I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Provinsi Lampung memiliki dua masyarakat adat yaitu Lampung Saibatin (jurai saibatin) dan Lampung Pepadun (jurai pepadun) yang dikenal dengan istilah sang bumi rua jurai yang berarti satu bumi terdapat dua kebudayaan. Lampung Saibatin merupakan suatu masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan Lampung Pepadun adalah masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman. Istilah Lampung Saibatin di sini adalah semua buay orang Lampung yang meliputi daerah Lampung Barat, Tanggamus, Kedondong, Way Lima, Ratai, Padang Cermin, Teluk Betung, dan Kalianda. Sedangkan Lampung Pepadun adalah semua buay Pubian Telu Suku, Abung Sewo Mego, Sungkai, Tulang bawang, dan Way Kanan. Dalam usaha melestarikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat di Lampung yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional memerlukan dukungan dan uluran tangan dari masyarakat dan pemerintahan Lampung itu sendiri. Bahkan hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2008 yaitu : Bahwa kebudayaan Lampung yang merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai asset nasional, keberadaannya perlu dijaga, diberdayakan, dibina, dilestarikan dan dikembangkan sehingga dapat berperan dalam upaya menciptakan masyarakat Lampung yang memiliki jati diri, berakhlak mulia, berperadaban dan mempertinggi pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa secara maksimal dengan berdasarkan kepada Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2008). Di dalam masyarakat adat Lampung terdapat pemerintahan persekutuan adat berdasarkan buwai (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan dari beberapa buwai inti) dan marga (kesatuan dari bagian buwai dalam kesatuan suku). Suku bangsa asli yang mendiami wilayah Kabupaten Lampung Barat berasal dari bekas Kerajaan Skala Brak yang banyak mendapat
pengaruh Sumatera Barat. Masyarakat Kabupaten Lampung Barat tergabung dalam 6 (enam) Kebuayan, yaitu: 1. Buay Belunguh (Kenali) 2. Buay Pernong (Batu Brak) 3. Buay Bejalan Di Way (Kembahang) 4. Buay Nyerupa (Sukau) 5. Buay Bulan/Nerima (Lenggiring) 6. Buay Menyata/Anak Mentuha (Luas) Dari enam kebuayan tersebut di atas, hanya empat yang menjadi Raja (Paksi Pak) yang secara bersama-sama memerintah kerajaan Skala Brak, dan dua Buay yang tidak memerintah yaitu Buay Menyata/Anak Mentuha dan Buay Bulan/Nerima. Buay Menyata merupakan penghuni terdahulu Kerajaan Skala Brak. Oleh karena itu, keempat Paksi mengangkatnya sebagai Anak Mentuha atau yang dihormati, sedangkan Buay Nerima merupakan Nakbar/Mirul (anak perempuan yang diambil orang). Karena beberapa faktor, sebagian penduduk Skala Brak berpindah mencari daerah baru yang terbagi dalam dua arah yaitu melalui danau dan melalui pantai Pesisir. Penduduk yang mengambil jalan melalui danau kebanyakan keturunan Paksi Pak, sedangkan penduduk yang melalui pesisir merupakan keturunan Buay Bulan/Nerima yang menyebar sepanjang pantai pesisir mulai dari Krui, Kota Agung, Teluk Betung, Kalianda sampai Labuhan Maringgai. Pada tahun 1996, melalui survey yang dilakukan oleh para budayawan, dapat diungkapkan bahwa di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Barat terdapat 16 masyarakat hukum adat yang disebut Marga. Hasil survey ini kemudian dituangkan dalam SK Gubernur Lampung
No. G/362/B.II/HK/1996. Wilayah marga-marga di wilayah Pesisir memiliki batas yang cukup jelas antara satu marga dengan marga lainnya. Masing-masing marga tersebut di atas dipimpin oleh seorang Saibatin (Kepala Marga). Pada zaman pendudukan Inggris, Belanda hingga Jepang, urusan administrasi dipegang oleh seorang Pesirah yang sebagian besar adalah Saibatin. Oleh karena itu, masyarakat Lampung Barat juga dikenal dengan masyarakat adat Saibatin (khususnya bagi keturunan Buay Paksi Pak) dengan tujuh tingkatan Gelar yaitu: Suntan, Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas. Nama-nama Marga di Wilayah Pesisir di Kabupaten Lampung Barat: 1. Belimbing Bandar Dalam Bengkunat 2. Bengkunat Sukamarga Bengkunat 3. Ngaras Negeri Ratu Ngaras Bengkunat 4. Ngambur Negeri Ratu Ngambur Pesisir Selatan 5. Tenumbang Negeri Ratu Tenumbang Pesisir Selatan 6. Way Napal Way Napal Pesisir Tengah 7. Pasar Krui Krui Pesisir Tengah 8. Ulu Krui Gunung Kemala Pesisir Tengah 9. Pedada (Penggawa V Ilir) Pedada Pesisir Tengah 10. Bandar (Penggawa V Tengah) Bandar Pesisir Tengah 11. Laay (Penggawa V Ulu) Laay Karya Penggawa 12. Way Sindi Karya Penggawa 13. Pulau Pisang Pesisir Utara 14. Pugung Tampak Pesisir Utara 15. Pugung Penengahan Lemong 16. Pugung Malaya Lemong
