Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

dokumen-dokumen yang mirip
Optimalisasi Unit Pengelola Keuangan dalam Perguliran Dana sebagai Modal Usaha

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

KONSEPSI PENGEMBANGAN BADAN USAHA MILIK MASYARAKAT DESA MELALUI LEMBAGA KEUANGAN MASYARAKAT MANDIRI

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

I. PENDAHULUAN. orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan.

I. PENDAHULUAN. miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI LOMBOK TENGAH RANCANGAN PERATURAN BUPATI LOMBOK TENGAH NOMOR... TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

VII. RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

KEPALA DESA CABAK KECAMATAN TLOGOWUNGU KABUPATEN PATI PERATURAN DESA CABAK NOMOR 05 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat perkembangan pembangunan

Analisis tingkat kesehatan lembaga unit pengelola kegiatan( studi kasus. pada UPK PNPM Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen ) Oleh : Wawan Apriyanto

Semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin mudah bagi petani tersebut menyerap suatu inovasi atau teknologi, yang mana para anggotanya terd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ragnar Oktavianus Sitorus, 2014

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT MELALUI PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II

BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI NGANJUK NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGANTAR. Ir. Suprapti

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dari situasi sebelumnya. Otonomi Daerah yang juga dapat dimaknai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

TINJAUAN PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA DAN SARANA DESA POLA IMBAL SWADAYA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DESA TAHUN ANGGARAN 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan pemerintahan di Indonesia semakin pesat dengan adanya era

BAB I PENDAHULUAN. usaha ekonomi desa, pengembangan Lembaga Keuangan Desa, serta kegiatankegiatan

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan ata

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. adalah penanggulangan kemiskinan yang harus tetap dilaksanakan Pemerintah Pusat

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN. dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

BAGIAN I. PENDAHULUAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

WALIKOTA BANJAR. PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 2.a TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DESA TAHUN ANGGARAN 2013

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DASAR BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Perluasan Lapangan Kerja

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT ALAT DAN MESIN PERTANIAN TA. 2014

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN DESA

WALIKOTA PADANG PANJANG PROVINSI SUMATERA BARAT

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Model Pengembangan Ekonomi Kerakyatan

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 41 TAHUN : 2008 SERI : E PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 103 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BUPATI LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPALA DESA BANJAR KECAMATAN LICIN KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA BANJAR NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang

PNPM MANDIRI PERDESAAN

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan

KONSEP OPERASIONAL UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI INPRES DESA TERTINGGAL

Pengelolaan Keuangan Desa Dalam Kerangka Tata Pemerintahan Yang Baik

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KERJA

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

BAB I PENDAHULUAN. pada umumnya juga belum optimal. Kerelawanan sosial dalam kehidupan

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

UNIT PENGELOLA KEUANGAN : POTENSI PENGEMBANGAN BPR SYARIAH 1 Oleh : Sasli Rais 2

Transkripsi:

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional I. LATAR BELAKANG Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya. Kemiskinan telah menjadi masalah yang kronis karena berkaitan dengan kesenjangan dan pengangguran. Jadi pemecahannya pun harus terkait dan komprehensif dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pemerintah melalui RAPBN Tahun Anggaran 2002 juga memprioritaskan pembangunannya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan dan bahkan pertemuan CGI tanggal 7-8 November 2001 mendatang mengambil Thema Working Together To Reduce Poverty. Dalam upaya melepaskan diri dari krisis ekonomi melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan dan dampak krisis maka pembangunan pertanian diletakkan sebagai basis utama. Sejalan dengan hal tersebut kebijakan pembangunan pertanian saat ini adalah menempatkan rakyat sebagai pelaku utama dalam pembangunan (people centered development). Penajaman arah baru pembangunan pertanian di atas ditujukan untuk kesejahteraan rakyat petani melalui perkembangan struktur masyarakat tani yang muncul dari kemampuan masyarkat tani yang tidak merata. Dalam rangka mengejar ketertinggalan ekonomi khususnya dalam sektor pertanian pemerintah pada tahun 1970-an melaksanakan suatu program yang dikenal dengan Revolusi Hijau yaitu dengan mengoptimalkan penggunaan input pertanian berupa varietas padi unggul, peralatan mekanis, pengelolaan pengairan, dan pupuk kimia disertai dengan penerapan pola tanam yang efisien dan teratur. Program ini ditujukan untuk meningkatkan produktivitas pertanian khususnya mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri. Dan memang hasilnya dapat dirasakan bahwa pada tahun 1984 penyebaran introduksi teknologi pertanian modern ini menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada beras dan menyumbang pertumbuhan ekonomi di tahun 1980-an. Peran sektor pertanian juga dapat dibuktikan bahwa pada saat krisis ekonomi melanda hampir semua sektor yang mengakibatkan output mengalami penurunan antara 27% hingga 40%, sebaliknya pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mengalami kenaikan sebesar 1,1%. Peningkatan ini didorong oleh meningkatnya keuntungan ekspor yang dalam rupiah nilainya berlipat ganda akibat depresi nilai rupiah yang demikian besar. Nilai rupiah hasil ekspor meningkat pesat sedangkan kenaikan biaya produksinya relatif kecil karena ongkos produksi yang sebagian besar dalam rupiah tidak mengalami kenaikan.(bappenas, 1999 : 19). Meskipun sektor pertanian memberikan sumbangan yang besar, tetapi ketidakseimbangan sistemik masih sering terjadi pada kelompok masyarakat tani yang sebagian besar berada di pedesaan. Peningkatan kesempatan untuk memperoleh akses faktor produksi serta potensi dan kesempatan yang beragam belum dapat mengurangi wajah kesenjangan antarsektor, antardaerah, dan antargolongan masyarakat khususnya di sektor pertanian. Keadaan ini digambarkan oleh angka kemiskinan di perdesaan yang 09/13/08 1

