BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. diperkirakan meningkat mencapai 380 juta jiwa pada tahun Di Amerika

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. besar oleh karena insidensinya yang semakin meningkat di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3%

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular dan penyebab utama end stage renal disease (ESRD). Kematian

BAB I PENDAHULUAN. Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

BAB I.PENDAHULUAN. dengan penurunan glomerular filtrate rate (GFR) serta peningkatan kadar

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah kronik (Asdi, 2000).

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan salah satu kondisi kronis yang sering terjadi di

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

ABSTRAK. Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1: Penny Setyawati M, Dr, SpPK, MKes Pembimbing 2: Yenni Limyati, Dr, SSn,SpKFR,MKes

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Penelitian. Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN UKDW. masyarakat. Menurut hasil laporan dari International Diabetes Federation (IDF),

BAB I PENDAHULUAN. penurunan fungsi ginjal secara progresif dan irreversible 1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

I. PENDAHULUAN. metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Laju Filtrasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang albuminuria, yakni: mikroalbuminuria (>30 dan <300 mg/hari) sampai

BAB I PENDAHULUAN. progresif dan lambat, serta berlangsung dalam beberapa tahun. Gagal ginjal

PROPORSI ANGKA KEJADIAN NEFROPATI DIABETIK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PENDERITA DIABETES MELITUS TAHUN 2009 DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. karbohidrat, lemak dan protein kronik yang disebabkan karena kerusakan atau

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya terus meningkat dari tahun ke tahun (Guariguata et al, 2011). Secara

PEMERIKSAAN URIN DENGAN METODE ESBACH. III. PRINSIP Asam pikrat dapat mengendapkan protein. Endapan ini dapat diukur secara kuantitatif

BAB.I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus telah menjadi masalah kesehatan di dunia. Insidens dan

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat PTM mengalami peningkatan dari 42% menjadi 60%. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. seseorang lebih tinggi dari normal tetapi tidak cukup tinggi untuk didiagnosis

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Menurut Global Report On Diabetes yang dikeluarkan WHO pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. secara efektif. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif ditandai dengan

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas PTM semakin meningkat baik di negara maju maupun

BAB I PENDAHULUAN. dan progresif, kadang sampai bertahun-tahun, dengan pasien sering tidak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah peningkatan jumlah kasus diabetes melitus (Meetoo & Allen,

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang bersifat progresif dan irreversibel yang menyebabkan ginjal kehilangan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sekian banyak penyakit degeneratif kronis (Sitompul, 2011).

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. pada jutaan orang di dunia (American Diabetes Association/ADA, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan berbagai faktor seperti perubahan pola penyakit dan pola pengobatan,

BAB I PENDAHULUAN UKDW. ginjal. Dari data American Heart Association tahun 2013 menyebutkan bahwa di

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan lambat yang biasanya berlangsung beberapa tahun.

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kondisi Kesehatan Ginjal Masyarakat Indonesia dan Perkembangannya

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

PRINSIP MANAJEMEN PENYAKIT GINJAL KRONIK

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

BAB I. Pendahuluan. diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Kemenkes, 2013). sampai 21,3 juta orang di tahun 2030 (Diabetes Care, 2004).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

ABSTRAK HUBUNGAN STATUS NUTRISI DENGAN DERAJAT PROTEINURIA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI RSUP SANGLAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dinding kapiler glomerulus mempunyai struktur yang khas untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

JUMLAH LEKOSIT DENGAN KADAR MIKROALBUMIN URIN PENDERITA DIABETES MELITUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini mampu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan global yang insidensinya semakin meningkat. Sebanyak 346 juta orang di dunia menderita diabetes, dan diperkirakan meningkat mencapai 380 juta jiwa pada tahun 2025. Di Amerika Serikat, berdasarkan National Diabetes Fact Sheet sebanyak 25,8 juta orang (8,3% dari populasi) menderita diabetes. Kasus baru yang didiagnosis pada tahun 2010 sebanyak 1,9 juta kasus (ADA, 2011; WHO, 2011). Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) 2009, Indonesia menempati urutan keempat setelah India, Cina, Amerika Serikat, dalam hal banyaknya jumlah penderita diabetes melitus. Jumlah penderita DM mencapai 7 juta dari total jumlah penduduk pada tahun 2010 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 12 juta pada tahun 2030 (IDF, 2009). Sumber : IDF, 2009 Gambar 1. Epidemiologi Diabetes Melitus 1 1