Sumber: SK Gubernur Lampung Nomor: G/362/B.II/HK/1996 Marga Pugung Tampak merupakan bagian dari marga-marga yang beradat peminggir atau Jurai Saibatin, yang meliputi wilayah eks kewedanaan Krui yang terdiri dari 11 pekon yaitu Pekon Negeri Ratu, Pekon Kotakarang, Pekon Khuripan, Pekon Kerbang Dalam, Pekon Kerbang Langgar, Pekon Waynarta, Pekon Balam, Pekon Baturaja, Pekon Sedau, Pekon Walur dan Pekon Tajung atau Padang Rindu. Masyarakat Lampung Saibatin Marga Pugung Tampak berada di wilayah Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Lampung Barat mempunyai tradisi dan cara tersendiri dalam melestarikan budaya Lampung. Mereka memanfaatkan momentum lebaran sebagai ajang untuk bermaafmaafan secara massal dan memperkenalkan budaya Lampung kepada khalayak ramai. Setiap pekon secara bergantian melaksanakan tradisi tersebut dengan menggunakan sistem undian yang ditetapkan sebelum pelaksanaanya. Dalam pelaksanaannya, cara yang digunakan tidak terlalu berbeda antara satu pekon dengan pekon lainnya. Tradisi tersebut dikenal dengan nama kakiceran. Istilah kakiceran jika merujuk pada makna yang digunakan oleh orang tua dan tokoh adat setempat dapat diartikan sebagai ajang pertemuan atau silaturahmi (halal bil halal) antar warga yang dilaksanakan pada waktu lebaran idul fitri. Secara terminologi kata kakiceran berasal dari bahasa lampung yaitu kicer yang artinya suara yang berisik yang disebabkan oleh suara tetabuhan rebana dalam rangka hiburan dan ajang berkumpulnya muli mekhanai dalam rangka memeriah hari raya idul fitri. Jika artikan secara keseluruhan, maka kakiceran adalah ajang berkumpulnya muli mekhanai dalam rangka memeriahkan hari raya idul fitri yang berisikan perlombaan tari menari dengan diiringi oleh suara rebana.
Setiap kebudayaan tentunya memiliki makna, fungsi, tujuan dan proses pelaksanaannnya. Kita dapat mengetahui suatu kebudayaan secara jelas jika kita mengetahui proses pelaksanaannya. Begitu juga dengan makna, fungsi dan tujuaannya, kita dapat melihat seberapa bermanfaatkah tradisi tersebut untuk masyarakat sekitar maupun masyarakat umummnya. Tradisi kakiceran adalah salah satu bentuk kebudayaan, maka tradisi ini juga memiliki makna, fungsi dan proses pelaksanaannya. Melihat dari proses pelaksanaannya, tradisi ini memiliki keunikan yang berbeda dengan tradisi lainnya yang berkembang di nusantara seperti waktu pelaksanaannya, tempat pelaksanaannya, maupun pesertanya. Demikian juga dengan fungsi dan tujuannya, tradisi ini memiliki fungsi dan tujuan yang jelas yaitu sebagai ajang silaturahmi dan salah satu usaha dalam melestarikan budaya. Pada awalnya, kakiceran dilakukan hanya untuk mempererat silaturahmi saja, namun seiring dengan perkembangan zaman acara tersebut mendapatkan perhatian dari tokoh-tokoh adat setempat untuk dilestarikan karena terdapat beberapa budaya Lampung yang harus dipertahankan seperti tari adat (tari sembah, tari nyambai, tari piring, tari payung, tari lilin dan lain sebagainya) maupun tari cipta dan wayak. Dengan mengetahui proses pelaksanaannya, maknanya dan fungsinya maupun tujuannya, maka secara tidak langsung itu sudah merupakan salah satu cara untuk mempertahankan budaya ini agar tetap dilaksanakan. Untuk itu, sudah selayaknya kita sebagai bangsa yang berbudaya untuk melihat secara jelas bagaimana proses pelaksanaannya, fungsinya maupun tujuan dari tradisi ini. Pelaksanaan tradisi kakiceran termasuk dalam perlombaan seni tari gembira karena dilaksanakan tanpa harus ada prosesi adat atau upacara-upacara adat. Seni tari Lampung dapat dibedakan antara seni tari adat dan seni tari gembira. Kedua macam seni tari itu sebenarnya bersifat hiburan, hanya saja seni tari adat dilakukan pada upacara-upacara adat menurut tata tertib adat dan oleh pelaku-pelaku pria wanita menurut adat, sedangkan seni tari gembira bisa saja diadakan sewaktuwaktu dan tidak terikat pada tata tertib adat, begitu pula para pelakunya bebas dari ketentuan adat (Hilman Hadikusuma, 1989 : 111).
