PRODUKTIVITAS TERNAK DOMBA GARUT PADA STASIUN PERCOBAAN CILEBUT BOGOR (The Productivity of Garut Sheep at Cilebut Research Station Bogor) UMI ADIATI dan SUBANDRIYO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT In attempt of developing sheep farming, it is important to understand some factors that related to sheep productivity. These factors will represent the basic principle in sheep farming. Birth weigth is positively correlated to survival rate body development and mature body weight. While total birth weight is an indicator for ewe productivity. This study was done in Cilebut research station Bogor, in 2006 as the continuation of the previous study using fluorogeston acetate in oestrus synchronization. The 20 ewes that were lambing were used in this study. Recording was done to ewes and their offsprings from birth to weaning, with parameter of: birth weight, weaning weight, total: birth weight, total weaning weight and mortality rate up to 3 months old. Data were analyzed using T-Test. Out of 20 ewes the percentage of single birth was 50%, twin was 25%, Quaduplet was 5% with average litter size of 1.45. Average of birth weight was 1.89 ± 0.64 kg, total birth weight was 3.23 ± 0.04 kg, weaning weight was 8.88 ± 2.42 kg and total weaning weight was 10.50 ± 0.22 kg and mortality rate was 55.2% Key Word: Garut Sheep, Birth Weight, Weaning Weight, Mortality ABSTRAK Dalam usaha pengembangan peternakan domba, perlu diketahui beberapa faktor yang sangat erat hubungannya dengan produktivitas, karena faktor inilah yang akan merupakan dasar dalam pengembangan ternak domba. Bobot lahir merupakan salah satu faktor yang mempunyai korelasi dengan pertumbuhan dan bobot badan domba dewasa dan juga mempunyai korelasi dengan kemampuan hidup anak domba tersebut, sedangkan total bobot sapih adalah merupakan ukuran kemampuan produksi ternak. Penelitian dilakukan di stasiun percobaan Cilebut Bogor pada tahun 2006 dan merupakan kelanjutan dari pengamatan penyerentakan berahi dengan menggunakan fluorogeston acetate hasil modifikasi yang telah dilakukan sebelumnya. Ternak yang digunakan adalah induk-induk yang beranak dari hasil penyerentakan berahi sebanyak 20 ekor induk domba Garut dan anak-anaknya sejak lahir sampai sapih. Parameter yang diukur adalah bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, total bobot sapih dan mortalitas anak dari lahir, disapih pada umur 90 (3 bulan). Data dianalisa dengan metota t-test. Dari hasil pengamatan sebanyak 20 ekor induk domba, diperoleh 50% induk melahirkan anak tunggal, 25% kembar dua, 5% kembar empat dan 5% kembar lima dengan rata-rata jumlah anak sekelahiran sebesar 1,45. Rataan umum bobot lahir anak domba Garut 1,89 ± 0,64 kg, total bobot lahir anak domba 3,23 ± 0,04 kg, bobot sapih 8,88 ± 2,42 kg, total bobot sapih 10,50 ± 0,22 kg dan mortalitas sebesar 55,2%. Kesimpulan yang diperoleh bahwa Semakin meningkat jumlah anak yang dilahirkan ada kecenderungan bobot lahir mengalami penurunan, tetapi total bobot lahir cenderung meningkat. Kata Kunci: Domba Garut, Bobot Lahir, Bobot Sapih, Mortalitas PENDAHULUAN Pertumbuhan populasi ternak domba di pulau Jawa (khususnya Jawa Barat) meningkat, sebesar 22,1% dalam masa waktu 5 tahun terakhir yaitu dari tahun 2002 2006 (STATISTIK PETERNAKAN, 2006), dan tercatat sebanyak 3.860.896 ekor. Sejalan dengan pertambahan populasi ini ternyata permintaan akan daging domba yang diestimasikan berdasarkan jumlah domba yang dipotong mengalami penurunan sebesar 48,6%. Dalam usaha pengembangan peternakan domba, perlu diketahui beberapa faktor yang sangat erat hubungannya dengan produktivitas. Adanya kecenderungan ternak berkualitas baik 436
