HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang sering terjadi pada anak balita, karena anak. balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB I PENDAHULUAN. tingkat nasional cukup kuat. Hal ini dirumuskan dalam Undang-Undang No.17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. anemia masih tinggi, dibuktikan dengan data World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN. anemia pada masa kehamilan. (Tarwoto dan Wasnidar, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia

BAB I PENDAHULUAN. panjang badan 50 cm (Pudjiadi, 2003). Menurut Depkes RI (2005), menyatakan salah satu faktor baik sebelum dan saat hamil yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

I. PENDAHULUAN. terpenting dalam pertumbuhan anak dimasa datang (Rodhi, 2011) World Health Organization (WHO) 2008, telah membagi umur kehamilan

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau calon ibu merupakan kelompok rawan, karena membutuhkan gizi yang cukup

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelayanan antenatal adalah upaya untuk menjaga kesehatan ibu pada masa

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Angka Kematian Bayi (AKB). AKB menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikandungnya. Kehamilan merupakan suatu proses reproduksi yang perlu

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi vitamin A, dan defisiensi yodium (Depkes RI, 2003).

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI. Hari Anak-Anak Balita 8 April SITUASI BALITA PENDEK

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai batas normal, akibatnya dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan berat badan normal. Dengan kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012).

BAB 1 : PENDAHULUAN. satu penyebab tingginya angka kematian bayi (AKB). sehingga akan berpengaruh kepada derajat kesehatan. (1-5)

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan rentang 0-5 tahun (Gibney, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. kapasitas/kemampuan atau produktifitas kerja. Penyebab paling umum dari anemia

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

BAB 1 PENDAHULUAN. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masih merupakan masalah di bidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia (SDKI) tahun 2012 AKI di Indoensia mencapai 359 per jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. dan atau perkembangan fisik dan mental anak. Seseorang yang sejak didalam

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,

S PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. yang serius dan merupakan penyebab yang penting dari angka kesakitan,

BAB I PENDAHULUAN. http ://digilip.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) ( ) adalah. mewujudkan bangsa yang berdaya saing, melalui pembangunan sumber


PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator gizi klinis yang dapat memberikan gambaran gangguan keadaan

BAB I PENDAHULUAN. 5 tahun di dunia mengalami kegemukan World Health Organization (WHO, menjadi dua kali lipat pada anak usia 2-5 tahun.

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB I PENDAHULUAN. sehat dan berkembang dengan baik (Kemenkes, 2010). sebagai makanan dan minuman utama (Kemenkes, 2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan permulaan suatu kehidupan baru. pertumbuhan janin pada seorang ibu. Ibu hamil merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB I PENDAHULUAN. menilai derajat kesehatan. Kematian Ibu dapat digunakan dalam pemantauan

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa

BAB I PENDAHULUAN. bayi berat lahir rendah (BBLR), dan infeksi (Depkes RI, 2011). mampu menurunkan angka kematian anak (Depkes RI, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia. Menurut Manuaba (2010),

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berkualitas. Dukungan gizi yang memenuhi kebutuhan sangat berarti

HUBUNGAN STATUS GIZI BERDASARKAN INDEKS ANTROPOMETRI TUNGGAL DAN ANALISIS LANJUT DATA RISKESDAS 2007 YEKTI WIDODO & TIM

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. (Wong, 2009). Usia pra sekolah disebut juga masa emas (golden age) karena pada

Nurlindah (2013) menyatakan bahwa kurang energi dan protein juga berpengaruh besar terhadap status gizi anak. Hasil penelitian pada balita di Afrika

BAB I PENDAHULUAN. Children's Emergency Fund (WHO dan UNICEF 2004), berat badan lahir

ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN BERAT BAYI LAHIR DAN PENGARUHNYA TERHADAP STATUS GIZI ANAK USIA 6 11 BULAN DI SUMATERA A R P A N S A H

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Desain, Tempat dan Waktu Contoh dan Teknik Penarikan Contoh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mortalitas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di

