BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Scanned by CamScanner

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Scanned by CamScanner

BAB II DASAR TEORI AAXXX.X

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III PENELITIAN 3.1. DIAGRAM ALIR. Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II STUDI LITERATUR

PENGARUH UNSUR Mn PADA PADUAN Al-12wt%Si TERHADAP SIFAT FISIK DAN MEKANIK LAPISAN INTERMETALIK PADA FENOMENA DIE SOLDERING SKRIPSI

BAB II STUDI LITERATUR

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

VARIASI PENAMBAHAN FLUK UNTUK MENGURANGI CACAT LUBANG JARUM DAN PENINGKATAN KEKUATAN MEKANIK

HASIL PENGUJIAN KOMPOSISI

Please refer as: M. Fani Indarto dan Bondan T. Sofyan, Pengaruh Temperatur dan Waktu Tahan Perlakuan Pelarutan Terhadap Pengerasan Penuaan Paduan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PEMBENTUKAN FASA INTERMETALIK α-al 8 Fe 2 Si DAN β-al 5 FeSi PADA PADUAN Al-7wt%Si DENGAN PENAMBAHAN UNSUR BESI DAN STRONSIUM SKRIPSI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Mulai. Peleburan AC4B GBF. Holding Furnace LPDC. Inject: 0 jam 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam. Chipping Cutting Blasting

2.2 Sistem Penamaan Aluminium dan Paduannya

Please refer as: Nike Lestari, Suryadi, Bondan T. Sofyan, Pengaruh Kombinasi Penambahan 0.1 wt. % Ti dan Variasi 0.003, 0.018, dan wt.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PENAMBAHAN UNSUR MANGAN PADA PADUAN ALUMINIUM 7wt% SILIKON TERHADAP SIFAT FISIK DAN MEKANIK LAPISAN INTERMETALIK PADA FENOMENA DIE SOLDERING

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Scanned by CamScanner

4.1 ANALISA STRUKTUR MIKRO

Diagram Fasa. Latar Belakang Taufiqurrahman 1 LOGAM. Pemaduan logam

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. BAB 2 DASAR TEORI

BAB 3 METODE PENELITIAN

PEMBUATAN BRACKET PADA DUDUKAN CALIPER. NAMA : BUDI RIYONO NPM : KELAS : 4ic03

Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN :

PENGARUH Cu PADA PADUAN Al-Si-Cu TERHADAP PEMBENTUKAN STRUKTUR KOLUMNAR PADA PEMBEKUAN SEARAH

Please refer as: Mashudi Darta, Bondan T. Sofyan, Pengaruh Kombinasi Komposisi 0.02 wt. % Sr dan 0.055, 0.078, dan wt.% Ti terhadap Ketahanan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

Pengaruh Waktu Penahanan Artificial Aging Terhadap Sifat Mekanis dan Struktur Mikro Coran Paduan Al-7%Si

BAB IV HASIL DAN ANALISA. Gajah Mada, penulis mendapatkan hasil-hasil terukur dan terbaca dari penelitian

ANALISIS SIFAT MEKANIK MATERIAL TROMOL REM SEPEDA MOTOR DENGAN PENAMBAHAN UNSUR CHROMIUM TRIOXIDE ANHYDROUS (CrO 3 )

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BESI COR. 4.1 Struktur besi cor

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

PENGECORAN SUDU TURBIN AIR AKSIAL KAPASITAS DAYA 102 kw DENGAN BAHAN PADUAN TEMBAGA ALLOY 8A

BAB IV HASIL DAN ANALISA. pengujian komposisi material piston bekas disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil Uji Komposisi Material Piston Bekas

PENGARUH NITROGEN TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADUAN IMPLAN Co-28Cr-6Mo-0,4Fe-0,2Ni YANG MENGANDUNG KARBON HASIL PROSES HOT ROLLING

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN. Pembuatan spesimen dilakukan dengan proses pengecoran metode die

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS ALUMINIUM (Al) PADUAN DAUR ULANG DENGAN MENGGUNAKAN CETAKAN LOGAM DAN CETAKAN PASIR

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 3 Metode Penelitian

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH

Momentum, Vol. 10, No. 2, Oktober 2014, Hal ISSN

ANALISA PERBEDAAN SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PISTON HASIL PROSES PENGECORAN DAN TEMPA

pendinginan). Material Teknik Universitas Darma Persada - Jakarta

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

KARAKTERISASI SIFAT MEKANIK PADUAN ALUMINIUM AA.319-T6 AKIBAT PENGARUH VARIASI TEMPERATUR AGING PADA PROSES PRECIPITATION HARDENING

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISA PENGARUH AGING 400 ºC PADA ALUMINIUM PADUAN DENGAN WAKTU TAHAN 30 DAN 90 MENIT TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS

UNIVERSITAS INDONESIA OPTIMALISASI PARAMETER PERLAKUAN PANAS UNTUK MENGURANGI KEGAGALAN RETAK PADA CYLINDER HEAD DENGAN MATERIAL AC4B SKRIPSI

Pengaruh Temperatur Bahan Terhadap Struktur Mikro

PENGARUH TEMPERATUR TUANG DAN KANDUNGAN SILICON TERHADAP NILAI KEKERASAN PADUAN Al-Si

BAB V HASIL PENELITIAN. peralatan sebagai berikut : XRF (X-Ray Fluorecense), SEM (Scanning Electron

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 2, 50/50 (sampel 3), 70/30 (sampel 4), dan 0/100 (sampel 5) dilarutkan dalam

1 BAB I PENDAHULUAN. Salah satu industri yang cukup berkembang di Indonesia saat ini adalah

Scanned by CamScanner

Momentum, Vol. 10, No. 2, Oktober 2014, Hal ISSN

BAB IV PEMBAHASAN Data Pengujian Pengujian Kekerasan.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Foto Mikro dan Morfologi Hasil Pengelasan Difusi

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Pengaruh titanium..., Caing, FMIPA UI., 2009.

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TUGAS PENGETAHUAN BAHAN TEKNIK II CETAKAN PERMANEN

BAB IV HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENGECORAN SENTRIFUGAL DENGAN MENGGUNAKAN MATERIAL ALUMINIUM

BAB IV HASIL PENELITIAN

JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 1

BAB II LANDASAN TEORI

PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENGUJIAN

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK MEKANIS DAN KOMPOSISI KIMIA ALUMUNIUM HASIL PEMANFAATAN RETURN SCRAP

BAB 4 HASIL PENELITIAN

Analisa Pengaruh Penambahan Sr atau TiB Terhadap SDAS, Sifat Mekanis dan Fluiditas Pada Paduan Al-6%Si

ANALISIS STRUKTUR MIKRO CORAN PENGENCANG MEMBRAN PADA ALAT MUSIK DRUM PADUAN ALUMINIUM DENGAN CETAKAN LOGAM

14. Magnesium dan Paduannya (Mg and its alloys)

Gambar 4.1 Penampang luar pipa elbow

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Perbaikan Sifat Mekanik Paduan Aluminium (A356.0) dengan Menambahkan TiC

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4. 1. ANALISA KOMPOSISI KIMIA ALUMINIUM AC4B DENGAN PENAMBAHAN 0.019 wt % Ti DAN 0.029 wt %Ti Pengambilan data uji komposisi ini dilakukan dengan alat spektrometer di PT.X. Sampel yang diambil sebanyak 1 buah dengan 2 kali penembakan dan diambil rata-ratanya sehingga didapat nilai-nilai seperti pada tabel 4.1 berikut ini. Unsur paduan Tabel 4.1. Hasil uji komposisi pada Aluminium AC4B tanpa penambahan Ti, 0.02 wt% Ti dan 0.03 wt% Ti dibandingkan dengan komposisi standar JIS H 5202 paduan aluminium AC4B serta komposisi standar AC4B pada quality control PT X, dalam wt% Komposisi AC4B Tanpa Penambahan Ti Komposisi AC4B Penambahan 0.02 wt% Ti Komposisi AC4B Penambahan 0.03 wt % Ti Komposisi AC4B berdasarkan JIS H 5202 Komposisi AC4B berdasarkan standar PT. X Si 9,412 8.879 8.748 7 10 7 10 Cu 2,837 2.663 2.557 2 4 2 4 Mg 0,222 0.138 0.13 0.5 maks 0.5 maks Zn 0,712 0.562 0.55 1 maks 1 maks Fe 0,658 0.949 0.91 0.8 maks 1 maks Mn 0,242 0.82 0.261 0.5 maks 0.5 maks Ni 0,049 0.071 0.062 0.3 maks 0.35 maks Ti 0,029 0.048 0.058 0.2 maks 0.2 maks Pb 0,124 0.074 0.073 0.2 maks Sn 0,043 0.023 0.25-0.1 maks Cr 0,021 0.025 0.027-0.1 maks Al Remains Remains Remains Remains Remains Dari hasil pengujian komposisi kimia pada aluminium AC4B ini dapat dilihat bahwa penambahan unsur Ti pada aluminium AC4B hanya sebesar 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % Ti, sedangkan target yang diinginkan adalah 0.02 wt % Ti dan 0.03 wt% Ti. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan karena terangkatnya titanium pada saat pembuangan slag/dross dari ladel setelah dilakukan GBF. Selain itu juga, dimungkinkan karena kesalahan dalam memperkirakan massa 42