selalu terkuras untuk pasar mengakibatkan persediaan bibit yang baik semakin berkurang. Penggunaan pejantan yang sama secara terus menerus tanpa memperhatikan pengaturan perkawinan akan menyebabkan menurun mutu bibit domba akibat silang dalam (inbreeding). Salah satu cara pengaturan untuk perkawinan dapat dikontrol melalui penyerentakan berahi. Penyerentakan berahi dengan menggunakan preparat hormon yang dimodifikasi dalam spons yang mengandung fluorogeston acetate (20 mg, 30mg, 40 mg dan 50 mg) secara intravaginal cukup berhasil dalam menyerentakan berahi pada domba Garut di stasiun percobaan Cilebut (ADIATI et al., 2005). Bobot lahir merupakan salah satu peubah yang mempunyai korelasi dengan pertumbuhan dan berat hidup domba dewasa dan juga mempunyai korelasi dengan kemampuan hidup dari domba anak tersebut. Sedangkan total bobot sapih merupakan ukuran kemampuan induk untuk berproduksi. Sifat ini tergantung pada jumlah anak per kelahiran dan kemampuan hidup anak sampai sapih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan reproduksi domba betina Garut yang dipelihara di stasiun percobaan Cilebut serta untuk mengetahui umur kritis dari anak domba dari sejak lahir sampai disapih. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di stasiun percobaan Cilebut Bogor pada tahun 2006 dan merupakan kelanjutan dari pengamatan penyerentakan berahi dengan menggunakan fluorogeston acetate hasil modifikasi yang telah dilakukan sebelumnya. Ternak domba yang digunakan adalah induk-induk yang beranak dari hasil penyerentakan berahi sebanyak 20 ekor induk domba Garut. Parameter yang diukur untuk menganalisis produktivitas induk dalam menghasilkan anak adalah bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, total bobot sapih, kemampuan hidup, waktu lahir sampai umur 3, sampai umur 2 minggu dan kemampuan sampai disapih. Mortalitas anak domba diamati sampai anak domba tersebut disapih, yakni umur 90 (3 bulan). Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji t-test sedangkan uji kelahiran anak lebih dari 2 menggunakan General Linier Model (GLM) yang dibantu dengan alat bantu paket program SAS ver. 6.12. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan antar tipe kelahiran digunakan uji beda nyata Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengamatan sebanyak 20 ekor induk domba, diperoleh 50% induk melahirkan anak tunggal, 25% kembar dua, 5% kembar empat dan 5% kembar lima dengan rata-rata jumlah anak sekelahiran sebesar 1,45. Bobot lahir Rataan bobot lahir anak domba Garut yang dilahirkan bervariasi dan tergantung pada tipe kelahiran. Perbandingan jumlah anak jantan (52%) dan betina (48%) berimbang. Rataan bobot lahir anak jantan (1,89 ± 0,64) tidak berbeda nyata (P > 0,05) dengan anak betina (1,91 ± 0,62). Perbedaan tidak nyata ini juga terdapat pada anak domba kelahiran tunggal dan kembar dua (P > 0,05), sedangkan untuk tipe kelahiran diatas 2 memberikan perbedaan hasil yang nyata (P < 0,05). Secara keseluruhan rataan bobot lahir anak domba Garut diperoleh sebesar 1,89 ± 0,64 kg. Hasil ini sama dengan yang dilaporkan INOUNU et al. (2005) yaitu sebesar 1,85 ± 0,91 kg. Untuk rataan bobot lahir anak jantan dan betina pada penelitian ini hasilnya lebih rendah dibandingkan penelitian SIREGAR (1981) dan SUBANDRIYO et al. (1981) yang menghasilkan bobot lahir anak jantan 2,23 ± 0.29 kg dan 2,2 ± 1,00 kg, dan anak betina 1,98 ± 0.18 kg dan 2,1 ± 0,87 kg. Pada penelitian ini jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap besarnya bobot lahir nyata walaupun demikian bobot lahir ini masih diatas 1,5 kg sehingga diharapkan mempunyai kemampuan hidup yang baik. Dinyatakan oleh INOUNU et al. (1993) bahwa untuk mendapatkan daya hidup yang tinggi maka domba anak yang dilahirkan harus memiliki bobot lahir lebih tinggi dari 1,5 kg. Bobot lahir yang cukup baik menyebabkan daya hidup anak selama 7 pertama sesudah melahirkan adalah 100%. Demikian juga menurut GATENBY (1991), bahwa bobot lahir yang tinggi sangat berpengaruh pada 437
