INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1978 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1977

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 2 -

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1979 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1972 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PETUNJUK-PETUNJUK PENGARAHAN BAGI DELEGASI REPUBLIK INDONESIA KE KONFERENSI TINGKAT TINGGI ISLAM DI LAHORE

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PETUNJUK-PETUNJUK PENGARAHAN BAGI DELEGASI REPUBLIK INDONEESIA KE KOPERENSI KEPENDUDUKAN DUNIA DI BUKHAREST

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1973 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1959 TENTANG FRONT NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPPRES 76/1993, PENGESAHAN ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Tentang: PERJANJIAN PERSAHABATAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN MALAYSIA REPUBLIK INDONESIA MALAYSIA. PERJANJIAN PERSAHABATAN.

Globalisasi. 1. Pengertian Globalisasi

KEHIDUPAN POLITIK PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1985 TENT ANG KEWENANGAN PENYIDIK TERHADAP PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN RAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1969 TENTANG KONVENSI INTERNATIONAL TELECOMUNICATION UNION DI MONTREUX 1965

ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM (APPF)

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 1994 TENTANG PEMBUBARAN KOPERASI OLEH PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 1994 TENTANG PEMBUBARAN KOPERASI OLEH PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1985 Tentang ORGANISASI KEMASYARAKATAN. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 10 TAHUN 1969 (10/1969) Tanggal: 1 AGUSTUS 1969 (JAKARTA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 3/1993, ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1993/1994

BAB 20: SEJARAH PERANG DINGIN

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II TAHUN 1983/1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I P E N D A H U L U A N. tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG

-2-3. Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 4. Badan Legis

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1980 TENTANG BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II TAHUN 1980/1981 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1964 TENTANG PEMBINAAN PERFILMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang Undang No. 8 Tahun 1985 Tentang : Organisasi Kemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97 TAHUN 1996 TENTANG PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 6 TAHUN 1988 TENTANG KOORDINASI KEGIATAN INSTANSI VERTIKAL DI DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pesan secara massal, dengan menggunakan alat media massa. Media. massa, menurut De Vito (Nurudin, 2006) merupakan komunikasi yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1986

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. agar kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, dan investasi dapat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1986 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1986/1987

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1989 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1989/1990

PEMANTAPAN MATERI PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 1 TAHUN 1964 TENTANG PEMBINAAN PERFILMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 3/1993, ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1993/1994

2 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara

ANGGARAN DASAR HIMPUNAN PENGEMBANGAN JALAN INDONESIA MUKADIMAH

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1979 TENTANG PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II TAHUN 1979/1980 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN. Dewi Triwahyuni

Amerika Tanam Pengaruh di Asia Sejak Desember 1949

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 37 TAHUN 1991 TENTANG PENGANGKATAN DOKTER SEBAGAI PEGAWAI TIDAK TETAP SELAMA MASA BAKTI

Pengantar Presiden RI pada Sidang Kabinet Terbatas Penyelenggaraan Ibadah Haji, 13 Juli 2010 Selasa, 13 Juli 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Signifikasi Kawasan Asia Pasifik. Yesi Marince, S.Ip., M.Si

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA YANG BEBAS DAN AKTIF SERTA PENGARUHNYA BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1966 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPPRES 62/1996, PEMBENTUKAN DELEGASI REPUBLIK INDONESIA UNTUK KONFERENSI TINGKAT MENTERI ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1981 TENTANG BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II TAHUN 1981/1982 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 186 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN SOSIAL TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN ANGGARAN DASAR DEWAN KOPERASI INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1968 TENTANG PENDIRIAN PERUSAHAAN NEGARA PERKEBUNAN (ANEKA TANAMAN NEGARA)

SILABUS PEMBELAJARAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1961 TENTANG PEMBUATAN PERJANJIAN PERSAHABATAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1991 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI. Presiden Republik Indonesia,

NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN

Tentang: ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1988/1989 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