Transkripsi:

49 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Hasil pemilahan data dari sebanyak 2.822 rumah tangga yang mempunyai anak usia 6-11 bulan yang berasal dari 10 provinsi di Sumatera, hanya 1.749 rumah tangga yang memenuhi syarat untuk dianalisis datanya. Sampel yang dianalisis yaitu mempunyai catatan berat lahir dan dilakukan pengukuran berat badan serta panjang badan ketika anak berusia 6 11 bulan. Tabel 3 Karakteristik Responden (Berat Bayi Lahir dan Anak 6 11 bulan) No Peubah n % Rata rata ± SD Minimummaksimum 1 Berat Bayi Lahir (gram) - < 2.500 (BBLR) - 2.500 - < 3.000-3.000 - < 3.500-3.500 83 461 687 518 4,7 26,4 39,3 29,6 3.153 ± 505,02 1.300 s/d 5.200 2 Status Gizi Anak (BB/U) - Buruk - Kurang - Normal - Lebih 85 160 1.436 76 4,6 9,1 81,7 4,3-0,517± 1,52-5,6 s/d 5,53 3 Status Gizi Anak (BB/TB) - Sangat Kurus - Kurus - Normal - Gemuk 281 155 1.016 304 15,8 8,9 57,9 17,3 0,35 ± 2,719-6,96 s/d 6,28 4 Status Gizi anak (TB/U) - Sangat Pendek - Pendek - Normal 330 177 1.250 18,8 10,1 71,1 0,022 ± 3,221-5,95 s/ d 6,14 5 Pemantauan Pertumbuhan - Tidak Pernah - < 1-3 kali - 4 kali 146 345 1.266 8,3 19,6 72,2 4,62 ± 1,91 0 s/d 11 6 Penyakit Infeksi - Tidak Infeksi - Infeksi 828 929 47,1 52,9

50 Tabel 4 Karakteristik Ibu dan Keluarga No Peubah n % Rata rata±sd Minimum- Maksimum 1 Status Gizi Ibu (IMT) - Kurus - Normal - Gemuk - Obesitas 150 1.120 164 197 9,2 68,7 10,1 12,1 22,69 ± 3,69 10 s/d 40 2 Umur Ibu Saat Hamil - Risiko (< 20 atau > 35 thn) - Tidak Risiko (20 s/d 35 thn) 414 1.335 23,7 76,3 27,66 ± 5,98 14 s/d 49 3 Pendidikan Ibu (tahun) - Rendah (< 9 tahun) - Sedang (9-12 tahun) - Tinggi (> 12 tahun) 585 480 692 33,3 27,3 39,4 4,01 ± 1,16 0 s/d 16 4 Tinggi Badan Ibu - Risiko ( < 150 cm) - Tidak Risiko ( 150 cm) 401 1.192 25,2 74,8 152,69 ± 5,81 133 s/d 175 5 Pemeriksaan Kehamilan - < 4 kali - 4 kali 156 1.589 8,9 91,1 6 Paritas - 3 orang - 2 orang - 1 orang 670 474 590 38,6 27,3 34,1 2,54 ± 1,76 1 s/d 12 7 Pengeluaran (Rp) - Kuintil I - Kuintil II - Kuintil III - Kuintil IV - Kuintil V 472 431 344 299 203 27,0 24,6 19,7 17,1 11,6 1.513.150 ± 815.800 188.850 s/d 8.406.400 8 Jumlah Anggota Keluarga - Besar ( 7 orang) - Sedang (5 6 orang) - Kecil ( 4 orang) 319 654 784 18,2 37,2 44,6 5,02 ± 1,71 2 s/d 12 9 Kebiasan merokok KK - Merokok - Tidak 1.115 121 90.2 9.8

