PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
KEBUTUHAN AKTUALISASI DIRI PADA REMAJA PENYANDANG TUNANETRA YANG BERSEKOLAH DI SEKOLAH UMUM DITINJAU DARI KEMATANGAN EMOSI DAN SELF DISCLOSURE

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan fisik maupun mental. Semua perubahan dan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, baik jasmani maupun rohani. Kondisi ini adalah kesempurnaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat. Perubahan dari bentuk tubuh kanak-kanak pada umumnya ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan berbagai kesempurnaan.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap

BAB I PENDAHULUAN. adalah lingkungan pertama yang dimiliki seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan,

1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak lepas dari rasa percaya diri. Rasa percaya diri yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda.

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Disabilitas adalah suatu bentuk akibat dari keterbatasan seseorang pada

BAB I PENDAHULUAN. manusia dengan masing-masing perbedaan, baik fisik maupun mental.

PERAN DUKUNGAN SOSIAL IBU PADA PENCAPAIAN PRESTASI PENYANDANG CACAT TUBUH. Skripsi

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. Perawatan dan penelitian mengenai kesehatan gigi dan mulut pada penderita

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki perilaku, sikap dan mengkokohkan kepribadian. Dalam

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia telah mempunyai naluri untuk bergaul dengan sesamanya,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masa depan dan sanggup bersaing dengan bangsa lain. Dunia pendidikan di

merupakan unit terkecil dari ruang lingkup masyarakat. Kesejahteraan suatu

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Gilang Angga Gumelar, 2015

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi salah satu ruang penting penunjang terjadinya interaksi sosial

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG TUNA DAKSA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejarah aktivitas manusia berkomunikasi timbul sejak manusia diciptakan

KEBUTUHAN AKTUALISASI DIRI PADA REMAJA PENYANDANG TUNANETRA YANG BERSEKOLAH DI SEKOLAH UMUM DITINJAU DARI KEMATANGAN EMOSI DAN SELF DISCLOSURE

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia Hal 4

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Bahasa digunakan manusia sebagai sarana komunikasi di dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. semua jabatan, organ visual ini memainkan peranan yang menentukan. Badan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai mahkluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan melakukan aktivitas secara mandiri. pembentukan pengertian dan belajar moral (Simanjuntak, 2007).

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

BAB I PENDAHULUAN. adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Mereka adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengarah pada suatu perkembangan jasmani maupun rohani. Perkembangan

PERSAMAAN AKSESIBILITAS BAGI PENYANDANG CACAT Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog*

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena itu mereka termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus (Miller, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. ini merupakan pertumbuhan dasar anak, selain itu juga terjadi perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan manusia dengan kemampuan berbeda-beda dengan rencana yang. kesialan atau kekurangan dengan istilah cacat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. belumlah lengkap tanpa seorang anak. Kehadiran anak yang sehat dan normal

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Jelia Karlina Rachmawati, 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. dilaksanakan secara terarah, berkesinambungan dan realistis sesuai tahapannya

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. dan dirawat dengan sepenuh hati. Tumbuh dan berkembangnya kehidupan seorang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam perjalanan hidupnya manusia melewati fase-fase kehidupan sejak ia

BAB I PENDAHULUAN. terencana melalui pendidikan. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi membawa dampak pada terjadinya persaingan di segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB II TINJAUAN DIFABEL DAN PUSAT PELAYANAN DIFABEL

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

Perkembangan Individu

BAB I PENDAHULUAN. beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang begitu bahagia dan ceria tanpa lagi ada kesepian. dengan sempurna. Namun kenyataannya berkata lain, tidak semua anak dapat

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidup terdorong oleh keinginan yang kuat untuk. mencapai arti bagi hidupnya dan arti bagi wujudnya.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang menginginkan tubuh yang sempurna. Banyak orang yang mempunyai anggapan bahwa penampilan fisik yang menarik diidentikkan dengan memiliki tubuh yang lengkap, ideal dan normal. Memasuki dunia cacat berarti sebuah dunia pengecualian, di sini secara tersirat mengandung pengertian dunia yang biasa disebut abnormal. Menurut Nugroho dan Utami (2004) definisi sederhana orang normal adalah bila orang mempunyai organ lengkap dan berfungsi dengan baik, dia harus mempunyai kepala, kaki/tangan dan organ lain layaknya seorang manusia. Kaki bisa digunakan untuk berlari, tangan untuk memegang atau menulis, mata untuk melihat, mulut untuk berbicara, telinga untuk mendengar dan lain sebagainya. Ketika seseorang mengalami ketidakfungsian, kehilangan salah satu atau lebih organ tubuhnya, maka individu akan disebut seorang yang tidak normal, seorang yang tidak sempurna atau istilah yang digunakan selama ini adalah cacat. Kesempurnaan organ tubuh dan berfungsi sebagaimana mestinya adalah syarat yang tidak dapat ditawar, agar dapat berinteraksi dengan masyarakat, mendapatkan pendidikan yang layak dan mendapatkan pekerjaan yang layak (Nugroho dan Utami, 2004). Dilihat dari penyebabnya, cacat tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu cacat bawaan atau sejak lahir dan cacat yang diderita pada masa pertumbuhan atau bukan bawaan (Hanifah, 2005). Penyandang cacat tubuh bawaan lebih dapat menyesuaikan diri, karena sejak kecil sudah terbiasa