K E P U T U S A N NOMOR : KEP-438/MEN/1992 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN SERIKAT PEKERJA DI PERUSAHAAN MENTERI TENAGA KERJA R.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa berhubung dengan akan diselenggarakannya Konperensi Mass Media Negara-negara Non-Blok di New Delhi, India, pada tanggal 8 sampai 13 Juli 1976, dipandang perlu untuk memberikan petunjuk-petunjuk pengarahan kepada Delegasi Pemerintah Republik Indonesia. Mengingat : Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 MENGINSTRUKSIKAN Kepada : Delegasi Pemerintah Republik Indonesia untuk Konperensi Mass Media Negaranegara Non-Blok, di New Delhi, India. Untuk : PERTAMA : Menggunakan petunjuk petunjuk sebagaimana terlampir pada Instruksi Presiden ini sebagai landasan dan pedoman dalam menghadapi masalah-masalah yang dibahas pada Konperensi Mass Media Negara-negara Non-Blok di New Delhi, India, pada tanggal 8 sampai 13 Juli 1976. KEDUA : Memberikan laporan kepada Presiden tentang perkembangan Konperensi selama Berlangsungnya Konperensi tersebut. KETIGA : Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Presiden. KEEMPAT : Instruksi Presiden ini berlaku selama Delegasi Pemerintah Republik Indonesia menghadiri Konperensi Mass Media Negara-negara Non-Blok di New Delhi, India, pada tanggal 8 sampai 13 Juli 1976. KELIMA : Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 6 Juli 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. S O E H A R T O

LAMPIRAN : Instruksi Presiden RI Nomor 12 Tahun 1976 Tanggal 6 Juli 1976. I. PENDAHULUAN PETUNJUK PENGARAHAN UNTUK DELEGASI PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA KE KONPERENSI MASS MEDIA NEGARA-NEGARA NON-BLOK DI NEW DELHI, INDIA 1. Konperensi mass media tingkat Menteri Penerangan negara-negara non-blok yang diselenggarakan di New Delhi, India, dari tanggal 8 sampai 13 Juli 1976, merupakan tindak lanjut Deklarasi Lima yang telah dicetuskan dalam Konperensi Menteri-menteri Luar Negeri negara-negara non-blok di Lima, Peru, bulan Agustus 1975. 2. Maksud Konperensi New Delhi ialah untuk merumuskan saran-saran tentang kerjasama mass media non-bldk yang akan diajukan kepada Konperensi Tingkat Tinggi negara-negara non-blok di Colombo bulan Agustus yang akan datang. Dalam hubungan ini, Konperensi New Delhi telah didahului oleh sebuah simposium mass media non-blok di Tunis tanggal 26-31 Maret 1976 sebagai pelaksanaan keputusan Konperensi Tingkat Tinggi non-blok di Aljazair tahun 1973 yang menyatakan perlunya disusun "plan of action" dalam rangka penggalangan mass media antar negara-negara non-blok. Hasil-hasil Simposium Tunis akan dipakai sebagai bahan referensi oleh Konperensi New Delhi dalam merumuskan saran-saran pertimbangannya kepada Konperensi Tingkat Tinggi non-blok di Colombo. 3. Dalam Konperensi New Delhi, terdapat dua aspek yang menonjol. Pertama, konperensi tersebut mencerminkan suatu tindakan politik negara-negara nonblok, karena setiap kegiatan penerangan, seperti halnya kegiatan-kegiatan bidang ekonomi dan sosial budaya, hakekatnya merupakan usaha untuk menunjang kepentingan nasional. Maka dalam rangka ini, penerangan mengambil peranan penting dalam membantu perjoangan masing-masing negara non-blok untuk mencapai kemajuan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. 4. Kenyataan yang dihadapi negara-negara non-blok sekarang ialah bahwa sumber-sumber dan sarana penerangan atau komunikasi dalam dan antar negara-negara non-blok hampir sepenuhnya dikuasai oleh pusat-pusat komunikasi negara-negara maju. Dengan sendirinya mereka ingin pula memanfaatkan sumber-sumber atau sarana komunikasi yang dimilikinya untuk membela kepentingan negara-negara maju. Hal ini sering berakibat adanya informasi keliru atau pemutar-balikkan fakta-fakta yang pengaruhnya sangat

