2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.2 Transfer Cahaya (Radiative Transfer) dalam Sistem Sensor Satelit-Matahari-Laut

dokumen-dokumen yang mirip
PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

label 1. Karakteristik Sensor Landsat TM (Sulastri, 2002) 2.3. Pantai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS PENENTUAN EKOSISTEM LAUT PULAU- PULAU KECIL DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT RESOLUSI TINGGI STUDY KASUS : PULAU BOKOR

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang s

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut,

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

Gambar 1. Satelit Landsat

ix

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. dapat dimanfaatkan secara tepat tergantung peruntukkannya. perkembangan yang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh

APLIKASI ALGORITMA VAN HENGEL DAN SPITZER UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI BATIMETRI MENGGUNAKAN DATA LANDSAT

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

JENIS CITRA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Diterima: 9 Februari 2008; Disetujui: 9 November 2008 ABSTRACT ABSTRAK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

PERUBAHAN DELTA DI MUARA SUNGAI PORONG, SIDOARJO PASCA PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL)

Radiasi Elektromagnetik

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V RADIASI. q= T 4 T 4

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

Intensitas spesifik Fluks energi Luminositas Bintang sebagai benda hitam (black body) Kompetensi Dasar: Memahami konsep pancaran benda hitam

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED

Model Informasi Kedalaman Laut Dangkal di Perairan Teluk Lampung Menggunakan Data Satelit Landsat-8

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

Cara memperoleh Informasi Tidak kontak langsung dari jauh Alat pengindera atau sensor Data citra (image/imagery) a. Citra Foto Foto udara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1994). Pengamatan tanpa kontak langsung ini dimungkinkan mengingat prinsip kerja alat (yang ditempatkan pada ketinggian tertentu dari permukaan bumi) adalah memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik yang berasal dari emisi atau pantulan obyek-obyek yang diamati. Adapun radiasi gelombang elektromagnetik dari objek ini bisa berasal dari alam yaitu radiasi matahari maupun yang sengaja dibuat, kemudian mengenai obyek-obyek tersebut secara berkala pula akan memancarkan dan memantulkan kembali. Komponen penting yang terlibat dalam sistem penginderaan jauh adalah matahari sebagai sumber energi yang berupa radiasi elektromagnetik, atmosfer yang merupakan media lintasan dari radiasi elektromagnetik, target atau obyek sebagai fenomena yang terdeteksi oleh sonar, dan sensor yang mendeteksi radiasi elektromagnetik dari suatu obyek. 2.2 Transfer Cahaya (Radiative Transfer) dalam Sistem Sensor Satelit-Matahari-Laut Transfer atau perpindahan cahaya dalam sistem sensor satelit-matahari-laut dapat dipahami sebagai proses transfer cahaya matahari ke dalam kolom air dan transfer cahaya dari permukaan air ke sensor satelit (Sathyendranath 2000) yang dapat dilihat pada Gambar 1. Interaksi antara cahaya matahari dan permukaan air laut mencakup unsurunsur tersuspensi dan terlarut yang mampu menyerap dan menghamburkan cahaya matahari (Jerlov 1976; Mobley 1994; Hakvoort 1994 yang diacu dalam Hendiarti 2003). Penyerapan cahaya matahari oleh beberapa unsur air laut dapat menurunkan jumlah cahaya yang dipantulkan kembali oleh air laut sedangkan penghamburan cahaya matahari akan meningkatkan jumlah cahaya yang dipantulkan kembali oleh air laut. Atmosfer berperan penting sejak cahaya matahari dapat diserap dan dihamburkan oleh gas-gas, molekul air dan aerosol sebelum mencapai permukaan air laut, demikian pula halnya pada cahaya yang dipantulkan kembali oleh air laut, atmosfer akan meneruskannya ke sensor

6 Sumber: Sathyendranath (2000) Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pantulan cahaya menuju sensor. (a) penyebaran oleh bahan anorganik tersuspensi, (b) penyebaran oleh molekul-molekul air, (c)absorpsi oleh komponen yellow substance, (d) refleksi dari dasar perairan dan (e) penyebaran oleh komponen fitoplankton.

