I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Yogyakarta memiliki lahan pasir pantai seluas sekitar 13.000 hektar atau 4% dari luas wilayah secara keseluruhan. Lahan pasir pantai terbentang sepanjang 110 km di pantai selatan lautan Indonesia. Bentangan pasir pantai ini berkisar antara 1-3 km dari garis pantai. Lahan ini cukup potensial untuk pengembangan bidang pertanian, didukung dengan ketersediaan air tanah yang besar dan relatif dangkal serta cahaya matahari yang berlimpah. Lahan pasir pantai memiliki karakteristik tanah yang bertekstur kasar dengan kandungan fraksi pasirnya > 70%, struktur lepas-lepas, poros, temperatur permukaan yang tinggi dan hembusan angin yang kencang yang berakibat evaporasi dan evapotranspirasi sangat tinggi. Hal ini menyebabkan kadar lengas tanah dan ketersediaan hara tanah pasir rendah, sehingga lahan pasir disebut lahan marginal. Seiring dengan kemajuan teknologi budidaya pertanian, pengembangan pertanian di lahan pasir maju pesat. Di lahan pasir pantai Bugel khususnya, banyak petani yang memanfaatkan lahan-lahan marginal tersebut menjadi lahan pertanian dengan tanaman sayuran sebagai komoditas utama. Komoditas sayuran memerlukan input yang cukup besar dalam sistem budidayanya, terutama pengendalian gulma dan pupuk. Teknologi yang telah dikembangkan untuk budidaya lahan pasir yakni penggunaan mulsa plastik hitam perak. Penggunaan mulsa plastik pada budidaya sayuran di lahan pasir bertujuan untuk mengendalikan gulma, menekan pertumbuhan penyakit tanaman, sekaligus menjaga lengas tanah agar optimal bagi pertumbuhan cabai. Mulsa plastik dinilai lebih praktis dan efisien dibanding penggunaan mulsa organik. Disisi lain, mulsa 1
plastik dapat mengalami kerusakan, sehingga tidak dapat digunakan secara terus menerus, dan limbah dari mulsa plastik dapat merusak lingkungan. Penggunaan pupuk kimia sebagai sumber hara di lahan pasir pantai, sangat tinggi terutama pupuk nitrogen. Pupuk nitrogen merupakan bagian tak terpisahkan dari praktek-praktek pertanian modern dan peringkat pertama di antara input eksternal untuk memaksimalkan output di bidang pertanian. Namun, pupuk nitrogen memiliki kontribusi besar terhadap pencemaran lingkungan. Penggunaan pupuk nitrogen secara terus menerus dan tanpa henti akan mempercepat penipisan sumber daya energi tak terbarukan yang digunakan dalam produksi pupuk. Fiksasi nitrogen secara biologi (Biological Nitrogen Fixation) dapat bertindak sebagai sumber nitrogen terbarukan dan ramah lingkungan, serta dapat melengkapi atau mengganti input pupuk kimia. Penggunaannya dapat mengurangi kebutuhan pupuk nitrogen, efek siklus global nitrogen, pemanasan global, serta kontaminasi tanah dan air (Garg and Geetanjali, 2007). Sistem tumpangsari cabai dengan tanaman kacang hijau, yang mampu bersimbiosis dengan bakteri pemfiksasi nitrogen, merupakan cara menarik secara ekonomi dan ekologis untuk mengurangi input eksternal dan meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya internal. Kacang hijau merupakan tanaman palawija yang dikenal luas di daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan (Fabaceae) ini memiliki banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber bahan pangan berprotein nabati tinggi. Kacang hijau mengandung 51% karbohidrat, 24-26% protein, 4% mineral, dan 3% vitamin. Dalam buku-buku kuno, kacang hijau yang terkenal untuk kegiatan detoksifikasi. Protein kacang hijau, tanin, dan polifenol 2
