BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang) maupun sumber daya yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan tambang lainnya) (Dahuri dkk., 2001). Wilayah pesisir merupakan sebuah ekosistem unik yang berbeda dengan ekosistem lain yang terdapat di permukaan bumi. Menurut Sunarto (2001), wilayah pesisir memiliki kekhususan dari segi geomorfologis. Daerah pesisir terpisah dari laut oleh pantai, kecuali laguna, dimana lokasi pesisir berada dari garis pesisir ke arah darat hingga batas terluar bentuklahan kepesisiran di pedalaman. Sementara itu, Beatley et al., (2002) menyatakan bahwa kawasan pesisir merupakan penghubung antara darat dan laut sehingga memiliki kondisi geologi, ekologi dan biologi yang unik dan memiliki peranan yang sangat penting dalam menyusun pembentukan kehidupan darat dan perairan termasuk manusia. Ekosistem pesisir dan laut beserta sumber daya yang dikandungnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat pesisir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya hutan mangrove. Ekosistem hutan mangrove merupakan tipe hutan yang tumbuh di wilayah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut serta vegetasinya dapat beradaptasi terhadap kandungan garam yang tinggi
(Onrizal, 2008). Kawasan estuari/muara sungai sebagai salah satu habitat dari ekosistem mangrove merupakan kawasan yang paling produktif dari total sistem wilayah pesisir karena memiliki kemampuan dalam menyaring nutrien. Sistem perakaran vegetasi mangrove yang unik dapat mengikat sedimen dan menstabilkan substrat. Kawasan ini juga berperan dalam menjaga keseimbangan dan keberlangsungan ekosistem pesisir dan lautan serta rantai makanan (Armono dkk., 1996). Kawasan muara sungai/estuari pada beberapa daerah di Indonesia mengalami degradasi fisik maupun ekologis, pencemaran dari darat dan laut, serta eksploitasi sumberdaya secara berlebihan. Akibat dari degradasi tersebut dapat mengancam siklus hidup berbagai organisme yang ada di dalamnya (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004). Kegiatan lain yang juga memicu penurunan kualitas hutan mangrove yaitu dengan adanya pembangunan pemukiman, infrastruktur berupa bendungan, jalan dan pariwisata, serta peruntukan lahan bagi aktivitas perikanan dan perkebunan (FAO, 1994). Peningkatan kandungan pirit pada kawasan hutan mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara terjadi akibat berkurangnya aliran air pada saat pasang surut. Kondisi ini disebabkan karena adanya pembangunan tanggul untuk lahan tambak. Kandungan pirit akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan vegetasi mangrove sehingga perlu tindakan pencegahan dengan memperlancar aliran air laut ke hutan mangrove (Kusmana dan Onrizal, 2008). Hutan mangrove di sepanjang pantai utara Jakarta dan Tangerang berubah menjadi kawasan elit perumahan, perkantoran, pertokoan, kawasan wisata dan lapangan golf.
Pembangunan kawasan elit ini mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman flora dan fauna ekosistem mangrove. Hutan mangrove di kawasan Teluk Bintuni, Papua mengalami degradasi akibat adanya eksploitasi perikanan secara berlebihan. Dampak yang ditimbulkan yaitu rusaknya ekosistem pemijahan ikan dan udang, perubahan keseimbangan ekologi perairan dan menurunnya produksi perikanan (Baiquni dan Susilawardani, 2002). Menurut FAO (2007), luas hutan mangrove di Indonesia dari tahun 1980 hingga tahun 2005 terus mengalami penurunan, yaitu dari 4.200.000 Ha menjadi 2.900.000 Ha. Dalam kurun waktu antara tahun 2000-2005, luas hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan sebesar 50.000 Ha atau sekitar 1,6%. Penurunan luasan hutan mangrove akan berpengaruh terhadap komposisi fisikkimia (suhu air, oksigen terlarut, unsur hara, keseimbangan kadar garam, hidrologi, sedimentasi, kandungan racun, dan erosi), komposisi biologi (perubahan komposisi spesies, kerapatan individu, struktur tumbuhan dan hewan), serta keseimbangan ekologi (regenerasi, pertumbuhan, habitat, rantai makanan, serta ekosistem mangrove dan wilayah pesisir) (Aksornkoae, 1993). Kerusakan hutan mangove juga akan berpengaruh pada ekosistem lain yang juga berasosiasi dengan hutan mangrove seperti ekosistem terumbu karang, rumput laut, alga, rataan lumpur dan gisik (UNEP, 2014). Kota Pariaman sebagian besar wilayahnya berada di sepanjang pesisir pantai dengan panjang garis pantai 12,7 km dan berada pada ketinggian 0-2 mdpl dengan luas daerah seluruhnya yaitu 73,36 km. Wilayah ini berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia dan memiliki potensi alam yang cukup
