1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit ini banyak menimbulkan kekhawatiran masyarakat karena perjalanan penyakit yang cepat, dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang singkat (Depkes R.I., 2005). Selama kurun waktu lima tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat serta sering menimbulkan kejadian luar biasa/klb (Depkes R.I., 2008). Situasi nasional menggambarkan bahwa seluruh provinsi/kabupaten/kota di Indonesia telah terjangkit DBD. Penderita DBD di Indonesia pada tahun 2010 berjumlah 155.777 orang dengan insiden rate (IR): 65,57 / 100.000 penduduk, dan Case Fatality Rate (CFR) = 0,87 %. Kasus DBD paling tinggi terdapat di Provinsi Bali (prevalensi 337 / 100.000 penduduk), diikuti Jakarta (227 /100.000 penduduk), dan Kalimantan Timur (167/100.000 penduduk) ((Dinkes Provinsi Bali, 2011). Di Provinsi Bali, kasus DBD tertinggi terdapat di Kabupaten Badung. Pada tahun 2010 jumlah kasus DBD sebanyak 3447 kasus, atau mencapai dua kali jumlah kasus pada tahun 2009 (1468 kasus) (Dinkes Provinsi Bali, 2011). Penyebaran kasus DBD di wilayah Indonesia umumnya sangat tidak merata, namun insiden rate kasus cenderung meningkat. Kasus DBD pada umumnya lebih banyak terjadi di daerah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan (Depkes R.I., 2005).
2 Penyebaran kasus DBD di Kabupaten Badung tidak merata sebagaimana pada umumnya dengan wilayah lain di Indonesia. Pada beberapa daerah kasusnya tinggi, sementara daerah lainnya kasusnya rendah. Dinkes Kabupaten Badung mencatat jumlah kasus (IR) DBD per 100.000 penduduk yaitu 371,94 (tahun 2007); 216,99 (tahun 2008); 377,84 (tahun 2009); 634,04 (tahun 2010); 212,6 (tahun 2011). Kasus tertinggi terjadi pada tahun 2010 terdapat di Kecamatan Mengwi, dengan jumlah yang terus meningkat. Jumlah kasus DBD per 100.000 penduduk di Kecamatan Mengwi tercatat 127,55 (tahun 2007); 119,02 (tahun 2008); 330,97 (tahun 2009); 897,10 (tahun 2010); 241,6 (tahun 2011) (Dinkes Kabupaen Badung, 2011). Selain jumlah kasus DBD yang cenderung meningkat, pada beberapa periode menunjukkan angka kematian juga meningkat. Angka kematian DBD di Kabupaten Badung per 100 penderita selama 5 tahun terakhir yaitu 0,21 (tahun 2007); 0,00 (tahun 2008); 0,14 (tahun 2009); 0,15 (tahun 2010); dan 0,35 (tahun 2011). Demikian juga dengan angka kematian DBD di Kecamatan Mengwi tergolong tinggi. Angka tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu 0,41 (Dinkes Kabupaten Badung, 2011). Kejadian DBD berkaitan dengan perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) dan lingkungan. Sebuah penelitian di Propinsi Kanchanaburi, Thailand tahun 2005, menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan tentang pencegahan DBD dapat meningkatkan kemampuan masyarakat menekan kejadian DBD. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tindakan pencegahan sangat efektif memutus penularan BDB (Depkes R.I., 2008).
