaluasi, setiap akhir pekerjaan dilakukan evaluasi untuk penyempurnaan kegiatan pemeliharaan yang akan datang. Hasil evaluasi tersebut dikirimkan kepada penanggung jawab. b. Pemeliharaan jaringan irigasi yang dilaksanakan secara kontraktual baik pemeliharaan berkala maupun perbaikan/penggantian, pemantauan/ monitoring dilakukan oleh Dinas/Pengelola irigasi dengan melibatkan peran serta P3A/GP3A/IP3A. Pemantauan dan evaluasi mingguan dengan menggunakan blanko 08-P atau blanko 09-P dan blanko 10-P. Pemantauan dilakukan secara mingguan dan secara bulanan. Apabila pekerjaan sudah selesai, penilaian hasil pekerjaan dilakukan terhadap kuantitas pekerjaan. Juga evaluasi dilakukan terhadap fungsi atau kinerja jaringan irigasi melalui penelusuran jaringan dan pengujian lapangan (trial-run). Monitoring dan evaluasi pemeliharaan untuk jaringan irigasi pada umumnya maupun irigasi modern sama saja.

168 BAB 10 KELEMBAGAAN Telah disebutkan dalam BAB-BAB terdahulu bahwa kelembagaan atau institusi akan menjadi fokus utama dalam pengelolaan irigasi, meskipun peran prasarana juga tidak akan kalah pentingnya dalam pengelolaan irigasi modern. Persoalan kelembagaan atau institusi merupakan sebagian dari proses modernisasi irigasi seperti telah digambarkan pada Gambar 7.1. 10.1. Kelembagaan Irigasi Masa Sekarang Dasar hukum tentang pengelolaan irigasi adalah PP no 20/2006 tentang Irigasi, Bab III pasal 9-15. Dalam Pasal 9 tersebut dikatakan bahwa kelembagaan pengelolaan irigasi (KPI) adalah instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air dan komisi irigasi. Pasal 9 juga tidak mengatakan pada aras mana KPI tersebut diberlakukan. Pasal 9 juga tidak menjelaskan tentang instansi pemerintah apa saja membidangi irigasi. Pasal 10 menjelaskan tentang perkumpulan petani pemakai air, sedangkan pasal 11 15 menjelaskan tentang tugas, keanggotaan, pembentukan, tugas pokok, wilayah kerja komisi irigasi di daerah. Di aras Pemerintah pusat paling tidak terdapat empat Kementerian yang membidangi irigasi, yaitu masing-masing: (i) Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, (ii) Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana, (iii) Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan/BAPPENAS dan (iv) Kementerian Dalam Negeri. Selaras dengan instansi pusat maka di aras daerah baik provinsi maupun kabupaten terdapat empat instansi atau Satuan Kerja Pembangunan Daerah (SKPD) pula yang membidangi irigasi masing-masing Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air, Dinas Pertanian. Namun baik di Provinsi dan Kabupaten nama masing-masing SKPD sangat beragam. Tentu saja keragaman nama tersebut juga akan mempengaruhi tugas pokok intansi (tupoksi) dan kompetensi staf SKPD bersangkutan.

169 10.1.1. Institusi penyusun dan aturan hukum perundangan irigasi Di Indonesia aturan hukum perundangan-undangan saat ini mengikuti UU no 12/2011 tentang Pembentukan Aturan Perundang-undangan. Dalam UU tersebut disebutkan dalam pasal 7 ayat 1 bahawa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Peraturan Presiden; (6) Peraturan Daerah Provinsi; dan (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Sesuai dengan pasal 7 ayat 1 UU tersebut maka dalam irigasi telah dipunyai UU no 7/2004 tentang Sumberdaya Air sebagai produk aturan hukum dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah serta PP no 20/2006 tentang Irigasi. Selain aturan perundangan-undangan yang tercantum dalam pasal 7 ayat 1 tersebut masih terdapat beberapa peraturan lain yang dibuat oleh institusi lain yang dicantumkan dalam pasal 8 ayat 1 no 12/2011. Untuk irigasi telah terdapat beberapa Peraturan Menteri yang diamanatkan oleh PP no 20/2006. Selain itu pada saat ini hampir semua daerah di Indonesia telah mempunyai PERDA tentang irigasi baik di aras provinsi maupun kabupaten, meskipun pelaksanaannya masih sangat beragam. Kesulitan memahami isi peraturan dan persepsi masing-masing pelaku menjadi sebab utama dalam pelaksanaan aturan yang kurang sepadan tersebut. Institusi BAPPEDA sering bertindak sebagai koordinator tetapi sering juga Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membawahi kewenangan irigasi bertidak sebagai koordinator penyusun Peraturan Daerah (PERDA) Irigasi. 10.1.2. Institusi koordinasi pembangunan dan pengelolaan irigasi Di Indonesia fungsi koordinasi hampir di segala bidang sangatlah lemah. Di aras pemerintah pusat, meskipun terdapat empat kementerian yang membidangi irigasi tetapi tidak ada institusi yang ditunjuk sebagai pemimpin sub-sektor irigasi sehingga setiap Kementerian yang terlibat dalam pengelolaan irigasi berjalan sendiri-sendiri. Dari sudut pandang ilmu sistem

