INOVASI TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU ENDANG TRIWULANNINGSIH Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 123, Bogor 16002 ABSTRAK Pengembangan ternak kerbau dilakukan melalui peningkatan populasi dan pendapatan peternak kerbau produksi substitusi daging sapi, bahan baku industri kulit dan ternak kerja. Pada dasarnya melalui upaya meningkatkan produktivitas dan reproduksi dengan introduksi teknologi tepat guna; pengendalian pemotongan ternak betina produktif; menekan angka kematian ternak melalui perbaikan pakan, pemberdayaan peternak rakyat. Perkembangan kerbau relatif lambat karena secara alamiah tingkat reproduksinya lebih rendah dibandingkan sapi, sebab kesulitan mendeteksi estrus, masa kebuntingan relatif lama (ll bulan), interval kelahiran yang lebih panjang. Namun demikian kerbau memiliki kelebihan dalam memanfaatkan pakan yang berkualitas rendah dibandingkan sapi untuk menghasilkan daging yang lebih berkualitas (rendah kolestrol). Daya adaptasi kerbau sangat tinggi dan secara sosio-budaya dapat diterima di seluruh masyarakat Indonesia. Untuk meningkatkan mutu genetik dianjurkan dilakukan sistem perkawinan outbreeding, baik secara inseminasi buatan maupun kawin alam. Pemeliharaan yang selama ini hanya secara ekstensif, sebaiknya diubah menjadi semi intensif dengan sistem perbaikan manajemen perkawinan dan pakan yang lebih baik, sehingga anak yang dilahirkan tidak kekurangan pakan yang pada akhirnya kematian pedet dapat dihindari dan interval kelahiran diperpebdek menjadi 15 bulan. Pemeliharaan kerbau harus terintegrasi dengan kegiatan pertanian yang lain (misalnya dengan tanaman pangan dan perkebunan), sehingga pupuk dapat dimanfaatkan untuk tanaman dan limbah pertanian dapat digunakan untuk pakan kerbau. Kata kunci: Teknologi, pengembangan, kerbau PENDAHULUAN Perbibitan kerbau di Indonesia diarahkan pada kerbau Lumpur penghasil daging, karena daging kerbau dapat mensubstitusi kebutuhan daging sapi. Revitalisasi peternakan kerbau harus dilakukan karena di beberapa daerah tertentu di NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, daging kerbau lebih disukai dan populer dibandingkan daging sapi. Kontribusi daging sapi dalam memasok kebutuhan daging nasional sekitar 23% dan sekitar 2,5% diantaranya berasal dari daging kerbau, berarti 10% dari total produksi daging sapi berasal dari kerbau (DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN, 2006). Disamping itu pada beberapa daerah spesifik kerbau digunakan sebagai penghasil susu karena preferensi masyarakat setempat. Populasi kerbau di Indonesia saat ini 2.572.169 ekor (Tabel 1) dan diperkirakan kurang dari 1000 ekor adalah kerbau perah (Riverine buffalo) tersebar di Propinsi Sumatera Utara dan lainnya adalah kerbau Lumpur. Pertumbuhan populasi kerbau di Indonesia rata-rata 1,72 % (2003-2006) dan pertumbuhan produksi daging rata-rata hanya 0,02% (DITJENNAK, 2006). Populasi tertinggi dijumpai di Propinsi NAD diikuti Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Populasi kerbau di Indonesia tidak mengalami peningkatan berarti dalam beberapa tahun terakhir ini. Data tersebut cukup mengkhawatirkan karena seharusnya pertumbuhan dapat lebih progresif apabila manajemen (tatalaksana) peternakan diterapkan dengan baik dan benar. Faktor utama yang menyebabkan kurang berkembangnya populasi ternak kerbau adalah belum diterapkannya sistem peternakan dengan manajemen yang baik dan benar pada tingkat peternak tradisional. Salah satu teknologi yang dapat mempercepat akselerasi peningkatan populasi dan perbaikan mutu genetik ternak adalah teknologi reproduksi. Perkembangan ternak kerbau relatif lebih lambat dari pada sapi sebagai akibat dari kurangnya perhatian dari pemerintah dan tingkat reproduksi yang lebih rendah, karena 16
