BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. yaitu manusia primitif, manusia pra-modern, dan manusia modern. Pada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

BAB I PENDAHULUAN. Suaka Margasatwa Paliyan dengan luas total 434,834 Ha berada di wilayah

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP)

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. PENDAHULUAN A.

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupannya, manusia tidak dapat dipisahkan dengan alam. Pada perkembangannya, ada tiga tahapan manusia dalam hubungannya dengan alam, yaitu manusia primitif, manusia pra-modern, dan manusia modern. Pada tahapannya sebagai manusia primitif, mereka benar-benar dikuasai oleh alam, tingkah laku alam mengatur hidup manusia, dengan kata lain untuk bertahan hidup manusia harus menyesuaikan diri dengan alam yang berada di sekitarnya. Manusia pra-modern mengutamakan keserasian dan harmoni dengan alam, baik dalam kehidupan material maupun spiritual. Pada tahapan selanjutnya, manusia menjadi modern ketika dia memisahkan diri secara sadar dengan alam sehingga dia dapat menundukkan alam lalu menguasai alam dan memanfaatkannya secara bebas. Tahap ketiga inilah yang sekarang terjadi di hampir seluruh muka bumi ini, dengan bermacam variasi tujuan dan caranya manusia melakukan intervensi terhadap alam, termasuk hutan (Soedjatmoko dalam Wiratno dkk, 2004) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan di Indonesia memiliki kekayaan hayati yang luar biasa, bahkan Indonesia dikukuhkan sebagai negara megabiodiversity, yaitu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang luar 1

2 biasa banyaknya. Indonesia kaya jenis burung, mamalia, ikan, reptil, amfibi, invertebrata, serta berbagai jenis tetumbuhan. Kekayaan jenis spesies di Indonesia dapat dilihat dari data berikut; jumlah jenis mamalia Indonesia berada di peringkat 2 dunia setelah Brasil, dari jumlah jenis reptilnya Indonesia berada di peringkat 4 dunia. Amfibi Indonesia yang berjumlah 270 spesies berada di peringkat 6 besar dunia (Kehati, 2004). Dan keanekaragaman hayati ini secara alami hanya berada di kawasan hutan. Kerusakan hutan yang semakin luas dari hari ke hari akan berakibat buruk terhadap keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya. Kerusakan hutan di Indonesia saat ini sudah sangat memprihatinkan, semakin luas hutan yang rusak terutama disebabkan oleh gangguan manusia. Proses perusakan hutan oleh manusia ini sebenarnya sudah berlangsung sangat lama. Pada tataran dunia, pembabatan hutan pertama kali dilakukan pada masa pendudukan Romawi di Jerman pada abad ke-3 yang selanjutnya meluas ke seluruh Eropa Tengah dan Barat sepanjang abad pertengahan. Sedangkan di Indonesia, proses tersebut berlangsung di Jawa pada masa VOC, dan di luar Jawa dimulai sejak penebangan hutan diserahkan kepada pemegang HPH pada dekade 1970-an (Wiratno dkk, 2004). Kerusakan hutan di Indonesia semakin parah sejak terjadinya reformasi di negara ini pada tahun 1998, serta adanya kebijakan otonomi daerah. Banyak pemerintah daerah bermaksud meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonominya dengan mengorbankan kelestarian hutan yang secara administratif berada di daerah tersebut. Kondisi hutan Indonesia yang diperlihatkan oleh penafsiran citra landsat tahun 2000 menunjukkan bahwa terdapat hutan dan lahan rusak lebih dari

3 101,73 juta hektar, 59,62 juta hektar diantaranya berada dalam kawasan hutan (Mangunjaya, 2006). Laju kerusakan hutan Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2000 2003, yaitu sebesar 3,51 juta hektar per tahun, dengan rincian kerusakan di kawasan hutan 2,83 juta hektar per tahun, dan kerusakan di kawasan non kehutanan 0,68 juta hektar per tahun. Laju kerusakan yang semakin tinggi ini disebabkan oleh aktivitas penebangan liar, penyelundupan kayu, dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang semakin merajalela. Tanpa upaya nyata dan sungguh-sungguh serta menyeluruh dari semua pihak yang berkepentingan untuk menahan laju kerusakan hutan ini, maka kejayaan hutan Indonesia yang selama ini didengungkan sebagai sumberdaya alam yang berlimpah ruah dan tak ternilai harganya, nampaknya akan tinggal kenangan saja. Banyak masalah yang telah ditimbulkan akibat kerusakan hutan dalam jumlah besar di Indonesia yang sampai dengan saat ini masih belum mendapatkan pemecahan yang memuaskan. Kerusakan ekosistem, fragmentasi habitat, kepunahan ribuan jenis flora dan fauna yang bahkan belum banyak diketahui manfaatnya, kehilangan banyak sumberdaya masa depan yang potensial, hingga kekacauan sistem budaya masyarakat setempat. Berbagai dampak negatif harus ditanggung manusia sendiri, yang baru menyadari setelah terjadi konsekuensi terhadap perusakan hutan tersebut. Kesadaran akan dampak buruk dari tindakan yang eksploitatif terhadap hutan ini menimbulkan gerakan perlawanan berupa upaya perlindungan terhadap alam. Gerakan ini dimulai di Eropa yang berupaya memberikan perlindungan terhadap