170 maka keadaan ini akan sangat lemah karena sistem tersebut tidak dapat bekerja maksimal untuk mencapai tujuannya. Apalagi irigasi merupakan sebuah sistem yang kompleks. Tidak tercapainya tujuan sistem irigasi akan mempengaruhi sistem pangan nasional karena sistem irigasi merupakan sub-sistem pangan nasional. Sedangkan di aras provinsi ataupun kabupaten Komisi Irigasi sudah terbentuk sesuai dengan aturan dalam PP 20/2006, tetapi Komisi Irigasi masih sangat lemah. Terdapat empat permasalahan dalam Komisi Irigasi yang cukup mengganggu, yaitu: (i) pendanaan, (ii) kompetensi, (iii) pemahaman terhadap fungsi Komisi Irigasi, dan (iv) kewibawaan institusi Komisi Irigasi terhadap para pihak yang terlibat juga sangat lemah. Masalah pendanaan diduga menjadi masalah utama. Banyak daerah yang kurang memberikan pendanaan yang cukup bagi Komisi Irigasi karena kurangnya pemahaman terhadap fungsi dan tugas Komisi Irigasi. Kompetensi anggota komisi terutama yang berasal dari unsur petani kurang diperhatikan karena fungsi pelatihan bagi petani tentang irigasi tidak dilakukan secara rutin dan berkelanjutan. Kempotensi yang lemah akan menjadikan sifat inferior terhadap anggota lain yang berasal dari pemerintah. Kewibawaan Komisi Irigasi juga kadang lemah terhadap SKPD yang mendanai Komisi Irigasi sehingga independensi Komisi Irigasi dapat diragukan. 10.1.3. Institusi pengembang irigasi Di daerah, pengembangan iriagsi dilakukan oleh tiga Institusi,yaitu (i) Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) atau Balai Wilayah Sungai (BWS) bertanggung jawab dalam pengembangan Daerah Irigasi (DI) yang berada dalam kewenangan pemerintah pusat, (ii) Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air (SDA) atau nama lain merupakan SKPD Provinsi yang bertugas untuk mengembangkan DI dalam kewenangan Pemerintah Provinsi, dan (iii) Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air (SDA) atau nama lain merupakan SKPD Kabupaten untuk mengembangkan DI dalam kewenangan Pemerintah Kabupaten. Pada saat ini kedudukan baik BBWS maupun BWS sudah sangat bagus terbentuk. Demikian pula SKPD baik di aras provinsi maupun kabupaten hampir semuanya telah terbentuk. Di aras provinsi maupun kabupaten bentuk SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pengembangan