7 satelit. Pada perairan dangkal, proses pemantulan cahaya pada lapisan permukaan air dapat dipengaruhi oleh refleksi cahaya matahari dari dasar perairan (Ohde dan Siegel 1999 yang diacu dalam Hendiarti 2003). Total cahaya matahari yang diterima oleh sensor satelit L t (dengan satuan Wm -2 sr -1 nm -1 pada panjang gelombang tertentu, dimana sr -1 adalah satuan sudut ruang (solid angle)) terdiri dari cahaya yang dipantulkan pada permukaan air L r dan cahaya yang akan diteruskan ke sensor satelit oleh atmosfer T a serta jumlah cahaya matahari yang dapat dihamburkan oleh aerosol udara L a dan molekul air L m secara langsung. Jika ditulis dalam persamaan adalah sebagai berikut: L t (λ) = (T a(λ)*(l w(λ) + L r(λ))) + L a(λ) + L m(λ) (1) Gambar 2 menunjukkan komponen spektral cahaya matahari yang diterima oleh sensor satelit dari air laut dengan panjang gelombang tampak yang berbeda. Pemantulan cahaya matahari dari permukaan laut menambah sejumlah kecil jumlah cahaya yang dipantulkan oleh air laut ke atmosfer. Oleh karena itu koreksi atmosferik merupakan bagian yang penting dalam penginderaan jauh untuk aplikasi di laut (Gordon dan Morel 1983; Gordon dan Wang 1994; Gordon 1997 yang diacu dalam Hendiarti). Sumber: Senga (2002) yang diacu dalam Hendiarti (2003) Gambar 2 Komponen spektral cahaya matahari yang diterima oleh sensor satelit.

8 2.3 Sifat-sifat Optik dan Unsur Utama Penyusunnya dalam Penginderaan Jauh Warna laut mengindikasikan adanya konsentrasi dan komposisi unsur utama penyusun air laut dan ciri optiknya. Penginderaan jauh optik dapat digunakan untuk mengamati beberapa parameter kualitas air. Perhitungan dasar untuk menjelaskan warna air laut adalah penyinaran keatas (Upwelling irradiance) E u dan penyinaran kebawah (Downwelling irradiance) E d. Gambar 3 memperlihatkan penyinaran cahaya di dekat permukaan laut. Sumber: Hendiarti (2003) Gambar 3 Penyinaran cahaya dan interaksinya di bawah dan di atas permukaan air. Penyinaran ke bawah E d adalah penyinaran yang terus menerus per satuan luas permukaan pada semua arah ke bawah. Sementara itu penyinaran ke atas E u adalah penyinaran yang terus menerus per satuan luas permukaan pada semua arah ke atas seperti dijelaskan pada persamaan 2 dan persamaan 3 (Jerlov dan Nielsen 1974; Sathyendranath 2000). Kedua bentuk penyinaran tersebut merupakan parameterparameter yang bermanfaat untuk mengukur intensitas cahaya. 2 /2 E d (z) = L (z;θ,φ) cosθdω (2) φ=0 θ=0