melakukan aktivitasnya dengan keadaan tubuh yang tidak sempurna bila dibandingkan dengan penyandang cacat tubuh bukan bawaan yang sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya lagi karena mereka harus mulai menyesuaikan diri kembali dengan keadaan mereka sekarang. Ada sebagian kapasitas yang dimiliki oleh orang-orang yang bukan penyandang cacat tidak didapat pada orang-orang penyandang cacat. Oleh karena itu, penyandang cacat tubuh akan mempunyai kesulitan yang besar dalam menjalani kehidupan sosialnya dibanding dengan sesamanya yang tidak menyandang cacat tubuh, karena penyandang cacat tubuh menghadapi hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sebagaimana menurut Rehabilitasi Internasional (Hanifah, 2005). Penyandang cacat mempunyai keterbatasanketerbatasan kapasitas individu untuk melaksanakan aktivitas kehidupan seharihari. Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi manusia. Tidak berlebihan apabila dikemukakan bahwa sebagian besar informasi yang diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatan, sedangkan selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan demikian, dapat dipahami bila seseorang mengalami gangguan pada indera penglihatan, maka kemampuan aktifitasnya akan jadi sangat terbatas, karena informasi yang diperoleh akan jauh berkurang dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal (http://asnugroho.net/papers/ti2002.pdf, 2007). Bagi tuna netra, informasi dari dunia luar tersampaikan melalui media non-visual. Dengan demikian, informasi

tersebut. dapat dipahami melalui indera peraba, indera pendengaran dan sebagainya. Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan sekitar 45 juta orang di dunia mengalami kebutaan. Sepertiganya berada di Asia Tenggara. Diperkirakan 12 orang menjadi buta tiap menit di dunia. Indonesia merupakan Negara yang tingkat kebutaannya tertinggi di Asia Tenggara. Setiap menitnya 4 orang menjadi buta di Indonesia. Jumlah ini terus meningkat dengan tingkat kenaikan 0,1% setiap tahunnya ( http://www.mitranetra.or.id/news/index.asp, 2007 ). Dalam dunia pendidikan, individu penyandang tuna netra ini terpaksa belajar membaca dengan menggunakan sistem tulisan braille ataupun menggunakan sistem mendengar yaitu rekaman atau kaset. Bagi individu yang tergolong dalam penglihatan rendah atau mereka yang tidak sempurna penglihatannya dapat membaca tulisan dengan bantuan alat-alat pembesar atau buku yang memakai huruf cetak yang besar (http://members.tripod.com/~pkpmsm1/sejarah20x.html, 2007 ). Sedangkan individu yang sudah mencapai ke tahap tidak lagi dapat membaca, maka akan menghadapi kenyataan yang mengharuskan mereka mempelajari Braille. Dari sini secara tidak langsung terdapat beberapa klasifikasi bagi anak-anak yang cacat mata ini. Bagi cacat mata yang sederhana, ia dibantu dengan alat bantu pandang. Sedangkan bagi penyandang cacat mata berat, tidak dapat menggunakan penglihatannya sebagai indera untuk mempelajari sesuatu (http://members.tripod.com/~pkpmsm1/sejarah20x.html, 2007 ).

Kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu akan membuatnya berusaha mengaktualisasikan dirinya dengan segala yang dia punya. Corey (dalam Hanifah, 2005) menyatakan bahwa manusia berjuang untuk mengaktualisasikan dirinya yakni kecenderungan menjadi apa saja yang individu mampu. Aktualisasi diri merupakan sarana menuangkan diri dalam kapasitas individu sebagai manusia yang menuntut direalisasikannya semua potensi serta bakat yang sesuai dengan kemampuan, minat dan bidangnya masing-masing. Adanya kebutuhan akan aktualisasi diri yang cukup besar menuntut remaja penyandang tunanetra untuk menggali dan mengembangkan segenap bakat, minat dan kemampuan yang dimiliki. Kemampuan yang diperoleh remaja penyandang tunanetra tidak lepas dari proses pendidikan yang telah lama diterima serta adanya dukungan dari lingkungan yang baik, dimana keluarga berperan besar untuk mendukung semua yang bisa dilakukan remaja penyandang tunanetra. Selain keluarga, lingkungan sekolah juga memiliki peran yang cukup besar karena merupakan lingkungan terdekat kedua setelah keluarga. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kotamadya Yogyakarta, diperoleh informasi bahwa terdapat sebuah yayasan yang khusus menampung siswa-siswi penyandang tunanetra yaitu Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam Yogyakarta. Dengan adanya yayasan tersebut, penyandang tunanetra yang bersekolah di DI Yogyakarta dapat tinggal di tempat tersebut bersama dengan teman-teman lain yang juga menyandang ketidaksempurnaan pada indera penglihatannya.

Ketidaksempurnaan dan penyimpangan akan fungsi mata ini menimbulkan kegusaran batin yang cukup mendalam bagi remaja. Menurut Hill dan Mőnks (dalam Hanifah, 2005) remaja merupakan salah satu penilai yang penting terhadap badannya sendiri. Apabila dalam proses mengembangkan bakat, minat dan kemampuan yang dimiliki menuju tercapainya aktualisasi diri, maka remaja akan merasa gusar dan mendapat tekanan batin terlebih lingkungan dimana mereka mendapat pendidikan adalah lingkungan yang normal. Tekanan batin tersebut dapat mengakibatkan ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri, baik dalam kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya. Tekanan batin yang dialami oleh remaja penyandang tunanetra akan dapat dinetralisir dengan adanya kesanggupan untuk menghadapi tekanan hidup. Hidup di masyarakat memerlukan kematangan individu untuk menghadapi setiap tantangan dan tuntutan baik yang datang dari dalam individu maupun dari masyarakat. Remaja penyandang tunanetra juga memiliki tantangan dan tuntutan yang harus dihadapi dalam kehidupan. Individu yang mengalami cacat juga hidup bersama orang-orang lain yang normal dalam masyarakat luas. Kelainan-kelainan yang bersifat menetap yang disandang remaja tunanetra itu secara langsung akan mempengaruhi emosinya. Menurut Chaplin (2002), yang dimaksud dengan kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi tercapainya tingkat kedewasaan dalam perkembangan emosional. Oleh karena itu individu yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosi yang kekanak-kanakan sehingga individu tersebut akan

mampu untuk mengontrol dan menekan emosinya. Meichati (dalam Hanifah, 2005) berpendapat tentang kematangan emosi yang merupakan suatu kesanggupan untuk menghadapi tekanan hidup baik yang ringan maupun berat. Kesanggupan individu untuk menguasai emosinya ini tampak dalam sikapnya saat menghadapi situasi-situasi tertentu yang bermacam-macam coraknya. Kematangan emosi ditandai dengan bagaimana konflik dipecahkan dan bagaimana kesulitan ditangani. Orang yang sudah dewasa memandang kesulitankesulitannya bukan sebagai malapetaka tetapi sebagai tantangan. Walgito (1984) mengatakan bahwa individu yang matang emosinya akan dapat bersikap toleran, dapat mengontrol diri sendiri dan mampu menyatakan emosinya secara baik, berpikir objektif, menerima keadaan diri dan orang lain, tidak bersifat impulsif dan bertanggung jawab dengan baik. Penyandang tunanetra akan merasa terasing dalam hubungan sosialnya bila mereka tidak dapat mengontrol emosinya dengan baik, termasuk hubungannya dengan lingkungan di sekolah. Remaja penyandang tunanetra akan mempunyai kesulitan bergaul yang lebih besar dalam menjalani kehidupan di sekolah dibandingkan dengan sesama teman yang tidak menderita cacat. Dan ini dapat menyebabkan timbulnya sikap egosentris, fanatik, serta tuntutan yang berlebihan sebagai bentuk kompensasi atas kekurangan yang dirasakannya. Dalam pergaulan dengan orang lain, penyandang tunanetra merasa tidak yakin dan penuh ketakutan. Orang yang mengalami kondisi demikian biasanya bersikap menarik diri atau berada di balik layar (Hanifah, 2005). Individu yang mempunyai cacat pada tubuhnya akan merasa malu dan sangat menderita