171 dan pengelolaan irigasi mempunyai corak berbeda-beda, misalnya ada SKPD berbentuk Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air dan Energi, atau Dinas Pekerjaan Umum dan Energi. Bentuk dan corak SKPD di Kabupaten sangat berpengaruh terhadap kinerja institusi maupun manusia pelaku. Di SKPD kabupaten yang mempunyai tupoksi gabungan dan tidak hanya di bidang sumberdaya air atau irigasi kadang mempunyai kinerja kurang sepadan disebabkan oleh karena kompetensi dari staf di bidangnya sangat terbatas. Permasalahan akan lebih berat apabila pimpinan SKPD bersangkutan tidak mempunyai latar belakang pendidikan pengelolaan sumberdaya air atau keirigasian. 10.1.4. Institusi pengelola irigasi Sesuai dengan azas otonomi daerah masing-masing institusi BBWS/ BWS, Dinas SDA di Provinsi maupun Kabupaten mempunyai tupoksi untuk mengelola jaringan irigasi yang menjadi kewenangannya masing-masing. Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama antar institusi pengembang irigasi tersebut belum terjalin dengan baik. Beberapa pekerjaan masih tumpang tindih terutama dalam pelaksanaan pengelolaan sistem irigasi. Karena koordinasi yang kurang bahkan di DIY,BBWS Serayu Opak membentuk UPT (pengamat) di lapangan, misalnya DI Van der Wicjk yang terletak di Pucang Anom. Ironisnya UPT ketiga UPT pemerintah pusat itu menempati kantor yang sama dengan UPT Kabupaten Sleman dan UPT Provinsi. Penempatan UPT di satu kantor kadang-kadang menimbulkan kebingungan bagi petani yang tidak memahami adanya pemilahan tugas kewenangan masing-masing institusi. Apalagi di DI Van Der Wicjk, sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Tugas pemerintah pusat untuk melakukan OP di DI yang menjadi kewenangannya diserahkan pada pemerintah provinsi sebagai tugas pembantuan (TP OP) karena beberapa alasan di antaranya kurang mempunyai personil yang cukup. Hanya saja pihak BBWS/BWS tidak mempunyai wewenang untuk dapat melakukan pengawasan pelaksanaan TP OP yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi karena penyerahan tugas TP OP tersebut langsung dilakukan oleh Direktorat OP Direktorat Jenderal SDA, Kementrian PU di Jakarta. Pelaksanaan TP OP tersebut juga memicu kesenjangan hubungan antara Dinas SDA Provinsi dengan Dinas SDA

172 Kabupaten karena kadang-kadang pekerjaan Operasi (yang mempunyai bobot pekerjaan lebih sukar dan pendanaan lebih kecil) diserahkan untuk dilakukan petugas Kabupaten sedangkan pekerjaan Pemeliharaan (dengan bobot pendanaan lebih besar) dilakukan sendiri oleh Pemerintah Provinsi. Persoalan tentang TP OP juga dapat membesar apabila DI atau sistem irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat terletak dalam satu kabupaten saja, misalnya Sistem Kalibawang, Kulonprogo, DIY. Penyerahan TP OP pada pemerintah provinsi di sistem irigasi itu telah menimbulkan rasa kurang nyaman pada Dinas Kabupaten. Apabila terjadi kerusakan atau bencana masyarakat selalu mengadukan permasalahannya pada pemerintah Kabupaten meskipun sistem irigasi itu bukan menjadi kewenangannya. Untuk memecahkan banyak masalah yang timbul maka BBWS Serayu- Opak mengadakan MOU dengan masing-masing pemerintah Kabupaten di wilayah kerjanya. Permasalahan tentang pendanaan OP irigasi juga dapat terjadi apabila pendanaan OP sistem iirigasi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dirasakan kurang Dinas kabupaten di wilayah seperti kejadian di Sistem Kedung Ombo. Kerjasama antar pemegang kewenangan yang kurang sepadan akan terjadi, pemerintah provinsi maupun Kabupaten segan untuk dapat mengucurkan dana OP irigasi bagi DI yang bukan kewenangannya. Meskipun pihak eksekutif bersedia untuk mengeluarkan dana tetapi selalu tidak disetujui pihak DPRD. Ketidak sepadanan dalam pengelolaan irigasi dapat memicu konfik antar pelaku maupun antar pemakai baik secara sektoral maupun spasial (BAPPENAS, 2010). 10.1.5. Institusi pelaksana pengelolaan (UPT) Kabupaten Karakteristik maupun permasalahan UPT Kabupaten sangat sesuai dengan bentuk dan corak SKPD Kabupaten. Kompetensi dan masalah kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap kinerja DI. Pemasalahan akan lebih besar apabila DI tersebut merupakan DI lintas kabupaten yang mempunyai bentuk dan corak SKPD berbeda (contoh misalnya DI Bondoyudo, antara Kabupaten Lumajang dengan SPKD berbentuk atau bercorakan tiga dimensi Pekerjaan Umum (Bina Marga. Cipta Karya, dan Pengairan dan wilayah kerja UPT juga mengikuti wilayah kerja administratif, sedangkan Kabupaten Jember dengan SKPD bercorak Dinas Pengairan mempunyai batas wilayah pengelolaan