kesulitan mendeteksi ternak betina yang birahi, masa kebuntingan yang relatif lebih lama (11 bulan) dibanding sapi (9 bulan) dan interval kelahiran yang lebih panjang. Namun demikian kerbau memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dengan pakan yang berkualitas rendah dibanding sapi. Berdasarkan data populasi ternak kerbau di Indonesia tidak mengalami peningkatan sementara jumlah pemotongan meningkat terus maka sudah saatnya penelitian dan pengembangan kerbau di Indonesia mendapat perhatian yang lebih serius. Penurunan produktivitas kerbau diduga karena adanya pengurasan pejantan, akibat pejantan yang baik selalu terjual ke pasar, sehingga pejantan yang tertinggal adalah pejantan muda yang harus melayani induk-induk yang memang dilarang dipotong. Kerbau sebagai sumber protein hewani (daging) dapat mencapai rata-rata pertambahan bobot badan sebesar 0,73 kg/ekor/hari (DITJENNAK, 2005). Namun demikian kebutuhan bibit kerbau yang bagus saat ini menjadi salah satu kendala terhambatnya perkembangan kerbau di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bobot badan yang semakin rendah, banyaknya kerbau albino di beberapa daerah seperti di Banten dan Jawa Barat serta banyaknya kerbau lumpur yang bertanduk menggantung (TRIWULANNINGSIH et al., 2005). Padahal harga kerbau albino sering lebih rendah dibandingkan kerbau normal, tetapi karena kelangkaan pejantan yang berkualitas, maka kerbau albino maupun pejantan muda terus digunakan untuk melayani betina yang ada. AGRO-EKOSISTEM Daya adaptasi kerbau sangat tinggi, sebagaimana terlihat dari penyebaran kerbau yang luas. Secara visual perkembangan kerbau di Indonesia menyebar di segala agroekosistem yang ada. Kerbau berkembang di daerah iklim kering di NTT dan NTB, lahan pertanian subur di Pulau Jawa, lahan rawa di Kalimantan dan daerah pantai dari Asahan sampai Sumatera Selatan. Kerbau juga berkembang di daerah pegunungan di Tapanuli Utara, Tengger dan sebagainya sampai dataran rendah di pinggir laut seperti di Banten, Tegal, Bengkulu (Kabupaten Muko-Muko) dan Brebes. Bahkan tanpa diurus, di Cagar Alam Baluran populasi kerbau mengalahkan perkembangan Banteng. Dari segi etnik dan agama juga tidak ada penghalang. Kerbau begitu tinggi nilainya bagi budaya masyarakat Minang, Batak, Toraja dan beberapa suku lain Tabel 1. Populasi ternak kerbau di 10 propinsi Indonesia Tahun No. Propinsi 2003 2004 2005 2006 1. NAD 403.838 409.071 338.272 340.031 2. Sumatera Utara 261.734 263.435 259.672 261.308 3. Sumatera Barat 317.789 322.692 201.421 211.008 4. NTB 161.359 156.792 154.919 156.468 5. Jawa Barat 146.758 149.960 148.003 156.570 6. NTT 134.900 136.966 139.592 141.236 7. Banten 163.564 163.564 135.040 145.439 8. Sulawesi Selatan 175.617 175.617 124.760 128.502 9. Jawa Tengah 144.384 144.384 123.815 123.826 10. Sumatera Selatan 83.104 86.528 90.300 103.577 Sumber: DITJENNAK (2006) 17
di NTB dan NTT. Dengan demikian pengembangan usaha peternakan kerbau dan wilayah agribisnis kerbau sangat luas hampir meliputi seluruh agrosistem dan sosio-budaya yang ada. Sarana dan prasarana dalam sistem agribisnis kerbau masih tertinggal jauh karena memang produksi belum masuk pada era usaha komersial melainkan masih dalam proses produksi bercorak Zero input. Belum ada pasar hewan kerbau, rumah potong kerbau, toko peternakan kerbau dan sebagainya yang dibutuhkan oleh suatu sistem agribisnis kerbau. Sistem produksi masih berada pada sistem tradisional yang lebih mengarah pada Zero cost bukan pada efisiensi usaha. Di sini terlihat bahwa usaha produksi belum berorientasi pada pasar. Dengan demikian potensi kerbau belum dapat