9 2 E u (z) = L (z;θ,φ) cosθ dω (3) φ=0 θ= /2 dimana dω = sin θ dθ dφ, dan θ adalah jarak puncak serta φ adalah sudut dari nilai cahaya matahari yang terbentuk. Penyinaran spektral ke bawah pada kedalaman air yang berbeda E d (λ,z) (mw cm -2 nm -1 pada panjang gelombang λ) dapat ditentukan dari penyinaran ke atas tepat dibawah permukaan air laut E d (λ,0 - ) menurut persamaan 4. E d (λ,z) = E d (λ,0 - )e -Kd (λ,z)z (4) dimana K d (λ,z) adalah koefisien pengurangan (attenuation coeffisient) cahaya matahari secara vertikal per unit meter yang dirata-ratakan dari bawah permukaan air laut hingga pada kedalaman tertentu (z=0 - ) ke kedalaman z dalam meter. Koefisien pengurangan dapat digunakan untuk mengenali area difusi cahaya seiring dengan bertambahnya kedalaman, begitu juga untuk membedakan massa air yang secara optik tampak berbeda. Koefisien pengurangan cahaya vertikal K d (λ,z) dapat dihitung dari perbedaan penyinaran ke bawah antara dua kedalaman z 1 dan z 2. K d (λ,z) = - 1 E d (λ,z 2) (ln ) Z 2 - Z 1 E u (λ,z 2) Warna air laut ditentukan oleh pemantulan cahaya matahari oleh air laut R w yang sama dengan perbandingan antara penyinaran ke atas-bawah tepat di bawah permukaan air pada satuan panjang gelombang. (5) R w (λ,z) = E u (0 - ) E d (0 - ) (6) Penyinaran ke bawah pada lapisan di bawah permukaan air E d (0 - ) meliputi semua penetrasi cahaya hingga kolom air, sedangkan penyinaran ke atas meliputi jumlah cahaya matahari yang dihamburkan balik. Pada perairan dangkal dan jernih, terdapat bagian cahaya yang cukup signifikan dari sinar matahari yang dapat mencapai dasar perairan dan dipantulkan ke permukaan air. Pemantulan cahaya matahari pada permukaan air dipengaruhi oleh pemantulan cahaya matahari oleh dasar perairan dan dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

10 R (0) = R w (λ) + (R b R w (λ))θ -2kdz (7) Unsur-unsur utama air laut yang berbeda memiliki konsentrasi sifat atau karakter menyerap cahaya secara spesifik pada panjang gelombang yang berbeda yang penting artinya dalam pemodelan secara optik. Air murni menyerap cahaya dengan sangat lemah pada daerah spektrum biru dan hijau (antara 400-550 nm). Pada 550 nm, penyerapan cahaya oleh air laut mulai meningkat secara signifikan dan terus berlanjut hingga pada daerah spektrum merah (Gambar 4 pada kurva warna biru). Penyerapan cahaya maksimal oleh klorofil a terjadi pada daerah spektrum biru (430 nm) dan pada spektrum merah (662 nm) yang digambarkan warna hijau pada kurva. Penyerapan cahaya oleh yellow substance secara eksponensial meningkat hingga pada panjang gelombang pendek (warna kuning pada kurva). A b s o r p s i (m -1 ) Panjang Gelombang (nm) Sumber: Siegel (1986) yang diacu dalam Hendiarti (2003) Gambar 4 Koefisien penyerapan cahaya oleh air murni, klorofil a (1mg/m 3 ) dan yellow substance (1mg/dm 3 ). Daya tembus cahaya matahari terhadap air sangat tergantung pada daya serap air terhadap cahaya matahari yang mengenainya. Semakin besar daya serapnya maka semakin kecil kemungkinan cahaya matahari untuk menembus air tersebut. Dua nilai ini berbeda bagi panjang gelombang yang berbeda. Daya serap air yang terkecil terletak pada panjang gelombang 0.4-0.6 μm. Oleh karena itu sinar dengan panjang gelombang

