BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara lokal, regional, nasional, dan global. Hal ini dikarenakan penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global. Data WHO (2008) menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. PTM juga membunuh penduduk dengan usia yang lebih muda. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah, dari seluruh kematian yang terjadi pada orang-orang berusia kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh PTM, sedangkan di negara-negara maju, menyebabkan 13% kematian (Depkes, 2012). Menurut WHO (2011), kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia, peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara menengah dan miskin. Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke, dan diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak menular, naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 tentang proporsi kematian di Indonesia, PTM menduduki peringkat pertama dengan persentase 59,5%. Salah satu dari 10 besar PTM yang menyita banyak perhatian adalah diabetes melitus (DM). Diabetes melitus merupakan ancaman serius bagi pembangunan kesehatan karena dapat menimbulkan kebutaan, gagal ginjal, kaki diabetes (gangrene) sehingga harus diamputasi, penyakit jantung, dan stroke (Depkes, 2013).Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang telah terbukti tidak hanya mengakibatkan beberapa efek yang tidak dikehendaki, tetapi juga menjadi beban ekonomi pada sistem pelayanan kesehatan (Depkes, 2009). 1
2 International Diabetes Federation (IDF) tahun 2005 menyatakan bahwa proporsi orang dengan diabetes diduga akan meningkat menjadi 333 juta (6,3%) pada tahun 2025. Negara-negara seperti India, China, Amerika Serikat, Jepang, Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Italia, Rusia, dan Brazil merupakan 10 besar Negara dengan jumlah penduduk dengan diabetes terbanyak.secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi diabetes melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% (Depkes, 2009). Gambaran tersebut diatas menginformasikan bahwa penyakit diabetes telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu segera ditangani secara serius. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi pada masa yang akan datang (Depkes, 2008). American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2010 menyatakan bahwa pola hidup memegang peranan penting dalam mencegah dan mengatasi penyakit diabetes. Pola makan yang baik dan aktivitas fisik dianggap mampu memperbaiki kontrol gula darah sehingga kualitas hiduporang dengan diabetesmenjadi lebih baik. Selain pola makan dan aktivitas fisik, faktor lain dianggap berperan dalam kontrol gula darah, beberapa diantaranya adalah lama terdiagnosis DM, status gizi, tingkat pengetahuan/pendidikan. Semakin lama seseorang didiagnosis dengan diabetes, akan semakin sulit untuk menjaga kontrol gula darah (Benoit et al., 2005). Beberapa penelitian dilakukan untuk pengembangan diet/terapi gizi yang efektif dalam memperbaiki kontrol gula darah. Pada tahun 1981, David Jenkins, seorang Profesor Gizi di Universitas Toronto, Kanada, mengembangkan sebuah konsepdalam diet diabetes melitus. Konsep ini dikenal dengan indeks glikemik, yaitu diet dengan mengelompokkan karbohidrat. Secara sederhana, indeks glikemik (IG) menggambarkan respon gula darah pasca mengonsumsi pangan
3 (post prandial). Secara tradisional, karbohidrat dikelompokkan menurut jumlah monomer gula sederhana penyusunnya, yaitu monosakarida, disakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Menurut Jenkins, pengelompokan ini tidak memberi petunjuk yang memadai mengenai penggunaannya dalam tubuh. Dengan konsep tersebut, Jenkins membagi karbohidrat menurut pengaruhnya pada kadar gula darah. Karbohidrat yang menaikkan kadar gula darah dengan cepat termasuk kelompok IG tinggi, sementara itu, karbohidrat yang menaikkan kadar gula darah dengan lambat termasuk kelompok IG rendah. Karbohidrat yang kecepatannya menaikkan kadar gula darah berada diantara tinggi dan rendah termasuk kelompok IG sedang (Miller et al., 1996). Implikasi penting dari temuan Jenkins ini adalah perubahan mendasar pada pola makan untuk mencegah diabetes dan penatalaksanaan diet bagi pasien dengan diabetes. Selama ini, kuantitas karbohidrat menjadi dasar pengaturan diet pada pasien dengan diabetes. Hal ini dilakukan dengan dasar bahwa karbohidrat jenis apapun menghasilkan pengaruh signifikan terhadap peningkatan kadar gula darah. Penemuan indeks glikemik menjelaskan bahwa karbohidrat yang berbeda, akan mengakibatkan peningkatan gula darah yang berbeda (Rimbawan, 2004). Penelitian lain oleh Wolever et al.(1992) menyatakan bahwa mengurangi keseluruhan pengaruh glikemik pada diet tanpa mengubah komposisi zat gizi atau serat, secara signifikan meningkatkan kontrol gula darah dan lemak baik pada periode diet tinggi IG maupun rendah IG. Walaupun diet indeks glikemik dinyatakan baik, akan tetapi beberapa penelitian mengatakan sebaliknya. Penelitian Marshall et al.(1994) menunjukkan tidak ada hubungan antara diet karbohidrat dengan kejadian diabetes. Dua peneliti lain, the Health Professional Follow-Up Study (Liu et al., 2000) dan the Iowa Women s Health Study (Meyer et al., 2000) menunjukkan tidak ada hubungan antara asupan karbohidrat total dengan perkembangan diabetes. Penelitian prospektif ini mendukung rekomendasi American Diabetes Association (ADA) yang menyatakan bahwa jumlah atau kuantitas karbohidrat lebih penting daripada jenisnya. Fakta ilmiah membuktikan bahwa gula tidak menaikkan kadar glukosa darah lebih tinggi daripada pati pada kuantitas energi yang sama (ADA, 2002).