dimaksimalkan sebagai penghasil daging, susu, kulit dan kompos sebagaimana yang diharapkan oleh perkembangan pasar dan sumbangan kerbau dalam membangun pertanian yang berkesinambungan dalam mensejahterakan rakyat. Baik hijauan maupun sisa hasil pertanian seperti jerami padi, jerami jagung yang dihasilkan di daerah tropis basah seperti kebanyakan daerah Indonesia, memiliki sifat kandungan serat kasar yang tinggi. Kerbau memiliki kemampuan menggunakan pakan berserat tinggi karena memiliki bakteri rumen spesifik. Hal ini memungkinkan daya saing dan keberlanjutan usaha karena penyediaan pakan akan lebih mudah. Hijauan berproduksi tinggi seperti rumput Gajah dan rumput Raja dapat digunakan dengan baik, sehingga keberlanjutan dari segi keterbatasan lahan usaha dapat diatasi. Tanaman alang-alang kalau dengan manajemen yang baik dapat dijadikan pastura bagi peternakan kerbau. Demikian pula jerami padi yang berlimpah apalagi dengan teknologi fermentasi menjadi pakan potensial bagi kerbau. Hampir seluruh agroekosistem yang ada di Indonesia berpotensi untuk pengembangan usaha peternakan dan wilayah agribisnis kerbau. Pola pengembangan usahatani dan wilayah agribisnis kerbau sangat cocok dengan usahatani ramah lingkungan. Keberadaan sumberdaya manusia baik sebagai konsumen berpotensi besar karena tidak ada hambatan selera, budaya maupun agama. Yang menjadi problem tentunya adalah pengetahuan dan ketrampilan baik masalah teknis maupun masalah manajemen (managerial skill). INOVASI TEKNOLOGI Ternak kerbau dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu Kerbau Lumpur (Swamp Buffalo) dimana populasinya tersebar di Asia Tenggara, dan Kerbau Sungai (Riverine buffalo) yang terkonsentrasi di sekitar India, Pakistan, Afrika Utara, Italia dan Bulgaria. Jumlah kromosom di antara kedua jenis kerbau berbeda yaitu sebanyak 48 kromosom pada kerbau lumpur dan 50 kromosom pada kerbau sungai. Sebagian besar kerbau di Indonesia adalah Kerbau Lumpur dan hanya beberapa ratus ekor kerbau sungai dijumpai di Sumatera Utara. Kerbau Lumpur dijumpai mempunyai variasi yang cukup besar pada berat badan maupun warna kulit, sehingga dikenal dengan bermacam nama seperti kerbau Jawa, Aceh, Toraja, Kalang, Moa dan lain sebagainya. Kerbau Sungai dijumpai di Medan-Sumatera Utara sebanyak sekitar 1400 ekor pada tahun 2004, dan diperkirakan populasinya tidak meningkat karena intensitas perkawinan inbreeding yang tinggi dan kurangnya perhatian pemerintah untuk meningkatkan produksi ternak kerbau. Usaha untuk memasukkan darah baru belum memungkinkan sehubungan dengan upaya pencegahan penyakit. Namun karena keragaman kerbau lumpur di Indonesia yang cukup besar ini memungkinkan untuk dapat memilih kerbau terbaik dari suatu wilayah tertentu yang dapat dikawinkan dengan kerbau dari wilayah yang lain (outbreeding). Salah satu kelebihan kerbau yang selama ini dipercayai adalah kemampuannya untuk mencerna pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Antara lain kerbau mampu mencerna jerami padi yang tersedia melimpah saat musim panen dan dapat disimpan sebagai cadangan pakan di musim kemarau. Dewasa ini, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, telah tersedia banyak pilihan teknologi reproduksi yang dapat diterapkan pada ternak, seperti intensifikasi kawin alam (INKA), inseminasi buatan (IB), fertilisasi in vitro (FIV), transfer embrio (TE), clonning, transfer gen, dan lainlain. Pemilihan teknologi reproduksi yang akan 18