173 berbasis wilayah hidrologis) perbedaan dua corak SPPD tersebut sangat mempengaruhi kinerja DI yang dikelola. Dibutuhkan upaya lebih besar untuk dapat menyelesaikan permasalahaan di UPT Kabupaten yang mempunyai corak dan bentuk seperti ini. 10.1.6. Institusi penerima manfaat (Perkumpulan Petani Pemakai Air, P3A) Sebagian besar P3A Indonesia terbentuk meskipun kinerjanya berbeda beda sesuai dengan lingkungan strategis masing-masing wilayah. Setelah itu dalam Pasal 10 PP no 20/2006 disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melakukan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air. Pada Menteri yang membidangi irigasi diperintahkan untuk mengeluarkan aturan pelaksanaannya, dan itu telah dilakukan melalui PERMEN PU no 33/PRT/ M/2007,. Dalam perjalanaannya telah dijumpai beberapa masalah dalam pemberdayaan P3A yang telah dilakukan pasca dikeluarkannya PP 20.2006. Permasalahan tersebut mencakup: (i) tidak ada lagi unit pelaksana pemberdayaan petani sejak terbitnya UU no 7/2004. Pemberdayaan hanya merupakan program tidak berkelanjutan dan dilakukan oleh Unit pelaksana OP di BBWS atau BWS sebagai menyedia dana dengan pelaksaaan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten, akibatnya program tidak dapat berjalan secara berkelanjutan, kurang terfokus, dan yang paling penting proses berbagi pengetahuan tidak terjadi, (ii) proses pemberdayaan P3A menjadi agak terganggu setelah keluarnya PP 38/2008 bekaitan dengan kewenangan pelaksanaan program dan tidak adanya konsep pemberdayaan petani secara nasional, terdapat dikotomi antara organisasi petani antara Kelompok Tani dan P3A. Sampai sekarang belum terdapat konsep pemberdayaan petani secara nasional sejak. Selain itu sebagian besar kondisi organisasi petani termasuk P3A saat ini dalam keadaan yang kurang menggembirakan. Sebagian petani berusia lanjut, bersifat fatalistik dan berpendapatan rendah. Cita-cita untuk dapat memberikan kesejahteraan pada petani akan sangat sukar untuk diwujudkan dalam situasi seperti ini. Harus ada upaya nyata agar cita-cita mulya tersebut dapat diwujudkan,

174 10.1.7. Institusi pembiayaan irigasi Sesuai dengan PP no 20/2006, pembiayaan pembangunan, pengembangan, dan pengelolaan irigasi dilakukan sesuai dengan kewenangan masingmasing pemegang wewenang pengelolan. Artinya bahwa para pemegang kewenangan akan membiyai seluruh proses pembangunan dan pengelolaan irigasi, tetapi apabila masing-masing pihak mengalami kesulitan dalam pembiyaan mereka dapat melakukan kerjasama sesuai dengan pasal 21 PP no 20/2006. Pembiyaan pengelolaan irigasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan nyata pengelolaan irigasi yang ditentukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan petani seperti yang diamanatkan dalam PP no 20/2006 pasal 75. Koordinasi pembiyaan irigasi di aras daerah dilakukan oleh Komisi Irigasi. Dalam kenyataannya biaya pengelolaan irigasi tidak pernah mencapai angka kebutuhan nyata pengelolaan irigasi seperti yang dinyatakan dalam PP 20/2006. Bahkan sebagian prasarana irigasi dalam keadaan rusak baik kerusakan ringan sampai berat. 10.2. Kelembagaan Irigasi Modern Sesuai dengan Gambar 7.1 maka persoalan kelembagaan atau institusi merupakan sebagian dari proses modernisasi irigasi. Pasal 66 ayat (1) PP 20/2006 tentang irigasi menetapkan bahwa aset pengelolaan irigasi terdiri atas jaringan irigasi dan pendukung pengelolaan irigasi. Dan dalam penjelasan PP tersebut disebutkan bahwa yang termasuk pendukung pengelolaan irigasi adalah kelembagaan pengelolaan irigasi, sumberdaya manusia, dan fasilitas pendukung seperti bangunan kantor, telepon, rumah jaga, gudang peralatan, lahan dan kendaraan. pengelolaan aset infrastruktur telah berhasil disusun suatu program Pengelolaan Aset Irigasi (PAI). Meski pemberdayaan P3A telah diatur dalam PERMEN PU no 33/PRT/ M/2007, tetapi PERMEN tersebut tidaklah secara jelas menyebutkan tentang pangkal pikir pelaksanaan pemberdayaan perkumpulan petani air itu. Apabila kita mencermati pasal-pasal yang terkandung di dalamnya, dapat diduga bahwa pelaksanaan pemberdayaan terhadap perkumpulan petani pemakai air sebagai suatu organisasi maupun individu anggotanya dianggap sebagai bagian dari proses produksi dalam pengelolaan irigasi dan sistem pertanian. Padahal manusia mempunyai kemampuan lebih dari itu. Oleh sebab itu konsep pemberdayaan ini harus ditingkatkan menjadi konsep human capital.