lainnya diperkirakan untuk dikombinasikan dengan pestisida organofosfat, merkuri, arsenik, dan logam berat lainnya sehingga meningkatkan ekskresi sedimen dari tubuh. Kacang hijau telah terbukti memiliki antioksidan, antimikroba, dan aktivitas anti-inflamasi. Selain itu, kacang hijau memiliki antidiabetes, antihipertensi, akomodasi metabolisme lipid, dan efek antitumor (Tang et al., 2014). Kacang hijau di Indonesia menempati urutan ketiga terpenting sebagai tanaman pangan legum, setelah kedelai dan kacang tanah. Dibandingkan dengan kedua tanaman tersebut, secara teknis agronomis, dan ekonomis, kacang hijau memiliki beberapa kelebihan antara lain : tahan kekeringan, hama dan penyakit yang menyerang lebih sedikit, umur panen relatif singkat (55-60 hari), dapat ditanam pada tanah yang kurang subur dengan teknik budidaya yang lebih mudah, resiko kegagalan panen rendah, dan dapat dikonsumsi dengan pengolahan sederhana. Kacang hijau memiliki kualitas luar biasa dengan menyediakan akar sebagai media tumbuh rhizobia. Simbiosis antara akar dan bakteri rhizobia terjadi terutama pada saat ketersediaan nitrogen larut dalam tanah berkurang. Akar tanaman bersimbiosis dengan rhizobia untuk menangkap nitrogen dari atmosfer dan kemudian diubah menjadi amonia yang larut dalam tanah, karenanya ketersediaan nitrogen tersebut menjadi lebih tinggi untuk memperkaya kesuburan tanah. Bagi tanaman simbion, amonia akan digunakan dalam proses metabolisme. Nitrogen yang tersedia dalam tanah juga dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tanaman utama yang ditumpangsarikan dengan tanaman kacang hijau, sehingga 3
diharapkan mampu mengurangi penggunaan pupuk kimia dalam sistem budidaya di lahan pasir pantai. Sistem tanam secara tumpangsari, terutama bila tanaman utama memiliki habitus lebih tinggi dari kacang hijau, akan menyebabkan penaungan. Penelitian yang dilaksanakan oleh Sundari, et al. (2005) menyimpulkan bahwa tanaman kacang hijau yang diberikan naungan mengalami penurunan hasil. Pengurangan intensitas cahaya relatif 25%, 50% dan 75% mengakibatkan penurunan hasil biji kacang hijau sebesar 15%, 56% dan 71%. Penelitian mengenai pengaruh naungan terhadap hasil kacang hijau ini dilaksanakan di lahan percobaan Balitkabi Malang dengan ketinggian tempat 445 mdpl. Berdasarkan hal tersebut, perlu dikaji mengenai karakter fisiologi yang berpengaruh terhadap penurunan hasil tanaman kacang hijau yang ditanam di bawah naungan. Selain itu perlu dikaji pula mengenai tingkat naungan yang dapat ditoleransi oleh tanaman kacang hijau dikombinasikan dengan pemilihan kultivar toleran naungan, sehingga diharapkan kacang hijau yang ditanam di bawah naungan tidak mengalami penurunan hasil yang signifikan. 4
B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang ada, maka beberapa hal yang masih dipertanyakan adalah : 1. Apakah terjadi perubahan kondisi iklim mikro lahan pasir pantai Bugel akibat penggunaan naungan. 2. Bagaimana, karakter fisiologi, pertumbuhan, dan hasil kacang hijau yang ditanam di bawah naungan paranet, pada lahan pasir dengan ketinggian < 7 mdpl. 3. Apakah hasil kacang hijau yang ditanam di bawah naungan 25%, pada lahan pasir dengan ketinggian <7 mdpl, akan mengalami penurunan dengan persentase yang sama, lebih besar atau lebih rendah dibandingkan pada kondisi lahan dengan ketinggian tempat 445 mdpl. 4. Apakah hasil kacang hijau yang ditanam di bawah naungan 50%, pada lahan pasir dengan ketinggian <7 mdpl, akan mengalami penurunan dengan persentase yang sama, lebih besar atau lebih rendah dibandingkan pada kondisi lahan dengan ketinggian tempat 445 mdpl. 5
C. Tujuan Penelitian 1. Mempelajari perbedaan kondisi iklim mikro lahan pasir pantai Bugel pada tiga tingkat naungan yang berbeda. 2. Mempelajari perbedaan karakter fisiologi kacang hijau pada tiga tingkat naungan yang berbeda. 3. Mempelajari perbedaan karakter fisiologi tiga kultivar kacang hijau di bawah naungan. 4. Menentukan persentase naungan paranet yang dapat ditoleransi oleh tanaman kacang hijau, sehingga pemberian naungan tidak mengurangi hasil tanaman kacang hijau. D. Keutamaan penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada petani mengenai tingkat naungan yang dapat ditoleransi oleh tanaman kacang hijau di lahan pasir pantai Bugel, sebagai dasar untuk mengatur jarak tanam optimal budidaya kacang hijau secara tumpangsari di lahan pasir pantai. 6