BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang berpotensi membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah mempunyai pengaruh yang cukup besar pada perkembangan siswa karena siswa menghabiskan hampir sepertiga waktunya berada di sekolah (Desmita, 2012). Bagi seorang siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, Sekolah Menengah Atas (SMA) dapat menjadi masa persiapan yang baik. Pada masa inilah seorang remaja akan belajar untuk mempersiapkan diri khususnya dalam hal penguasaan konsep, cara berfikir, dan pengambilan keputusan sebagai bekal untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari kegiatan pendidikan di sekolah. Cronbach (dalam Sardiman, 2014) mengatakan bahwa belajar ditunjukkan dengan adanya perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman seorang siswa di sekolah. Sedangkan mengajar pada hakekatnya adalah proses membantu seseorang untuk belajar. Tugas pokok seorang pengajar adalah menyediakan iklim yang kondusif, menyediakan sarana dan prasarana yang memungkinkan dialog secara kritis multiarah, terutama sesama siswa, dan tentu saja antara siswa dan guru (Suyono & Hariyanto, 2011). Keterampilan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran dapat mempengaruhi berhasil atau tidaknya proses belajar mengajar ini. Agar mendapatkan hasil yang maksimal, proses belajar mengajar ini harus dilakukan secara terorganisasi dengan baik. Motivasi memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Herawati (dalam Annisa, 2015) menyebutkan bahwa dengan 1
membangkitkan motivasi, siswa akan terangsang untuk menggunakan potensipotensi yang dimiliki secara konstruktif dan produktif untuk mencapai tujuan. Motivasi adalah kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan (kebutuhan) (Djaali, 2008). Passer & Smith (2009) menyatakan bahwa motivasi merupakan sebuah proses yang mempengaruhi tujuan, ketekunan, dan perilaku untuk mencapai goal yang terarah dengan semangat. Menurut McClelland dan Atkinson (1948), salah satu jenis motivasi terpenting bagi pendidikan ialah achievement motivation, atau kecenderungan untuk berjuang demi keberhasilan dan memilih kegiatan yang berorientasi pada sasaran (dalam Slavin, 2011). Motivasi berprestasi remaja di sekolah dapat dipengaruhi oleh dua jenis motivasi, yaitu motivasi internal yang merupakan keinginan yang berasal dari diri siswa untuk melakukan usaha agar dapat meraih prestasi, sedangkan motivasi eksternal merupakan keinginan untuk mencapai sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan penghargaan atau menghindari hukuman (Santrock, 2003). Kedua jenis motivasi ini memiliki pengaruh yang sama besarnya dalam meningkatkan motivasi siswa untuk berprestasi terutama dalam hal akademik. Nugent (2009) menyebutkan siswa yang tidak termotivasi akan menjadi tidak produktif dan malas untuk beraktivitas. Permasalah besar lainnya bagi siswa dengan motivasi berprestasi yang rendah adalah bahwa siswa tersebut akan memiliki masalah disiplin baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah (Nugent, 2009). Fenomena ini menunjukkan bahwa siswa tidak hanya membutuhkan program pendukung untuk meningkatkan pemahaman terhadap mata pelajaran, melainkan juga membutuhkan dorongan untuk mencapai target yang diinginkan dan mampu beradaptasi terhadap stres yang dihadapi. 2