175 10.2.1. Membangun konsep human capital Konsep human capital ini mengangap manusia seutuhnya yaitu makhluk khalifah Allah di muka bumi yang mempunyai kecerdasan intelektual, emosional dan sosial-spritual dan dengan kecerdasannya itu dia dapat berbuat banyak hal. Dengan apa yang dimilikinya maka manusia akan dapat mengembangkan kecerdasan dan pengetahuannya untuk berkreasi dan berinovasi. Pengembangan human capital menuntut pengembangan manusia agar dapat mencapai fitrahnya sebagai pemberi makna, sebagai sumber pengungkit dan penghela organisasi untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua pihak (Tjakraatmadja, 2006). Dengan hampiran human capital ini maka pengelolaan aset-aset lainnya termasuk aset infrastruktur akan memberikan manfaat yang berlipat ganda. Pemaknaan organisasi dan sumberdaya manusia sebagai human capital dalam sistem pengelolaan dan proses organisasi sesungguhnya merupakan suatu hampiran yang relatif baru. Dalam hampiran human capital, pemberdayaan organisasi dilakukan dengan fokus membangun suatu organisasi pembelajar dan mengedepankan hampiran pengembangan modal manusia sebagai bagian dari modal kecerdasan (intelectual capital) yang dimilikinya. Organisasi pembelajar merupakan organisasi yang bersifat humanis yang terdiri atas sekumpulan individu yang mampu belajar untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan individualnya dan kemudian ditransformasikan menjadi pengetahuan organisasi melalui proses berbagi pengetahuan (Tjakraatmadja dan Lantu, 2006). Berbagi pengetahuan merupakan suatu metode dalam manajemen pengetahuan (knowledge management) yang digunakan oleh anggota untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, teknik, ide yang mereka miliki kepada anggota lainnya (Setiarso, 2006). KM dapat ditakrifkan sebagai tindakan perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian data dan informasi serta digabung dengan berbagai pemikiran dan analisis dari berbagai sumber pengetahuan yang kompeten dan spesifik untuk kemudian diinstitusikan menjadi pengetahuan organisasi (www.km-forum.org, 2008, Tjakraatmadja, 2006).

176 Pada hakekatnya pembentukan organisasi pembelajar merupakan bagian dari pelaksanaan manajemen pengetahuan (knowledge managament, KM). Manusia memperoleh pengetahuan dari mengumpulkan data dan insformasi yang diperolehnya. Perolehan dan perubahan dari data menjadi informasi serta pengetahuan digambarkan dalam diagram hirarki DIPK seperti tergambar dalam Gambar 10.1. kearifan (wisdom) pemahaman azas/konsep keterkaitan (conectedness) pengetahuan pemahaman pola informasi pemahaman hubungan data pemahaman Gambar 10.1 Hirarki DIPK perubahan dari data menjadi kearifan (wisdom) (Tobing, 2007) Data merupakan kumpulan fakta obyektif dari suatu kejadian atau hasil pengamatan langsung dari suatu kejadian atau keadaan. Data merupakan entitas dengan dilengkapi nilai tertentu. Informasi berasal dari data yang diolah (disortir,dianalisis dan ditampilkan dalam bentuk yang dapat dikomunikasikan melalui bahasa, grafik atau tabel) sehingga mempunyai arti. Terdapat banyak takrif tentang pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil luaran dari informasi. Pengetahuan diperoleh dari sekumpulan infromasi yang saling terhubungkan secara terstruktur dan sistematik sehingga mempunyai makna. Pengetahuan itu merupakan kebiasaan, keahlian/kepakaran,ketrampilan, pemahaman atau pengertian yang diperoleh dari pengalaman, latihan, atau melalui proses belajar (Tjakraadmadja dan Lantu,2006; Tobing, 2007). Gambar 10.1 juga dapat dipahami bahwa wisdom merupakan aras pemahaman dan kesadaran tertinggi dari manusia. Pada hakekatnya setiap manusia mempunyai tiga bentuk pengetahuan, yaitu: (i) pengetahuan kultural, merupakan pengetahuan yang memahami dunia yang diekpresikan dalam bentuk asumsi-asumsi, nilai-nilai, norma yang dimiliki manusia, (ii) pengetahuan tasit atau pengetahuan terbatinkan