11 ini merupakan yang terbaik untuk menginderaan kedalaman perairan dangkal (Sutanto 1992; Lillesand dan Kiefer 1994; Richard 1995). 2.4 Penginderaan Jauh untuk Menduga Kedalaman Lyzenga (1985), mencoba mengembangkan pemetaan batimetri dengan memanfaatkan dua sumber citra yang berskala dari citra perekaman sensor aktif (radar) dan perekaman sensor pasif (multispektral). Model ini bertujuan untuk menggabungkan keunggulan dari tiap-tiap jenis citra sehingga didapatkan ketelitian pemetaan yang cukup tinggi. Penelitian dilakukan di Pantai Pulau Bahama pada tahun 1978 dengan hasil ketelitian pemetaan yang cukup tinggi. Jupp (1988) menyimpulkan dari beberapa hasil penelitian di perairan Great Barrier Reef Australia mengatakan bahwa citra yang dapat digunakan dalam penentuan kedalaman air adalah: (1) Citra Landsat TM band 1 mempunyai kemampuan penetrasi kedalaman perairan sampai kedalaman 25 meter, band 2 sampai kedalaman 15 meter, band 3 sampai kedalaman 5 meter dan band 4 sampai kedalamn 0.5 meter. (2) Citra Landsat MSS band 4 mempunyai kemampuan penetrasi kedalaman perairan hingga kedalaman 15 meter, band 5 hingga kedalaman 5 meter, band 6 hingga kedalaman 0.5 meter dan band 7 sepenuhnya diserah oleh air. (3) Citra SPOT band 1 mempunyai kemampuan penetrasi kedalaman perairan hingga 0.5 meter. Hal tersebut diperoleh dengan syarat kondisi citra yang bebas awan, sudut elevasi matahari tidak terlalu besar dan wilayah perairannya bebas dari kekeruhan. Hashim (1990), mengemukakan tentang kesempatan dan keterbatasan pemetaan batimetri dari citra satelit. Lokasi yang dipilih adalah di Kepulauan Langkawi dan Kuala Perlis, Kelang, Malaysia. Data yang digunakan adalah SPOT 1 dan Landsat 5 MSS. Model-model yang dikembangkan adalah (1) radiative transfer model, (2) single band reflectance model dan (3) two band reflectance model. Dari penelitiannya diperoleh formula Y=a+b1x1+b2x2 atau Y=ax1+bx2+c dengan c=28.22; a=-0.19; b=-0.16; R 2 =0.62, dimana x adalah citra asli dan Y adalah citra hasil pengolahan. Kelemahan dari penelitian ini yaitu (1) pada kedalaman kurang dari 1 meter mempunyai simpangan yang sangat besar (3-10 meter), (2) pada kedalaman 1.1-14 meter simpangannya hanya 1.5 meter. Hal

12 ini menggambarkan bahwa model ini tidak dapat diterapkan pada air yang sangat dangkal. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa model-model tersebut potensial untuk menentukan atau menurunkan dengan cepat informasi kedalaman perairan, namun informasi yang didapat tergantung pada jenis satelit atau sistem yang digunakan dan penyebab kesalahan-kesalahan yang terjadi (seperti tipe substrat dasar, arus dan sedimen tersuspensi). Hengel dan Spitzer (1991) mencoba mengembangkan algoritma pemetaan kedalaman perairan dengan memanfaatkan data multitemporal. Penelitian tersebut dilakukan di Pulau Vlieland dan The de Richel, Itali. Algoritma yang diperkenalkan merupakan penjabaran dari pendapat yang mengatakan bahwa kedalaman air berbanding lurus dengan algoritma radiasi dan nilai kedalaman air relatif (data digital) yang dapat diperoleh dengan melakukan transformasi khusus terhadap nilai radiasi khusus tiap band. Algoritma ini memanfaatkan 3 citra multitemporal sebagai input data yaitu citra Landsat TM bulan Juni 1986 pada masa surut, citra Landsat TM bulan Juni 1986 pada masa pasang air serta Landsat TM bulan Juli 1987. Hasil yang diperoleh yaitu metode rotasi nilai radiasi berdasarkan pendapat Lyzenga dapat digunakan untuk memperoleh data kedalaman air laut dari citra satelit. Peta kedalaman air relatif dapat diperoleh tanpa terlebih dahulu harus mengetahui nilai kedalaman air yang sebenarnya. Peta kedalaman air absolut didapat dari hasil perhitungan korelasi antara nilai kedalaman yang sebenarnya dengan nilai kedalaman air relatif. Metode ini diyakini memiliki kesalahan yang lebih kecil dibandingkan dengan metode-metode lainnya. Bierwirth et al. (1993) dari Australian Geological Survey Organizations (AGSO) pernah melakukan penelian dengan tujuan serupa. Lokasi penelitian di Hamelin Pool, Shark Bay, Australia Barat. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan memperhitungkan nilai koefisien attenuasi air terhadap masing-masing panjang gelombang pada citra Landsat TM. Band yang digunakan adalah band pada panjang gelombang sinar tampak (band 1, band 2 dan band 3). Koefisien attenuasi yang diperoleh untuk masing-masing band yaitu 0.1 untuk band 1 (panjang gelombang sinar biru), 0.13 untuk band 2 (panjang gelombang sinar hijau) dan 0.194 untuk band 3 (panjang gelombang sinar merah). Selain itu juga menghasilkan peta kedalaman perairan hingga 11 meter (dari perkiraan maksimal 24 meter) dengan interval 1 meter.