4 sisa-sisa hutan alam yang mereka punyai sebagai tempat berlibur. Sedangkan di Indonesia, menurut Wiratno dkk (2004), gerakan perlindungan terhadap hutan dilakukan pertama kali pada tahun 1714, saat salah satu anggota Raad van Indie (lembaga legislatif) bernama C. Chastelein mengawali penunjukan dan penyerahan hutan seluas 6 hektar di daerah Depok sebagai cagar alam. Perlindungan hutan di Indonesia sampai dengan tahun 1970-an masih bersifat preservasi, dimana perlindungan hutan dengan melihat bahwa sumberdaya alam hayati sebagai sesuatu yang statis sehingga aksi-aksi perlindungan hanya bertujuan untuk mengawetkan sumberdaya tersebut. Setelah era tahun 1970-an, perlindungan hutan di Indonesia sudah mengarah ke konsep konservasi, dimana perlindungan tidak hanya terhadap tegakan pohon, namun juga terhadap ekosistem yang terbentuk dalam hutan tersebut. Kesadaran konservasi ini muncul dengan adanya draft undang-undang tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang baru disahkan tahun 1990, dengan diawali oleh upaya perencanaan dan pengukuhan beberapa kawasan konservasi, termasuk penunjukan dan penetapan beberapa kawasan konservasi. Indonesia mengenal dua kategori Kawasan Konservasi yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Salah satu bentuk pengelolaan KSA adalah suaka margasatwa, yaitu kawasan suaka alam yang mempunyai kekhasan/keunikan jenis satwa liar dan/atau keanekaragaman satwa liar yang untuk kelangsungan hidupnya memerlukan upaya perlindungan dan pembinaan terhadap populasi dan habitatnya.

5 Sebagai salah satu kawasan lindung, suaka margasatwa mempunyai fungsi konservasi sangat penting, terutama sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pemanfaatan tersebut antara lain sebagai sumber plasma nutfah guna menunjang budidaya tumbuhan dan satwa, serta sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan penelitian. Salah satu kawasan hutan yang telah ditunjuk oleh Pemerintah sebagai kawasan konservasi adalah Suaka Margasatwa Paliyan. Hutan Paliyan seluas 434,6 hektar ini dialihfungsikan sebagai kawasan hutan suaka margasatwa melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.171/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000. Kawasan ini secara administratif termasuk di dalam Kecamatan Paliyan dan Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelum ditunjuk sebagai suaka margasatwa, kawasan ini merupakan hutan produksi dengan tanaman utama jati yang dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu strategi pengelolaan kawasan hutan produksi saat itu adalah sistem tumpang sari oleh masyarakat di kawasan Hutan Paliyan. Dengan sistem pengelolaan ini masyarakat sekitar kawasan diperbolehkan menggarap lahan di dalam hutan tanpa merusak tegakan inti hutan tersebut. Pada masa pergantian orde baru ke orde reformasi, terjadi penjarahan besar-besaran di Hutan Paliyan. Berbagai upaya dilakukan dilakukan pemerintah dalam rangka rehabilitasi kawasan yang terdegradasi, salah satunya adalah