2 Nefropati diabetika merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes melitus. Berdasarkan data American Diabetic Association yang terlihat pada gambar 2, disebutkan bahwa prevalensi komplikasi nefropati diabetika adalah 27,8% yang diikuti komplikasi komplikasi lain yaitu neuropati (22,9%) dan retinopati 18,9% (ADA, 2011; Aziz & Kamran, 2015). Sumber: ADA, 2011 Gambar 2. Komplikasi diabetes melitus Prevalensi nefropati diabetika (ND) di negara Barat sekitar 16%. Di Thailand dilaporkan sekitar 29,4%, di Filipina sebesar 20,8%, sedangkan di Hongkong sekitar 13,1%. Di Indonesia prevalensi nefropati diabetika tahun 1993 hanya 8,3% dan tahun 2010 meningkat menjadi 5 kali lipat yaitu 40%, bahkan tahun 2011 sudah menduduki urutan kedua sebagai penyebab terjadinya penyakit ginjal kronik setelah glomerulonefritis (PERKENI, 2011; Price et al., 2005).

3 Perjalanan penyakit nefropati diabetika dapat dilihat dari histopatologi, glomerular filtration rate (GFR), albuminuria, dan tekanan darah. Peningkatan stadium pada nefropati diabetika sejalan dengan terjadi penurunan GFR yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, dan stadium akhir dari nefropati diabetika yaitu end stage renal disease (ESRD). Pasien nefropati diabetika yang telah mencapai stadium ESRD akan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal yang akan menggunakan biaya besar. Lebih dari 40% pasien yang menjalani dialisis di Amerika adalah pasien DM (Venkat, 2004; Kim & Lee, 2012). Perawatan nefropati diabetika tahap ESRD membutuhkan biaya yang besar, total biaya untuk perawatan nefropati diabetika di Amerika sebesar 174 juta dolar US dengan pembagian sebagai berikut: biaya medis langsung sebesar 116 juta dolar US dan biaya medis tidak langsung, yaitu biaya akibat disabilitas, hilangnya pekerjaan dan mortalitas prematur, sebesar 58 juta dolar US(ADA, 2011; Sharma & Ajai, 2013). Suatu studi ekonomi kesehatan yang dilakukan di Kanada dengan menggunakan data tahun 2007 menunjukkan bahwa keseluruhan biaya untuk membiayai nefropati diabetika mencapai 4117 dolar, lebih besar jika dibandingkan pendanaan kasus stroke yang hanya berkisar 3965 dolar (Satchell &Tooke, 2008). Berdasar rekomendasi NKF/KDOQ, 2002 penegakkan diagnosis nefropati diabetika menggunakan pengukuran mikroalbuminuria dapat dilakukan dengan albumin excretion rate (AER) dengan sampel urin tampung 24 jam. Pemeriksaan ini masih banyak kendala dijumpai karena satuan pengukuran yang berbeda-beda:

4 kecepatan (μg/m atau mg/24 jam), konsentrasi (mg/l), dan rasio (μg/mg, mg/g, mg/mmol). Selain itu, pemeriksaan albumin urin 24 jam kurang dapat diterapkan dari segi pasien terutama pada pasien rawat jalan, karena harus menampung urin setiap kali berkemih. Penampungan urin 24 jam sering terjadi kesalahan (error) karena kekurangan ataupun kelebihan dalam pengumpulan urin. Beberapa kondisi seperti infeksi saluran kencing, aktivitas fisik, gagal jantung kongestif juga mempengaruhi pemeriksaan albumin. Oleh karena itu kemudian muncul alternatif pemeriksaan mikroalbuminuria yang dapat diperiksa dengan albumin to creatinine ratio (ACR) dengan sampel urin pagi hari. Parameter ini telah banyak diteliti dan terbukti mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang baik untuk penegakkan diagnosis nefropati diabetika. Penelitian oleh Valizadeh menyebutkan bahwa sensitivitas dan spesifitas ACR adalah 100% dan 93% untuk mendeteksi nefropati diabetika pada cutoff 30 mg/g (NKF/KDOQ, 2002 ; Tamura & Kawakatsu, 2004 ; Valizadeh et al., 2009; Fried et al., 2003; Christensen, 2009). Penegakkan diagnosis laboratorium untuk nefropati diabetika yang banyak digunakan klinisi adalah U-Albumine Nycocard. Metode pemeriksaan ini adalah kuantitatif dengan prinsip kerja fase padat, formasi sandwich, imunometrik yaitu terdapat membran yang dilapisi antibodi monoklonal spesifik. Pada saat sampel urin yang mengandung albumin melewati membran, maka antibodi monokonal tersebut akan mengikat albumin urin. Albumin yang telah terikat antibodi monoklonal selanjutnya akan diikat oleh antibodi konjugat membentuk formasi sandwich. Formasi tersebut akan menimbulkan perubahan warna ungu pada membran. Intensitas

