BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah. Inti dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa dan kreatifitas. Pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, kedua undangundang tersebut merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dengan pemerintah pusat dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat, serta telah membuka jalan bagi pelaksanaan reformasi sektor publik di Indonesia dan merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dalam memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya, dimana sistem pemerintahan desentralisasi ini menitikberatkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota sehingga memiliki keleluasaan utuk mengelola rumah tangga daerahnya termasuk pelaksanaan keuangannya yang diwujudkan dalam APBD. Dalam Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintah Daerah yang lebih mengutamakan 1
pelaksanaan asas desentralisasi. Dengan adanya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 terjadi perubahan yang signifikan mengenai hubungan legislatif dan eksekutif di daerah karena kedua lembaga tersebut memiliki kekuatan dan kedudukan yang sama dan bersifat sejajar menjadi mitra. Yang membedakannya adalah fungsi, tugas, dan wewenang serta hak dan kewajibannya. Implikasi positif dari berlakunya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, diharapkan DPRD akan lebih aktif didalam menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat, yang kemudian mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik didaerah bersama-sama pemerintah daerah/kepala Daerah (Bupati dan Walikota). Dalam hal pengelolaan keuangan daerah, pada tahap perencanaan pemerintah daerah dan DPRD duduk bersama-sama sebagai mitra untuk merumuskan suatu kebijakan mengenai rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kemudian setelah rencana anggaran tersebut disahkan menjadi APBD, pemerintah daerah yang akan melaksanakan pengelolaan dari APBD tersebut. Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang baik diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan keuangan daerah yang dilakukan oleh lembaga legislatif (DPRD). Selain itu dengan adanya otonomi daerah pemerintah dapat menciptakan good governance sebagai prasyarat dengan mengedepankan akuntanbilitas dan transparansi yang didukung oleh internal control dan eksternal control yang baik serta dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan hal itu maka kinerja dewan menjadi sangat meningkat dalam mengontrol kebijakan pemerintahan. Menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan keuangan daerah pasal 132 menyatakan
bahwa DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD. Selanjutnya didalam PP No. 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah pasal 133 menyatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti bahwa dalam melaksanakan pengawasan terhadap APBD, DPRD harus mengacu kepada peraturan yang berlaku. Hal ini juga mengindikasikan bahwa anggota dewan harus mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai anggaran. Ketika sedang melaksanakan fungsi pengawasan di bidang anggaran, anggota dewan sekurangkurangnya harus mengetahui undang-undang atau peraturan apa saja yang mengatur mengenai anggaran tersebut. sehingga anggota dewan tersebut dapat mengetahui apakah pelaksanaan anggaran telah sesuai dengan peraturan perundangan yang ditetapkan atau tidak. Tidak hanya sebatas itu saja, anggota dewan juga harus memiliki kompetensi dalam hal proses anggaran dan teknis pengawasan anggaran. Kesan selama ini yang memposisikan eksekutif/ pemerintah daerah lebih kuat dalam hal memahami proses anggaran seperti tak terbantahkan khususnya di awal reformasi. Sejauh ini masih banyak anggota dewan yang bingung membedakan terminologi antara pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan. Hal ini mengindikasikan masih lemahnya pemahaman dewan mengenai anggaran. Pengetahuan dewan tentang anggaran ini sangat berperan penting dalam meningkatkan kinerja DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang anggaran.
. Secara umum Lembaga legislatif mempunyai tiga fungsi yaitu: 1) fungsi legislasi (fungsi membuat peraturan perundang-undangan), 2) fungsi anggaran (fungsi menyusun anggaran), 3) fungsi pengawasan (fungsi untuk mengawasi kinerja eksekutif). Dalam penelitian ini fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD adalah pengawasan terhadap kebijakan pelaksanaan APBD. Fungsi pengawasan ini sangatlah penting bagi DPRD untuk lebih aktif dan kreatif menyikapi berbagai kendala terhadap pelaksanaan perda. Melalui pengawasan dewan, eksekutif sebagai pelaksana kebijakan akan terhindar dari berbagai penyimpangan dan penyelewengan. Dari hasil pengawasan dewan akan diambil tindakan penyempurnaan memperbaiki pelaksanaan kebijakan tersebut. Pengawasan anggaran yang dilakukan oleh dewan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal (Pramono, 2002). Faktor internal adalah faktor yang dimiliki oleh dewan yang berpengaruh secara langsung terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan, yaitu, political background dan pengetahuan tentang anggaran. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh dari pihak luar terhadap fungsi pengawasan oleh dewan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan, diantaranya transparansi kebijakan publik. Permasalahannya adalah apakah dalam melaksanakan fungsi pengawasan lebih disebabkan political background dan pengetahuan dewan tentang anggaran ataukah disebabkan masalah lain. Disamping itu apakah transparansi kebijakan publik juga akan berpengaruh terhadap pengawasan anggaran yang dilakukan dewan.
