BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Studi beberapa..., Annisa Putri Handayani, FKM UI, 2009

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pedoman Observasi Lapangan. Studi Beberapa Faktor Tentang Keselamatan Pejalan Kaki. di Jalan Margonda Raya, Depok Tahun 2009

PERENCANAAN WILAYAH KOMERSIAL STUDI KASUS RUAS JALAN MARGONDA DEPOK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 : PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur. Untuk menunjang pembangunan tersebut, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Cidera kecelakaan lalu lintas (Road Traffic Injury) merupakan hal yang sangat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era globalisasi saat ini menuntut masyarakat untuk mempunyai mobilitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini tingkat kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh kelalaian

BAB I PENDAHULUAN. untuk berpindah atau bergerak tersebut akan semakin intensif. Hal ini tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya sebuah kecelakaan (Hakkert, 2005). Salah satu contohnya adalah

5. Konsep Urban Design Guidelines yang Memperhatikan Kebutuhan Pejalan Kaki Usia Kanak-Kanak dan Usia Lanjut

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tersebut. Pejalan kaki yang tertabrak kendaraan pada kecepatan 60 km/jam hampir

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sepeda motor saat ini menjadi super booming, dan menjadi alat angkut

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Klasifikasi kendaraan bermotor dalam data didasarkan menurut Peraturan Bina Marga,

BAB I PENDAHULUAN. Dunia oleh WHO (World Health Organization) pada tahun 2004 merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjatuhkan sanksi. Sanksi hanya dijatuhkan pada warga yang benar-benar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keselamatan berasal dari kata dasar selamat. Menurut Kamus Besar

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. yakni perbandingan terhadap satuan mobil penumpang. Penjelasan tentang jenis. termasuk di dalamnya jeep, sedan dan lain-lain.

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor yang..., Yuda Rizky, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. transportasi. Menurut Morlok (1991) transportasi adalah suatu proses pergerakan atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap individu menginginkan sebuah pemenuhan dan kecukupan atas

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menggambarkan budaya bangsa. Kalau buruk cara kita berlalu lintas maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

LANGGAR ATURAN SANKSI MENUNGGU TAHAP II

BAB I PENDAHULUAN. Sarana transportasi merupakan sarana pelayanan untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Contoh penyeberangan sebidang :Zebra cross dan Pelican crossing. b. Penyeberangan tidak sebidang (segregated crossing)

BAB I PENDAHULUAN. karena fungsi utama jalan raya adalah sebagai prasarana untuk melayani pergerakan

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas maka penggunaan moda kereta api masih dapat menduduki peringkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 30 juta orang terbunuh akibat kecelakaan jalan (road crashes). Kajian terbaru

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

PERENCANAAN JEMBATAN LAYANG PERLINTASAN KERETA API KALIGAWE DENGAN U GIRDER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Epidemiologi Kecelakaan Lalu Lintas PERTEMUAN 9 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sebab, menempati urutan kesepuluh penyebab semua kematian dan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN SIKAP DISIPLIN DALAM BERLALU LINTAS PADA REMAJA KOMUNITAS MOTOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. lintas merupakan hal yang tidak asing lagi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jalur selatan Jawa dan jalur Semarang-Madiun, yang menjadikan posisinya

I. PENDAHULUAN. Lalu lintas jalan merupakan sarana masyarakat yang memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Armandha Redo Pratama, 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keberhasilan pembangunan yang dilakukan pemerintah memberikan

I. PENDAHULUAN. penduduk kota Bandar Lampung yang semakin padat dan pertambahan jumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinisikan sebagai

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 65 TAHUN 1993 T E N T A N G FASILITAS PENDUKUNG KEGIATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor : 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan

Jurnal Kalibrasi Sekolah Tinggi Teknologi Garut Jl. Mayor Syamsu No. 1 Jayaraga Garut Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kendaraan itu harus berhenti, baik itu bersifat sementara maupun bersifat lama atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu keadaan tidak bergerak dari suatu kendaraan yang tidak bersifat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

KRITIK ARSITEKTUR SIMPUL KEMACETAN DI JALAN MARGONDA RAYA, DEPOK JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi bertambah banyaknya kebutuhan akan sarana dan prasarana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengguna jalan itu bukan hanya satu, dua atau tiga orang. Belasan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang sesuai dengan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka semakin banyak

BAB I PENDAHULUAN. yang semula didominasi oleh penyakit infeksi atau menular bergeser ke penyakit non

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data yang ada maka dapat diambil