diterapkan harus memperhatikan kondisi obyektif peternak, karena hal ini terkait dengan efektivitas dan efisiensi yang ditimbulkan akibat penerapan teknologi tersebut. Melihat kondisi obyektif peternakan tradisional kita, maka untuk saat ini teknologi IB dan INKA adalah pilihan yang tepat dibandingkan dengan teknologi reproduksi lain. Penerapan teknologi reproduksi yang lebih mutakhir belum mendesak karena di samping tingkat keberhasilan yang masih rendah pada tingkat lapang, juga memerlukan tambahan biaya yang besar. Sinkronisasi (penyerentakan) estrus merupakan salah satu teknologi reproduksi yang sering diterapkan untuk mendukung keberhasilan program IB. Dengan teknologi ini sekelompok ternak yang memperoleh perlakuan khusus akan memperlihatkan gejalagejala estrus dalam waktu relatif serentak sekitar dua hari setelah perlakuan. Sekelompok ternak betina yang estrus serentak akan memudahkan pelaksanaan IB yang pada akhirnya akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen peternakan secara keseluruhan. Penerapan teknologi sinkronisasi estrus dan IB secara simultan terhadap ternak dalam jumlah banyak akan meningkatkan efisiensi peternakan. Hal ini karena dalam waktu bersamaan peternak akan memiliki sekelompok ternak bunting, melahirkan, dan umur anak yang relatif seragam, sehingga memudahkan dalam proses pemeliharaan. Dengan demikian peternak juga dapat mengatur waktu yang tepat kapan melakukan proses perkawinan, terkait dengan permintaan pasar dan musim dimana ketersediaan pakan hijauan yang cukup saat melahirkan dan menyusui anaknya, sehingga diharapkan angka kematian pedet dapat dikurangi. MAHYUDDIN et al. (1995) melaporkan pada penelitiannya yang menggunakan kerbau Lumpur bahwa pada kelompok kerbau yang diberi konsentrat 1% dari bobot badan, dibandingkan tanpa konsentrat dan rumput Gajah diberikan ad libitum pada kedua kelompok selama delapan minggu, kemudian diberi prostaglandin (PGF 2α) untuk sinkronisasi estrus dan diinseminasi setelah 72 jam estrus. Ternyata pada kelompok kerbau yang hanya diberi rumput Gajah tanpa konsentrat hanya 50% yang menunjukkan aktivitas ovarinya, sementara pada kelompok yang diberi konsentrat 100% memberikan profil progesteron yang menandakan adanya aktifitas ovari. Untuk memperoleh keturunan dengan jenis kelamin yang diinginkan dapat dilakukan melalui perkawinan menggunakan semen hasil pemisahan sel spermatozoa pembawa kromosom penentu jenis kelamin (sexing spermatozoa). Dengan sexing, rasio spermatozoa pembawa kromosom X (betina) dan Y (jantan) yang awalnya 50:50 dapat dirubah menjadi sekitar 70:30 atau bahkan lebih. Pemisahan secara sederhana didasarkan pada perbedaan ukuran antara spermatozoa pembawa kromosom X dan Y. Ukuran spermatozoa pembawa kromosom Y lebih kecil dibandingkan dengan spermatozoa pembawa kromosom X. Hal pokok yang menyebabkan rendahnya angka kelahiran kerbau adalah kondisi induk kerbau yang kurang prima, karena kualitas pakan yang rendah dan serangan parasit yang tinggi, kecuali itu estrus lebih banyak terjadi pada malam hari, saat pejantan mungkin tidak berada pada kandang yang sama. Umur pertama kali dikawinkan dan umur mencapai bobot potong optimal yang lama, disebabkan kualitas nutrisi yang rendah dengan sistem pemeliharaan yang tradisional, yang hanya memberikan rumput alam tanpa pernah memberikan obat cacing (SIREGAR et al.,1997). Di Kalimantan Selatan, dikenal kerbau Kalang yang berfungsi hanya sebagai tabungan dan umumnya mencari makan di sungai dan kalau malam hari naik ke kalang. Di sini ada kendala, kalau musim hujan pakan relatif lebih sulit, karena banjir sehingga banyak menyebabkan kematian pada anak kerbau. Bila musim kering, pakan relatif lebih banyak. Penyebab kematian kerbau umumnya penyakit bakteri dan parasiter dan kecelakaan karena tidak dapat keluar dari lubang tempatnya berkubang. Sementara itu performans produksi dan reproduksi pada kerbau Kalang telah diamati oleh PUTU et al.(1995), seperti tertera pada Tabel 2. Dikatakan bahwa peternakan kerbau Kalang masih perlu ditingkatkan secara massal untuk memanfaatkan agroekosistem rawa yang ada, sehingga memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan penduduk di sekitarnya. Pada Tabel 2 tersebut terlihat bahwa perkawinan sesudah melahirkan antara 149 19
