10 BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik seperti Glomerulonephritis Chronic, Diabetic Nephropathy, Hypertensi, Polycystic Kidney, penyakit ginjal obstruktif dan infeksi dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara perlahan dan irreversible sampai akhirnya terjadi gagal ginjal. Bila pasien telah mengalami gagal ginjal, ini merupakan stadium terberat dari penyakit ginjal kronik dan untuk mempertahankan hidupnya diperlukan terapi sementara berupa cuci darah (hemodialisa) (Sinaga, 2007). Menurut Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) RSU AU Halim Jakarta, ada sekitar 100.000 orang lebih penderita gagal ginjal di Indonesia. Di RSUN Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, dijumpai sebanyak 120 orang pasien gagal ginjal yang menjalani pengobatan hemodialisa (Buletin Info ASKES, edisi tahun 2006). Di Medan saat ini di RSUP Haji Adam Malik dijumpai 87 orang kasus gagal ginjal, di RSUD Dr. Pirngadi dijumpai sebanyak 109 orang kasus gagal ginjal, di RS Swasta (RS Rasyida) sebanyak 78 orang kasus gagal ginjal yang secara rutin menjalani pengobatan hemodialisa (Sinaga, 2007). Pasien penyakit ginjal tahap akhir baik sebelum dan sesudah dilakukan terapi hemodialisis cenderung mengalami fluktuasi volume cairan tubuh (Lubis, 2008). Pada pasien hemodialisa rutin, fluktuasi atau kelebihan cairan tersebut disebabkan oleh penurunan fungsi ginjal dalam mengekresikan cairan dan
11 kurangnya kepatuhan pasien dalam membatasi asupan cairan pasien. Meskipun pasien gagal ginjal kronis pada awal menjalani HD sudah diberikan penyuluhan kesehatan untuk mengurangi asupan cairan selama sehari, akan tetapi pada terapi HD berikutnya masih sering terjadi pasien datang dengan keluhan sesak napas akibat kelebihan volume cairan tubuh (Sapri, 2008). Menurut Saran (2003) dalam Fisher (2006) mortalitas akan meningkat pada pasien hemodialisa apabila terjadi peningkatan cairan tubuh 5,7% dari berat badan kering klien selama sesi hemodialisa. Pasien harus dianjurkan untuk mempertahankan kenaikan berat badan kurang dari 3% dari berat badan kering pasien selama sesi antar hemodialisa (Sapri, 2008; Takeda, 2006). Menurut Almatsier (2005), batas asupan cairan yang bisa dikonsumsi pasien perhari adalah 500-750 ml + jumlah urine/24 jam sehingga kenaikan berat badan pasien tidak lebih dari 0,45 kg/hari. Peningkatan berat badan akibat asupan cairan pasien yang tidak terkontrol tersebut yang menyebabkan terjadinya hipertensi dan edema paru. Pasien juga akan merasa tidak nyaman karena sesak nafas, lelah dan lemas (Fisher, 2004 dalam Fisher 2006). Kelebihan volume cairan tubuh yang menyebabkan hipertensi dan odema pulmonum, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan hemodialisis dan meningkatkan risiko dilatasi dan hipertropi jantung. Oleh karena itu mempertahankan sirkulasi volume darah yang efektif dan optimal sangat diperlukan untuk menghindari komplikasi sirkulasi (Lubis, 2008). Intervensi yang tepat untuk mempertahankan sirkulasi volume darah yang efektif dan optimal adalah dengan intervensi yang memanajemen asupan cairan
12 pasien. Untuk memanajemen asupan cairan pasien hemodialisa, pada awal hemodialisa telah diberikan penyuluhan tentang pentingnya membatasi asupan cairan sehari. Akan tetapi, seperti yang telah dinyatakan di paragraf sebelumnya bahwa pada terapi hemodialisa berikutnya masih sering terjadi pasien datang dengan keluhan sesak napas akibat kelebihan volume cairan tubuh (Sapri, 2008). Sagawa (2001) dan Fisher (2006) melakukan penelitian dengan intervensi yang sama yaitu terapi perilaku kognitif. Fisher (2006) memberikan intervensi perilaku kognitif untuk memanajemen asupan cairan 5 orang pasien yang menjalani hemodialisa dengan kenaikan berat badan antar sesi hemodialisa lebih dari 5% dari berat kering pasien. Indikator yang digunakan adalah berat badan pasien. Intervensi tersebut berhasil menurunkan persentase kenaikan berat badan 3 orang dari 5 orang sampelnya. Kenaikan berat badan antar sesi hemodialisa sampel berkurang menjadi 3% dari berat keringnya. Sagawa (2001) melakukan penelitian di beberapa rumah sakit di Jepang dengan pasien hemodialisa kronis. Sagawa memberikan intervensi perilaku kognitif pada 14 orang pasien hemodialisa. Setelah 4 minggu intervensi, 10 orang berhasil menurunkan persentase kenaikan berat badan dan 4 orang yang lain keluar dari kelompok intervensi karena merasa sangat terbebani. Akan tetapi mereka tidak mempengaruhi hasil penelitian Sagawa. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pengaruh terapi perilaku kognitif terhadap pembatasan asupan cairan pasien hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan.
13 2. Tujuan Penelitian 2.1 Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi perilaku kognitif terhadap pembatasan asupan cairan pasien hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan. 2.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui rata-rata berat badan kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebelum diberikan terapi perilaku kognitif b. Mengetahui rata-rata berat badan kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah diberikan terapi perilaku kognitif c. Membandingkan rata-rata berat badan kelompok intervensi dengan rata-rata berat badan kelompok kontrol setelah diberikan terapi perilaku kognitif. 3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: 4.1 Praktek Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi tambahan dan dijadikan intervensi keperawatan yang tepat pada pasien hemodialisa khususnya bagi pasien yang susah mengontrol asupan cairan.
14 4.2 Pasien Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai suatu cara yang dapat dipelajari dan digunakan pasien hemodialisa untuk mengontrol asupan cairannya. 4.3 Penelitian Keperawatan Dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau sumber data bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai terapi perilaku kognitif dalam membatasi asupan cairan pasien hemodialisa.