13 Green et al. (2000) mencoba untuk membandingkan beberapa model pemetaan kedalaman perairan di Caicos Bank. Model yang dievaluasi adalah model dari (1) Benny dan Dawson menghasilkan koefisien korelasi (r) sebesar 0.52, (2) Interpolated DOP/ Depth of Penetration dengan koefisien korelasi (r) 0.71, (3) Calibrated DOP/ Depth of Penetration dengan koefisien korelasi (r) 0.91 dan (4) Lyzenga dengan koefisien korelasi (r) 0.53. Algoritma standar yang biasa digunakan untuk memetakan kedalaman perairan (Lyzenga 1978) memerlukan 7 buah koefisien masukan untuk mengestimasi kedalaman perairan dangkal. Penggunaan algoritma Lyzenga (1978) ini seringkali bermasalah terutama untuk daerah yang mempunyai albedo yang rendah. Stumpf et al. (2003) mengembangkan sebuah model rasio yang membandingkan 2 buah faktor reflektansi air. Penelitian ini dilakukan di dua buah pulau atol di Hawai, menggunakan citra Ikonos dan Lidar. Hasil penelitian ini menunjukkan algoritma Lyzenga (1978) hanya bisa mengestimasi kedalaman air sampai dengan 15 meter sedangkan model rasio bisa mengestimasi kedalaman perairan sampai dengan 25 meter. 2.5 Karakteristik LANDSAT-7 ETM + LANDSAT-TM adalah jenis satelit sumberdaya alam yang pada awalnya ditunjukkan untuk kepentingan sumberdaya alam yang ada di darat tetapi dalam perkembangannya ternyata sensor thematic mapper dapat juga diaplikasikan untuk sumberdaya kelautan (Butler et al. 1988). Generasi terbaru dari Landsat adalah Landsat 7 dengan sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM + ). Instrumen ETM + berupa multispectral scanning radiometer yang berkemampuan menghasilkan informasi pencitraan resolusi tinggi terhadap permukaan bumi. Peralatan tersebut mendeteksi radiasi terfilter spektral pada sinar tampak, infra merah dekat dan kanal-kanal frekuensi infra merah termal. ETM + akan membuat sekitar 3.8 GB data tiap scene. Sistem the Landsat World Wide Reference membuat katalog permukaan bumi menjadi 57784 scene, masing masing mempunyai lebar 115 mil (183 km) dan panjang 106 mil (170 km). Landsat-7 menyediakan data yang berulang dan sinoptik meliputi permukaan bumi. Band-band spektral meliputi spektrum elektromagnetik sinar tampak, infra merah dekat dan infra merah termal serta kalibrasi radiometrik absolut. Karakteristik dan spesifikasi Landsat-7 dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