Di Indonesia saat ini terdapat beberapa mantan anggota dan anggota legislatif yang divonis bersalah oleh pengadilan karena menyalahgunakan APBD, hal ini dimungkinkan terkait dengan peran legislatif yang sangat besar dalam penganggaran, terutama pada tahap perencanaan atau perumusan kebijakan anggaran dan pengesahan anggaran. Hal yang sangat kritis pada tahap perencanaan anggaran adalah perlunya penguatan pada sisi pengawasan. DPRD merupakan lembaga yang memiliki posisi dan peran strategis terkait dengan pengawasan keuangan daerah. Didalam Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada pasal 132 menyatakan bahwa DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD. Hal ini menegaskan fungsi pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan peraturan daerah. Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD dilakukan oleh fraksi-fraksi, komisi-komisi dan alat kelengkapan lain yang dibentuk sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD. Anggota komisi-komisi tersebut memiliki latar belakang personal yang berbeda baik dari segi usia, tingkat pendidikan, latar belakang pendidikan maupun pengalaman dalam bidang politik. Berdasarkan pada penjelasan tersebut diatas, maka peranan DPRD dalam pengawasan keuangan daerah sangat besar dan memiliki nilai yang sangat strategis terlebih jika didukung dengan transparansi kebijakan publik walaupun pada kenyataannya masih terdapat masalah dan kelemahan dalam pengawasan pengelolaan keuangan daerah yaitu masih rendahnya kinerja DPRD dalam keseluruhan proses atau siklus anggaran, akibatnya program kerja yang ada dalam anggaran daerah belum sesuai dengan prioritas dan preferensi daerah.
Permasalahan tersebut apabila dikaji berdasarkan pandangan Sastroatmodjo (1995) ada dua tingkat orientasi politik yang mempengaruhi perilaku politik, yaitu sistem dan individu. Kelemahan yang terjadi atas peranan legislatif dalam pengawasan dan keuangan daerah dapat mungkin terjadi karena kelemahan sistem politiknya ataupun individu sebagai pelaku politik. dalam pendekatan behaviorisme, individulah yang dipandang secara aktual melakukan kegiatan politik, sedangkan perilaku lembaga politik pada dasarnya merupakan perilaku individu dengan pola tertentu. Syahruddin dan Taifur (2001) menyatakan bahwa kemampuan DPRD dalam menjalankan fungsinya tidak saja ditentukan oleh kualitas anggota DPRD yang ada, tetapi dipengaruhi pula oleh perilaku (moral) anggota DPRD.Selain itu untuk mendapatkan kinerja yang baik menuntut SDM yang berkualitas, salah satu indikator SDM yang berkualitas adalah masa kerja atau lamanya menjabat sebagai anggota DPRD bagi para anggota dewan. Yudoyono (2002) juga menyatakan bahwa DPRD akan dapat memainkan peranannya dengan baik apabila pimpinan dan anggota-anggotanya berada dalam kualifikasi ideal, dan dalam arti memahami benar hak, tugas, dan wewenangnya dan mampu mengaplikasikannya secara baik, dan didukung dengan tingkat pendidikan dan pengalaman di bidang politik dan pemerintahan yang memadai. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara periode 2009-2014 dapat dikatakan melewati proses demokratisasi yang lebih matang dari sebelumnya. Perkembangan demokrasi yang lebih matang inilah yang menjadi tuntutan kepada anggota dewan untuk meningkatkan kinerja dan kualitasnya. Namun
pada kenyataannya tuntutan tersebut juga harus dihadapkan pada kondisi faktual bahwa sebagian besar anggota DPRD periode ini didominasi oleh wajah baru yang dipilih dan diangkat dari partai-partai pemenang pemilu yang mempunyai latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang berbeda sebelum menjadi anggota DPRD. Sehingga ketika mereka duduk di DPRD, keterbatasan pengetahuan dan pengalaman tsb akan menjadi kendala dalam melaksanakan fungsi pengawasan.yang pada akhirnya akan mengalami permasalahan dalam keseluruhan proses atau siklus anggaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, maupun pengawasan program kerja eksekutif. Sehingga banyak terjadi sejumlah masalah penyimpangan anggaran di pemerintahan daerah. Berdasarkan penjelasan diatas, maka kinerja legislatif terhadap eksekutif dipengaruhi oleh lemahnya fungsi pengawasan legislatif. Hal ini bisa terjadi akibat lemahnya sumber daya manusia yang dimiliki DPRD selaku pengawas pelaksanaan keuangan daerah. Anggota DPRD periode 2009-2014 diharapkan dapat memperbaiki sejumlah hal yang menjadi penyebab lemahnya kinerja anggota dewan periode sebelumnya. Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2009-2014 ini memiliki latar belakang politik yang berbeda baik dari segi asal partai politik, maupun pengalaman dalam bidang politik sehingga hal ini menjadi pertimbangan peneliti untuk meneliti pengaruh political background dan pengetahuan dewan tentang anggaran terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah dengan variabel moderating transparansi kebijakan publik. Selain itu masih belum konsistennya hasil penelitian sebelumnya dan masih terbatasnya penelitian di