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta. Lalu lintas di Yogyakarta sudah semakin padat dengan meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Kendaraan bermotor dalam perkembangannya setiap hari

MASALAH LALU LINTAS DKI JAKARTA

MODA/ANGKUTAN DI PERKOTAAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

I. PENDAHULUAN. Geografi merupakan pencitraan, pelukisan atau deskripsi tentang keadaan bumi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Saat ini manusia dituntut untuk bisa berpindah-pindah tempat dalam waktu

BAB I PENDAHULUAN. Telepon genggam atau yang lebih dikenal dengan handphone (HP) merupakan

Capacity Building Workshop on Supporting Employability of Persons with Disability

BAB III LANDASAN TEORI. diangkut selalu bertambah seperti pertambahan jumlah penduduk, urbanisasi,

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keselamatan di jalan raya merupakan issue yang sedang berkembang saat ini. Menurut data dari WHO dalam Sutawi (2006) sejak penemuan kendaraan bermotor lebih dari seabad yang lalu diperkirakan sekitar 30 juta orang telah terbunuh akibat kecelakaan di jalan raya. Kajian terbaru WHO pada tahun 2000 menunjukan sekitar 1 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat kecelakaan di jalan raya, dan pada tahun 2010 diperkirakan meningkat antara 1,1 1,2 juta orang pertahun, kemudian menjadi 1,3 1,4 juta orang pertahun pada tahun 2020. Menurut WHO (2004) dalam Sinar Harapan (8/042004) tentang pencanangan tema keselamatan jalan, yaitu Road Safety is No Accident menyebutkan bahwa keselamatan jalan raya merupakan hal yang sangat penting, karena WHO telah memprediksikan bahwa kecelakaan di jalan raya akan menjadi penyebab kematian ketiga terbesar di dunia pada tahun 2020, jika tidak ada upaya pencegahannya. Indonesia merupakan salah satu negara urban yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi. Oleh karena itu, pergerakan dan tingkat kepadatan lalu lintas di Indonesia cukup padat. Namun sistem keselamatan lalu lintas yang ada di Indonesia belum terkelola dengan baik. Seperti yang dikatakan Kepala Biro Humas dan Protokol Dinas Perhubungan Jakarta, Muhayat, dalam Kompas (4/05/2006) menyebutkan bahwa korban kecelakaan jalan raya menempati posisi tertinggi dibandingkan dengan korban kecelakaan angkutan udara, laut, maupun kereta api. Oleh karena itu, keselamatan jalan raya menjadi hal yang sangat penting di Indonesia, karena keselamatan jalan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep transportasi yang berkelanjutan. Menurut peneliti bidang transportasi dari LSM Pelangi, Kuki H. Soejachmoen, dalam Sinar Harapan (8/04/2004), mengatakan bahwa untuk mewujudkan keselamatan jalan raya langkah pertama yang harus dilakukan 1 universitas Indonesia

2 adalah dengan menerapkan hirarki pemakaian jalan. Hirarki pemakaian jalan didasarkan atas besarnya potensi resiko kecelakaan yang dapat terjadi pada pengguna jalan. Yang disebut dengan pengguna jalan antara lain: pengendara kendaraan bermotor (mobil dan motor), pengguna kendaraan tidak bermotor, dan pejalan kaki. Hirarki pemakaian jalan tersebut terdiri atas: (a) pejalan kaki, (b) pengguna kendaraan tidak bermotor, (c) angkutan umum, dan (4) kendaraan bermotor milik pribadi (Soejachmoen, 2004). Dari hirarki tersebut dijelaskan bahwa pejalan kaki merupakan salah satu pengguna jalan raya yang menjadi prioritas pertama terhadap upaya perlindungan keselamatan di jalan raya. Artinya semua pengguna jalan lain seharusnya mendahulukan kelompok pengguna jalan ini. Mengingat aktifitas utama pejalan kaki antara lain: menyeberang jalan, berjalan di sepanjang tepi jalan raya, serta naik dan turun dari angkutan umum. Sehingga tingkat kemungkinan dan keseringan pejalan kaki untuk kontak dengan pengguna jalan lain terutama kendaraan bermotor sangat tinggi. Sedangkan pejalan kaki tidak mempunyai proteksi untuk dirinya sendiri, yaitu pelindung yang dapat melindungi dirinya dari benturan keras. Dari kegiatan tersebut telah menggambarkan bahwa pejalan kaki, tepatnya pejalan kaki di Indonesia memiliki bahaya dan resiko yang besar. Bahaya yang ada pada pejalan kaki adalah: tidak adanya trotoar atau ada trotoar namun kondisinya rusak dan licin, tidak ada zebra cross, tidak ada rambu rambu, dan lain sebagainya. Dan resiko yang dapat timbul pada pejalan kaki adalah: tertabrak mobil, motor atau angkutan umum, terserempet mobil, motor atau angkutan umum, terpeleset, dan terjatuh. Selain itu, karakteristik fisik pejalan kaki sangat beragam, bukan hanya terdiri atas orang dewasa yang normal saja tetapi juga ada anak sekolah, orang lanjut usia, dan orang yang memiliki keterbatasan tubuh/cacat, misal buta ataupun pengguna kursi roda. Sehingga dalam hal ini pejalan kaki dapat dikatakan merupakan salah satu anggota pengguna jalan yang terlemah dan memiliki keterbatasan yang tinggi dari seluruh anggota pengguna jalan raya lainnya. Menurut salah satu standar internasional dari Amerika tentang keselamatan pejalan kaki, FHWA (Federal High Way Administration), untuk