14 Tabel 1 Karakteristik Landsat-7 Tanggal peluncuran 15-Apr-99 Tinggi (km) 705 Sensor Repetisi / Perulangan Kecepatan transmisi ETM+ 16 hari 150 Mbps Sumber: U.S Departement of Interior, U.S Geological Survey (1999) yang diacu dalam Berita Bank Data Inderaja (2000). Tabel 2 Spesifikasi Sensor ETM + Band Spektral Gelombang Resolusi (µm) (m) Tujuan Penerapan 1 0,45 0,52 Biru 30 Pemetaan perairan pesisir, serapan klorofil, pembeda tanah dan vegetasi, pemetaan batimetri 2 0,52 0,60 Hijau 30 Kesuburan vegetasi, penduga konsentrasi sedimen, batimetri 3 0,63 0,69 Merah 30 Daerah penyerapan klorofil, membedakan jenis tanaman 4 0,76 0,90 Inframerah dekat 30 Membedakan badan air dan daratan, daerah pantulan 5 1,55 1,75 Inframerah sedang 6 10,4 12,5 Inframerah termal 7 2,08 2,35 Inframerah jauh 8 0,5 0,9 (pankromatik) Hijau, merah dan inframerah dekat vegetasi yang kuat 30 Pengukuran kelembaban tanah dan vegetasi, daerah pantulan batuan 60 Pemetaan termal dan informasi geologi termal 30 Pemetaan hidrotermal, membedakan tipe batuan (geologi/minyak) 15 Pemetaan daerah yang besar dan studi perubahan pemukiman kota Sumber: U.S Departement of Interior, U.S Geological Survey (1999) yang diacu dalam Berita Bank Data Inderaja (2000). Satelit akan mengelilingi bumi pada ketinggian sekitar 438 mil (705 km) dengan sudut inklinasi 98 derajat dan waktu lintas katulistiwa pada pukul 10.00 waktu setempat.

15 Subsistem kendali akan menjaga stabilitas satelit dan arah pengamatan ke bumi yaitu 0.05 derajat. Ilmuwan menggunakan citra satelit Landsat dalam penelitian perubahan global permukaan lahan dan sekitar wilayah pantai, studi perubahan lingkungan wilayah, serta keperluan usaha dan umum lainnya. Adapun aplikasi dan penggunaan data Landsat-7 untuk sumberdaya kelautan adalah penentuan pola dan sirkulasi kekeruhan, pemetaan perubahan garis pantai, pemetaan daerah lepas pantai dan dangkal, pelacakan erosi pantai, pelacakan polutan dan tumpahan minyak, serta pemetaan es untuk pelayaran. (Berita Bank Data Inderaja 2000). 2.6 Kedalaman Perairan dengan Survei Echo Sounder Pada umumnya para pelaut melimpahkan kepercayaan yang tidak terhingga pada peta laut yang telah dipublikasikan, dengan pemikiran bahwa keadaan yang dipetakan itu adalah keadaan yang sebenarnya, dimana faktor yang berbahaya dapat dikurangi dan karena itulah diperlukan peta yang harus diperbaharui dengan ketepatan data yang semakin tinggi lagi. Peta laut dapat berfungsi sebagai penyedia informasi mengenai topografi dasar laut, tanda-tanda navigasi di laut, daerah kedangkalan dan dengan bantuan alat penentu posisi dapat memberikan informasi posisi kapal setiap saat di sekitar lokasi atau area yang dilalui kapal dalam pelayarannya, misalnya untuk mendapatkan lokasi pengambilan sedimen dasar laut diperlukan peta dasar laut atau peta batimetri. Echo sounder mempunyai sebuah transducer, biasanya terletak pada dasar lambung kapal, memancarkan pulsa suara. Pulsa tersebut mengarah turun, menyentuh dasar laut dan kembali ke tranducer. Echo sounder mencatat waktu kembalinya sinyal dari dasar lautan. Karena kita tahu kecepatan suara dalam air (biasanya 1500ms -1 ) maka waktu bolak-baliknya dapat digunakan untuk menghitung kedalaman (Sager 2003). Data posisi dan kedalaman biasanya dicatat secara periodik dalam survei pemetaan dasar laut (batimetri) menggunakan alat echo sounder sehingga akuisisi data batimetri terkait dengan data posisi dan data kedalaman. Salah satu syarat dari survei hidrografi secara garis besar adalah keadaan dari dasar laut harus ditentukan posisinya, perhatian khusus harus ditujukan pada puncak bukit dan benda-benda dikenal lainnya. Tinggi semua benda benda harus ditentukan dan ditulis pada peta laut.