Hurlock (1993) menyebutkan bahwa masa kritis pertumbuhan motivasi berprestasi adalah pada usia sekolah. Pada masa ini remaja membentuk kebiasaan untuk mencapai keberhasilan dalam belajar. Siswa dengan motivasi berprestasi yang kuat cenderung akan melakukan berbagai upaya untuk dapat menguasai bidang yang dipelajarinya sehingga peran motivasi berprestasi menjadi penting bagi siswa dalam mempersiapkan dirinya untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Sebaliknya motivasi berprestasi yang rendah akan membuat siswa menjadi tidak bergairah dan cenderung bermalas-malasan dalam belajar. Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa banyak kendala yang dihadapi berkaitan dengan motivasi berprestasi siswa di sekolah. Penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 3 Sragen oleh Septiana (2014), menyebutkan kurang adanya minat siswa dalam memperhatikan guru ketika guru sedang mengajar di kelas. Selain itu dalam proses belajar mengajar yang dilakukan di kelas, siswa kurang berminat untuk bertanya mengenai materi yang diberikan oleh guru, serta pada saat guru memberikan tugas, butuh waktu yang lama bagi siswa untuk menyelesaikan tugas tersebut. Temuan lain dalam penelitian ini adalah siswa mengungkapkan kurang tertarik untuk bersaing dalam hal prestasi dengan teman-temannya. Septiana (2014) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa setiap tahunnya prestasi akademik siswa cenderung menurun yang salah satunya disebabkan oleh siswa yang kurangnya minat untuk bertanya pada saat proses belajar mengajar sedang berlangsung. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada guru D di SMAN 2 Ngaglik, Sleman, Yogyakarta yang menyebutkan bahwa motivasi berprestasi siswa di sekolah tersebut tidak merata. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya siswa yang merasa kurang percaya diri sehingga guru harus memberikan stimulus 3
kepada siswa agar siswa dapat menunjukkan potensi yang dimilikinya. Misalnya seperti meminta salah satu siswa untuk menjawab pertanyaan di depan kelas (Wawancara, 18 Mei 2016). Selain itu, wawancara juga dilakukan peneliti pada guru F yang menyebutkan bahwa siswa cenderung mengeluh jika diberikan tugas yang sulit dan memilih tugas yang mudah untuk dikerjakan. Selain itu, guru tersebut juga menyatakan bahwa walaupun siswanya selalu tepat waktu dalam mengumpulkan tugas, namun masih saja ada siswa yang tidak bertanggung jawab dengan mencontek pekerjaan temannya (Wawancara, 30 Agustus 2016). Hasil wawancara diatas sesuai dengan hasil observasi yang dilakukan di salah satu sekolah di daerah Bantul oleh Fatmawati dan Fakhrudina (2013) yang menemukan bahwa ketika proses pembelajaran sedang berlangsung, tidak ada siswa yang bertanya mengenai materi yang dijelaskan oleh guru. Ketika guru meminta para siswa mengerjakan tugas, kebanyakan mereka hanya mengobrol. Saat guru meminta tugas untuk dikumpulkan, beberapa di antaranya ada yang mencontek pekerjaan temannya dan ada yang tidak mengumpulkan. Ketika jam istirahat telah berakhir, masih banyak siswa yang berada di luar kelas, tidak segera bergegas masuk kelas, bahkan banyak di antaranya ada yang terlambat masuk kelas. Dari beberapa permasalahan tersebut dapat dilihat bahwa masih terdapat siswa yang memiliki kendala dalam mencapai prestasi dikarenakan siswa tersebut memiliki motivasi berprestasi yang rendah. Prantiya (dalam Prasetyaningsih, 2015) menyebutkan bahwa siswa yang motivasi berprestasinya rendah dapat dilihat dari usahanya yang lemah dan mudah menyerah. Individu dengan motivasi berprestasi rendah menganggap kegagalan disebabkan oleh ketidakmampuan. Kemampuan adalah faktor yang stabil, tidak dapat diubah oleh kemampuan semata. Oleh karena itu, dalam anggapannya 4