masih besar dan nilai tukar petani yang tidak seimbang dengan kegiatan ekonomi nonpertanian. II. PERMASALAHAN Permasalahan dalam bidang pertanian sebenarnya sangatlah kompleks karena tidak hanya menyangkut hitung-hitungan secara ekonomis tetapi erat kaitannya juga dengan sosial budaya yang melatarbelakangi petani sebagai pelaku di sektor pertanian. Permasalahan tersebut dapat diidentifikasi melalui tiga aspek yaitu produksi, konsumsi dan distribusi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketiga aspek tersebut dibagi menjadi lgi masalah internal yang menyangkut individu petani dan eksternal yang menyangkut faktor-faktor diluar individu petani. Faktor internal ini misalnya latar belakang pendidikan, skill, agama, dan faktor eksternal yaitu norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, adat-istiadat dan sebagainya. Dari aspek produksi bisa dilihat bahwa kebijakan penyeragaman dalam bertani yang mengutamakan bahan pangan khususnya beras cenderung mengabaikan potensi sumber pangan lain dan menyebabkan beban kebijakan pangan menjadi semakin berat. Disamping berkaitan dengan kebijakan di atas petani juga menghadapi masalah harga jual dan penyediaan faktor produksi. Masalah harga jual sangat berkaitan erat dengan daya tawar petani dalam penentuan harga jual dan penyediaan faktor produksi berkaitan dengan kebijakan pemerintah misalnya harga pupuk, dan saprodi. Aspek produksi ini sangat penting karena berkaitan langsung dengan pendapatan yang diterima oleh petani yang mengindikasikan kesejahteraannya. Dari aspek konsumsi pemahaman bahwa konsumsi beras merupakan indikator masyarakat maju menyebabkan perubahan kebiasaan yang dipaksakan dari makanan pokok non-beras ke beras. Hal ini menyebabkan ketergantungan terhadap pangan khususnya beras semakin besar. Keadaan menjadi lebih sulit dengan kebutuhan beras yang tidak didukung oleh kemampuan daerah dalam menyediakan produksi pangannya sehingga menyebabkan beban swasembada beras menjadi semakin berat. Masalah selanjutnya dapat dilihat pada aspek distribusi atau pemasaran. Secara luas masalah ini sebenarnya berkaitan erat dengan produksi dan konsumsi di atas. Apalagi dengan munculnya issu green product pada pasaran dunia yang mensyaratkan kadar tertentu dari kandungan bahan kimia pada hasil pertanian. Produk pertanian dengan tujuan komersil harus menjadi perhatian sejak ditanam, dipelihara hingga teknologi panen dan pengolahannya. Yang tidak kalah pentingnya adalah kelancaran distribusi produk pertanian terutama pangan dari petani produsen ke konsumen pengguna dan ini juga menjadi tugas utama pemerintah dalam rangka penyediaan bahan pangan untuk rakyatnya. Pelaksanaan kebijakan pembangunan pertanian demikian dapat diwujudkan melalui prinsip pembangunan yang partisipatif. Pembangunan yang partisipatif mengandung lima prinsip. Pertama, visi pembangunan pertanian yang meliputi misi, strategi dan aksi atau langkah kebijakan pembangunan pertanian. Visi pembangunan pertanian adalah meletakkan pembangunan pada proporsi yang diharapkan yakni pembangunan pada proporsi yang diharapkan yakni pembangunan pertanian yang muncul dari prakarsa petani sendiri, dilaksanakan oleh petani dan hasilnya untuk dinikmati dan dilestarikan sendiri oleh petani. 09/13/08 2