Tabel 2. Performans reproduksi kerbau Kalang di Desa Tampakang, Sapala dan Paminggir, Kalimantan Selatan Keterangan Desa Tampakang Desa Sapala Desa Paminggir Jumlah induk bunting/induk nomor telinga (%) 50,0 60,0 80,6 Kelahiran/induk bunting (%) 53,3 38,9 40,0 Kelahiran per jumlah induk (%) 26,6 23,3 32,2 Perkawinan sesudah lahir (hari) 149 + 29 166 + 16 171 + 21 Lama kebuntingan (hari) 327 + 41 323 + 54 318 + 26 Jarak beranak (hari) 476 + 12 489 + 14 489 + 21 Sumber: PUTU et al. (1995) sampai 171 hari, hal ini terjadi karena lamanya penyapihan dan lamanya involusi uterus setelah melahirkan yang mungkin akibat kualitas pakan yang tersedia, akibatnya jarak beranak menjadi panjang, yaitu sekitar 16 bulan. Oleh sebab itu sistem perkawinan disesuaikan dengan musim di suatu lokasi, dimana pakan melimpah dan anak tidak kekurangan susu induk, sehingga kematian dini dapat dihindari. ALTERNATIF PENGEMBANGAN Selama ini, usaha peternakan kerbau masih menguntungkan, terbukti dengan tetap dipeliharanya kerbau sebagai tabungan dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan besar. Di Bengkulu, ternak kerbau dipelihara ekstensif dan nyaris tidak tersentuh teknologi ( zero input ). Umumnya peternak sudah berpengalaman lama dalam pemeliharaan ternak kerbaunya karena merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Disamping itu usaha ini mampu menghasilkan uang lebih banyak dibandingkan usaha tani lainnya. Kerbau dapat memanfaatkan pakan/serat kasar lebih baik dari pada sapi dan pupuknya sangat diharapkan untuk usaha pertanian lain serta biogas untuk keluarga petani. Dengan beternak kerbau dapat memanfatkan sumber tenaga kerja keluarga atau waktu senggangnya bagi usaha produktif yang akan dapat menunjang usaha penyediaan lapangan kerja. Peternakan kerbau rakyat masih mempunyai fungsi sosial yang amat penting, karena itu pengembangannya perlu mendapat lebih banyak perhatian. Misalnya melalui perbaikan manajemen perkawinan; baik melalui perkawinan alam maupun inseminasi buatan. Sistem pemeliharaan/ perkadangan per kelompok dengan beberapa pejantan yang bagus mutu genetiknya dengan perbandingan betina : jantan (20:1) atau dengan inseminasi buatan (200:1), sistem perkawinan yang teratur, sehingga diperoleh anak pada setiap bulan sekitar 200 ekor per kelompok, sehingga tiap tahun dapat diharapkan anak lepas sapih sekitar 175 x 12 = 2100 ekor (asumsi kematian anak 9-10%). Pengadaan pejantan unggul dalam satu wilayah/kelompok peternak kerbau pada lokasi yang strategis, sehingga mudah dijangkau oleh semua peternak dalam kelompok ternak tersebut. Kalau perkawinan secara alam, maka pejantan digilir minimum per dua bulan untuk setiap kelompok. Apabila usaha ini diikuti dengan sistem pemberian pakan yang bagus, maka kematian anak dapat dikurangi lagi. Misalnya dengan metode penanaman jagung (5 butir per lubang, pada umur sekitar 2 bulan diambil yang 3 batang untuk ternaknya) dan penanaman Glirisidia di sepanjang pematang sawah/kebun. Pemberian daun Glirisidia yang sudah dilayukan sebelumnya (10% dari hijauan) sangat tinggi proteinnya dan dapat mempertahankan kebuntingan, karena fungsi corpus luteum untuk memproduksi progesteron dapat dipertahankan, PENDEKATAN KEGIATAN Beberapa pendekatan untuk mengatasi berbagai masalah usaha peternakan kerbau maka diperlukan berbagai kegiatan yang saling terkait dan mendukung antar berbagai instansi maupun disiplin ilmu antara lain adalah: 1. Penyuluhan pada petani peternak, tentang bagaimana cara beternak kerbau yang baik. Di lokasi padat ternak kerbau dibuat suatu 20