177 merupakan pengetahuan untuk memahami dunia dalam bentuk konsep dan diekspresikan dalam bentuk teori dan pengalaman-pengalaman, dan (iii) pengetahuan eksplisit pengetahuan untuk memahami dunia dalam bentuk keahlian atau kognitif, diekspresikan dalam bentuk sistem, peraturan, prosedur dan tata kerja yang ditanamkannya (Tjakraatmadja dan Lantu,2006). Sebagian besar organisasi pada masa lalu kurang memahami potensi seluruh anggota organisasi berupa kecerdasan dan pengetahuan yang dimilikinya. Modal kecerdasan seolah-olah dinafikan untuk dapat diperankan. 10.2.2. Membangun organisasi pembelajar dalam pengelolaan irigasi sebagai bagian dari modernisiasi Organisasi pembelajar merupakan organisasi yang memiliki kemampunan untuk selalu memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan dan siklikal, karena anggota-anggotanya memiliki komitmen dan kompetensi individual yang mampu belajar dan berbagi pengetahuan pada aras supersial maupun substansial. Tobing (2007) menyebutkan bahwa modal kecerdasan suatu organisasi akan terdiri atas modal manusia, modal struktural dan modal nasabah. Hubungan dan keterkaitan antar masing-masing modalitas tersebut digambarkan dalam Gambar 10.2. Infrastruktur Proses Budaya organisasi Modal manusia Kompetensi Keterampilan Daya otak Pengetahuan tasit Keinginan pasar Membangun jejaring Modal struktural Nilai berkreasisi Modal nasabah Gambar 10.2 Proses pemberdayaan yang mengedepankan pengelolaan modal kecerdasan (Tobing, 2007) Dalam Gambar 10.2 nampak bahwa untuk memperoleh adanya modal kecerdasan dari suatu organisasi yang ditampilkan dalam nilai berkreasi maka dibutuhkan suatu integrasi masing-masing unsur modal, yaitu:

178 (i) modal struktural yang terdiri atas infrastruktur, dan proses budaya organisasi; (ii) modal manusia, terdiri atas kompetensi, keterampilan daya otak, dan pengetahuan tasit atau pengetahuan terbatinkan; dan (iii) modal nasabah terdiri atas keinginan pasar, dan membangun jejaring. Gambar 10.2 juga memberikan pemahaman pula bahwa teknologi sebagai bagian dari infrastruktur berperan sangat besar dalam proses permberdayaan dan perkuatan untuk membentuk institusi dan organisasi pembelajar. Pada era pengetahuan saat ini sistem teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berkembang sangat cepat dan penggunanannya dalam segala bidang akan sangat membantu dalam pelaksanaan untuk membentuk budaya organisasi pembelajar. Dengan ketiga modal tesebut maka manusia diharapkan mampu untuk berkreasi dan ini semuannya akan mempunyai nilai sangat besar dan sangat berarti bagi organisasi. Pelaksanaan proses pemberdayaan masa lalu dan juga kemungkinan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air dengan menggunakan PERMEN PU no 33/2007 semuanya dilakukan dengan mengembangkan modal struktural, terutama dalam bentuk pemberian fasilitasi pembangunan infrastruktur, sedangkan modal manusia yang dikembangkan dengan melakukan pelatihan dan pengenalan teknologi serta modal nasabah sangat kurang diperhatikan. Kegagalan sebuah organisasi untuk merubah diri menjadi organisasi pembelajar dapat disebabkan oleh karena proses perubahan organsisasi hanya berfokus pada pengembangan teknologi belaka tetapi kurang memperhatikan manajemen proses perubahan dan budaya organisasi (Tjakraatmadja dan Lantu,2006). Karena sistem penglolaan irigasi di Indonesia merupakan manajemen gabungan antara pemerintah dan petani,maka para pihak harus salling berhubungan secara erat. Peran pemerintah sebagai pihak penanggung jawab jaringan utama sebagai bentuk pelayanan juga mempunyai fungsi sebagai falitator dan pembuat aturan kebijakan di samping juga bertindak sebagai pelaksana pemberian air irigasi pada petani di aras jaringan utama. Sebagai fasiltator pemerintah juga harus dapat melakukan pemberdayaan untuk merubah pola pikir dari pola pikir manusia sebagai sumberdaya menjadi human capital. Upaya pemerintah itu dinilai sangat penting, seperti digambarkan dalam Gambar 10.3.