3 Pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberantasan sarang nyamuk untuk menanggulangi kejadian DBD. Beberapa penelitian menunjukkan upaya ini belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Pratomo di Jakarta (2006) menunjukkan bahwa penduduk yang mengetahui tentang DBD hanya 6,9%, yang tahu tentang PSN-3M hanya 58,0%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Kasnodiharjo di Sukabumi tahun 1988, dimana penduduk yang tahu penyebab DBD hanya 5,0%. Gambaran ini menunjukkan pengetahuan dan tindakan masyarakat dalam pencegahan DBD tergolong masih kurang (Depkes R.I., 2008). Perilaku dalam bentuk tindakan secara sadar dapat berupa kegiatan melakukan pemberantasan sarang nyamuk melalui 3M (menguras, menutup, mengubur). Sedangkan tindakan yang sering tidak disadari, tetapi mendukung timbulnya penyakit DBD antara lain yaitu kurang menjaga kebersihan lingkungan, kebiasaan menggantung pakaian, penempatan atau penataan barang-barang yang tidak rapi dan sebagainya. Kesadaran masyarakat terutama terhadap kebersihan lingkungan relatif masih rendah. Masyarakat belum banyak yang mampu mengelola sampah rumah tangga dengan baik. Sampah terutama berupa barangbarang bekas yang dapat menimbulkan genangan air sangat cocok sebagai tempat untuk berkembangnya nyamuk Aedes, (DLHP Kabupaten Badung, 2011). Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran penyakit DBD. Kehidupan nyamuk penular DBD sangat dipengaruhi oleh lingkungan baik fisik/biologis, disamping kondisi lingkungan yang tercipta akibat perilaku masyarakat yang membiarkan tempat-tempat yang berpotensi sebagai
4 sarang nyamuk Aedes aegypti. Lingkungan fisik/biologis dapat berupa ketinggian tempat, curah hujan, pencahayaan, dan kelembaban udara, dan tempat-tempat penampungan air yang memungkinkan pertumbuhan larva nyamuk. Pengelolaan lingkungan dengan peningkatan pemahaman pentingnya upaya pencegahan termasuk penanganan sampah merupakan salah satu upaya pengendalian vektor DBD (WHO, 2001). Selain faktor perilaku dan lingkungan, faktor kepadatan dan mobilitas penduduk adalah salah satu penyebab meningkatnya kasus DBD. Mobilisasi penduduk yang tinggi, bertambahnya pemukiman baru berpotensi terhadap penularan penyakit (Depkes R.I., 2004). Kabupaten Badung memiliki tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi (917 jiwa/km 2 ) dengan urutan ke-3 dibawah Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Gianyar. Demikian halnya dengan Kecamatan Mengwi merupakan salah satu kecamatan dengan kepadatan penduduk diatas rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Badung (BPS Kabupaten Badung, 2011). Program pengendalian DBD di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor 581/1992 diantaranya meliputi peningkatan akses informasi kesehatan masyarakat melalui penyuluhan, dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk dengan kegiatan 3M (Depkes R.I., 2006). Puskesmas Mengwi III dengan program P2-DBD berupaya menurunkan angka kesakitan/kematian, dan mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB) yang didukung strategi pemberdayaan
5 masyarakat, kemitraan dalam wadah Pokjanal, dan pembangunan berwawasan kesehatan (Dinkes Kabupaten Badung, 2010). Bagian Surveilans Dinkes Kabupaten Badung, menyebutkan bahwa perilaku dan peran serta masyarakat dalam pencegahan DBD masih belum optimal. Upaya pencegahan yang selama ini dilakukan belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, terbukti dengan masih tingginya kasus DBD. Informasi tentang upaya pencegahan penyakit DBD yang berhubungan dengan perilaku dan lingkungan dipandang sebagai bahan pertimbangan dalam pemecahan salah satu masalah kesehatan di wilayah Kabupaten Badung (Dinkes Kabupaten Badung, 2010). 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah pengetahuan tentang pencegahan merupakan faktor risiko kejadian DBD? 2. Apakah sikap tentang pencegahan merupakan faktor risiko kejadian DBD? 3. Apakah tindakan pencegahan merupakan faktor risiko kejadian DBD? 4. Apakah akses informasi tentang pencegahan merupakan faktor risiko kejadian DBD? 5. Apakah lingkungan merupakan faktor risiko kejadian DBD? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum : Mengetahui pengetahuan, sikap, tindakan, akses informasi, dan lingkungan sebagai faktor risiko kejadian DBD.
6 1.3.2 Tujuan Khusus : 1. Mengetahui pengetahuan tentang pencegahan DBD sebagai faktor risiko kejadian DBD. 2. Mengetahui sikap tentang pencegahan DBD sebagai faktor risiko kejadian DBD. 3. Mengetahui tindakan pencegahan DBD sebagai faktor risiko kejadian DBD. 4. Mengetahui akses informasi tentang pencegahan DBD sebagai faktor risiko kejadian DBD. 5. Mengetahui lingkungan sebagai faktor risiko kejadian DBD. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis Menambah khasanah pengembangan teori dan konsep ilmu kesehatan masyarakat tentang pencegahan DBD. 1.4.2 Praktis Sebagai bahan pertimbangan bagi Dinkes Kabupaten Badung khususnya Puskesmas Mengwi III untuk menyusun rencana dan menetapkan kebijakan penanganan masalah DBD.