bervariasi, terutama di daerah pesisir. Potensi ini antara lain pariwisata, perikanan dan kehutanan. Sumberdaya kehutanan yang terdapat di Kota Pariaman yaitu berupa hutan mangrove. Hutan mangrove di wilayah Kota Pariaman berada di sekitar muara sungai dan estuari dan tersebar di setiap kecamatan, kecuali Kecamatan Pariaman Timur. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusata Statistik Kota Pariaman (2009), diketahui bahwa pada tahun 2004 luas hutan mangrove di Kota Pariaman yaitu 5 Ha, lalu meningkat pada tahun 2006 menjadi 20 Ha. Pada tahun 2009 terjadi penurunan lagi menjadi 17,75 Ha, sedangkan pada tahun 2012 menjadi 18 Ha (Tabel 1.1). Fluktuasi ini disebabkan karena degradasi pada ekosistem mangrove yang dapat dilihat dengan adanya kematian pohon mangrove. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit, infrastruktur, pemukiman dan pembangunan gedung sekolah juga mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem hutan mangrove. Tabel 1.1 Luasan Hutan Mangrove Kota Pariaman No Nama Desa Kecamatan Luas (Ha) 1 Taluk Pariaman Selatan 1,0 2 Pauh Pariaman Tengah 0,5 3 Ampalu Pariaman Utara 3,5 4 Apar Pariaman Utara 6,0 5 Manggung Pariaman Utara 7,0 Jumlah 18,0 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan (2012) Berdasarkan Tabel 1.1 diketahui bahwa luasan hutan mangrove di Kota Pariaman paling luas terdapat di Kecamatan Pariaman Utara yaitu 16,5 ha, sedangkan di Kecamatan Pariaman Selatan dan Kecamatan Pariaman Tengah memiliki luasan hutan mangrove yang lebih sedikit. Penurunan luasan hutan
mangrove akan memberikan dampak yang kurang baik, terutama pemukiman penduduk yang berada di wilayah pesisir. Menurut laporan Ramdhan dan Abdillah (2012) wilayah pesisir Kota Pariaman (termasuk wilayah sekitar muara Sungai Batang Manggung) memiliki tingkat kerentanan fisik yang sangat tinggi. Kondisi ini disebabkan karena terdapatnya konsentrasi pemukiman yang dekat dengan garis pantai, kemiringan pantai yang landai serta tingkat abrasi yang cukup tinggi. Tingkat kerentanan akan semakin tinggi apabila ekosistem hutan mangrove yang berfungsi sebagai pelindung wilayah pesisir mengalami degradasi. Pengelolaan ekosistem mangrove sebagai bagian dari wilayah aliran sungai dan pesisir perlu mendapat perhatian serius mengingat pentingnya fungsi ekosistem ini dalam menjaga fisik lingkungan. Perlindungan yang diberikan oleh ekosistem mangrove tidak saja bagi wilayah pesisir dan laut, tetapi juga sebagai indikator kualitas suatu DAS (Daerah Aliran Sungai). Lemahnya kebijakan mengenai pengelolaan ekosistem hutan mangrove menjadikan beberapa instansi pemerintah memiliki kepentingan yang berbeda dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Apabila tidak dilaksanakan keterpaduan dalam kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove dan peraturan yang tegas, maka kelestarian ekosistem mangrove di Kota Pariaman akan terancam. 1.2 Rumusan Masalah Kota Pariaman sebagai daerah tujuan wisata dan daerah otonom sejak tahun 2002, membawa konsekuensi berupa peningkatan pembangunan yang cukup pesat, seperti pembangunan pemukiman, sarana dan prasarana, jasa dan