179 PERAN PEMERINTAH inffrasturktur aturan pemberdayaan Organsisasi pembelajar Pengelolaan irigasi pertisipatif untuk ketahanan pangan dan kesejahteraan modal manusia Pengelolaan irigasi pertisipatif untuk KEDAULATAN pangan dan kesejahteraan nilai berkreasi modal struktural modal nasabah Modal Kecerdasan Gambar 10.3 Peran pemerintah dalam pengembangan organisasi pembelajar dalam pengelolaan irigasi berbasis human captal (modifikasi dari Tobing, 2007) Dalam Gambar 10.3 terlihat terdapat tiga hal penting yang dapat disarankan untuk dilakukan pemerintah sebagai dukungan membentuk organisasi pembelajar dengan konsep human capital yaitu: (i) dukungan infrastruktur, (ii) kebijakan melaku aturan atau konsep nasional, dan (iii) pemberdayaan untuk mengantisipasi munculnya perubahan lingkungan baik ekologis maupun strategis. Namun dalam pelaksanaanya saat ini muncul tiga persoalan penting, yaitu: (i) Setelah terbitnya PP no 38/2008 konsep pemberdayaan organisasi petani pemakai air secara nasional belum terbentuk, (ii) tidak ada institusi yang dapat bertindak sebagai pemimpin sektor yang dapat bertindak sebagai koordinator dalam perubahan pola pikir secara nasional, sedang di aras pemerintah provinsi dan kebupaten, komisi irigasi yang dimaksudkan untuk dapat bertindak sebagai koordinator dalam pengelolaan irigasi masih belum dapat bertindak seperti yang diharapkan, dan (iii) tidak ada unit pelatihan irigasi yang bertindak sebagai pelaku pelatihan baik bagi kaum birokrasi maupun petani. Oleh sebab itu agar dapat dilaksanakan upaya pelaksanaan pembangunan

180 institusi irigasi berbasis human capital sebagai bagian dari proses modernisasi disarankan untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Membangun tentang konsep modernisasi dan human capital b. Menerbitkan kebijakan tentang modernisasi irigasi dan konsep pemberdayaan berbasis human capital c. Menyamakan visi dan misi para pihak yang terlibat dalam pengelolaan irigasi serta bersedia untuk berbagi data, informasi dan pengetahuan untuk ditindak lanjuti dengan upaya saling berbagi antar pelaku. Untuk bersedia berbagi maka diperlukan rasa saling percaya (trust). Dengan demikian maka peran social capital dalam human capital juga sangat penting untuk dapat dilakukan. d. Melakukan koordinasi dalam pengelolaan irigasi dengan cara memperkuat dan merevitalisasi institusi yang berwenang melakukan koordinasi dalam pengelolaan irigasi. e. Melakukan sosialisasi tentang institusi irigasi pembelajar berbasis human capital bagi para pelaku. f. Membangun sistem informasi irigasi terpadu para pelaku irigasi dalam satu penanggung jawab. g. Membentuk unit pelaksana manajemen pengetahuan di masing-masing kabupaten yang mempunyai DI modernisasi. h. Melakukan inventarisasi pengetahuan dari masing-masing pelaku dalam pengelolaan irigasi. i. Melakukan upaya pemberdayaan bagi semua pelaku dalam pengelolaan irigasi sampai terbentuk organsisasi pembelajar m. Menciptakan system pembiayaan pengembangan dan pengelolaan irigasi modern, dengan menerapkan IPAIR. n. Melakukan sosialisasi pengembangan dan pengelolaan irigasi dengan mengaktifkan kembali penyuluh pengairan seperti tertuang dalam Permen PU No.65/PRT/1993. o. Dibentuk Brigade Pengamanan Irigasi sebagai pejabat penyidik pegawai negeri sipil, seperti diamanatkan dalam UU No. 7/2004, dengan maksud mengamankan irigasi dari gangguan keamanan. p. Melaksanakan ME pelaksanaan. Disadari memang tidak mudah untuk dapat memulai konsep baru manajemen sumberdaya manusia dengan hampiran human capital tetapi kita harus berubah. Konsep ini banyak dipraktekkan oleh manajemen organisasi bisnis, tetapi belum pernah dilakukan untuk organsiasi sosial atau birokrasi pemerintahan.