aluminium dalam holding furnace. Maka dapat disimpulkan bahwa perhitungan kesetimbangan material (material balance) yang dilakukan kurang akurat. Pada Gambar 4.1 dapat dilihat struktur mikro dari penghalus butir yang menunjukkan struktur yang mirip dengan struktur garam. Hal ini diperkuat oleh analisa SEM pada Tabel 4.2 yang menunjukkan bahwa terdapat kandungan unsur penyusun garam, yaitu K, Na, F, dan Cl. Kandungan dari boron tidak terdeteksi, hal ini menunjukkan tidak adanya kandungan unsur boron pada penghalus butir titanium. Gambar 4.1. Mikrostruktur dari penghalus butir dengan perbesaran 800 kali. Tabel 4.2. Komposisi kimia penghalus butir berdasarkan analisa EDS Unsur Komposisi Kimia (wt %) F 34.95 Na 0,55 Cl 1,34 K 32,84 Ti 14,95 Berdasarkan analisa dari SEM dan EDS (Tabel 4.2) ternyata kandungan titanium dalam penghalus butir tidak sesuai dengan asumsi pada perhitungan material balance yaitu sebesar 30 wt. %. Kandungan titanium aktual pada penghalus butir sebesar 14.95 wt. %. Dibandingkan dengan asumsi pada material balance, terdapat perbedaan kandungan sebesar 15.05 wt. %. Kandungan titanium yang dideteksi pada SEM dan EDS ini tidak dapat merepresentasikan kandungan 43

dari keseluruhan penghalus butir. Hal ini disebabkan penghalus butir berbentuk serbuk sehingga kemungkinan kandungan titanium tidak tersebar secara merata pada serbuk penghalus butir. Dengan demikian, jumlah penambahan penghalus butir titanium yang akan dibahas selanjutnya akan mengacu pada penambahan kandungan titanium aktual pada pengujian komposisi kimia ( Tabel 4.1) yaitu 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % Ti. Secara umum persentase unsur paduan masuk dalam rentang yang diizinkan berdasarkan quality control PT. X. namun terjadi sedikit perbedaan dengan yang ada pada JIS H 5202 meskipun perbedaanya tidak terlalu signifikan. Perbedaan yang pertama adalah adanya unsur paduan pada aluminium AC4B yang seharusnya tidak ada dalam paduan tersebut karena tidak sesuai dengan standar JIS H 5202 yang telah ditentukan, unsur tersebut adalah kromium (Cr) dan timah (Sn) dan yang kedua adalah terjadi kelebihan unsur besi (Fe) pada aluminum AC4B dengan penambahan 0.019 wt% Ti dan 0.029 wt% Ti yang diperbolehkan oleh standar JIS H 5202 namun telah sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh PT.X yaitu maksimal 1 wt % Fe. Persentase unsur Cr dalam paduan Aluminium AC4B yang terdeteksi oleh spektrometer berkisar antara 0.021-0.027 wt% Cr. Kromium ini berlaku sebagai pengotor minor dalam aluminium komersial. Penambahan kromium ini umumnya tidak melebihi dari 0.35 wt% Cr, dan jika jumlahnya melebihi batas tersebut maka akan meningkatkan kecenderungan terbentuknya partikel yang kasar bersamaan dengan penambahan unur pengotor lain seperti mangan (Mn), besi (Fe), dan titanium (Ti). Selain itu, bertemunya kromium dengan besi dan mangan juga bisa memicu pembentukan fasa lumpur yang dapat menurunkan sifat fluiditas. Kemungkinan hadirnya unsur kromium pada aluminium AC4B adalah disebabkan karena ingot yang digunakan oleh PT.X sebagai bahan baku memang telah mengandung usur kromium dari tempat asal ingot diproduksi. Adanya kelebihan unsur Fe pada aluminium AC4B dengan penambahan 0.019 wt% Ti dan 0.029 wt% Ti, dimungkinkan disebabkan karena terjadinya pengikisan tangkai ladel penciduk yang terbuat dari baja yang tidak secara rutin dilakukan coating sebelum proses pengecoran. Besi merupakan pengotor yang biasa ditemukan pada aluminium. Besi memiliki kelarutan yang tinggi dalam 44