industri. Wilayah pesisir juga tidak luput dari sasaran pemerintah dalam kegiatan pembangunan, terutama untuk kegiatan wisata. Perbaikan infrastruktur berupa pembangunan jalan dan perbaikan fasilitas umum mendesak areal hutan yang terdapat di kawasan pesisir. Hutan mangrove yang umumnya berada di sekitar muara sungai dan estuari terancam kelestariannya akibat kegiatan pembangunan yang tidak memperhatikan aspek fungsi dan manfaat mangrove dalam menjaga kawasan pesisir. Salah satu ekosistem mangrove yang mengalami degradasi terdapat di sekitar muara Sungai Batang Manggung, Kecamatan Pariaman Utara. Berdasarkan hasil survei lapangan ditemukan fakta bahwa beberapa lokasi di sekitar muara Sungai Batang Manggung terdapat beberapa pohon mangrove yang mati dan tidak tumbuh dengan baik. Dugaan awal disebabkan karena berkurangnya aliran air tawar dari hulu sungai. Terganggunya sirkulasi air pada ekosistem mangrove menyebabkan ketidakseimbangan pada kondisi fisik-kimia pada habitat mangrove. Berdasarkan identifikasi permasalahan yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu : 1) Bagaimana karakteristik vegetasi dan tingkat kerusakan ekosistem hutan mangrove di muara Sungai Batang Manggung Kota Pariaman? 2) Bagaimana kondisi fisik-kimia ekosistem hutan mangrove di muara Sungai Batang Manggung Kota Pariaman? 3) Bagaimana fungsi dan pemanfaatan hutan mangrove bagi lingkungan dan masyarakat sekitar muara Sungai Batang Manggung Kota Pariaman?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1) Mengkaji karakteristik vegetasi dan tingkat kerusakan ekosistem hutan mangrove di muara Sungai Batang Manggung Kota Pariaman. 2) Mengkaji kondisi fisik-kimia ekosistem hutan mangrove di muara Sungai Batang Manggung Kota Pariaman. 3) Menganalisis fungsi dan pemanfaatan hutan mangrove bagi lingkungan dan masyarakat sekitar muara Sungai Batang Manggung Kota Pariaman. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain : 1) Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk mengelola kawasan hutan mangrove dengan konsep keterpaduan dengan memperhatikan kondisi lingkungan alami suatu spesies, baik flora maupun fauna. 2) Menjadi bahan masukan bagi masyarakat di kawasan hutan mangrove untuk berpartisipasi aktif dalam pelestarian lingkungan serta proses pengelolaan dan pengembangan kawasan tersebut. 3) Sebagai sarana bagi penulis dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam merencanakan maupun mengelola kawasan hutan mangrove yang ada di wilayah pesisir. 4) Menjadi bahan masukan dan perbandingan kepada peneliti lainnya untuk mengkaji aspek yang lain dan meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan.
1.5 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kajian ekosistem hutan mangrove sudah pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini antara lain dilakukan oleh: Kora (2004), Sawitri (2012), Dianawati (2013) dan Sodikin (2013). Kora (2004) melakukan penelitian mengenai arahan pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Aesesa, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi dan peranserta masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan, pemanfaatan dan pencegahan kerusakan hutan mangrove dan menyusun arahan pengelolaan hutan mangrove dari aspek sosial ekonomi masyarakat. Hasil dari penelitian ini yaitu, semakin tinggi status sosial ekonomi, tingkat pengetahuan tentang hutan mangrove, dan tingkat persepsi terhadap hutan mangrove; maka semakin tinggi pula tingkat partisipasi mereka dalam usaha pelestarian hutan mangrove. Berdasarkan hal ini dapat disusun perencanaan dan pengelolaan hutan mangrove. Hal ini menjadi acuan dalam penelitian ini bahwa manusia dan peradabannya sangat mempengaruhi ekosistem di sekitarnya. Sawitri (2012) melakukan penelitian mengenai strategi pengelolaan lingkungan pada ekosistem mangrove. Penelitian ini dilakukan di sekitar muara Sungai Bogowonto, Kabupaten Kulonprogo. Pengambilan data dilakukan secara purposive sampling, baik untuk data vegetasi, fisik maupun sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor daya dukung dan kemampuan lahan sangat menentukan dalam pertumbuhan mangrove. Legalitas dan kebijakan pengelolaan lahan mangrove juga mempengaruhi keberhasilan program rehabilitasi ekosistem mangrove. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa kemampuan lahan saja