6 mengadakan jalinan kerja sama antara Kementerian Kehutanan (melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) dengan Mitsui Sumitomo Insurance Co.,Ltd. Melalui program coorporate social responsibilitynya, perusahaan Jepang ini menerapkan konsep social forestry yang disebut sebagai Proyek Rehabilitasi dan Regenerasi Suaka Margasatwa Paliyan Yogyakarta. Proyek ini dimulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2011, yang kemudian diperpanjang sampai dengan tahun 2016. Tujuan utama proyek ini adalah mengembalikan fungsi hutan sebagai suaka margasatwa dan fungsi pengaturan tata air (hidrologi) dengan konsep pembangunan hutan yang memperhatikan kepentingan masyarakat setempat. Sebelumnya, pada tahun 2003-2004 juga telah dilaksanakan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan di kawasan Hutan Paliyan seluas 98 hektar. Permasalahan yang terjadi adalah pada saat ditunjuknya sebagai kawasan suaka margasatwa ini, masih terdapat sekitar 2.000 orang yang mengelola lahan di dalam kawasan yang berasal dari empat desa di sekitar kawasan tersebut (Desa Kepek, Jetis, Karangduwet, dan Karangasem) (Kurniawati, 2009). Menurut Balai Konservasi Sumberdaya Alam Yogyakarta sebagai pengelola kawasan Suaka Margasatwa Paliyan, dari data tahun 2011 masih terdapat sekitar 805 orang yang menggarap lahan di kawasan tersebut. Berbagai upaya dilakukan oleh pemangku kawasan untuk meminimalisir gangguan terhadap kawasan ini, baik secara persuasif maupun represif. Tindakan represif dilakukan dengan melakukan upaya hukum terhadap para pelaku pencurian kayu. Sedangkan kepada para penggarap lahan di dalam kawasan Suaka

7 Margasatwa Paliyan, tindakan yang dilakukan saat ini masih pada taraf persuasif. Kegiatan yang dilakukan pemangku kawasan dalam menangani para penggarap lahan selama ini adalah dengan melakukan penyuluhan, pelatihan, serta pemberian bantuan yang dikemas dalam program pemberdayaan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat ini juga dilakukan oleh Mitsui Sumitomo Insurance Co.,Ltd dengan cara melibatkan masyarakat dalam usaha memulihkan kembali Suaka Margasatwa Paliyan mulai sebagai tenaga di persemaian dan kegiatan penanaman serta pemeliharaan, sampai dengan penguatan kapasitas anggota kelompok yang mereka bina. 1.2. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana kegiatan penggarapan lahan oleh masyarakat di Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kegiatan penggarapan lahan oleh masyarakat di Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan? 3. Bagaimana kegiatan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Paliyan dalam rangka mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Memetakan kegiatan penggarapan lahan oleh masyarakat di Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan penggarapan lahan oleh masyarakat di Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan.

8 3. Mengkaji kegiatan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Paliyan dalam rangka mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan tersebut. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan kajian bagi pemangku kawasan Suaka Margasatwa Paliyan dalam menentukan kebijakan dalam menangani penggarapan lahan di dalam kawasan itu serta dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan Suaka Margasatwa Paliyan sehingga dapat menurunkan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan tersebut. 1.5. Keaslian Penelitian Penelitian tentang gangguan terhadap kawasan konservasi/ perambahan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi telah beberapa kali dilakukan dengan fokus, lokus, dan permasalahan yang berbeda. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada sejarah penggarapan lahan di Suaka Margasatwa yang sekarang dikategorikan sebagai gangguan terhadap kawasan konservasi tersebut. Sebelum menjadi suaka margasatwa, tidak ada larangan penggarapan lahan oleh masyarakat di kawasan Hutan Paliyan. Melalui sistem tumpang sari, penggarapan lahan di dalam kawasan hutan tersebut diatur oleh pemangku kawasan bekerja sama dengan tokoh masyarakat yang ditunjuk.

9 Hal lain yang menjadi pembeda penelitian ini dengan penelitian yang sejenis adalah adanya proses rehabilitasi lahan di kawasan ini yang berjalan dengan baik serta proses berhentinya penggarapan lahan di dalam kawasan oleh sebagian penggarap lahan yang relatif tanpa menimbulkan konflik menjadi salah satu cerita sukses dalam usaha pelestarian kawasan konservasi di Indonesia. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan diantaranya sebagai berikut: 1. Samaul Bait Ndimuri; 2005 (Judul: Konflik Perambahan Kawasan Hutan dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah (Studi Kasus di Kawasan Hutan Kontu Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara)) Tujuan Penelitian: Mengetahui faktor yang mendorong perambahan kawasan hutan Kontu, faktor-faktor pemicu lahirnya konflik dan bentuk konflik perambahan kawasan Hutan Kontu, serta implikasinya terhadap ketahanan wilayah di Kabupaten Muna. Hasil Penelitian: Faktor yang mendorong perambahan kawasan hutan Kontu adalah desakan akan pemenuhan kebutuhan hidup, kecemburuan dan rasa tidak puas masyarakat serta klaim historis masyarakat bahwa kawasan hutan Kontu adalah tanah ulayat masyarakat adat Watoputeh. Faktor pemicu lahirnya konflik adalah tidak adanya tindakan preventif dari pemerintah, tindakan koersif pemerintah dalam mengatasi perambahan kawasan hutan serta inkonsistensi pemerintah dalam pelaksanaan undang-undang. 2. Ilmi Kurniawati; 2009 (Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Konservasi Suaka Margasatwa Paliyan Kabupaten Gunungkidul) Tujuan Penelitian: Mengetahui proses pemberdayaan masyarakat sekitar