aluminium cair dan ini membuatnya mudah untuk terlarut dalam aluminium cair. Namun jika kelarutan Fe dalam paduan aluminium cair melebihi nilai maksimumnya maka akan membentuk fasa-fasa tak terlarut misalnya FeAl 3, FeMnAl 6, dan α-alfesi. Fasa-fasa ini dalam jumlah berlebih akan meningkatkan sifat mekanis namun dapat membuat paduan aluminium menjadi lebih getas. 4.2. PENGARUH PENAMBAHAN 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % TERHADAP KEKUATAN TARIK ALUMINIUM AC4B Pengambilan data uji tarik ini diambil dari hasil pembacaan grafik yang dihasilkan oleh mesin uji tarik Shimadzu. Data mentah yang didapat oleh mesin berupa nilai beban yang diterima oleh material yang berupa sumbu Y dan nilai pertambahan panjang yang berupa sumbu X. Kemudian beban di konversikan menjadi tegangan dengan rumus σ = P/Ao dan perubahan panjang menjadi regangan dengan rumus ε = Δl/lo sehingga di dapat data seperti dapat dlihat pada Gambar 4.2 dan 4.3 Kekuatan Tarik Malsimum (MPa) 180 160 161.4 148.9 140 128.9 120 100 80 60 0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 Penambahan Ti (wt %). Gambar 4.2. Pengaruh penambahan Ti terhadap nilai kekuatan Tarik aluminium AC4B Dari Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa dengan penambahan titanium menghasilkan kenaikan nilai UTS yaitu pada penambahan 0.019 wt % Ti menghasilkan kenaikan nilai UTS dari 128.9 MPa menjadi 148.9 MPa atau meningkatkan nilai UTS sebesar 13.4 % dan untuk penambahan 0.029 wt % Ti menghasilkan kenaikan nilai UTS dari 128.9 MPa menjadi 161.4 MPa atau 45

meningkatkan nilai UTS sebesar 20.1 %. Hal ini sesuai dengan literatur yaitu dengan penambahan titanium dapat meningkatkan nilai kekuatan tarik dari aluminium, hal ini disebabkan karena pengaruh titanium yang dapat menghaluskan butir sehingga besarnya tegangan yang dibutuhkan hingga material terjadi fracture lebih besar [22]. Ditinjau dari metalurgi fisiknya, material yang memiliki butir lebih halus memiliki batas butir yang lebih banyak, sehingga pada saat terjadi pergerakan dislokasi butir-butir yang halus akan menghambat laju dislokasi sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk menggerakan dislokasi tersebut. Elongasi (%) 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1.5 0.83 0.67 0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 Penambahan Ti (wt %) Gambar 4.3. Pengaruh penambahan Ti terhadap nilai elongasi aluminium AC4B Dari Gambar 4.3 terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai elongasi seiring dengan penambahan titanium. Kemudian dilihat dari hasil perpatahan pada aluminium AC4B seperti pada Gambar 4.4 dapat terlihat bahwa bagian patahannya kasar dan terang dan juga tidak terjadi pengecilan diameter, maka dapat disimpulkan bahwa material aluminium AC4B bersifat getas. 10 mm Gambar 4.4. Permukaan perpatahan uji tarik dari sampel aluminium AC4B 46

4.3 PENGARUH PENAMBAHAN 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % TERHADAP KEKERASAN ALUMINIUM AC4B Pengujian kekerasan ini dilakukan pada sampel cylinder head, ada beberapa bagian cylinder head yang diuji kekerasannya yaitu pada bagian tipis (studbolt) dan bagian tebal (daging). Pada Gambar 4.5 dibawah ini terdapat hasil pengujian kekerasan pada variabel komposisi tanpa penambahan titanium dan dengan penambahan 0.019 wt % Ti, dan 0.029 wt % Ti. Nilai Kekerasan (BHN) 94 92 90 88 86 84 82 87.486 83.22 90.252 85.05 92.733 87.78 0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 Daerah Tipis Daerah Tebal Penambahan Ti (wt %) Gambar 4.5. Pengaruh Penambahan Ti terhadap kekerasan aluminium AC4B pada daerah tipis dan daerah tebal Dari Gambar 4.5 diatas dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan kekerasan seiring dengan penambahan titanium, untuk bagian tipis dengan penambahan 0.019 wt % Ti terjadi kenaikan nilai kekerasan dari 87. 48 BHN menjadi 90.25 BHN atau meningkatkan nilai kekerasan sebesar 3.06 % sedangkan dengan penambahan 0.029 wt % Ti terjadi kenaikan nilai kekerasan dari 87.48 BHN menjadi 92.73 BHN atau meningkatkan nilai kekerasan sebesar 5.65 %. Untuk bagian tebal dengan penambahan 0.019 wt % Ti terjadi kenaikan nilai kekerasan dari 83.22 BHN menjadi 85.05 BHN atau meningkatkan nilai kekerasan sebesar 2.14 % sedangkan dengan penambahan 0.029 wt % Ti terjadi kenaikan nilai kekerasan dari 83.22 BHN menjadi 87.78 BHN atau meningkatkan nilai kekerasan sebesar 5.19 %. Jika membandingkan nilai kekerasan dari bagian yang tipis dan tebal terdapat perbedaan yang signifikan dengan penambahan titanium yang sama. Perbedaan nilai kekerasan ini diakibatkan karena perbedaan kecepatan pembekuan pada masingmasing bagian sehingga besar butir yang dihasilkan juga berbeda. Menurut literatur, 47