3 menangani masalah keselamatan pejalan kaki dapat dilakukan dengan pemberian fasilitas yang baik bagi pejalan kaki. Fasilitas tersebut dapat berupa sarana dan prasarana untuk pejalan kaki. Sarana tersebut dapat berupa: trotoar, zebra cross, jembatan penyeberangan, dan halte. Sedangkan prasarana bagi pejalan kaki dapat berupa: rambu rambu khusus pejalan kaki, Sinyal pengatur penyeberangan, rambu untuk area sekolah, dan lampu penerangan jalan. Seluruh desain sarana dan prasarana tersebut disesuaikan dengan seluruh karakter fisik pejalan kaki. Sehingga fasilitas tersebut dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh siapapun. Dengan demikian tingkat keselamatan bagi pejalan kaki dapat terjamin. Selain itu, FHWA juga menyebutkan tentang perlunya regulasi bagi pejalan kaki. FHWA menyebutkan bahwa regulasi pejalan kaki harus terkandung juga di dalam undang undang lalu lintas. Sehingga di dalam undang undang lalu lintas yang ada tidak hanya mengatur tentang regulasi bagi kendaraan bermotor tetapi juga hak, kewajiban dan sangsi bagi pejalan kaki. Namun di Indonesia, tepatnya di wilayah Jabodetabek, sebagian besar sarana dan prasarana untuk pejalan kaki bila didasarkan atas standar dari FHWA, belum terpenuhi. Seperti yang kita ketahui wilayah Jabodetabek merupakan area transportasi terpadat, seluruh elemen pengguna jalan seperti: pejalan kaki, kendaraan bermotor, maupun kendaraan tidak bermotor ada pada area ini. Namun ketersediaan sarana dan prasarana bagi pejalan kaki pada area ini sangat minim. Hal itu dapat dirasakan dari ketersediaan sarana dan prasarana untuk pejalan kaki di daerah Depok, sebagai salah satu area dari Jabodetabek. Salah satu contoh adalah adanya pelebaran jalan raya baik pada jalan protokol maupun arteri di kota Depok, sehingga lebar trotoar yang ada semakin kecil. Ditambah dengan desain trotoar yang tidak sesuai standar, artinya banyak trotoar yang kondisinya tidak layak untuk digunakan. Seperti trotoar yang terlalu tinggi, bergelombang, dan banyak batu bata yang lepas dari tempatnya. Selain itu saat ini trotoar di kota Depok juga banyak yang disalahfungsikan, trotoar bukan lagi sebagai tempat berjalan tetapi sebagai tempat berjualan bagi pedagang kaki lima. Sehingga trotoar yang ada di Depok bukan memberikan keamanan namun cenderung mengancam keselamatan bagi pejalan kaki.