Kedua, pedoman pembangunan pertanian. Dalam pelaksanaan, pembangunan pertanian diharapkan dapat berpedoman pada dokumen perencanaan pembangunan yang merupakan pencerminan aspirasi rakyat sejak dari bawah sesuai dengan potensi pengembangan wilayah dan kegiatan sosial ekonomi rakyat yang dibutuhkan masyarakat setempat. Ketiga, mekanisme perencanaan pembangunan pertanian. Mekanisme perencanaan pembangunan secara musyawarah dan mufakat berperan untuk mempertemukan aspirasi masyarakat di daerah (perencanaan regional) dan kepentingan nasional (perencanaan sektoral). Melalui perencanaan yang sistematis, pembangunan pertanian diupayakan untuk makin menumbuhkan aspirasi masyarakat tani sebagai pelaku pembangunan. Berbagai bantuan yang ditujukan kepada masyarakat tani semata-mata dimaksudkan untuk menumbuhkan swadaya dan swakarsa masyarakat dalam pembangunan, dan bukan menyebabkan ketergantungan. Sehubungan dengan itu maka berbagai bantuan pembangunan makin diarahkan dalam bentuk bantuan langsung kepada masyarakat (block grant). Dalam era reformasi, mekanisme penyaluran bantuan pembangunan yang semula direncanakan dikelola dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara bertahap telah dialihkan kepada koordinasi pelaksanaannya oleh pemerintah daerah dan akhirnya dapat disalurkan langsung dan dikelola sendiri oleh masyarakat yang paling memerlukan. Dengan pengalihan ini bantuan dapat diterima dan dikelola langsung oleh masyarakat tani. Pembangunan seyogyanya dilaksanakan oleh masyarakat sendiri dan pemerintah sebagai memperlancar pelaksanaan. Dalam kenyataan dipahami bahwa tidak semua masyarakat tani telah mampu berperan serta aktif dalam pembangunan. Pendampingan kepada masyarakat akan lebih efektif dilakukan dalam wadah kelompok. Masyarakat tani dibimbing dan dibina untuk membentuk kelompok sebagai wadah aspirasi masyarakat. Kelompok tersebut merumuskan masalah, merencanakan, melaksanakan rencana, dan melestarikan hasil kegiatan melalui mekanisme musyawarah yang dimulai dari tingkat desa, kecamatan, sampai ke tingkat nasional. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan pembangunan forum musyawarah yang optimal adalah pada tingkat kecamatan. Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) Untuk menanggulangi kemiskinan yang kronis sekarang ini perdebatan tentang konsep dan definisi sudah tidak diperlukan lagi karena hanya menghabiskan energi dan yang paling penting waktu. Rakyat miskin tidak membutuhkan perdebatan konsep yang retorik dan cenderung berhenti dalam wacana. Yang diperlukan sekarang adalah kesepakatan bersama terhadap konsep dan kemudian diimplementasikan. Untuk itu diperlukan penajaman program karena konsep, sarana-prasarana, dan kelembagaan sudah tersedia secara lengkap. Langkah-langkah penyempurnaan tersebut dapat dilakukan dengan cara pertama, penggalian informasi dari masyarakat. Kedua, mengumpulkan pengaduan. Ketiga, dengan melibatkan organisasi masyarakat nonpemerintah atau LSM/KSM yang dinilai lebih tahu tentang kemampuan masyarakat sendiri, dan keempat adanya verifikasi program oleh tim pengendali yang berfungsi untuk penyempurnaan dan penajaman program selanjutnya. Penajaman program bisa juga dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap program dengan memperhatikan kelemahan-kelemahan yaitu kesulitan yang dihadapi dan kelebihan dari program tersebut. Program yang dilaksanakan harus dimulai dengan targeting yaitu penentuan sasaran terhadap penanggulangan kemiskinan. Sasaran 09/13/08 3