dalam proses pengecoran sifat mekanis suatu material ditentukan salah satunya oleh kecepatan pembekuan, makin cepat proses pembekuan maka butir yang terbentuk semakin kecil sehingga kekerasan material tersebut juga semakin meningkat [7]. Karena pada bagian tebal poses pembekuannya lebih lambat maka butir yang terbentuk juga lebih besar sehingga kekerasannya lebih kecil. Dari hasil pengolahan data tersebut dapat diketahui bahwa kenaikan nilai kekerasannya tidak terlalu signifikan seiring dengan penambahan titanium. Namun dengan membandingkan nilai kekerasan untuk bagian tipis tanpa penambahan titanium dan bagian tebal yang ditambahkan titanium 0.029 wt % lebih besar. Jadi penambahan titanium dengan kadar 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % Ti cukup efektif untuk meningkatkan nilai kekerasan. 4.4. PENGARUH PENAMBAHAN 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % TERHADAP STRUKTUR MIKRO ALUMINIUM AC4B Pengamatan struktur mikro dilakukan dengan mikroskop optik (MO), dilakukan pada sampel aluminium AC4B bagian tipis dan bagian tebal untuk mengamati besar dendrit yang terbentuk karena pengaruh penambahan titanium. Sementara pengamatan dengan SEM (Scanning Electron Microscope) dan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) dilakukan hanya pada bagian tipis dengan penambahan titanium 0.019 wt % dan 0.029 wt % untuk melihat bentuk dan komposisi senyawa pada fasa-fasa yang terbentuk pada komponen cylinder head material aluminium AC4B 4.4.1 Pengamatan Mikroskop Optik Hasil pengamatan mikroskop optik untuk penambahan 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % Ti ditampilkan pada Gambar 4.5. Dari gambar tersebut akan dilihat pengaruh penambahan titanium terhadap besar dendrite arm spacing (DAS) yang dihasilkannya. Pengukuran DAS ini dilakukan dengan mengukur panjang lengan dendrit pada foto struktur mikro dengan perbesaran 200 kali sebanyak 12 kali pada masing-masing variabel komposisi Ti kemudian dilakukan penghitungan sesuai dengan skala yang digunakan. Jarak pengukuran sesuai dengan Gambar 4.6, dan hasil dari pengukuran DAS ini dapat dilihat pada Gambar 4.7. 48

Gambar 4.6 Contoh pengukuran panjang DAS Tanpa penambahan Ti a Bagian Tipis b Bagian Tebal 100 μm 100 μm 0.019 wt % Ti c 100 μm d 100 μm e f 0.029 wt % Ti 100 μm 100 μm Gambar 4.7 Struktur mikro aluminium AC4B pada bagian tipis dan bagian tebal dengan penambahan (a-b) 0 wt % Ti, (c-d) 0.019 wt % Ti, dan (e-f) 0.029 wt % Ti. Etsa Tucker 49

Besar DAS (μm) 0.0350 0.0300 0.0300 0.0280 0.0250 0.0200 0.0235 0.0214 0.0150 0.0166 0.0100 0.0121 0.0050 0.0000 0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 bagian tipis Penambahan Ti (wt %) bagian tebal Gambar 4.8. Pengaruh penambahan Ti terhadap besar AS aluminium AC4B pada daerah tipis dan tebal Dari Gambar 4.8 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan besar DAS seiring dengan banyaknya penambahan titanium pada aluminium AC4B. Jika dihubungkan dengan hasil dari pengujian kekerasan pada Gambar 4.4, maka terdapat korelasi antara hasil pengujian kekerasan dengan besar DAS yang dihasilkan, yaitu semakin kecil nilai besar DAS maka nilai kekerasanya semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan literatur, yaitu dengan penambahan titanium dapat memperkecil nilai dari besar DAS-nya dan juga dengan makin kecilnya nilai besar DAS maka meningkatkan nilai kekerasannya [4]. Berkurangnya nilai besar DAS diakibatkan karena pengaruh titanium. Titanium ini bertindak sebagai nuklean, yaitu sebagai penambah inti-inti pada aluminium cair untuk membantu inti-inti yang telah ada pada aluminium AC4B tersebut sehingga pada saat pembekuan membentuk struktur yang equiaxed [17]. Titanium ini akan bereaksi dengan aluminium menjadi Al 3 Ti. Fasa TiAl 3 yang terbentuk.merupakan nuklean yang aktif untuk aluminium karena memiliki energi permukaan yang kecil antara TiAl 3 dan aluminium yang dinukleasikan. Dan juga memiliki hubungan struktur kristal yang mirip, partikel TiAl 3 akan bereaksi dengan fasa cair pada pendinginan dibawah 665 o C dengan reaksi. 50