4 Hal lain yang juga mengancam terhadap keselamatan pejalan kaki antara lain: ketersediaan halte dan jembatan penyeberangan yang kurang, banyak kondisi garis zebra cross yang tidak terlihat, kurangnya rambu rambu untuk pejalan kaki dan area sekolah, serta ketersediaan sinyal pengatur penyeberangan yang kurang (Darmantoro, 2008). Dari hal tersebut bukannya tidak mungkin perilaku tidak aman dari pejalan kaki muncul. Karena pejalan kaki yang seharusnya berjalan ditrotoar kini harus berjalan di tepi jalan raya. Dan juga yang seharusnya menyeberang diatas zebra cross atau jembatan penyeberangan kini harus berlari lari melawan kendaraan bermotor. Dari segi regulasi, peraturan yang mengatur tentang lalu lintas di Indonesia, yaitu: UU No.14 Tahun 1992, PP No. 41 tahun 1993, PP No.42 Tahun 1993, dan PP No.43 Tahun 1993 sudah berusia 17 tahun. Namun penjelasan pada semua regulasi tersebut hanya berfokus pada hak, kewajiban, dan sanksi pelanggaran bagi kendaraan bermotor sedangkan penjelasan bagi pejalan kaki tidak jelas dibicarakan. Kenyataannya, walaupun dalam regulasi tersebut banyak mengatur tentang kendaraan bermotor namun keberadaan dari regulasi ini juga tidak cukup kuat untuk mengatur perilaku aman para pengendara kendaraan bermotor. Hal ini terlihat dari semakin lengkap dan nyaman fasilitas yang dimiliki oleh kendaraan bermotor saat ini semakin membuat perilaku para pengendara mendekat kearah aggressive driving (Darmantoro, 2008). Aggressive driving ini membawa para kendaraan bermotor untuk bersikap semaunya, ugal-ugalan dan adu cepat tanpa memperdulikan dampaknya pada lingkungan sekitar, terutama pejalan kaki. Padahal tingkat kecenderungan kontak antara kendaraan bermotor dengan pejalan kaki sangat tinggi. Sehingga dari perilaku ini kecelakaan antara kendaraan bermotor dengan pejalan kaki semakin banyak terjadi (Darmantoro, 2008). Dan dari seluruh model kecelakaan yang ada, pejalan kaki memiliki dampak dan kerugian terbesar. Secara garis besar dampak yang dapat timbul terhadap pejalan kaki dibedakan atas 2 macam, yaitu dampak terhadap kesehatan dan dampak terhadap keselamatan ( Penyelenggaraan transformasi, n.d).

5 Dampak terhadap kesehatan bagi pejalan kaki dapat timbul akibat pajanan dari gas emisi kendaraan bermotor. Gas buang ini memiliki komponen asli yang terdiri atas: N, CO2, dan H2O. Sifat dari komponen asli ini memang tidak berbahaya namun gas buang ini memiliki kandungan senyawa lain didalamnya, dengan konsentrasi atau jumlah yang cukup besar dapat membahayakan kesehatan manusia. Senyawa lain itu adalah CO, berbagai senyawa OH, NOx, dan juga SOx. Sehingga dari gas buang ini dapat menimbulkan dampak seperti: gangguan pernapasan, iritasi mata, batuk, menyebabkan kantuk, bercak pada kulit, timbulnya penyakit episode smog, gangguan sistem saraf, menyebabkan kanker, gangguan fungsi reproduksi, kelahiran cacat, menurunya kemampuan berpikir dan reflex serta kanker kulit ( Penyelenggaraan transformasi, n.d). Sedangkan dampak terhadap keselamatan timbul akibat adanya kontak fisik yang terjadi antara kendaraan bermotor (mobil, motor, dan angkutan umum) dengan pejalan kaki. Sehingga dampak keselamatan yang ditimbulkan adalah: luka ringan, luka berat, cacat nir pulih, cacat permanen, hingga kematian ( Penyelenggaraan transformasi, n.d). Menurut Heinrich (1931) suatu kecelakaan dapat terjadi akibat 2 sebab dasar yaitu: tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman. Sehingga untuk menilai suatu keselamatan, jika didasarkan atas teori Heinrich dapat dilihat dari tindakan aman atau tidak aman dan kondisi aman atau tidak aman. Namun keselamatan pejalan kaki tidak bisa dinilai hanya dari satu aspek saja. Karena untuk terciptanya keselamatan pejalan kaki harus didukung oleh seluruh aspek yang mempengaruhi hal tersebut. Menurut Pedoman Penyusunan Profil Kinerja Keselamatan Transportasi darat, Departemen Perhubungan (2007), menyebutkan bahwa aspek aspek yang dapat menyebabkan kecelakaan pada pejalan kaki terdiri atas: aspek manusia, aspek sarana, aspek prasarana, dan aspek lingkungan. Sehingga bila aspek aspek tersebut dikelompokan kedalam teori Heinrich maka faktor yang dapat mempengaruhi keselamatan pejalan kaki terdiri atas: tindakan aman atau tidak aman yang dinilai dari aspek manusia (perilaku pejalan kaki) dan kondisi aman atau tidak aman yang dinilai dari aspek sarana (trotoar, zebra cross, jembatan penyeberangan, halte), prasarana (rambu pejalan