tidak cukup dalam menentukan keberhasilan pengelolaan hutan mangrove, namun juga harus didukung oleh kebijakan dari pemerintah dan masyarakat setempat. Dianawati (2013) melakukan penelitian mengenai peran lembaga dan kearifan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove secara terpadu. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa diperlukan integrasi antara pemerintah dengan masyarakat asli maupun masyarakat pendatang dalam mengelola hutan mangrove. Lembaga pemerintah dan swasta juga turut memberikan andil dalam menciptakan suasana yang kondusif dalam menciptakan interaksi tersebut. Sodikin (2013) melakukan penelitian mengenai kerusakan mangrove dan bagaimana korelasinya terhadap intrusi air laut. Penelitian ini menunjukkan bahwa tumbuhan mangrove memiliki korelasi yang tinggi terhadap tingkat intrusi air laut. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan rata-rata nilai harga bikarbonat seiring dengan besarnya persentase kerusakan mangrove. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa hutan mangrove memiliki manfaat dalam melindungi kondisi fisik lingkungan di sekitarnya. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya hanya terfokus pada satu aspek dari komponen ekosistem yang terdapat pada ekosistem mangrove. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menitikberatkan pada isu dan permasalahan lingkungan yang terdapat di wilayah penelitian. Permasalahan tersebut meliputi komponen abiotik, biotik dan manusia. Hal ini disebabkan karena ekosistem mangrove memiliki ekosistem yang unik.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Pariaman, tepatnya pada ekosistem hutan mangrove di muara Sungai Batang Manggung. Penelitian akan terfokus pada karakteristik vegetasi dan tingkat kerusakan, karakteristik lingkungan fisikkimia ekosistem hutan mangrove di sekitar muara sungai serta menganalisis bagaimana fungsi ekosistem yang ada terhadap perlindungan fisik wilayah pesisir dan pemanfaatannya oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut. Objek kajian serta metode yang digunakan relatif sama dengan penelitian sebelumnya namun, hasil akhir akan mempunyai karakter yang berbeda karena menganalisis kemampuan ekosistem yang ada dalam melindungi kawasan di sekitarnya. Selain itu, karakteristik wilayah kajian memiliki perbedaan mendasar, baik dari segi morfologi maupun fisiografinya. Berdasarkan uraian tersebut maka keaslian penelitian ini dapat dilihat perbandingannya dengan penelitian yang pernah dilakukan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Perbandingan Penelitian Terdahulu dan Penelitian yang Dilakukan No Penulis & Tahun Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 1 Kora (2004) Arah Kebijakan 1. Mengetahui persepsi masyarakat Metode penelitian survei, Pengelolaan Hutan Mangrove Kasus Pantai terhadap manfaat, kerusakan dan cara pencegahan kerusakan hutan mangrove. dilakukan melalui wawancara dengan Utara Kecamatan 2. Mengetahui peranserta masyarakat responden. Aesesa, Kabupaten dalam kegiatan penyuluhan, Ngada, Flores, Propinsi pemanfaatan, pencegahan kerusakan Nusa Tenggara Timur hutan mangrove. 3. Menyusun arahan pengelolaan hutan mangrove dari aspek sosial ekonomi masyarakat. dan disosialisasikan pada masyarakat. 2 Sawitri (2012) Strategi Pengelolaan Lingkungan Pada Ekosistem Mangrove Di Sekitar Muara Sungai Bogowonto Kabupaten Kulonprogo 3 Dianawati (2013) Kajian Peran Lembaga Dan Kearifan Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Terpadu di Delta Mahakam 1. Mengkaji komposisi penyusun vegetasi mangrove hasil rehabilitasi. 2. Mengkaji faktor-faktor lingkungan fisik yang mendukung pertumbuhan vegetasi mangrove dan kegagalan pertumbuhan mangrove hasil rehabilitasi. 3. Mengkaji strategi dalam pengelolaan ekosistem mangrove ditinjau dari pendekatan ekologi. 1. Mengkaji peran Dinas Kehutanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan, dan BLH Kabupaten Kutai Kartanegara dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. 