5 warna sebanding dengan kadar albumin dalam urin dan diukur dengan densitometer. Keunggulan pemeriksaan ini adalah menggunakan sampel urin sewaktu sehingga lebih praktis dan waktu pemeriksaan lebih singkat. Kelemahan pemeriksaan ini adalah dipengaruhi beberapa faktor seperti infeksi, diit tinggi protein, kehamilan dan aktivitas fisik, gangguan fungsi hepar dan gagal jantung kongestif (Lambers et al., 2010). Komplikasi nefropati diabetika juga erat kaitannya dengan proteinuria, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal yang progresif dengan ekskresi protein pada urin yang berlanjut dengan penurunan fungsi ginjal. Proteinuria mempunyai peran sebagai prediktor progresivitas penyakit ginjal dan jumlah protein yang dikeluarkan melalui urin berkorelasi dengan besarnya penurunan laju filtrasi glomerulus. Protein yang difiltrasi glomerulus bersifat nefrotoksik, sehingga dapat menstimulasi proses inflamasi dan fibrosis jaringan tubulus-interstisial. Reabsorbsi protein oleh sel tubulus proksimal yang meningkat akan menimbulkan inflamasi intertisial dan reaksi fibrogenik yang menimbulkan jaringan ikat, sehingga kemampuan reabsorbsi menjadi berkurang. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan parameter pemeriksaan proteinuria untuk mendeteksi nefropati diabetika lebih awal sehingga dapat mencegah dialisis atau transplantasi ginjal (Saudek et al., 2008; Waspadji, 2006). Proteinuria terdiri atas fraksi albumin dan globulin. Peningkatan ekskresi albumin merupakan petanda yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik yang disebabkan karena penyakit glomeruler, diabetes melitus, dan hipertensi. Peningkatan ekskresi globulin dengan berat molekul rendah merupakan petanda yang sensitif

6 untuk beberapa tipe penyakit tubulointertisiel (Yamamoto et al., 2014). Metode pemeriksaan proteinuria yang saat ini banyak digunakan yaitu: metode kualitatif, semikuantitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif (tes SSA, presiptat asetat), metode semikuantitatif (carik celup) dan metode kuantitatif (turbidimetri). Namun kendala yang masih dihadapi adalah penggunaan sampel urin tampung 24 jam yang menimbulkan ketidaknyamanan pasien terutama pasien rawat jalan (Seino et al., 2010; Montero et al., 2012). Pemeriksaan proteinuria yang sering digunakan adalah dipstick urin (carik celup). Prinsip dipistick urin adalah dalam suatu sistem buffer yang mempertahankan ph konstan, indikator warna dapat bereaksi dengan protein sehingga terjadi perubahan warna carik celup sesuai dengan kadar protein urin. Kelebihan dari metode ini adalah dapat digunakan sampel urin sewaktu maupun urin tampung 24 jam, proses pengerjaannya relatif cepat. Kekurangannya: merupakan metode semikuantitatif sehingga tidak dapat diketahui kadar protein urin yang sebenarnya, selain itu carik celup mendeteksi protein dengan indikator warna Bromphenol biru, yang sensitif terhadap albumin tetapi kurang sensitif terhadap protein lain dalam urin (Seino et al., 2010). Berdasarkan American Association of Clinical Endocrinology and American College of Endocrinology Guidelines 2015 (AACE/ACE Guidelines 2015) menyebutkan bahwa pengukuran mikroalbuminuria dapat dilakukan berdasarkan ekskresi protein urin dengan menggunakan sampel urin pagi hari yang dirasiokan dengan konsentrasi kreatinin yang dikenal sebagai rasio protein total kreatinin urin