Tabel 1. Nilai rataan dan standar deviasi bobot lahir (BL) dan bobot sapih (BS) per ekor anak pada domba Garut Variabel N BL (kg) N BS (kg) Rataan umum 29 1,89 ± 0,64 13 8,88 ± 2,42 Tipe kelahiran 1 10 2,31 ± 0,45 a 7 9,99 ± 2,75 a 2 10 2,14 ± 0,35 a 6 7,60 ± 1,15 b > 2 9 1,16 ± 0,37 b - - Kelamin Jantan 15 1,89 ± 0,64 a 7 9,41 ± 2,42 a Betina 14 1,91 ± 0,62 a 6 8,27 ± 1,53 a Huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P < 0,05) Tabel 2. Nilai rataan dan standar deviasi total bobot lahir (BL) dan total bobot sapih (BS) pada domba Garut Variabel N induk BL (kg) N induk BS (kg) Rataan umum 17 3,23 ± 0,04 1 10,50 ± 0,22 Tipe kelahiran 1 10 2,31 ± 0,05 c 7 9,99 ± 0,03 a 2 5 4,28 ± 0,07 b 4 11,40 ± 0,29 a > 2 2 5,20 ± 0,19 a - - Huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P < 0,01) kemampuan hidup dan percepatan pertambahan bobot hidup pada masa pertumbuhan. Nilai rataan umum total bobot lahir anak domba 3,23 ± 0,04 kg dan bobot lahir per ekor 1,89 ± 0,64 kg. Hasil dari analisis sidik ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya jumlah anak yang dilahirkan per ekor induk (litter size) secara nyata meningkatkan total bobot lahir (P < 0,01). Semakin meningkat litter size maka bobot lahir cenderung menurun, akan tetapi total bobot lahir cenderung mengalami peningkatan. Bobot sapih Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa hasil bobot sapih antara jantan dan betina tidak berbeda nyata (P > 0,05). Tidak adanya perbedaan yang nyata (P > 0,05) bobot sapih kemungkinan disebabkan kualitas maupun kuantitas pakan yang diberikan pada induk relatif sama, sehingga tidak berpengaruh pada kualitas dan kuantitas susu yang diberikan untuk anak. Menurut PAMUNGKAS et al. (1994) menyatakan bahwa daya hidup serta bobot sapih anak dipengaruhi oleh konsumsi susu induk, tingkat gizi pakan, serta cara pemeliharaan. Sedangkan bila dibedakan berdasarkan tipe kelahiran, maka diperoleh tipe kelahiran tunggal (9,99 ± 2,75 kg) nyata (P < 0,05) berbeda dengan tipe kelahiran kembar 2 (7,60 ± 1,15 kg) pada bobot sapihnya. Hasil penelitian yang diperoleh jauh lebih rendah dari yang dilaporkan INOUNU et al. (2005) yaitu sebesar 16,69 ± 8,18 kg, dan 13,12 ± 4,33 kg (INOUNU et al., 1999), kemungkinan karena jumlah anak yang disapih hanya sedikit sehingga mempengaruhi nilai rataan bobot sapih. Untuk mengetahui produktivitas induk domba, pengukuran total bobot sapih anak merupakan parameter penting. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa total bobot sapih tidak berbeda nyata (P > 0,05), walaupun bobot 438
sapih anak tunggal lebih berat daripada anak kembar 2. perbaikan tatalaksana pemberian pakan (SUBANDRIYO et al., 1994). Mortalitas Kemampuan hidup anak domba merupakan parameter yang penting dalam perkembangan produktivitas. Tingginya kemampuan hidup dalam satu populasi ditunjukkan dengan rendahnya tingkat kematian. Tingkat kematian (mortalitas) anak domba yang diamati sejak lahir sampai sapih cukup tinggi (Tabel 3), dan terlihat bahwa pada kelahiran kembar mortalitas jauh lebih tinggi (khususnya pada 3 pertama) dibandingkan dengan anak kelahiran tunggal. Tabel 3. Jumlah kematian (mortalitas) anak domba sejak lahir sampai sapih Tipe kelahiran N 0 3 Mortalitas (%) 14 90 1 10 10 20 30 2 10 30-40 > 2 9 88,9 100 - Secara keseluruhan, tingkat kematian terbesar terjadi pada anak yang dilahirkan lebih dari 2 ekor (31%), kembar 2 sebesar 13,8%, sedangkan kelahiran tunggal 10,3%. Rata-rata kematian anak domba