merugikan perjoangan negara-negara non-blok. 5. Keinginan yang menggema dalam Simposium Tunis untuk menciptakan Orde Penerangan Internasional Baru merupakan manifestasi dari aspirasi rakyat negara-negara non-blok untuk melepaskan ketergantungannya pada sumbersumber atau sarana komunikasi negara-negara maju. Di kalangan sementara negara non-blok keinginan tersebut bahkan telah ada yang diwujudkan dengan menggalang kerjasama mass media, khususnya pembentukan sistim "pooling kantor berita" dalam rangka penyebar luasan berita-berita antar negara-negara anggotanya secara timbal balik. 6. Aspek kedua yang menonjol dari Konperensi New Delhi ialah kondisi negaranegara non-blok sendiri. Di dalam konperensi-konperensi non-blok sebelumnya, terlihat meningkatnya gejala radikalisme yang ditujukan terutama kepada negara-negara maju (Barat). Hal ini antara lain disebabkan karena faktor-faktor sebagai berikut: a. Gerakan non-blok tidak lagi semata-mata dilandasi oleh sikap ingin bebas dari pertentangan ideologi antara "blok Barat" dan "blok Timur", melainkan sudah lebih memperlihatkan pertautan antara masalah negara kaya dan miskin; b. Keadaan demikian membuka peluang bagi negara-negara "blok Timur"yang menggolongkan dirinya dalam negara miskin (berkembang) untuk ikut memasuki barisan non-blok ; c. Dalam barisan non-blok negara-negara "blok Timur" tersebut, sejalan dengan usaha-usaha mereka yang berdimensi global di luar dunia nonblok, berusaha menanamkan pengaruh pada negara-negara non-blok lainnya, termasuk negara-negara Afrika Hitam dan Amerika Latin, dengan memelopori sikap-sikap radikal dalam rangka berpropaganda sebagai pahlawan-pahlawan penentang imperialisme, rasialisme dan.lain-lain. 7. Meningkatnya gejala radikalisme tersebut dilihat pencerminannya dari sikap apriori konperensi-konperensi non-blok sebelumnya dalam masalah Vietnam, Laos, Kamboja, Angola dan lain-lain. 8. Namun demikian, seperti tampak dalam Simposium Tunis, dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru akhir-akhir ini --termasuk negara-negara Arab dengan minyaknya--, ditambah dengan telah selesainya masalah-masalah seperti Vietnam, Laos dan Kamboja yang merupakan titik temu kuat bagi tumbuhnya sikap radikalisme, maka mulai nampak adanya gejala-gejala bagi dunia nonblok untuk kembali kepada sikap yang tidak a-priori dan lebih realistis. 9. Pendekatan Pemerintah Yugoslavia terhadap Pemerintah Indonesia pada waktu diadakan sidang-sidang persiapan Simposium Tunis mencerminkan pula keinginan Pemerintah Yugoslavia untuk mengembalikan keseimbangan dalam

gerakan non-blok, dalam hal ini dengan sasaran untuk sebanyak mungkin menetralisasi radikalisme seperti disuarakan Cuba. 10. Dalam pada itu, kerjasama negara-negara non-blok akan memantapkan suasana yang diperlukan negara-negara anggotanya untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar dalam pembangunan. II. PETUNJUK-PETUNJUK UMUM 11. Kehadiran Indonesia dalam Konperensi New Delhi mengemban tugas untuk menunjang berhasilnya politik pembangunan Pemerintah, dalam hal ini melalui forum non-blok. Dalam hubungan ini, seluruh pendekatan delegasi perlu diarahkan untuk mencapai semaksimal mungkin kondisi yang menunjang kelancaran usaha-usaha pembangunan di Indonesia. 12. Karena kelompok non-blok terutama merupakan kelompok politik, maka dengan akan diadakan Konperensi Tingkat Tinggi non-blok di Colombo yang akan datang, hendaknya delegasi mengadakan penjajagan suasana dan iklim di antara anggota-anggota non-blok secara umum, terutama dalam mengembalikan fungsi non-blok sebagai kekuatan obyektif untuk memantapkan perdamaian dunia atas dasar kemerdekaan, ketertiban dunia dan keadilan sosial. 13. Dalam rangka ini hendaknya delegasi ikut merintis penggalangan kerjasama antara negara-negara ASEAN yang hadir, negara-negara Arab, Afrika Hitam dan Amerika Latin untuk mengurangi gejala peningkatan sikap radikalisme dalam Konperensi Tingkat Tinggi Colombo yang akan datang. Sejalan dengan usaha ini, hendaknya delegasi sendiri menghindari sikap-sikap ekstrim dalam Konperensi New Delhi. 14. Delegasi hendaknya mengadakan pendekatan pula dengan wakil-wakil Vietnam dan negara-negara bekas "Indocina" yang hadir dalam Konperensi dalam rangka menjajagi sikap mereka yang sebenarnya terhadap ASEAN dan memberikan penjelasan mengenai kebijaksanaan Pemerintah yang menyambut baik setiap kerjasama antara ASEAN dengan negara-negara tersebut. 15. Di bidang ekonomi, hendaknya delegasi dapat mengarahkan agar kerjasama penerangan antar negara-negara non-blok dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menunjang terbinanya tata ekonomi internasional baru. 16. Di bidang kebudayaan, delegasi hendaknya dapat memanfaatkan kerjasama penerangan antar negara-negara non-blok untuk menggalang kerjasama kebudayaan khususnya dalam meningkatkan pendidikan antar negara-negara non-blok. 17. Dengan mengingat pentingnya peranan penerangan dalam pembangunan