Liquid + TiAl 3 α (solid) Gambar 4.9 Diagram fasa Al-Ti [2] Dari hasil uji komposisi didapatkan besar titanium yang ada pada aluminium AC4B sebesar 0.029 wt % Ti, 0.048 wt %, 0.058 wt % Ti, berdasarkan diagram fasa Al- Ti diatas (Gambar 4.9) berarti komposisi titanium berada pada daerah hipoperitektik, pada komposisi tersebut pada saat pembekuan titanium larut dalam aluminium [4]. 4.4.2 Pengamatan SEM dan EDS Hasil SEM untuk penambahan 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % Ti ditampilkan pada Gambar 4.10 dan 4.11. pada gambar tersebut, hasil pengamatan dengan SEM dapat dibedakan dari bentuk (morfologi), warna, serta komposisi kimia fasa-fasa yang ada. Pada fasa nomor 1 merupakan fasa matriks yang dominan diantara fasa yang lainnya. Fasa nomor 2, fasa ini berwarna putih dan berbentuk seperti balok (blocky). Dan untuk fasa nomor 3 yang memiliki bentuk jarum-jarum kecil dan juga ada yang berbentuk serpihan serta berwarna abu-abu gelap dan tersebar di dalam matriks, sedangkan fasa nomor 4 memiliki bentuk jarum-jarum besar yang berwarna abu-abu dan fasa ini hanya berada pada 51

sebagian matriks. Diantara Gambar 4.10 dan Gambar 4.11 pada dasarnya pada warna fasa yang sama tidak memiliki perbedaan pada morfologinya. Tetapi jika membandingkan pada Gambar 4.12a dan Gambar 4.12b dengan perbesaran 500 kali terlihat bahwa penyebaran fasa yang berbentuk jarum-jarum kecil lebih merata pada Gambar 4. yaitu pada aluminium AC4B dengan penambahan 0.019 wt % Ti. 3 2 4 1 ] Gambar 4.10 Hasil pengamatan SEM as-cast aluminium AC4B dengan penambahan 0.019 wt % Ti dengan etsa HF 0.5 % Tabel 4.3 Hasil analisa komposisi as-cast aluminium AC4B dengan penambahan 0.019 wt % Ti perbesaran 1000x dengan etsa HF 0.5 % Fasa % Berat Unsur Indikasi Fasa Cu Si Fe Mn Al 1-1.1 - - 98.9 Matriks 2 58.75 1.51 - - 39.73 Al 2 Cu 3-85.83 - - 14.17 Si eutektik 4-7.64 13.33 3.28 75.75 β - Al(Fe,Mn)Si 52

2 1 3 4 Gambar 4.11 Hasil pengamatan SEM as-cast aluminium AC4B dengan penambahan 0.029 wt % Ti perbesaran dengan etsa HF 0.5 % Tabel 4.4 Hasil analisa komposisi as-cast aluminium AC4B dengan penambahan 0.029 wt % Ti perbesaran 1000x dengan etsa HF 0.5 % Fasa % Berat Unsur Indikasi Fasa Cu Si Fe Mn Al 1-0.92 - - 99.08 Matriks 2 65.06 0.66 - - 34.28 Al 2 Cu 3-97.56 - - 2.44 Si eutektik 4-20 26.03 4.36 49.61 β - Al(Fe,Mn)Si Untuk mengetahui komposisi kimia dari keempat fasa yang berbeda tersebut, maka dilakukan analisa EDS yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 4.3 dan 4.4. Kemudian untuk mengetahui jenis fasa yang ada dilakukan perbandingan dengan literatur dengan memperhatikan komposisi mayoritas pembentuk fasa tersebut [15]. Setelah melakukan analisa EDS dan membandingkannya dengan literatur maka dapat diketahui bahwa fasa nomor 1 merupakan fasa α-aluminium (matriks) yang merupakan fasa dominan pada aluminium AC4B, pada fasa ini terlihat pada komposisi yang dihasilkan yaitu hingga 99 %, hal ini memang wajar 53