16 Pada proses pengambilan data batimetri, sebuah data yang teramati disebut titik FIX yang harus mempunyai informasi tentang posisi dan kedalaman yang teramati pada saat bersamaan sehingga pada proses tersebut pengunaan kedua alat ini (penentu posisi dan kedalaman) harus dilakukan secara bersamaan pada saat pengamatan. Hal ini harus didukung oleh kondisi dinamis dan wahana kapal yang membawa kedua peralatan tersebut. 2.7 Pasang Surut Pasang surut (pasut) adalah naik turunnya permukaan laut dalam selang waktu 12.4 jam dan dibeberapa tempat ada yang 24.8 jam. Pasang surut disebabkan adanya gaya-gaya gravitasi matahari, bulan dan bumi. Perbedaan pasang surut terjadi karena lintasan bumi dan bulan berbentuk elips sehingga kekuatan gaya gravitasi berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain (Pickard and Pond 1983). Pasat surut adalah gerakan naik turunnya permukaan laut secara periodik selama suatu interval waktu tertentu yang disebabkan karena interaksi antara gaya gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh rotasi bumi dan sistem bulan. Akibat adanya gaya-gaya tersebut, air di pasut samudera tertarik ke atas (Nybakken 1988). Selain dari gaya tarik matahari dan bulan pasut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal, seperti topografi dasar laut yang tidak merata tetapi sangat bervariasi dari palung yang sangat dalam sampai gunung bawah laut, lebar selat yang sempit dan ada yang panjang, bentuk laut seperti corong dengan dasar melandai dan sebagainya. Semua itu menyebabkan lokasi yang berbeda memiliki ciri-ciri pasang surut yang berbeda (Nontji 1993). Menurut Wyrtki (1961) pasang surut di Asia Tenggara terdapat empat tipe yaitu: (1) pasang surut ganda, dimana dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut (2) pasang surut tunggal, dimana dalam sehari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut (3) pasang surut campuran dominasi ganda, dimana terdapat tipe pasang surut ganda dan tunggal tetapi lebih banyak didominasi ganda (4) pasang surut campuran dominasi tunggal, dimana terdapat tipe pasang surut ganda dan tunggal tetapi lebih banyak didominasi tunggal.

17 Secara geografi penyebaran pasang surut di Teluk Bengal, Laut Andaman, Selat Sunda dan Barat Laut Australia memiliki pasang surut ganda. Sebagian besar Laut Cina Selatan, Selat Sunda, sebagian besar Laut Jawa dan sebagian kecil di Laut Arafuru memiliki tipe pasang surut campuran dominasi tunggal. Teluk Thailand, perairan antara Pulau Sumatera dan Kalimantan serta sedikit bagian di Laut Jawa memiliki tipe pasang surut tunggal. Kepulauan bagian timur memiliki tipe pasang surut campuran dominasi ganda, hal ini karena pengaruh dari Samudera Hindia. 2.8 Pengertian Perairan Dangkal Menurut Nybakken (1992) laut dangkal yaitu wilayah perairan yang dekat dan berbatasan dengan daratan berada pada zone neritik pelagic. Perairan ini berada di pinggiran daratan utama, lautan sangat dangkal menutupi bawah air benua yang disebut paparan benua yang mencakup 7-8 persen seluruh luas lautan, mempunyai kemiringan sangat landai dari pantai sampai kedalaman 200m. Sistem penginderaan jauh pasif hanya mampu mengestimasi kedalaman perairan dangkal kurang lebih sampai kedalaman 30 m (Lyzenga 1978). Pada beberapa tempat bahkan kurang dari 30 m. Bierwith (1993) di perairan Great Barrier Reef hanya mampu mengestimasi kedalaman sampai dengan 11 meter. Stumpt et al. (2003) mampu mengestimasi kedalaman pada perairan yang sedikit keruh sampai dengan kedalaman 25 meter. Kondisi perairan yang bermacam-macam mengakibatkan dasar laut dangkal terdapat ekosistem yang berbeda dengan perairan dalam. Ekosistem yang menonjol keberadaannya adalah terumbu karang, lamun dan pasir.