4 Walaupun karbohidrat yang berbeda menghasilkan respon glukosa darah berbeda, bukti efek karbohidrat yang memiliki IG rendah pada kadar gula darah jangka panjang masih terbatas. Dengan adanya kontroversi keefektifan diet indeks glikemik, beberapa penelitian telahmengembangkan istilah baru untuk melengkapi konsep IG, yaitu beban glikemik (BG). Seperti yang telah dinyatakan oleh Franz et al. (2002) bahwa penatalaksanaan diet pasien dengan diabetes, konsep IG mungkin dapat diterapkan dengan memadukannya dengan konsep lama. Konsep beban glikemik mengatasi kekurangan konsep IG dengan mempertimbangkan tidak hanya jenis IG tapi juga jumlah dari makanan yang tertelan (Colombani, 2004). Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih fokus pada pengaruh indeks glikemik dan beban glikemik pada pasien diabetes melitus, dimana hubungan diet 3J (Jadwal, Jumlah, Jenis) dengan mempertimbangkan jenis pangan berdasarkan indeks glikemik dan beban glikemik dinyatakan berpengaruh terhadap kadar gula darah. Hal ini akan menghasilkan gambaran diet indeks glikemik dan beban glikemik yang seperti apa yang akan memberikan pengaruh nyata terhadap pasien dengan diabetes melitus. B. Rumusan Masalah 1. Apakah estimasi asupan indeks glikemik dan beban glikemikberhubungan dengan kontrol gula darah pasien diabetes melitustipe 2? 2. Apakah jadwal makan berhubungan dengan kontrol gula darah pasien diabetes melitus tipe 2? 3. Apakah faktor-faktor selain terapi diet (status gizi, lama terdiagnosis DM, aktivitas fisik, dan tingkat pendidikan) berhubungan dengan kontrol gula darah pasien diabetes melitus tipe 2? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara estimasi asupanindeks glikemik dan beban glikemik, serta faktor-faktor lain dengan kontrol gula darahpasien diabetes melitus tipe 2.
5 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui hubungan estimasi asupanindeks glikemik dengan kontrol gula darah (HbA1C) pasien diabetes melitus b. Mengetahui hubungan estimasi asupan beban glikemik dengan kontrol gula darah (HbA1C) pasien diabetes melitus c. Mengetahui hubungan jadwal makandengan kontrol gula darah (HbA1C) pasien diabetes melitus d. Mengetahui hubungan status gizidengan kontrol gula darah (HbA1C) pasien diabetes melitus e. Mengetahui hubungan lama terdiagnosis DMdengan kontrol gula darah (HbA1C) pasien diabetes melitus f. Mengetahui hubungan aktivitas fisikdengan kontrol gula darah (HbA1C) pasien diabetes melitus g. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kontrol gula darah (HbA1C) pasien diabetes melitus D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi peneliti, mengetahui lebih lanjut mengenai peranan indeks glikemik dan beban glikemik terhadap kontrol gula darah pasien diabetes melitus 2. Bagi pasien DM tipe 2, memberikan informasi mengenai pengaturan pola makan terkait indeks glikemik dan beban glikemik pada diet diabetes melitus 3. Bagi masyarakat umum, memberikan informasi mengenai hubungan makanan dengan indeks glikemik dan beban glikemik pada dietdiabetes melitus 4. Bagi ahli gizi, memberikan informasi untuk menentukan tatalaksana diet diabetes melitus 5. Bagi akademik, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.
6 E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang berhubungan dengan hubungan indeks glikemik dan beban glikemik terhadap Diabetes Melitus antara lain: 1. Penelitian Miller BJ et al. (2003) dengan judul Low Glycemic Index Diets in TheManagement of Diabetes: A Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials. Hasil dari penelitian ini adalah diet indeks glikemik rendah dapat menurunkan nilai HbA1C lebih efektif daripada diet indeks glikemik tinggi. Penelitian ini berbeda dalam desain, sampel, dan variabel yang digunakan. 2. Penelitian Riccardi et al.(2008) dengan judul Role of glycemic index and glycemic load in the healthy state, in prediabetes, and in diabetes. Hasil dari penelitian ini bahwa terdapat penurunan signifikan kadar gula darah pada kelompok diet indeks glikemik rendah dan serat tinggi daripada kelompok diet indeks glikemik tinggi dan serat rendah. Penelitian ini berbeda pada desain, sampel, dan variabel yang digunakan. 3. Penelitian Jenkins DJA et al. (2008) dengan judul Effect of A Low Glycemic Indexor A High CerealFiber Diet on Type 2 Diabetes: A Randomized Trial. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada pasien dengan diabetes tipe 2, diet 6 bulan dengan indeks glikemik rendah menghasilkan nilai HbA1C lebih rendah daripada diet serat tinggi. Penelitian ini berbeda dalam desain dan variabel yang digunakan. 4. Penelitian Athennia A (2012) dengan judul Hubungan Antara Estimasi Nilai Asupan Indeks Glikemik Dan Beban Glikemik Dengan Kejadian Sindrom Metabolik Pada Peserta GMC Health Center. Hasil dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan signifikan antara estimasi nilai asupan indeks glikemik dan beban glikemik dengan resiko sindrom metabolik. Peneliti memberikan saran untuk pengembangan penelitian dengan melakukan kontrol terhadap variabel luar dan mempertimbangan beberapa faktor terkait agar menghasilkan hasil yang lebih baik. Penelitian ini berbeda dalam sampel dan variabel yang digunakan.