karena material ini memiliki material dasar aluminium. Berdasarkan bentuk dan warnanya fasa nomor 2 diindikasikan sebagai Al 2 Cu namun berdasarkan komposisinya persen berat Cu (58.75 wt % untuk penambahan 0.019 wt % Ti dan 65.06 wt % Ti untuk penambahan 0.029 wt % Ti) lebih besar dibandingkan persen berat Al (39.73 wt % untuk penambahan 0.019 wt % Ti dan 34.28 wt % Ti untuk penambahan 0.029 wt % Ti). Berdasarkan literatur seharusnya persen berat Al harus lebih besar dari Cu. Untuk fasa nomor 3 diindikasikan fasa ini sebagai fasa silikon eutektik, terbentuknya fasa ini disebabkan karena adanya unsur silikon yang berlebih, untuk kelarutan silikon dalam aluminium cukup rendah yaitu sekitar 1.65 wt % sehingga sisa dari silikon yang tidak larut sebagian ada yang membentuk partikel bebas yang berbentuk jarum-jarum dan serpihan silikon dan sebagian lagi bersenyawa dengan unsur-unsur pengotor membentuk fasa intermetalik. Pengaruh bentuk jarum menimbulkan kekuatan dan kekerasan yang lebih besar dari pada bentuk serpihan [15]. Sedangkan untuk fasa nomor 4 yang bebentuk jarum-jarum besar diindikasikan sebagai fasa β-al(fe,mn)si. Terbentuknya fasa ini karena adanaya unsur Fe dan Mn yang berlebih, unsur Fe dan Mn pada aluminium memilki kelarutan yang rendah yaitu 0.052 wt % untuk Fe dan 1.82 wt % untuk Mn sehingga Fe dan Mn tidak larut pada aluminium. Unsur yang tidak terlarut ini akan membentuk fasa intermetalik. Struktur jarum AlFeSi memberikan sifat yang merusak sifat mekanis karena sangat brittle dan mengurangi ketahanan korosi [24]. Struktur mikro dari paduan aluminium dipengaruhi oleh komposisi, kecepatan pembekuan, serta perlakuan panas. Pada reaksi pembekuan paduan Al- Si hipeutektik terjadi urutan mekanisme pengendapan fasa, yang diawali dengan pembentukan jaringan dendritik α-aluminium. Diikuti oleh reaksi eutektik Al-Si dan diakhiri dengan pengendapan fasa kedua eutektik seperti Mg 2 Si dan Al 2 Cu [15]. Dari reaksi utama diatas terjadi juga pengendapan fasa yang mengandung Mn dan Fe. Fasa yang sering muncul pada paduanal-si adalah fasa Al 5 FeSi (terbentuk pada pembekuan lambat) dan Al 15 (Mn,Fe)Si 2 (terbentuk pada pembekuan cepat) [15]. Dengan demikian komposisi Al-Si hipoeutektik memilki struktur utama berupa fasa primer dendritik α-aluminium, kristal silikon yang tidak larut dalam fasa α-aluminium dan juga fasa intermetalik berupa Al(Mn,Fe)Si dan Al 2 Cu. Fasa 54

intermetalik disini merupakan fasa kedua yang mengendap pada paduan aluminium yang terbentuk sebagai akibat dari komposisi kimia yang melebihi batas kelarutannya tanda kurung fasa Al(Mn,Fe)Si disebabkan karena Fe dan Mn dapat saling tersubstitusi dimana ukuran atom Fe dan Mn yang tidak berbeda jauh [4]. Pemberian penghalus butir yang mengandung 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % Ti membuat fasa intermetalik yang lebih kompleks. Hal ini terlihat dengan adanya fasa intermetalik yang lebih jelas. Penjelasan ini sesuai dengan penelitian Lozano [22], bahwa pengaruh Ti memicu pembentukan intermetalik karena Ti tersebut menjadi inti dari intermetalik tersebut. Kandungan unsur Ti tidak dapat terdeteksi oleh EDS baik pada penambahan 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % Ti. Seharusnya kandungan titanium terdeteksi pada EDS dengan fasa Al 3 Ti. Hal ini kemungkinan dikarenakan alat EDS sulit untuk mendeteksi kandungan titanium pada kadar yang sedikit [22]. Shahrooz Nafisi [21] menemukan partikel Al 3 Ti pada penambahan 0.13 wt % Ti dan 0.021 wt % B dengan menggunakan SEM / EDS. Nafisi menemukan bahwa partikel Al 3 Ti tersebut kaya akan Ti, Si, Al, dan unsur B sehingga dikemukakan bahwa α aluminium ternukleasi oleh campuran dari unsur Al, Ti, dan Si. (a) 55

(b) Gambar 4.12 Hasil pengamatan SEM as-cast aluminium AC4B dengan penambahan (a) 0.019 wt % dan (b) 0.029 wt % Ti dengan etsa HF 0.5 % 4.5 KEGAGALAN YANG TERJADI PADA KOMPONEN CYLINDER HEAD HASIL PROSES LOW PRESSURE DIE CASTING Berdasarkan data hasil produksi (Lampiran 5) masih terdapat kegagalan seperti shrinkage, Blow hole, misrun dan bocor. Pada hasil produksi tanpa penambahan titanium terdapat satu buah cylinder head yang terjadi shrinkage sedangkan pada penambahan 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % terjadi peningkatan yaitu sebanyak enam buah dan dua buah cylinder head. Sedangkan cacat blow hole pada hasil produksi tanpa penambahan titanium terdapat empat buah cylinder head sedangkan pada penambahan 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % Ti tidak terjadi blow hole Berdasarkan data hasil produksi tersebut penambahan titanium ini dapat mengurangi terjadinya cacat blow hole hingga 0 %. Ditinjau dari asal mula terbentuknya blow hole yaitu karena gas hidrogen yang terlarut atau adanya pengotor maka cacat ini dapat diminimalisasi yaitu dengan melakukan degassing 56