51 Prevalensi bayi dengan berat lahir < 2.500 gram (BBLR) yaitu 4,7% dan rata - rata berat bayi lahir 3.153 gram dengan berat lahir paling rendah 1.300 gram dan tertinggi 5.200 gram. Masalah gizi pada anak usia 6 11 bulan ; gizi buruk 4,6%, sangat kurus 15,8% dan sangat pendek 18,8%. Masalah gizi akut / wasting yaitu 24,7% (Sangat kurus + kurus), masalah gizi kronis / stunting yaitu 28,9% (Sangat pendek + pendek) dan masalah gizi kurang / underweight yaitu 13,7% (Gizi buruk + kurang). Selain itu terdapat masalah kegemukan pada anak di wilayah Sumatera yaitu 17,3%. Pemantauan pertumbuhan yang dinilai berdasarkan frekuensi penimbangan anak dalam 6 bulan terakhir ternyata 8,3% tidak pernah ditimbang, penimbangan secara teratur < 80% dan status kesehatan yaitu 52,9% pernah menderita penyakit infeksi (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat rata rata usia ibu pada saat hamil 27,66 tahun dan 23,7% hamil pada usia yang berisiko (< 20 atau > 35 tahun). Rata-rata tinggi badan ibu 152,69 cm dan rata-rata paritas 2,54 serta rata rata ibu berpendidikan tingkat sedang (SMP dan SMA). Sebagian besar ibu hamil pernah memeriksakan kehamilan yaitu 91,1%. Rata rata pengeluaran rumah tangga perkapita setiap bulan Rp 1.513.150,- dengan rata rata jumlah anggota keluarga 5 orang dan 90,2% kepala keluarga (Bapak) mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah setiap hari. Tabel 5 Karakteristik Sanitasi Lingkungan dan Pelayanan Kesehatan No Peubah n % Rata rata ± SD Minimum- Maksimum 1 Sanitasi lingkungan - Buruk - Kurang - Baik 30 1.158 561 1,7 66,2 32,1 22,69 ± 3,69 11 s/d 52 2 Akses Yankes - Buruk - Kurang - Baik 167 1.242 384 9,5 70,7 9,8 10,39 ± 1,78 5 s/d 15 3 Pemanfaatan Yankes - Buruk - Kurang - Baik 359 812 586 20,4 46,2 33,4 21,95 ± 5,43 8 s/d 42

52 Penilaian terhadap sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dilakukan dengan beberapa pertanyaan dan kemudian dilakukan skoring. Hasil penilaian dikatakan buruk jika < 60%, kurang jika 60-80% dan baik jika > 80% dari total skor yang diperoleh. Berdasarkan Tabel 5, sanitasi lingkungan tempat tinggal responden dengan rata - rata skor 22,69 (60 80% dari skor total) artinya pada kondisi lingkungan kategori tingkat kurang. Akses terhadap pelayanan kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan sebagian besar masih kurang (70,7% dan 46,2%) serta masih ditemukan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang buruk di wilayah Sumatera yaitu masing - masing 9,5% dan 20,4%. Berat Bayi Lahir Berat bayi lahir adalah berat bayi yang baru lahir yang ditimbang dengan timbangan bayi segera saat bayi lahir sampai 24 jam pertama setelah lahir. Seorang bayi yang sehat dan cukup bulan, pada umumnya mempunyai berat badan lahir 3.000 gram atau lebih. Bayi dikatakan mempunyai berat bayi lahir rendah jika berat lahirnya kurang dari 2.500 gram (Depkes RI 2009). Tabel 6 Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Provinsi di Sumatera No Provinsi Berat Bayi Lahir (gram) < 2.500 2.500 - <3.000 3.000 - <3.500 3.500 n % n % n % n % 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau 8 10 19 6 4 5 5 9 14 3 5,0 2,4 5,8 3,9 3,5 3,3 4,3 7,0 13,2 3,9 42 106 68 40 28 60 25 38 33 21 26,1 25,5 20,7 26,0 24,6 40,0 21,7 29,7 31,1 27,3 70 153 134 70 53 53 45 41 32 36 43,5 36,9 40,7 45,5 46,5 35,3 39,1 32,0 30,2 46,8 41 146 108 38 29 32 40 40 27 17 25,5 35,2 32,8 24,7 25,4 21,3 34,8 31,3 25,5 22,1 Total 83 4,7 561 26,4 687 39,3 518 29,6

