Latar Belakang Permasalahan lahan kritis di Indonesia semakin besar dengan semakin meluasnya deforestasi. Di samping itu, lahan juga dapat menjadi kritis karena pemanfaatannya yang melebihi kapasitasnya. Menurut Menkokesra, 2005 dalam Nurcholis dan Sumarsih, (2007) Saat ini diperkirakan luas lahan kritis di Indonesia mencapai sekitar 25 juta ha. Hal ini juga semakin diperparah dengan adanya kegiatan perambahan hutan yang mengakibatkan 2,8 juta hektar per tahun hutan Indonesia rusak (http://www.tempointeraktif.com., 2007). Tanaman karet merupakan tanaman yang dapat tumbuh secara liar meskipun di tanah yang kurang subur. Reaksi tanah yang umumnya ditumbuhi karet berada pada kisaran ph 3,0-8,0 (Setyamidjaja, 2000). Tanaman karet merupakan tanaman perkebunan yang memiliki peranan sangat penting dalam perekonomian nasional, antara lain sebagai sumber pendapatan bagi lebih dari 10 juta petani dan menyerap sekitar 1,7 juta tenaga kerja lainnya. Selain itu, karet merupakan salah satu komoditas nonmigas yang secara konsisten nilai ekspornya. (http://www.tempointeraktif.com., 2007). Saat ini karet banyak digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari keperluan rumah tangga sampai kepada keperluan industri. Untuk kebutuhan peralatan rumah tangga seperti : mainan anak-anak, sepatu, sandal, makanan (permen karet), hingga peralatan elektronik. Untuk keperluan industri sebagai bahan untuk membuat ban sepeda motor, ban mobil, hingga ban pesawat terbang. Tak mengherankan, permintaan karet di dunia terus meningkat. Data terbaru menyebutkan, total konsumsi karet dunia: karet alam dan sintetik meningkat
sekitar 4,1% dari 20,68 juta ton pada 2005 menjadi 21,51 juta ton pada 2006. Tahun 2007, seperti perkiraan banyak kalangan, permintaan karet naik sekitar 10%. International Rubber Study Group (IRSG) memperkirakan, permintaan atau konsumsi karet dunia akan naik menjadi 24 juta ton pada 2010 (http://www.bexi.co.id., 2008). Perkebunan karet Indonesia seluas 3,3 juta hektar, 85 % di antaranya perkebunan rakyat, selebihnya, 7 %, merupakan perkebunan besar negara dan 8 % perkebunan besar swasta. Dari segi produksi Indonesia kalah dengan Thailand. Produksi karet Indonesia selama 2006 tercatat 2,6 juta ton, kalah dibandingkan dengan Thailand yang menempati posisi teratas dengan tiga juta ton, melalui upaya penerapan teknologi maju dan bibit jenis unggul diharapkan mampu meningkatkan produksi per satuan hektar sehingga tahun 2020 Indonesia bisa menjadi produsen karet terbesar di dunia (http://wwwkemenegpdt.go.id., 2008). Secara umum permasalahan utama perkebunan karet rakyat adalah masih rendahnya produktivitas kebun (sekitar 610 kg/ha/tahun) bila dibandingkan dengan produktivitas tanaman karet perkebunan besar yang mencapai sekitar 1100-1200 kg/ha/thn (Ditjenbun, 2005). Rendahnya produktivitas tersebut antara lain disebabkan sebagian besar kebun petani (> 60%) masih menggunakan bahan tanam non-unggul dan masih luasnya areal karet yang tua/rusak yang perlu diremajakan (Supriadi, 1997). Masalahnya, proyek pengembangan karet berbantuan dengan pembiayaan dari pemerintah pusat atau pinjaman luar negeri sudah sulit diadakan. Oleh karena itu perlu didorong upaya-upaya untuk melakukan percepatan pengembangan peremajaan karet secara mandiri melalui peningkatan partisipasi dan