7 dan untuk selanjutnya disebut sebagai total protein creatinine ratio (TPCR). Rekomendasi ini merupakan alternatif untuk pemeriksaan mikroalbuminuria pada subyek DM. Adapun alasan digunakan format TPCR adalah untuk memperbaiki masalah variabilitas volume dan konsentrasi urin, selain itu protein dan kreatinin juga mencerminkan fungsi ekskresi ginjal dan kadar kreatinin relatif stabil diekskresikan walaupun jumlah urin sedikit atau banyak. Pemeriksaan TPCR dilakukan pada sampel urin pagi hari sehingga lebih mudah dalam hal tingkat kepatuhan pasien dan kesalahan (error) dapat dikurangi. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji sensitivitas TPCR yaitu penelitian oleh Atkins et al. (2003) yang memperoleh sensitivitas dan spesifitas TPCR 90,7% dan 95,3%, selain itu penelitian oleh Yadav et al. (2010) dengan cutoff 150 mg/g yang memperoleh hasil sensitivitas 96,6% dan spesifitas 74,4% dan penelitian oleh Yamamoto et al. (2014) yang menggunakan cutoff 84 mg/g dan memperoleh hasil sensitivitas 94,4% dan spesifitas 86,1%. (AACE/ACE, 2015; Atkins et al., 2003; Yadav., et al 2010; Yamamoto et al., 2014). Pemeriksaan TPCR jika dibandingkan dengan pemeriksaan ACR mempunyai keunggulan yaitu: menggambarkan mikroalbuminuria yang sama baiknya dengan AER dan dapat mengukur kadar protein secara keseluruhan termasuk protein dengan berat molekul rendah seperti gama globulin, glikoprotein, ribonuklease, lisozim, Tamm Horsfall mukoprotein, protein Bence Jones. Protein dengan berat molekul rendah tersebut merupakan protein yang diekskresi pada tahap awal nefropati diabetika, sehingga diharapkan dengan pengukuran parameter ini dapat mendeteksi nefropati diabetika lebih awal dibanding ACR. Selain itu, dilihat

8 dari segi biaya TPCR merupakan parameter laboratorium yang jauh lebih murah jika dibanding dengan ACR. Kekurangan TPCR dibanding ACR adalah masih jarang digunakan oleh klinisi, data sensivitas dan spesifitas masih terbatas, dan pengukuran TPCR dipengaruhi oleh beberapa kondisi: infeksi saluran kencing, gagal jantung kongestif, kehamilan, multiple myeloma, dan microangipathy haemolitic anemia (Leung & Robson, 2000; Johnsen & Colagiuri, 2009). Nefropati diabetika juga erat kaitannya dengan chronic kidney disease (CKD). Penegakkan diagnosis pada chronic kidney disease (CKD) dan nefropati diabetika terdapat perbedaan jika dilihat dari tahap tahap proses terjadinya. Pada CKD terdiri dari 5 tahap yang diklasifikasikan berdasar laju filtrasi glomerulus (LFG) dan adanya kerusakan ginjal, sedangkan pada nefropati diabetika juga terdiri dari 5 tahapan namun diklasifikaskan berdasar adanya mikroalbuminuria. Hal ini akan mempengaruhi aplikasi secara klinis, sebagai contoh pada tahap 1 CKD ditandai dengan LFG >90 ml/1,73 m 2 disertai dengan tanda kerusakan ginjal (proteinuria), sedangkan jika menggunakan tahapan nefropati diabetika tanda proteinuria sudah ditemukan pada tahap 4 nefropati diabetika. Berdasarkan hal tersebut, maka jika menggunakan kriteria tahapan nefropati diabetika, kerusakan ginjal dapat diketahui lebih awal. Hal ini disebabkan karena pada tahapan nefropati diabetika yang lebih dominan dideteksi adalah tanda mikroalbuminuria yang terjadi lebih awal sebelum terjadinya proteinuria (NKF-KDOQ, 2002). Keterbatasan informasi mengenai penggunaan TPCR dalam penentuan mikroalbuminuria berdampak terhadap terlambatnya penegakkan diagnosis nefropati