demplot yang melibatkan semua pihak (pemerintah, swasta, peternak kerbau). 2. Penyediaan fasilitas permodalan atau kredit dari Bank untuk pengembangan usaha beternak kerbau. Peternak yang sudah biasa memelihara ternak kerbau layak diberikan fasilitas kredit usaha peternakannya yang sekaligus akan merupakan sumber penghasilan yang lebih berarti bagi rakyat setempat. Disarankan prasyarat yang mudah, terutama bagi peternak kecil yang mampu melaksanakan breeding program dalam rangka Rural Credit Programe antara lain: (1) Jangka waktu kredit 5 sampai 8 tahun, (2) Kredit diberikan untuk 5 ekor kerbau untuk breeding maupun untuk ternak kerja, (3) Peternak diharuskan menanam pakan ternak, sehingga kekuatiran tiadanya hijauan pada musim kemarau dapat dihindari (dapat dikaitkan dengan tanaman pangan lainnya, seperti jagung, sayuran dsb.). 3. Pelaksanaan pengembangan usaha peternakan haruslah dibuat terintegrasi dengan usaha pertanian lain (tanaman pangan atau perkebunan), sehingga pupuknya dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian tersebut dan limbah pertanian dapat dimanfaatkan oleh kerbau, seperti jerami padi yang tersedia melimpah saat panen. Pada perkebunan kopi yang umumnya ditanam Glirisidia sebagai tanaman pelindung, daunnya dapat digunakan sebagai salah satu sumber protein untuk kerbau. 4. Sistem perkawinan diatur dengan menggunakan pejantan unggul, sehingga setiap 15 bulan dapat dihasilkan anak kerbau yang sehat. MODEL PENGEMBANGAN Adapun model pengembangan peternakan kerbau, antara lain dari cara pemeliharaannya yang selama ini extensive sebaiknya sudah harus dirubah menjadi semi intensive, dengan sedikit sentuhan teknologi dan tatalaksana pemeliharaan serta pengendalian penyakit, maka diharapkan usaha peternakan kerbau menjadi lebih menguntungkan. Hal ini tercermin dari tujuan peternak memelihara kerbau adalah untuk menyimpan uang (saving). Peternak sudah sangat berpengalaman dalam memelihara kerbau, karena sudah merupakan usaha turun temurun. Diharapkan pemeliharaan kerbau dapat terintegrasi dengan kegiatan pertanian yang lain Kerbau jantan yang akan dijual sebaiknya digemukan terlebih dahulu baru dijual. Sebagai contoh suatu perusahaan penggemukan kerbau di Sukabumi, dimana kerbau berasal dari Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya. Rata-rata bobot badan awal 282 kg dan setelah dipelihara selama 83 hari dengan pemberian pakan jerami padi dan diberi probiotik, bobot badannya meningkat menjadi rata-rata 400 kg, berarti pertambahan bobot badan per hari sekitar 1,42 kg; ini suatu bukti bahwa untuk kerbau yang berasal dari daerah dimana pakan sulit, setelah dipelihara intensif dapat lebih menguntungkan dibanding sapi. Analisis Cash Flow Tabel 3 ini adalah suatu contoh model analisa usaha inovasi teknologi perbibitan dan penggemukan sapi potong di Kalimantan Barat yang dapat dijadikan acuan bagi pengembangan kerbau. Usaha penggemukan bergulir setiap 3 bulan, sehingga peternak mendapat dana segar setiap 3 bulan, disamping itu usaha pembibitan terus dijalankan. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kebau dapat berkembang di semua agroekosistem di Indonesia, termasuk daerah aliran sungai, dataran rendah, pantai maupun dataran tinggi. 2. Sistem pemeliharaan ekstensif dapat diubah menjadi semi intensif dengan memperkenalkan inovasi sistem reproduksi sederhana (INKA dan IB) dan outbreeding, sehingga anak yang dilahirkan sesuai ketersediaan pakan berlimpah di suatu lokasi, sehingga kematian anak dapat dihindari. 3. Disarankan pembuatan demplot di lokasi padat ternak kerbau dengan melibatkan semua pihak (pemerintah, swasta dan peternak kerbau), dengan penyuluhan lebih intensif, sehingga diharapkan populasi kerbau akan meningkat untuk mendukung ketersediaan produksi daging sapi. 21