Oleh karena itu, dengan adanya budaya dan adat-istiadat yang unik tersebut, maka sudah sewajarnya sebagai warga negara Indonesia umumnya dan masyarakat Lampung khususnya untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat tersebut. Jika dilihat dari makna, fungsi atau tujuan dan proses pelaksanaannya, maka tradisi kakiceran wajib untuk dipertahankan karena mengandung kebudayaan. Kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia yang memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Kebudayaan memiliki unsur-unsur yang universal. Unsur-unsur kebudayaan tersebut terdiri dari : 1. Sistem religi 2. Sistem kekerabatan 3. Sistem mata pencaharian 4. Sistem teknologi 5. Bahasa 6. Kesenian 7. Sistem pengetahuan Istilah universal itu menunjukkan bahwa unsur-unsur tadi bersifat universal, jadi unsur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di manapun di dunia. (Koentjaraningrat, 1990 : 203). Dengan melihat penjelasan di atas, maka penulis akan meneliti proses pelaksanaan dari tradisi kakiceran tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah Masalah yang harus dipecahkan atau dijawab melalui penelitian selalu tersedia dan cukup banyak. Oleh karena itu, masalah tersebut perlu diidentifikasi terlebih dahulu. Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini yaitu : a. Proses pelaksanaan tradisi kakiceran pada masyarakat Lampung Saibatin Marga Pugung Tampak di Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Lampung Barat. b. Makna tradisi kakiceran pada masyarakat Lampung Saibatin Marga Pugung Tampak di Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Lampung Barat. c. Fungsi tradisi kakiceran pada masyarakat Lampung Saibatin Marga Pugung Tampak di Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Lampung Barat. 1.3 Pembatasan Masalah Agar penelitian ini tidak melebar dan terlalu luas maka penulis membatasi masalah pada proses pelaksanaan tradisi kakiceran pada masyarakat Lampung Saibatin Marga Pugung Tampak di Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Lampung Barat. 1.4 Rumusan Masalah Sesuai dengan batasan masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah proses pelaksanaan tradisi kakiceran pada masyarakat Lampung Saibatin Marga Pugung Tampak di Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Lampung Barat? 1.5 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pelaksanaan tradisi kakiceran pada masyarakat Lampung Saibatin Marga Pugung Tampak di Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Lampung Barat.
1.6 Kegunaan Penelitian Setiap penelitian diharapkan memberikan kegunaan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Adapun kegunaan penelitian ini adalah : a. Untuk memperkaya materi pengajaran sejarah pada matakuliah Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan b. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. c. Menambah wawasan penulis tentang tradisi kakiceran pada masyarakat Lampung Saibatin Marga Pugung Tampak di Kecamatan Pesisir Utara. d. Sebagai salah satu usaha peneliti untuk melestarikan tradisi kakiceran pada masyarakat Lampung khususnya Lampung Saibatin. e. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengetahuan tentang tradisi kakiceran pada suku Lampung Saibatin. 1.7 Ruang Lingkup Penelitian a. Subyek Penelitian : Masyarakat Lampung Saibatin Marga Pugung Tampak b. Obyek Penelitian : Pelaksanaan tradisi kakiceran pada masyarakat Lampung Saibatin Marga Pugung Tampak
c. Tempat Penelitian : Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Lampung Barat d. Waktu Penelitian : Tahun 2011 e. Ilmu : Antropologi Budaya REFERENSI Depdikbud. 1981/1982. Upacara Tradisional Daerah Lampung, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Daerah Lampung. Kanwil Prov. Lampung: Bandar Lampung. Hal 3 Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Mandar Maju. Bandung. Hal. 111
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta. 203 Hal