181 10.2.3. Membangun insitusi koordinasi pengelolaan dan tata aturan irigasi modern Aturan kebijakan tentang modernisasi irigasi dapat diturunkan dari tata aturan perundang-undangan yang ada dimulai dari UU, PP, PERMEN dan di daerah dapat mulai dari PERDA yang telah mengacu tata aturan perundangan yang berlaku. Untuk kebijakan modernisasi irigasi dapat dimulai dari UU no 7/2004, PP no 20/2006 pasal 62 tentang Rehabilitasi. Pada pelaksanaan program modernisasi aturan hukum yang menaungi kebijakan secara nasional haruslah sudah diterbitkan terlebih dahulu. Kebijakan nasional tentang modernisasi irigasi dapat bebentuk Surat Keputusan Menteri PU. Tanpa adanya aturan hukum sangat sulit bagi kaum birokrasi untuk bersedia melakukan koordinasi pelaksanaan program modernisasi. Dengan adanya koordinasi antar pelaku semua pelaksanaan program modernisasi yang dimulai dari sosialisasi, perencaan program, pelaksaan,pengawasan dan ME akan sangat mudah untuk dilaksanakan. Di aras daerah, terdapat beberapa institusi yang bertindak sebagai koordinator pengusul atau penyusun sebuah kebijakan irigasi. Institusi BAPPEDA sering bertindak sebagai koordinator tetapi sering juga Satuan Kerja Pemmerintahan Daerah (SKPD) yang membawahi kewenangan irigasi bertindak sebagai koordinator. Di aras daerah aturan kebijakan modernisasi irigasi dapat berbentuk Surat Keputusan Gubernur atau Bupati. Pada saat ini hampir semua daerah di Indonesia telah mempunyai PERDA tentang irigasi baik di aras provinsi maupun kabupaten, tetapi pelaksanannya masih sangat beragam. Kesulitan dalam pemahaman isi aturan dan keragaman persepsi masing-masing pelaku menjadi sebab utama dalam pelaksanaan aturan yang kurang sepadan. Dalam proses modernisasi irigasi, para pihak pelaku irigasi harus sudah saling memahami isi dan makna PERDA Irigasi masing-masing daerah sehingga pelaksaan kebijakan modernisasi irigasi sudah tidak menjadi masalah lagi di daerah. Para pihak harus mempunyai pemahaman yang sama terhadap konsep modernisasi, dan ini baru dapat terjadi apabila koordinasi antar pelaku sudah dilakukan. Kesamaan pemahaman sangat penting untuk memperoleh kesamaan sikap dan pandangan terhadap program modernisasi sehingga dapat mempertahankan upaya keberlanjutan irigasi modern yang telah dibangun.

182 10.2.4. Membangun Institusi pengembang irigasi modern Progam modernisasi irigasi dapat dilakukan pada semua DI, baik yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, provinsi ataupun pemerintah kabupaten. Pelaksanaan pembangunan dan DI modernisasi dilakukan oleh BBWS atau BWS sedangkan pekerjaan O&P dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah BBWS untuk daerah irigasi lintas provinsi atau daerah irigasi strategis nasional, pemerintah provinsi sebagai tugas pembantuan untuk DI lintas kabupaten, dan oleh pemerintah kabupaten untuk DI yang sepenuhnya berada di satu kabupaten, sedangkan pemberdayaan petani harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Konsep pemberdayaan berbagi visi dan misi dilakukan dengan pengembangan organisasi pembelajar berbasis human capital. Dengan demikan hubungan kerja yang baik antar ketiga institusi pengembang dan pengelolaan irigasi dalam pelaksanaan program modernisasi mutlak sangat diperlukan. Keberhasilan pelaksanaan dan keberlanjutan DI modernisasi tergantung pada kinerja masing-masing institusi yang terlibat untuk mau memahami modernisasi irigasi serta berbagi dalam banyak hal temasuk berbagi dalam sistem informasi dan pengetahuan. Konsep keinginan berbagi digambarkan pada Gambar 10.4. Gambar 10.4 Kerangka pengembangan untuk berbagi (Tobing, 2007) Pada Gambar10.4 terlihat bahwa kepercayaan (trust), penghargaan (reward) antar pelaku, media yang digunakan untuk berbagi dan kontributor sangat penting. Dengan kerangka tergambar maka diharapkan para pelaku dalam pengelolaan irigasi akan bersedia untuk berbagi. Fasilitator berbagi harus disediakan oleh pihak yang berwenang untuk mengelola DI modernisasi.