KOPI, Alam Takambang Dijadikan Guru (Alam terkembang jadi guru) : Satinggi tinggi malantiang, Mambubuang ka awang-awang, Suruiknyo katanah juo, Sahabih dahan dengan ranting, Tereh panguba barunyo nyato. (setinggi melempar, membumbung ke awang-awang, kembali jatuh ke tanah juga, Sehabis dahan dengan ranting, dikubak dikulit batang, teras pengubar itulah nyato). untuk mencapai tujuan pepatah tersebut, terlebih dahulu kita harus meninjau kembali kaidah-kaidah adat yang dihimpun dalam pepatah, petitih, guridam, mamang, bidal, seperti : panakiak pisau sirawik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak keniru. Nan satitiak jadikan lawik, Nan sakapa jadikan gunuang, Alam talambang jadikan guru. (penakik pisau siraut, ambil galah batang lintabung, selodang ambil untuk niru. Yang setetes jadikan laut, yang sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadikan guru). 1 / 5
Pepatah ini mengadung arti agar manusia selalu berusaha menyelidiki, membaca, serta mempelajari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam semesta sehingga dari penyelidikan yang dilaksanakan berkali-kali akan diperoleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan guru dan iktibar tempat menggali pengetahuanyang berguna bagi manusia. Ketentuan-ketentuan alam yang disusun menjadi pepatah-petitih yang diganbarkan dengan berbagai bentuk dan corak ada yang dinyatakan secara langsung, dan ada yang secara tidak langsung. Tetapi pada umumnya bertindak dan menyusun pergaulan hidup berdasarkan ketentuan dalam alam itu. Inilah yang dimaksud gurindam dalam adat: Malangkah diujuang padang, basilek di ujuang karih, kato salalu baumpamo, rundingan banyak bamisalan. (Melangkahdi ujung pedang, bersilat di ujung keris, kata-kata selalu berumpama, rundingan selalu berkiasan). Bahwa alam terkembang merupakan sumber dasar adat minangkabau. Pokok dalam ajaran adapt seperti kata mufakat yang menjadi tempat bertolak bagi setiap usaha untuk mencapai sesuatu yang baik dalam terlaksananya aturan adapt demi tercapainya kebahagiaan dalam masyarakat. Yang merupakan sumber dari kata mufakat dari ketentuan alam ialah air, seperti: Bulek aia ka pambuluah, bulek kato ka mufakat, bulek baru digolekkan, tipih baru dilayangkan. (Bualat air dengan pembuluh, bulat kata dengan mufakat, bulat baru digolekkan, tipis baru dilayangkan). 2 / 5
Air sebagai alam yang mempunyai ketetuan yang khas, merupakan pilihan bagi nenek moyang orang minangkabauuntuk mencari pokok hukum bermusyawarah untuk mendapatkan kata sepakat yang sungguh-sungguh bulat. Menurut ketentuan alam terkembang, suatu benda yang tidak benar-benar bundar, tidaklah dapat digolekkan menurut semestinya. Begitupun benda yang tidak sempurna tipis tidak akan bisa melayang menurut semestinya pula. Selanjutnya menurut ketentuan alam juga: Saciok bak ayam, sadanciang bak basi, data balantai papan, licin balantai kulik, tapawik makanan lantak, takuruang makanan kunci. (Seciap umpama anak ayam, sedencing umpama besi, datar berlantai papan, licin berlantai kulit, terpaut diberi lantak, terkurung diberi kunci). Menurut ketentuan alam diingatkan dalam mendapatkan kata sepakat, dengan bunyi, sehingga kesatuan pendapat tersebut dapat mengujudkan satu kata dan perbuatan. Datar berlantai papan, licin berlantai kulit artinya tidaklah mungkin suatu benda alam yang bundar bisa bergolek dengan rata dan lancer. Yang menjadi tujuan dalam adat minangkabau bermufakat dalam mencapai sesuatu ialah agar: Golek tibo din an data, golek indak bagolek lai, karano talatak suatu ditampeknyo, 3 / 5
nan manuruik aluah nan patuik. (Golek tiba pada tempatnya, golek tidak akan bergolek lagi, karena telah terletak sesuatu pada tempatnya, menurut sesuatu yang dapat dimakan akal). Pertentangan, perselisihan dan sebagainya dalam masyarakat disebabkan karena sesuatu tidak terletak pada tempatnya. Akibat sesuatu tidak tercapai sasarannya sehingga akhirnya, menurut pepatah, sesuai dengan ketentuan alam yang nyata: Rumah sudah tokoh babunyi, api pandan puntuang barasok, minyak habih samba tak lamak, arang abi basi binaso. (Rumah sudah tokok berbunyi, api padam puntung berasap, minyak habis sambal tak enak, arang habis besi binasa). Suatu kata sepakat yang bulat di dalam adat, lumrah terjadi perbedaan pendapat. Karena berbeda pendapat adalah disebabkan berbeda-beda tingkatan ilmu pengetahuan manusia, hal ini juga dinyatakan dengan ketentuan yang terdapat dalam alam seperti kata pepatah: Pincang biduak rang tiku, didayuang sambia manungkuik, basilang dalam tungku, baitu api mangko hiduik. (Pincalang biduk orang tiku, didayung sedang menelungkup, 4 / 5
bersilang kayu di dalam tungku, begitu apibaru mau hidup). Berbeda pendapat adalah suatu petanda dinamika manusia dalam berpikir, yang dilarang oleh adat adalah berpecah-belah. Segala sesuatu dapat dirasakan ke dalam diri tentang akibat tersebut, yakni: Nan elok dek awak, katuju pulo dk urang. (Yang baik bagi kita, juga baik bagi orang). Ketentuan adat yang merupakan peraturan yang harus ditaati yang berhubungan pergaulan hidup orang dengan orang, masyarakat dengan masyarakat lainnya, menurut ketentuan alam yang dijadikan pepatah seperti: Nan kuriak kundi, nan merah sago, nak baiek budi, nan endah baso. (Yang kurik kundi, yang merah saga, yang baik adalah budi, yang indah ialah basa-basi). Pepatah tersebut bertujuan bahwa di dalam pergaulan hidup yang sangat penting ialah berbudi pekerti sesamanya. 5 / 5