10 hutan Suaka Margasatwa Paliyan serta mengetahui tingkat keberhasilan dan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pemberdayaan masyarakat tersebut. Hasil Penelitian: Tingkat keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga aspek yaitu masyarakat, pemerintah dan swasta. Faktor keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah ketergantungan masyarakat terhadap hutan, SDM, proses pemberdayaan masyarakat dan keberhasilan proyek 3. Kolins Taridala Gamoro; 2010 (Kajian Perambahan Hutan dan Pengaruhnya Terhadap Kerusakan Lingkungan Perairan di Daerah Aliran Sungai Roraya hulu Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Selatan) Tujuan Penelitian: Menginventarisasi kerusakan di kawasan hutan lindung, Kecamatan Buke dan mengkaji akibat perubahan vegetasi yang ditimbulkan oleh kegiatan perambahan dan kualitas air pada perairan Sungai Roraya di kawasan hutan lindung serta mengkaji pengetahuan dan sikap penduduk di sekitar hutan Hasil Penelitian: (1) Telah terjadi kerusakan hutan di hutan hutan lindung di Kecamatan Buke. (2) Fungsi hidrologi tanah sudah tidak dapat berjalan dengan baik dimana tanah tidak dapat menyerap dan menyimpan, serta mengalirkan ke Sungai Roraya sehingga debit air di sungai tersebut kecil pada musim kemarau (3) Tingkat sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat peladang di

11 Kecamatan Buke masih rendah. (4) Pendekatan atau strategi pengelolaan lingkungan di lokasi penelitian masih belum berjalan dengan baik. 4. Mario Godinho; 2010 (Strategi Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Lindung (Kajian Aktivitas Perambahan Hutan Oleh Masyarakat Di Desa-Desa Sekitar Kawasan Hutan Lindung Tilomar Distrik Covalima Timor Leste)) Tujuan Penelitian: (1) Mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan lindung Tilomar; (2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas perambahan hutan; (3) mengetahui strategi pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan hutan lindung Tilomar; (4) mengetahui strategi pengelolaan hutan di sekitar batas kawasan hutan lindung Tilomar Hasil Penelitian: (1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat perambah hutan berada pada umur produktif dan berpendidikan masih rendah. (2) Faktor paling dominan yang mempengaruhi masyarakat dalam kegiatan perambahan hutan itu faktor luas lahan yang dimiliki, sarana pertanian dan status pekerjaan; (3) Terdapat beberapa strategi pemberdayaan masyarakat dalam rangka

12 mengurangi aktivitas perambahan hutan (4) Strategi pengelolaan hutan di sekitar kawasan dalam rangka mengurangi aktivitas perambahan yang dilakukan oleh masyarakat 5. Pestigridis Monim; 2012 (Perambahan Hutan dan Kerusakan Lingkungan Hutan Cagar Alam di Pengunungan Cycloop Distrik Sentani Tengah Kabupaten Jayapura Propinsi Papua) Tujuan Penelitian: (1) Mengkaji faktor penyebab terjadinya kerusakan lingkungan, masyarakat Hinekombe dan Sereh di kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop. (2) Mengkaji pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat di kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop. (3) Menyusun alternatif arahan sebagai strategi pengelolaan lingkungan akibat aktivitas perambahan hutan oleh masyarakat Hinekombe dan Sereh, di kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop. Hasil Penelitian: Faktor penyebab terjadinya kerusakan CA Pegunungan Cycloop adalah kurangnya wawasan masyarakat tentang cagar alam, lunturnya kearifan lokal masyarakat Sentani, faktor pembangunan yang cukup pesat, penggunaan lahan yang kurang bijak. Guna menunjang tujuan akhir daripada pengelolaan, kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop sebagai zona konservasi.

13 6. Tutut Heri Wibowo; 2012 (Berhentinya Perambahan Hutan Cagar Alam Gunung Celering Kabupaten Jepara) Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi proses penurunan perambahan di CAGC dan menemukan faktor-faktor yang menyebabkan berhentinya perambahan Hasil Penelitian: Faktor-faktor yang menyebabkan berhentinya perambahan hutan CAGC diantaranya meliputi: intensifikasi pengelolaan, peran tokoh/kepemimpinan daerah, pemberdayaan, kelembagaan/organisasi dan bencana alam banjir dan tanah longsor.