9 diabetika. Oleh karena itu skrining mikroalbuminuria merupakan kebutuhan utama pada pasien DM untuk pemantauan gejala awal nefropati diabetika. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan penanganan multidisplin di samping prognosis yang buruk dan pembiayaan yang mahal (PERKENI, 2011; Tazeen & Chaturvedi, 2007). Saat ini data mengenai TPCR masih terbatas terutama sensitivitas dan spesifisitas sehingga penggunaannya juga masih terbatas. Pada populasi Indonesia khususnya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta penggunaan TPCR untuk diagnosis nefropati diabetika pada populasi DM tipe 2 belum digunakan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan uji diagnostik rasio protein total kreatinin (TPCR) terhadap albumin excretion rate (AER) sebagai baku emas sehingga diperoleh nilai sensitivitas dan spesifitas TPCR pada populasi DM tipe 2. B. Permasalahan Berdasarkan berbagai fakta yang terurai dalam latar belakang di atas maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Nefropati diabetika merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien diabetes melitus dan merupakan masalah besar di negara berkembang. Di Indonesia prevalensi nefropati diabetika yaitu 40% dan menduduki urutan kedua sebagai penyebab penyakit ginjal kronik yang memerlukan biaya besar untuk penanganannya yaitu dialisis dan transplantasi ginjal (PERKENI, 2011).

10 2. Permasalahan penegakkan diagnosa nefropati diabetika adalah karena pemeriksaan mikroalbuminuria mempunyai satuan pengukuran yang berbeda-beda: kecepatan (μg/m atau mg/24 jam), konsentrasi (mg/l), dan rasio (μg/mg, mg/g, mg/mmol). Selain itu AER sulit diterapkan karena membutuhkan sampel urin tampung 24 jam. 3. Berdasarkan rekomendasi AACE/ACE Guidelines 2015 pengukuran mikroalbuminuria untuk penegakkan diagnosa nefropati diabetika dapat menggunakan parameter TPCR dengan nilai 150 500 mg/g. Namun parameter ini belum pernah digunakan dan belum diketahui sensitivitas dan spesifitasnya sehingga perlu dilakukan penelitian sebagai evidence-based medicine khususnya untuk populasi diabetes melitus di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. C. Pertanyaan Penelitian Apakah TPCR memiliki sensitivitas setidaknya 90% untuk diagnosis nefropati diabetika dibanding dengan pemeriksaan albumin excretion rate (AER )?

11 D. Keaslian Penelitian Berikut adalah penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan dan berkaitan dengan penelitian ini: No Peneliti 1 Atkins et al., 2003 2 Yadav et al., 2010 Populasi Subyek DM tipe 2, usia >40 th n = 596 Subyek DM tipe 2, usia 30-70 th n = 144 Tujuan & Desain Penelitian Tujuan : -untuk melihat korelasi antara TPCR dan AER -menentukan cutoff TPCR dalam penegakkan diagnosis nefropati diabetika Desain Penelitian : -Studi cross sectional Tujuan : -uji diagnostik TPCR dengan gold standard AER. Desain Penelitian : -Studi cross sectional Hasil Penelitian -Terdapat korelasi yang kuat antara AER dan TPCR p<0.001 -Pada cutoff 0.20 mg/mg, TPCRmempunyai sensitivitas dan spesifitas 90.7% dan 95.3% -perbedaan : jumlah sampel dan dilakukan uji korelasi -Sensitivitas & spesifitas TPCR 96,6% dan 74,4% pada cutoff 150mg/g - perbedaan : jumlah sampel lebih besar 3 Yamamoto et al., 2014 Subyek DM tipe 2 dengan faktor risiko kardioaskuler, n = 784 Tujuan : -Menentukan mikroalbuminuria dengan parameter TPCR pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskuler Desain Penelitian : Studi cross sectional Sensitivitas dan spesifitas TPCR adalah 94.4% dan 86.1% untuk deteksi mikroalbuminuria dengan cutoff 150 mg/g - perbedaan : besar sampel yang digunakan. 4 Bukhari et al., 2016 Subyek DM tipe 2 n = 134 Tujuan : uji diagnostik TPCR dengan gold standard Total Protein 24 jam. Desain Penelitian : Studi cross sectional -Sensitivitas & spesifitas TPCR 95,2% dan 76,5% pada cutoff 150mg/g -perbedaan: jumlah sampel lebih besar

12 E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan bukti ilmiah tentang parameter TPCR yang dapat digunakan untuk penegakkan diagnosa nefropati diabetika. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah tentang pemeriksaan total protein creatinine ratio (TPCR) yang memberikan nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk diagnosis nefropati diabetika pada DM tipe 2. F. Tujuan Penelitian Menguji sensitivitas diagnostik pemeriksaan total protein creatinine ratio (TPCR) dibandingkan dengan albumin excretion rate (AER) untuk diagnosis nefropati diabetika.