6 kaki, rambu area sekolah, lampu penerangan jalan, sinyal untuk penyeberangan) dan lingkungan (pencahayaan, lokasi parkir, lokasi pedagang kaki lima). Seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, kota Depok merupakan salah satu dari area Jabodetabek. Dimana Jalan Margonda Raya, tepatnya dari Jalan Kober hingga area Depok Town Square merupakan salah satu area terpadat yang ada di kota Depok. Jalan kober hingga area Depok Town Square merupakan jalan protokol yang banyak dilalui oleh berbagai macam pengguna jalan, terutama kendaraan bermotor. Selain itu, area jalan ini juga memiliki aktivitas yang cukup tinggi, karena di area ini banyak terdapat pertokoan, rumah makan, mall, dan merupakan area kampus. Sehingga mobilitas pengguna jalan yang ada pada area ini sangat tinggi. Jalan Kober hingga Depok Town Square merupakan area yang strategis bagi lalu lintas, kendaraan bermotor yang melintas pada jalan ini sangat cepat dan padat jumlah pejalan kaki pada area ini pun sangat banyak. Kasus kecelakaan lalu lintas pada jalan ini juga cukup banyak, dimana kebanyakan kecelakaan pada Jalan Kober hingga Depok Town Square diakibatkan adanya kontak antara kendaraan bermotor, tepatnya sepeda motor dengan pejalan kaki. Menurut data kecelakaan Polres Metro Depok, kecelakaan lalu lintas di Depok mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah kecelakaan lalu lintas pada tahun 2004 mencapai 165 kejadian, tahun 2005 sebanyak 144 kejadian, tahun 2006 sebanyak 175 kejadian, tahun 2007 sebanyak 304 kejadian dan meningkat pada tahun 2008 menjadi 484 kejadian. Dari total kecelakaan lalu lintas di Depok sebanyak 69% disebabkan oleh sepeda motor dengan korban meninggal sebanyak 36 orang. Model kecelakaan yang terbanyak adalah kecelakaan ganda, yaitu antara kendaraan bermotor dengan pejalan kaki. Dari data tersebut jelas bahwa pejalan kaki di kota Depok sangat rawan. Hal ini dikarenakan pejalan kaki menempati porsi tertinggi namun ketersediaan dan kelayakan fasilitas bagi pejala kaki di kota Depok sangat minim. Hal tersebut dapat dirasakan pada Jalan Kober hingga area Depok Town Square. Dimana jelas tergambar bahwa mobilitas pejalan kaki yang ada di jalan ini sangat tinggi. Pejalan kaki yang melewati area ini beragam mulai dari mahasiswa sebagai porsi terbesar, karyawan, anak sekolah, sampai orang tua. Hampir disetiap waktu area

7 ini banyak dilalui oleh pejalan kaki. Namun ketersediaan dan kelayakan fasilitas (sarana dan prasarana) bagi pejalan kaki sangat minim bahkan hampir tidak ada. Sehingga sangat memungkinkan bagi pejalan kaki di Jalan Kober hingga Depok Town Square kontak dengan kendaraan bermotor. Karena mereka harus berjalan di tepi jalan raya karena tidak ada trotoar dan mereka juga harus berlari jika ingin menyeberang karena mereka kesulitan dalam menyeberang. Maka perilaku yang tidak aman pada pejalan kaki banyak timbul pada jalan ini sehingga keselamatan pejalan kaki menjadi sangat rawan pada area ini.. Berdasarkan faktor faktor yang mempengaruhi keselamatan pejalan kaki penulis ingin mengetahui gambaran keselamatan pejalan kaki di Jalan Margonda Raya. 1.2 Rumusan Masalah Menurut data kecelakaan Polres Metro Depok, kecelakaan lalu lintas di Depok mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah kecelakaan lalu lintas pada tahun 2004 mencapai 165 kejadian, tahun 2005 sebanyak 144 kejadian, tahun 2006 sebanyak 175 kejadian, tahun 2007 sebanyak 304 kejadian dan meningkat pada tahun 2008 menjadi 484 kejadian. Dari total kecelakaan lalu lintas di Depok sebanyak 69% disebabkan oleh sepeda motor dengan korban meninggal sebanyak 36 orang. Model kecelakaan yang terbanyak adalah kecelakaan ganda, yaitu antara kendaraan bermotor dengan pejalan kaki. Berdasarkan standar dari FHWA untuk meningkatkan keselamatan pejalan kaki maka pejalan kaki harus diberi fasilitas yang memadai yaitu berupa sarana dan prasarana bagi pejalan kaki yang memiliki akesesibilitas yang tinggi. Artinya fasilitas tersebut dapat dijangkau oleh siapa pun. Namun ketersediaan fasilitas tersebut tidak ada di Jalan Kober hingga Depok Town Square. Dimana pada jalan ini sarana dan prasarana bagi pejalan kaki banyak yang rusak dan sudah tidak layak. Seperti trotoar yang berlubang dan bergelombang, garis zebra cross yang hilang, tidak ada rambu untuk pejalan kaki, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan timbulnya perilaku yang tidak aman bagi pejalan kaki. Seperti mereka harus berjalan di tepi jalan raya karena tidak ada trotoar dan mereka juga harus berlari jika ingin menyeberang karena mereka kesulitan dalam menyeberang Ditambah