kegagalan akan diikuti oleh rentetan kegagalan pula. Siswa yang merasa gagal akan rentan untuk menyerah, sehingga guru yang mampu memberikan dorongan serta dukungan akan membantu siswa untuk bangkit dari kegagalan yang dialaminya. Proses pembelajaran melibatkan interaksi antara guru dan siswa. Interaksi antara guru dan siswa yang baik akan memberi peluang bagi siswa untuk terlibat dalam kegiatan akademik, mengembangkan keterampilan sosial serta meningkatkan prestasi. Kebanyakan interaksi antara guru dan siswa ini terjadi di dalam kelas yang artinya penilaian siswa terhadap guru dapat berasal dari kecakapan guru dalam mengorganisasikan kelas. Guru yang menciptakan lingkungan kelas yang positif dengan interaksi yang sehat dapat memotivasi siswa untuk menyalurkan energi mereka dan keinginan untuk mencapai tujuan (Nugent, 2009). Penelitian Hamre dan Pianta (2001) menunjukkan bahwa ketika siswa merasa memiliki hubungan yang kuat dan positif dengan guru, maka siswa lebih percaya dan mencintai guru dan lebih termotivasi untuk berprestasi. Sebaliknya, ketika siswa merasa memiliki konflik dan hubungan negatif dengan guru, tidak meyukai guru, dinilai guru sebagai siswa yang tidak baik, maka siswa cenderung tidak memiliki motivasi untuk berhasil dan bersikap menantang guru yang mengajar (dalam Ilias & Nor, 2012). Silins dan Murray-Harvey (1995) menyebutkan bahwa siswa yang memiliki tingkatan tinggi dalam interaksinya dengan guru di sekolah, siswa akan memiliki perolehan akademis yang sukses (dalam Knoell, 2012). Tak jarang guru menganggap bahwa siswa mampu untuk mengatasi berbagai masalah akademik yang dihadapi dalam proses belajar. Kenyataan yang tepat adalah banyak siswa merasa malu untuk mengakui ketidakmampuannya kepada guru dalam mata pelajaran tertentu. Guru dan siswa yang mampu melakukan interaksi yang baik dan 5
efektif akan mendapatkan kemudahan dalam berkomunikasi apabila terdapat kesulitan dalam proses belajar. Sebaliknya, jika interaksi yang baik dan efektif sulit dibangun, maka siswa akan segan untuk berdiskusi perihal kesulitan yang dialami dan guru pun akan sulit untuk memprediksi masalah siswa tersebut. Nugents (2009) menyatakan bahwa guru sangat perlu membantu siswa untuk meningkatkan kepercayaan diri dengan cara mengarahkan dan membimbing siswa agar mampu meraih kesuksesan. Selain itu, guru juga harus memiliki kekuatan dalam mempengaruhi siswa untuk menetapkan tujuan yang lebih tinggi. Sejalan dengan hal ini, Wubbels & Brekeelmans (2005) melakukan penelitian yang berlangsung selama 25 tahun dan menyatakan bahwa interaksi guru dan siswa dapat memberikan dampak yang baik bagi keberhasilan siswa ditunjukkan oleh strategi guru dalam mempengaruhi siswanya. Dari dua penelitian terdahulu ini dapat dilihat bahwa interaksi antara guru dan siswa dapat menjadi faktor krusial dalam meningkatkan motivasi berprestasi siswa. Berdasarkan kondisi dan penjelasan yang diuraikan di atas, penelitian ini berfokus pada interaksi guru dengan siswa yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi berprestasi siswa di sekolah. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan korelasional untuk melihat hubungan interaksi antara guru dan siswa dengan motivasi berprestasi pada siswa sekolah menengah atas. B. Tujuan Penelitian Berdasarkan penjelasan pada latar belakang permasalahan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik hubungan antara interaksi guru dan siswa dengan motivasi berprestasi siswa sekolah menengah atas. 6
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari segi teoritis maupun praktis. Adapun manfaat tersebut adalah: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan menambah referensi ilmiah bagi ilmu Psikologi Pendidikan khususnya yang berkaitan dengan interaksi guru-siswa dan motivasi berprestasi siswa. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan sebagai bahan pertimbngan bagi pihak sekolah mengenai interaksi guru-siswa dalam mengembangkan motivasi berprestasi. 7