pemberdayaan petani serta masyarakat. Hal ini dilandasi pula oleh kenyataan bahwa upaya peremajaan karet oleh petani dengan menerapkan teknologi maju secara swadaya berjalan relatif lambat dan tingkat keberhasilannya rendah, karena menghadapi berbagai kendala seperti terbatasnya dana yang dimiliki petani, ketersediaan benih bermutu, ketersediaan informasi dan SDM yang handal, kelemahan sistem kelembagaan finansial, pengolahan dan pemasaran (Supriadi et al, 1992). Subsoil (Tanah bawahan) merupakan horizon B atau bagian tanah yang sudah terbentuk horizon; sedang bagi tanah yang sedang berkembang berarti lapisan tanah dibawah tanah permukaan dimana terdapat pertumbuhan akar yang normal (http://warintek.bantul.go.id., 2008). Kompos adalah hasil pembusukan sisa-sisa tanaman yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pengurai. Kualitas kompos sangat ditentukan oleh besarnya perbandingan antara jumlah karbon dan nitrogen (C/N rasio). Jika C/N rasio tinggi, berarti bahan penyusun kompos belum terurai secara sempurna. Bahan kompos dengan C/N rasio tinggi akan terurai atau membusuk lebih lama dibandingkan dengan bahan C/N rasio rendah. Kualitas kompos dianggap baik jika memiliki C/N rasio antara 12-15 (Novizan, 2005). Kompos dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang digunakan untuk memupuk perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi kebutuhan pupuk kimia sampai 50 % pada tahun ketiga. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Kompos dari TKKS bila digunakan dengan dosis 50 kg/pohon maka setara dengan unsur hara 99 kg N, 53 kg P, dan 165 kg K 2 O per hektar atau 215 kg urea, 147 kg SP- 36, dan 275 kg MOP per hektar. Selain mengurangi pupuk kimia, kompos TKKS
juga akan meningkatkan kualitas tanah dengan lebih baiknya agregasi, aerasi dan kapasitas tanah (Indriani, 2004). Tabel 1. Komposisi unsur dalam kompos TKKS Unsur Nilai N total 2.45 % P 0.25 % K 0.82 % Mg 0.45 % Ca 0.84 % Fe 1.85 % C 17.80 % Bahan Organik 62.70 % C/N ratio 14.90 % PH 7.29 Sumber : Tasma Puja, 2008. Di alam, terdapat berbagai bentuk simbiosis yang secara tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas tanaman, diantaranya ialah cendawan mikoriza. Cendawan ini sering disebut mikoriza vesikula arbuskula (MVA) karena dapat membentuk struktur vesikula pada korteks akar tanaman yang terinfeksi. Vesikula merupakan struktur seperti kantung di ujung hifa yang mengandung banyak butiran lemak. Vesikula berfungsi sebagai organ penyimpanan (Musnawar, 2006). Karet merupakan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi, tetapi satu hal yang sering terjadi di lapangan adalah tingginya tingkat kematian stump setelah beberapa saat tanam di lapangan. Kombinasi media tanam (sub soil, kompos TKKS, dan pemberian mikoriza) dan pemakaian stump yang unggul diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan tingginya tingkat kematian stump karet tersebut setelah di tanam di lapangan. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh media tanam dan pemberian mikoriza vesikula arbuskula (MVA) terhadap pertumbuhan stump mata tidur
karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) dan diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan bagi pihak pihak yang membutuhkan informasi khususnya dalam pengadaan bibit tanaman karet. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh media tanam dan pemberian mikoriza vesikula arbuskula (MVA) terhadap pertumbuhan stump mata tidur karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.). Hipotesis Penelitian 1. Ada pengaruh media tanam terhadap pertumbuhan stump mata tidur karet. 2. Ada pengaruh pemberian mikoriza vesikula arbuskula (MVA) terhadap pertumbuhan stump mata tidur karet. 3. Ada interaksi media tanam dan pemberian mikoriza vesikula arbuskula (MVA) terhadap pertumbuhan stump mata tidur karet. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Medan. 2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan. TINJAUAN PUSTAKA