2. Mengkaji partisipasi masyarakat/penduduk asli dan pendatang dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Penelitian Eksplanatif, melalui pengamatan dan pengukuran serta wawancara dengan masyarakat. Penelitian kualitatif, melaui wawancara terstruktur. 1. Masyarakat memiliki persepsi kategori rendah (53,6 %) mengenai manfaat, kerusakan dan cara pencegahan kerusakan hutan mangrove. 2. Partisipasi masyarakat dalam aktivitas pemanfaatan, dan pencehagan kerusakan hutan mangrove, sebagian besar termasuk kategori sedang. 3. Pengelolaan hutan mangrove sebaiknya mempertimbangkan aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat setempat dengan menyusun rencana pengelolaan hutan mangrove secara terpadu 1. Komposisi penyusun vegetasi mangrove terdiri dari Avicennia alba, Avicennia marina, Rhizophora mucronata, Sonneratia caseolaris, Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum, dan Nypa fruticans. 2. Faktor fisik lingkungan dapat mendukung pertumbuhan Avicennia sp. dan Rhizophora sp. namun tidak optimal, serta mendukung baik bagi pertumbuhan Sonneratia sp. 3. Strategi pengelolaan lingkungan rehabilitasi ekosistem mangrove yaitu : (1) perlunya legalitas kebijakan pengelolaan lahan mangrove ; (2) peningkatan daya dukung kemampuan lahan untuk pertumbuhan mangrove yang optimal disertai strategi penanaman mangrove yang sesuai dengan kondisi tapak lahan; (3) prioritas usaha penghijauan pada zona pertumbuhan vegetasi mangrove ke arah daratan.; (4) upaya pembuatan konstruksi pelindung dari hempasan ombak dan angin. 1. Dinas Kehutanan berperan dalam proses perizinan pemanfataan hutan mangrove berdasarkan prinsip kelestarian dan keberlanjutan serta memfasilitasi rehabilitasi ekosistem dan pemberdayaan masyarakat. 2. Dinas Kelautan dan Perikanan berperan dalam melakukan mitigasi lingkungan pesisir, memfasilitasi rehabilitasi ekosistem mangrove serta melindungi kawasan pesisir yang rawan erosi. 3. Badan Lingkungan Hidup berperan melakukan
Lanjutan Tabel 1.2 No Penulis & Tahun 4 Sodikin (2013) Kerusakan Mangrove Serta Korelasinya Terhadap Tingkat Intrusi Air Laut (Studi Kasus Di Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi) 5 Suryani (2015) Kajian Ekosistem Hutan Mangrove di Muara Batang Manggung Kota Pariaman Sumatera Barat Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 3. Mengkaji strategi pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan mengintegrasikan peranan Dinas Kehutanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan, dan BLH dengan masyarakat asli pendatang. 1. Mengetahui tingkat kerusakan mangrove. 2. Mengkaji korelasi kerusakan mangrove terhadap tingkat intrusi air laut. 1. Mengkaji karakteristik vegetasi dan tingkat kerusakan ekosistem hutan mangrove. 2. Mengkaji kondisi fisik-kimia ekosistem hutan mangrove. 3. Menganalisis fungsi dan pemanfaatan hutan mangrove bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Penelitian deskriptif, dengan teknik pengambilan sampel lahan mangrove menggunakan transect line. Sampel air diambil pada lahan mangrove yang rusak. Metode penelitian gabungan (mix method) melalui observasi dan wawancara. Teknik pengambilan sampel ekosistem hutan mangrove melalui metode transek garis dan petak contoh. pengawasan terhadap pemanfaatan hutan mangrove dan melakukan upaya-upaya pengendalian kerusakan dan rehabilitasi hutan mangrove. 4. Terdapat konflik antara pemerintah dan masyarakat pendatang. Konflik terjadi karena masyarakat pendatang tidak memperhatikan peraturan dari BLH sehingga pemanfaatan hutan mangrove tidak memperhatikan kaidah pelestarian. 5. Integrasi antara pemerintah dengan masyarakat asli maupun pendatang untuk menjamin terselenggaranya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem mangrove. 1. Kondisi hutan mangrove telah mengalami penurunan sebesar 55 % (rusak). 2. Terdapat korelasi yang tinggi antara tumbuhan mangrove dengan tingkat intrusi air laut. 1. Karakteristik vegetasi dan tingkat kerusakan hutan mangrove 2. Kondisi fisik-kimia ekosistem hutan mangrove 3. Fungsi dan pemanfaatan hutan mangrove bagi masyarakat dan lingkungan. Sumber : Kora (2004) ; Sawitri (2012) ; Dianawati (2013) ; Sodikin (2013)