batinnya. Hari depan merasa gelap dipenuhi dengan rasa malu, ketakutan dan merasa ragu-ragu (Kartono, 1983). Dalam menghadapi tantangan dan tuntutan, penyandang tunanetra harus memiliki keterbukaan diri dan pemahaman tentang siapa dirinya serta usaha untuk pengembangan lebih lanjut. Pada penyandang tunanetra yang mau membuka diri berarti orang tersebut mengenali siapa dirinya dan bagaimana dirinya saat ini, sedangkan pada penyandang tunanetra yang tidak dapat membuka diri akan merasa dirinya tidak berharga. Dengan demikian keterbukaan dalam komunikasi sangat diperlukan agar tumbuh saling pengertian, menghargai dan bermanfaat bagi kedua belah pihak yang berhubungan. Sebaliknya, sikap yang tertutup dalam komunikasi akan mengganggu bahkan akan merusak hubungan dalam masyrakat. Oleh karena itu keterbukaan diri dalam hubungan sosial mutlak diperlukan. Dengan memiliki hubungan komunikasi yang baik dengan lingkungannya, mereka akan mendapat dukungan demi terciptanya kebutuhan aktualisasi diri. Remaja penyandang tunanetra yang bersekolah di sekolah umum diharapkan memiliki kematangan emosi yang tinggi agar dapat mengatasi tantangan yang dihadapinya baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun sekolah pada khususnya. Selain itu mereka diharapkan dapat membuka diri terhadap orang lain agar terjalin komunikasi yang baik dengan lingkungannya. Dengan demikian kebutuhan aktualisasi dirinya akan dapat dipenuhi. Namun, pada kenyataannya belum tentu remaja penyandang tunanetra yang memiliki kematangan emosi yang tinggi dalam menghadapi tantangan serta tuntutan yang dihadapi, mereka juga dapat mengoptimalkan kemampuan yang

dimiliki untuk mencapai aktualisasi diri dan sebaliknya belum tentu remaja yang dapat mencapai aktualisasi diri yang optimal memiliki kematangan emosi yang baik. Belum tentu remaja penyandang tunanetra mampu terbuka dengan lingkungannya sehingga tingkat aktualisasi diri juga tidak optimal. Berdasar uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengungkap apakah ada hubungan antara kematangan emosi dan self-disclosure dengan kebutuhan aktualisasi diri pada remaja penyandang tunanetra yang bersekolah di sekolah umum?. Berdasar rumusan masalah tersebut, penulis mengambil judul Kebutuhan Aktualisasi Diri Pada Remaja Penyandang Tunanetra Yang Bersekolah Di Sekolah Umum Ditinjau Dari Kematangan Emosi Dan Self- Disclosure. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Hubungan antara kematangan emosi dan self-disclosure dengan kebutuhan aktualisasi diri pada remaja penyandang tunanetra yang bersekolah di sekolah umum. 2. Hubungan antara kematangan emosi dengan kebutuhan aktualisasi diri pada remaja penyandang tunanetra yang bersekolah di sekolah umum. 3. Hubungan antara self-disclosure dengan kebutuhan aktualisasi diri pada remaja penyandang tunanetra yang bersekolah di sekolah umum. 4. Tingkat kematangan emosi pada remaja penyandang tunanetra yang bersekolah di sekolah umum.

5. Tingkat self-disclosure pada remaja penyandang tunanetra yang bersekolah di sekolah umum. 6. Tingkat aktualisasi diri pada remaja penyandang tunanetra yang bersekolah di sekolah umum. 7. Peranan kematangan emosi terhadap kebutuhan aktualisasi diri pada remaja penyandang tunanetra yang bersekolah di sekolah umum. 8. Peranan self-disclosure terhadap kebutuhan aktualisasi diri pada remaja penyandang tunanetra yang bersekolah di sekolah umum. C. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi yang menunjang perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pengembangan ilmu yang langsung berkaitan yaitu psikologi perkembangan. 2. Manfaat praktis a. Bagi remaja penyandang tunanetra, sebagai bahan informasi tentang pentingnya self disclosure agar lebih terbuka dengan orang lain, mengenal orang lain dan juga dapat menumbuhkan suatu bentuk emosi yang sehat dalam dirinya sehingga dapat mencapai aktualisasi diri. b. Bagi keluarga remaja penyandang tunanetra, sebagai informasi untuk memberikan dukungan mental dalam mendampingi remaja yang bersangkutan dalam kehidupannya di masyarakat sehingga aktualisasi diri tercapai.

c. Bagi peneliti lain, sebagai bahan kajian untuk penelitian yang akan datang, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan aktualisasi diri, kematangan emosi dan self-disclosure pada remaja penyandang tunanetra yang bersekolah di sekolah umum..