tersebut sebaiknya diarahkan pada dua hal yaitu pertama, masyarakat paling miskin dalam arti sudah tidak bisa bekerja lagi atau hanya bertahan hidup (poor of poor). Untuk golongan ini diperlukan santunan sosial dan dipersiapkan untuk bisa bangkit. Kedua, masyarakat miskin yang tidak produktif. Untuk golongan ini bisa dilaksanakan program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan dalam arti peningkatan produktivitas. Dalam pelaksanaan program ini peran pemerintah sebagai fasilitator saja, intervensi pemerintah sebaiknya pada peningkatan kesempatan kerja. Yang tidak kalah pentingnya dalam penanggulangan kemiskinan ini harus dikaitkan dengan good governance karena salah satu kegagalan program adalah pada governance yang tidak transparan dan akuntabel. Dalam rangka otonomi daerah, pendanaan sebaiknya diberikan dalam bentuk block grant karena pendanaan yang cenderung instruktif dan interventif akan menafikan pembangunan yang dititikberatkan pada manusianya yaitu pemberdayaan yang berkelanjutan. Disamping itu harus ada penyadaran kepada semua pihak terutama pemerintah daerah bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan bukanlah program nasional yang sifatnya sentralistis, tetapi kemiskinan adalah tanggung jawab bersama. Selama ini terkesan pemerintah daerah menganggap bahwa penanggulangan kemiskinan adalah program nasional sehingga mereka hanya bergerak apabila ada dana dari Pusat. Padahal nantinya masyarakat miskin tersebut akan menjadi beban yang berat dari Pemerintah Daerah dalam mencapai tujuan pembangunannya. Pendanaan tersebut tidak bisa dipisahkan dengan peran perbankan yaitu dalam penyaluran kredit. Keberpihakan bank dan lembaga keuangan lain terhadap penanggulangan kemiskinan seharusnya diberikan porsi yang besar. Keberpihakan ini diwujudkan melalui jumlah alokasi kredit yang diberikan untuk sektor-sektor yang erat kaitannya dengan usaha penanggulangan kemiskinan misalnya pertanian dan usaha produktif lainnya. Selain itu harus ada pembenahan kelembagaan dalam hal ini perbankan karena kemiskinan yang terjadi adalah kemiskinan struktural. Peran pendamping dalam penanggulangan juga sangatlah besar. Disamping untuk memfasilitasi masyarakat dalam merumuskan, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi sendiri pembangunannya, pendamping juga berfungsi untuk pengendalian dan mempersiapkan sumber daya yang baru yang nantinya akan melanjutkan pembangunan. Pendamping ini sebaiknya diambilkan dari LSM/KSM daerah yang dinilai lebih tahu tentang keadaan dan kemampuan daerahnya. Tetapi perlu diingat juga bahwa kerjasama yang dilakukan dengan LSM bukan dengan orangnya atau personilnya tetapi dengan LSM/KSM secara kelembagaan. III. KESIMPULAN Pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan diarahkan pada pemberdayaan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut yang perlu dilakukan adalah pertama, penajaman konsep. Perdebatan konsep sudah tidak diperlukan lagi dan yang harus dilakukan adalah kesepakatan program yang harus dilaksanakan yaitu program yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berkembang dan menjadi subyek dalam pembangunan. Selain itu konsep yang disepakati harus bersifat employment creation yaitu menyerap tenaga kerja melalui penciptaan kesempatan kerja. Kedua, targeting. Yaitu pembagian sasaran program antara yang paling miskin (poor of poor) dan yang miskin. Untuk yang paling miskin 09/13/08 4

diterapkan program santunan sosial dan untuk yang miskin bisa diterapkan konsep penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat sendiri. Ketiga, pendampingan. Mengingat sumber daya manusia yang ada maka program penanggulangan kemiskinan ini memerlukan pendamping. Namun pendamping ini dilakukan hanya sebagai fasilitator agar rakyat menjadi subyek yaitu melalui pengarahan untuk merumuskan, melaksanakan, menikmati, dan mengawasi sendiri pembangunannya. Keempat, pengelolaan dana bergulir. Penyaluran dana diwujudkan dalam bentuk block grant karena lebih fleksibel dan memberdayakan. Dana tersebut diharapkan dapat bergilir dan bergulir (revolving). Pengelolaan ini dilakukan melalui lembaga keuangan masyarakat yang fleksibel. Kelima, pengendalian. Pengendalian dalam hal ini menyangkut banyak hal mulai dari perumusan, pelaksanaan (koordinasi), pengawasan dan penyempurnaan konsep melalui evaluasi program. 09/13/08 5