Tabel 3. Analisa usaha penerapan teknologi pembibitan dan penggemukan sapi potong (per ekor) Komponen biaya No. Deskripsi Pembibitan (Rp) Penggemukan (Rp) 1. Biaya awal pembelian sapi 4.000.000 12.000.000 2. Biaya kandang (Rp/ekor/hari) 1.000 1.000 3. Tenaga kerja (Rp/ekor/hari) 1.200 1.200 4. Biaya pakan (Rp/ekor/hari) 3.000 6.000 a. Hijauan @Rp 25,-/kg (25kg) 625 625 b. Konsentrat @Rp 1500,-/kg 1.500 4.500 c. Gula merah @Rp 3.500,-/kg) 875 875 Biaya pemeliharaan (ekor/hari) 5.200 8.200 5. Biaya kawin (Rp/ekor) 50.000-6. Biaya selama 650 hari 3.430.000 5.330.000 7. Total biaya 7.430.000 17.330.000 Komponen pendapatan No. Deskripsi Pembibitan Penggemukan 1. Penjualan sapi 1 induk+1 anak 3 ekor siap potong 2. Bobot badan saat jual (kg) (300+125) (3 a 350) 3. Pendapatan (Rp. 20.000,-/kg hidup) Rp. 8.500.000,- Rp. 21.000.000,- 4. Prod.pupuk (5 kg/ekor/hari) 3430 kg 3250 kg 5. Pendapatan pupuk (Rp. 50/kg) Rp. 171.500,- Rp. 162.500,- 6. Total pendapatan Rp. 8.671.500,- Rp. 21.162.500,- 7. Keuntungan selama 650 hari Rp. 1.176.500,- Rp. 3.767.500,- 22
Unit Kolaborasi Produksi Breeding Unit 2bulan Rearing Unit 12 bulan (18 bulan) Fattening Unit 2bulan Peternak 8+6bulan Peternak 8+6bulan Replacement 30% Pemasaran Peternak 8+6bulan Pemotongan Gambar 1. Rancangan Integrasi Unit Produksi Kerbau DAFTAR PUSTAKA AMIN, M. R. 1998. Efektifitas plasma semen sapi dan berbagai pengencer dalam meningkatkan kualitas semen beku kerbau Lumpur (Bubalus bubalis). Thesis. Program Pascasarjanan IPB. AMIN, M.R., M. R. TOELIHERE, T.L. YUSUF dan P. SITUMORANG. 1999. Pengaruh plasma semen sapi terhadap kualitas semen beku kerbau Lumpur (Bubalus bubalis). JITV. 4 (3):143-147. DITJENNAK. 2005. Strategi pengembangan usaha ternak kerbau sesuai dengan potensi wilayah. Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia, Direktorat Jendral Peternakan. Deptan. DITJENNAK. 2006. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. BHATTACHARYA, P. 1974. Reproduction of Buffalo. Food and Agricultural Organization of United Nation. Roma. DIWIYANTO, K dan E. HANDIWIRAWAN. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau: Aspek penjaringan dan distribusi. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Badan Litbang Deptan. Puslitbang Peternakan dan Dit. Pembibitan, Ditjen Peternakan dan Pemda Kabupaten Sumbawa. MAHYUDDIN, P., P. SITUMORANG dan I.G. PUTU. 1995. Pengaruh nutrisi pada reproduksi kerbau Lumpur. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Puslitbang Peternakan. Bogor. PUTU, I. G., M. SABRANI, M. WINUGROHO, T.CHANIAGO dan SANTOSO. 1995. Performans produksi dan reproduksi kerbau Kalang di Kecamatan Danau Panggang Kalimantan Selatan. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Puslitbang Peternakan. Bogor. SIREGAR,A.R., P. SITUMORANG, M. ZULBARDI, L.P. BATUBARA, A. WILSON, E. BASUNO, S.E. SINULINGGA dan C.H. SIRAIT. 1997. Peningkatan produktivitas kerbau dwiguna (Daging dan Susu). Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor. SITUMORANG, P. dan A.R. SIREGAR. 1997. Pengaruh hormon hcg setelah penyuntikan estrumate terhadap kinerja reproduksi kerbau Lumpur (Bubalus bubalis). JITV 2 (4): 213 217. 23
TRIWULANNINGSIH,E.,SUBANDRIYO, P. SITUMORANG, R.G. SIANTURI, D.A. KUSUMANINGRUM, I.G. PUTU, P. SITEPU, T. PANGGABEAN, P. MAHYUDDIN, ZULBARDI, S.B. SIREGAR, U. KUSNADI, C. TALIB dan A.R. SIREGAR. 2005. Database Kerbau Di Indonesia. Laporan Akhir Penelitian T.A. 2004-2005. Balitnak. Bogor. 24