maka usaha-usaha untuk mengurangi ketergantungan kita kepada sumbersumber dan sarana komunikasi negara-negara maju perlu ditingkatkan. Forum non-blok dapat dipergunakan dalam mengembangkan kebijaksanaan ini. Dalam rangka ini, gagasan orde baru internasional bidang penerangan dapat diterima dalam prinsip, sedang pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan. Untuk ini, delegasi hendaknya mengkaji setiap keputusan yang akan diambilnya dengan kepentingan nasional kita, dalam mana hasil-hasil Simposium Tunis khususnya dapat dijadikan bahan referensi. 18. Dalam rangka kerjasama mass media non-blok ini, kerjasama (mass media) regional dalam hubungan dengan ASEAN tetap mendapatkan prioritas sesuai dengan hasil-hasil keputusan Konperensi Tingkat Tinggi ASEAN di Bali. Hendaknya delegasi memanfaatkan Konperensi New Delhi untuk menggalang kesatuan sikap dengan negara-negara ASEAN yang hadir, dan mengembangkan langkah-langkah ke arah kerjasama mass media yang lebih mantap di lingkungan ASEAN. 19. Hendaknya delegasi mencegah setiap usaha yang ingin mempermasalahkan Timor Timur dalam segala aspeknya. Andaikata ada delegasi yang mengemukakan masalah Timor Timur dalam forum persidangan, hendaknya delegasi segera memberi penjelasan tentang duduk masalah sebenarnya. III. PETUNJUK-PETUNJUK KHUSUS 20. Segi kerjasama dalam bidang mass media yang akan menjadi acara pokok ialah sistim "pooling kantor-kantor berita" non-blok, di mana konperensi bermaksud memperluas, memantapkan dan memformalisasikan sistim "pooling" tersebut sebagai salah satu usaha konkrit dalam mewujudkan gagasan Orde Penerangan Internasional Baru. Dalam prinsip, Indonesia perlu ikut serta dalam sistim "pooling" tersebut dengan catatan bahwa pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan dan manfaat yang akan diperolehnya. Kantor Berita yang ikut dalam sistim "pooling" tersebut adalah LKBN Antara. 21. Dalam rangka formalisasi sistim "pooling" tersebut, di mana masalah Anggaran Dasar, struktur organisasi dan lain-lain dibicarakan hendaknya delegasi mengusahakan agar : a. Kriteria penentuan keanggotaan "pool" dibatasi pada tingkat negara untuk menghindarkan jangan sampai kaum separatis dalam sesuatu negara dapat menyelundup sebagai anggota. b. Adanya jaminan bahwa berita-berita yang dikirim melalui "pool" disiarkan seutuhnya tanpa ada perobahan/pengurangan apapun yang dapat mengubah makna sesuatu pemberitaan dari aslinya. c. Sedapat mungkin dicegah pemberitaan yang bersifat konfrontatif antara satu negara anggota dan lainnya. d. Penjatahan berita yang adil, sekalipun tidak perlu panjang. e. Kebebasan negara anggota untuk memilih berita-berita yang akan

disiarkan atau tidak. f. Sistim "pool" juga mencakup tulisan-tulisan "feature" dan "by-line stories" yang dikirimkan dengan pos udara. g. Mengenai struktur organisasi, apabila akan dibentuk suatu lembaga kordinasi yang menangani "pool", hendaknya kita ikut serta sekalipun pengisiannya disesuaikan dengan kemampuan. h. Mengenai pembiayaan, kita dalam prinsip menyetujui memberi iuran dengan catatan bahwa jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan Antara. 22. Yang menyangkut kerjasama teknik dalam bidang pengurusan kantor berita antar negara non-blok, delegasi dapat menyatakan kesanggupan memberi bantuan teknik semacam itu dalam batas-batas kemampuan. IV. LAIN-LAIN 23. Terhadap masalah-masalah lain yang mungkin timbul dan dihadapi delegasi selama persidangan berlangsung keputusan diserahkan kepada Ketua Delegasi. 24. Dalam waktu sebulan setelah tiba kembali dari New Delhi, delegasi supaya memberi laporan lengkap tentang hasil-hasil Konperensi New Delhi kepada Presiden. Ditetapkan di Jakarta, 6 Juli 1976. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd SOEHARTO