8 dengan perilaku pengendara kendaraan bermotor yang kian bersifat aggressive driving. Hal ini semakin membuat keselamatan pejalan kaki pada Jalan Kober hingga Depok Town Square semakin terancam. Oleh karena itu, untuk mengetahui gambaran keselamatan pada pejalan kaki maka penulis merasa perlu melakukan studi keselamatan pejalan kaki di Jalan Margonda Raya, Depok Tahun 2009. 1.3 Pertanyaan Penelitian Bagaimana gambaran keselamatan pejalan kaki di Jalan Margonda Raya, Depok Tahun 2009? Bagaimana gambaran tindakan aman atau tindakan tidak aman pada pejalan kaki di Jalan Margonda Raya, Depok Tahun 2009? Bagaimana gambaran kondisi aman atau kondisi tidak aman pada pejalan kaki di Jalan Margonda Raya, Depok Tahun 2009? 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran keselamatan pejalan kaki di Jalan Margonda Raya, Depok Tahun 2009. 1.4.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui gambaran keselamatan pada pejalan kaki di Jalan Margonda Raya, Depok Tahun 2009. Untuk mengetahui gambaran tindakan aman atau tindakan tidak aman pada pejalan kaki di Jalan Margonda Raya, Depok Tahun 2009. Untuk mengetahui gambaran kondisi aman atau kondisi tidak aman pada pejalan kaki di Jalan Margonda Raya, Depok Tahun 2009.

9 1.5 Manfaat Penelitian Bagi Pemerintah Kota Depok Dari penelitian ini, diharapkan pemerintah kota Depok dapat mengetahui gambaran tindakan dan kondisi baik aman atau tidak aman yang paling sering muncul pada pejalan kaki dari Jalan Kober hingga Mall Depok Town Square. Sehingga pemerintah kota Depok dapat meningkatkan keselamatan pejalan kaki pada area jalan tersebut. Bagi Peneliti Lain Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi peneliti lain guna pengembangan keilmuan yang diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan, terutama yang terkait dengan keselamatan pada pejalan kaki. 1.6 Ruang Lingkup Lingkup penelitian ini dibatasi hanya untuk mengetahui gambaran keselamatan pada pejalan kaki di Jalan Margonda Raya, Depok tahun 2009. Dimana variabel yang diteliti antara lain: perilaku aman atau perilaku tidak aman yang dinilai dari aspek manusia serta kondisi aman atau kondisi tidak aman yang dinilai dari aspek sarana, prasarana, dan lingkungan. Hal ini karena keselamatan pejalan kaki di Jalan Kober hingga Depok Town Square belum terjamin. Terlihat dari ketersedian fasilitas bagi pejalan kaki yang sangat minim dan tidak sesuai standar. Kemudian tidak adanya regulasi yang mengatur tentang pejalan kaki dan munculnya perilaku tidak aman pejalan kaki. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2009. Yang menjadi responden adalah pejalan kaki yang berstatus mahasiswa/mahasiswi dan sering melintas di Jalan Kober hingga Depok Town Square. Berdasarkan pemilihan responden tersebut maka penelitian ini dilakukan di sepanjang Jalan Kober hingga Depok Town Square, yang dibagi dalam 5 zona, yaitu: Depok Town Square atau Margo city, Jalan Karet, Jalan Kapuk, Jalan Damai, dan Jalan Kober. Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara kepada pejalan kaki dan observasi di sepanjang Jalan Kober hingga Depok Town Square.