terjadi pada umur 0 3, yang diketahui pada saat tersebut merupakan saat kritis domba anak terutama untuk kelahiran diatas 2 ekor. ALEXANDER (1984) menjelaskan bahwa kematian anak lebih tinggi terjadi pada beberapa setelah kelahiran sebagai akibat masa transisi dari ketergantungan intra uterus ke kehidupan di luar uterus, sedangkan DEVENDRA dan BURNS (1994) menyatakan bahwa kematian anak yang baru lahir menduduki proporsi yang tinggi dari kematian total, dan kematian tersebut disebabkan oleh kedinginan, kekurangan makan (susu induk), penyakit, dan kesulitan beranak (distokia). Usaha yang dapat dilakukan untuk menekan laju kematian anak prasapih dilakukan melalui perbaikan dalam perawatan induk bunting tua, induk menyusui dan KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bobot lahir anak domba Garut jantan tidak berbeda nyata dengan anak betina, tingkat perbedaan bobot lahir hanya pada anak kelahiran lebih dari 2. Semakin meningkat jumlah anak yang dilahirkan ada kecenderungan bobot lahir mengalami penurunan, tetapi total bobot lahir cenderung meningkat. Bobot sapih anak jantan nyata lebih besar dari anak betina dengan mortalitas 55,2%. Umur kritis anak domba Garut adalah sejak lahir sampai umur 3 dengan tingkat kematian 41,4%. DAFTAR PUSTAKA ADIATI, U., SUBANDRYO, B. SETIADI, B. TIESNAMURTI, D. PRIYANTO, P. SITUMORANG, E. TRIWULANINGSIH, R.G. SIANTURI dan D.A. KUSUMANINGRUM. 2005. Pengaruh konsentrasi progesteron yang diberikan dalam spons terhadap persentase berahi ternak ruminansia kecil. Edisi khusus Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Ternak TA 2005. Buku I Ruminansia. Ciawi, Bogor. ALEXANDER, G. 1984. Constraints to lamb survival. In: Reproduction in sheep. LINDSAY D.R. and D.T. PEARCE (Eds.). Australian wool corporation technical publicatin. Cambridge University Press. pp. 199 209. DEVENDRA, C. and M. BURNS. 1994. Produksi kambing di daerah tropis. Diterjemahkan oleh IDK. Putra. Penerbit ITB dan Universitas Udayana. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2006. Statistik Petenakan, Jakarta. GATENBY, R.M. 1991. Sheep the tropical Agriculturalist. MacMillan Education LTD. London. UK. Cooperation with CTA. Wagennigen, Netherlands. INOUNU, I., L. INIQUES, G.E. BRADFORD, SUBANDRIYO and B. TIESNAMURTI. 1993. Production performance of prolific Javanese ewes. Small Rumin. Res. 12: 243 257. 439
INOUNU, I., B. TIESNAMURTI, SUBANDRIYO dan H. MARTOJO. 1999. Produksi anak pada domba. JITV 4: 148 160. INOUNU, I., SUBANDRIYO, B. TIESNAMURTI, N. HIDAJATI dan LA ODE NAFIU. 2005. Relative superiority analysis of Garut dam and its crossbred. JITV 10: 17 26. PAMUNGKAS, D., M. ALI YUSRAN, K. MA SUM dan D.B. WIJONO. 1994. Tampilan litter size dan persentase hidup sapih domba ekor gemuk yang berbeda dan faktor ketinggian tempat dan tingkat pola pemeliharaan. Pros. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan Bogor, 25 26 Januari 1994. Balitnak, Ciawi- Bogor. hlm. 441 447. SAS, 1987. SAS/STAT Guide for Personal Computers. Version 6 Edition. SAS Institute Inc. Cary, NC. SIREGAR, A.R. 1981. Pendugaan Parameter fenotip dan genetika sifat pertumbuhan serta pengamatan beberapa sifat kuantitatif domba priangan. Thesis.Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. SUBANDRIYO, B. SETIADI, T.D. SOEDJANA dan P. SITORUS. 1994. Produktivitas usahaternak domba di pedesaan. J. Penelitian Peternakan Indonesia 1: 1 7. SUBANDRIYO dan P. SITORUS. 1985. Growth characteristic of Indonesian sheep. Working paper No. 44. Balai Penelitian Ternak, Bogor. DISKUSI Pertanyaan: Mengapa mortalitasnya tinggi? Jawaban: Mortalitas itu dihitung bukan dari semua ternak yang ada di stasiun percobaan, tetapi hanya dari ternak yang diamati (dari 20 ekor). 440