dan juga mengontrol temperatur aluminium cair. Berdasarkan literatur, tingginya temperatur melting maka kelarutan hidrogen dalam aluminium cair tersebut semakin besar [2]. Pada saat pembekuan gas hidrogen ini akan terperangkap dan terbentuklah lubang-lubang (mikroporositas ataupun makroporositas (Gambar 4.13)) pada produk hasil pengecoran [2]. Kelarutan hidrogen dalam aluminium cair pada tekanan parsial hidrogen 1 atm. Dengan mengacu pada Gambar 4.14 maka dapat ditentukan dan mengontrol temperatur aluminium cair agar tidak banyak hidrogen yang terlarut dalam aluminium cair. Namun pada kondisi aktualnya tekanan udara pada lingkungan holding furnace lebih besar dari 1 atm maka kelarutan hidrogen pada temperatur 700 o C dapat diminimalisasi. Gambar 4.13 (a) Mekanisme terjadinya shrinkage (b) hasil struktur mikro dari shrinkage [6,11] Gambar 4.14 Kelarutan gas hidrogen pada aluminium car pada tekanan parsial H 2 1 atm [2] Sedangkan untuk cacat shrinkage terjadi peningkatan, mungkin hal ini dikarenakan penambahan penghalus butir yang kurang sehingga tidak efektif untuk meminimalkan cacat shrinkage ini. Cacat ini sulit untuk dihindari hal ini 57

terjadi karena pada saat terjadi perubahan fasa cair menjadi fasa padat terjadi penurunan volume sehingga terjadi penyusutan. Pada komponen cylinder head sering terjadi shrinkage pada bagian daging seperti pada Gambar 4.15. Pada bagian ini sangat mungkin terjadi shrinkage karena bagian lebih tebal daripada bagian yang lainnya sehingga pembekuan paling lama terjadi pada bagian ini. Menurut literatur, shrinkage dapat terjadi karena pembekuan yang tidak seragam sehingga bagian yang pembekuan terakhir akan terjadi penyusutan [2]. Shrinkage ini bisa terjadi diantara lengan-lengan dendrit, hal ini dapat terjadi karena pada saat terjadi pembekuan diantara lengan-lengan dendrit tersebut masih berupa liquid yang akan membeku lebih lama sehingga pada bagian ini terjadi shrinkage, cacat ini disebut juga mikro shrinkage [11] Shrinkage yang semakin bertambah akan meningkatkan jumlah dan ukuran lubang sehingga pada akhirnya akan membentuk satu kesatuan lubang yang menjorok ke dalam material. Dalam paduan Al Si Cu, pembekuan yang cepat akan menyebabkan terdistribusinya pori secara merata dalam batas butir, sedangkan pendinginan yang lambat akan menyebabkan shrinkage yang terdistribusi pada daerah interdendritik [6][12] Gambar 4.15 Shrinkage bagian dalam 58

Untuk uji bocor harus dilakukan untuk mengetahui kelayakan dari cylinder head tersebut sehingga tidak terjadi kebocoran saat digunakan. Kebocoran ini tidak dapat terlihat dengan mata karena kebocoran ini dapat terjadi pada bagian dalam cylinder head. Kebocoran ini dapat terjadi karena adanya porositas ataupun mikro shrinkage yang terjadi di bagian dalam cylinder head. Pada saat menambahkan 0.019 wt % Ti dan 0.029 wt % Ti kebocoran meningkat, mungkin hal ini terjadi karena pada saat setelah penuangan aluminium cair dari ladle transport ke holding furnace tidak segera menutup pintu holding furnace sehingga dimungkinkan udara di luar masuk kedalam holding furnace. Masuknya udara ini dapat menyebabkan gas hidrogen larut dalam aluminium cair dan menyebabkan porositas. Kemungkinan lainnya adalah pengaruh temperatur dies yang terlalu tinggi hal ini dapat menurunkan kecepatan pembekuan dari cylinder head sehingga kemungkinan untuk terjadinya shrinkage semakin besar, hal ini dapat dilihat pada lampiran 5. Pada penambahan 0.019 wt % Ti dapat dilihat bahwa terjadi kebocoran pada awal pengecoran dengan temperatur aluminium cair yang tidak sesuai standar yang telah ditentukan yaitu belum mencapai 700 o C. Jika belum mencapai 700 o C dikhawatirkan aluminium cair masih berada pada fasa lumpur sehingga pembekuannya tidak sempurna. Begitu juga pada penambahan 0.029 wt % Ti, kebocoran terjadi pada awal dan akhir kebocoran. Pada akhir pengecoran terjadi kebocoran dimungkinkan karena disebabkan berkurangnya efektifitas penghalus butir seiring dengan bertambahnya waktu, atau disebut dengan fading. 59