bidang sektor Publik memotivasi peneliti untuk meneliti kembali pengaruh political background dan pengetahuan dewan tentang anggaran terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah adanya penambahan transparansi kebijakan publik sebagai variabel moderating. Fenomena yang biasa terjadi di DPRD Propinsi Sumatera Utara adalah bersumber dari latar belakang politik para anggota dewan yang menangani bidang keuangan dan penganggaran. Ditambah lagi dengan maraknya kasus yang terjadi pada anggota dewan yang tersandung kasus korupsi, padahal korupsi yang terbesar dan sangat kronis justru terjadi di lembaga eksekutif, nilai korupsi DPRD relatif kecil dibandingkan eksekutif dampaknya akan memiliki bobot yang lebih luas dan jauh lebih berbahaya karena dilakukan oleh institusi yang seharusnya berperan meluruskan ketika ada penyimpangan, ini berarti bahwa selama ini ada panitia anggaran tetapi tidak menangani masalah penyimpangan anggaran. Lemahnya fungsi pengawasan legislatif merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja legislatif terhadap eksekutif (Jafar Werfete: 2009). Disini benang merah yang menjadi pertimbangan peneliti untuk meneliti sejauh mana kinerja legislatif (DPRD) dalam fungsi pengawasan keuangan daerah yang merupakan suatu hal yang sangat vital untuk memantau dinamika berlaku dan efektifnya peraturan yang mereka buat sebagai upaya pencegah dari adanya unsur kepentingan kelompok tertentu dan menjaga berlakunya hukum agar sesuai dengan tujuan dan harapan pembentukan hukum yang ada.
Berdasarkan fenomena-fenomena diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian yaitu: Pengaruh Political Background dan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran Terhadap Kinerja DPRD Dalam Pengawasan Keuangan Daerah (APBD) Dengan Variabel Moderating Transparansi kebijakan Publik. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah political background dan pengetahuan dewan tentang anggaran berpengaruh baik secara simultan maupun parsial terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah (APBD)? 2. Apakah transparansi kebijakan publik memperkuat/memperlemah pengaruh political background dan pengetahuan dewan tentang anggaran terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah (APBD)? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Untuk memberikan bukti empiris bahwa political background dan pengetahuan dewan tentang anggaran berpengaruh baik secara simultan maupun parsial terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah (APBD). 2. Untuk memberikan bukti empiris bahwa transparansi kebijakan publik memperkuat / memperlemah pengaruh political background dan pengetahuan
dewan tentang anggaran terhadap kinerja DPRD dalam dalam pengawasan keuangan daerah (APBD). 1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti, diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang pengawasan keuangan daerah (APBD). 2. Bagi pemerintah daerah hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam melaksanakan otonomi daerah, khususnya dalam peningkatan kinerja DPRD yang berkaitan dengan Pengawasan Anggaran (APBD )untuk mewujudkan good government (pemerintahan yang baik), dan dapat dijadikan acuan bagi partai politik dalam merekrut anggota dewan serta pengembangan kader partai. 3. Bagi Akademisi diharapkan dapat memberikan masukan dan kontribusi terhadap pengembangan literatur akuntansi sektor publik (ASP) terutama dalam pengembangan sistem manajemen di sektor publik, dan dapat digunakan sebagai acuhan peneliti selanjutnya. 1.5. Originalitas Penelitian Penelitian tentang kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah sudah pernah dilakukan diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh oleh Sari (2010) yang meneliti Pengaruh Personal Background, Political Background dan Pengetahuan Dewan Terhadap Kinerja DPRD dalam Pengawasan Keuangan
Daerah. Menyimpulkan bahwa pengetahuan dewan tentang anggaran memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah, sedangkan personal background dan political background tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja DPRD dalam pengawasan keuangan daerah. Penelitian ini merupakan replikasi peneliti terdahulu, dan perbedaan penelitian ini dengan peneliti terdahulu adalah hanya menggunakan variabel political background, dan pengetahuan dewan tentang anggaran sebagai variabel independen, serta penambahan variabel moderating transparansi kebijakan publik. Selain itu perbedaan penelitian ini juga terletak pada lokasi dan tahun penelitian, yaitu sebelumnya tahun pengamatan yang dilakukan peneliti terdahulu adalah tahun 2009 di DPRD kota Padang, sedangkan penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 di DPRD Propinsi Sumatera Utara.