53 Prevalensi bayi lahir dengan berat badan < 2.500 gram (BBLR) paling tinggi di Provinsi Bangka Belitung yaitu 13,2% sedangkan prevalensi BBLR terendah di Provinsi Sumatera Utara yaitu 2,4%. Prevalensi bayi yang lahir dengan berat badan > 3.000 gram paling tinggi di Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu. Ada 2 provinsi yang banyak bayi lahir dengan berat badan < 3.000 gram yaitu Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung (43,3% dan 44,3%) sedangkan di Provinsi Bengkulu paling sedikit bayi yang lahir dengan berat badan < 3.000 gram yaitu 26% (Tabel 6). Tabel 7 Sebaran Anak menurut Pelayanan Kesehatan, Sanitasi Lingkungan, Kebiasaan Merokok dan Berat Bayi Lahir No Peubah Berat Bayi Lahir (gram) < 2.500 2.500 - <3.000 3.000 - <3.500 3.500 n % n % n % n % 1 Pemeriksaan Kehamilan - Tidak - Ya 50 33 32,1 2,1 49 412 31,4 25,9 34 650 21,8 40,9 23 494 14,7 31,1 2 Akses Yankes - Buruk - Kurang - Baik 10 59 14 6,0 4,8 4,0 52 316 93 31,3 25,5 26,9 61 485 141 36,7 39,2 40,0 43 377 98 25,9 30,5 28,3 3 Sanitasi Lingkungan - Buruk - Kurang - Baik 2 60 21 6,7 5,2 3,7 10 317 134 33,3 27,4 23,9 12 439 236 40,0 37,9 42,1 6 342 170 20,0 29,5 30,3 4 Kebiasaan Merokok - Ya - Tidak 51 8 4,6 6,6 312 26 28,0 21,5 428 45 38,4 37,2 324 42 29,1 34,7 Berdasarkan Tabel 7, pemeriksaan kehamilan terlihat mempunyai perbedaan dalam persentase berat bayi yang dilahirkan. Ibu hamil yang tidak memeriksakan kehamilan mempunyai prevalensi berat bayi lahir < 2.500 gram (BBLR) lebih tinggi dibandingkan ibu hamil yang memeriksakan kehamilan yaitu 32,1% dan 2,1%. Kelompok bayi dengan berat badan 2.500 gram lebih banyak

54 berasal dari ibu yang pada saat hamil melakukan pemeriksaan kehamilan dibandingkan dengan ibu yang tidak memeriksakan kehamilan. Akses terhadap pelayanan kesehatan yaitu kemudahan dalam memperoleh/menjangkau pelayanan kesehatan. Kelahiran BBLR paling banyak berasal dari ibu yang tinggal dengan akses terhadap pelayanan kesehatan buruk dan kurang dibandingkan ibu dengan akses pelayanan kesehatan yang baik. Berdasarkan sanitasi lingkungan terlihat bahwa pada keluarga dengan sanitasi lingkungan yang buruk dan kurang memiliki prevalensi BBLR lebih tinggi dibandingkan keluarga dengan sanitasi baik. Prevalensi bayi lahir dengan berat badan 3.500 gram kebanyakan berasal dari rumah tangga dengan kepala keluarga yang mempunyai kebiasaan tidak merokok dalam rumah yaitu 34,7%. Tabel 8 Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi dan Berat Bayi Lahir No Peubah Berat Bayi Lahir (gram) < 2.500 2.500-< 3.000 3.000-<3.500 3.500 n % n % n % n % 1 Tingkat Pengeluaran - Kuintil I - Kuintil II - Kuintil III - Kuintil IV - Kuintil V 25 22 14 15 7 5,3 5,1 4,1 5,0 3,4 112 126 89 79 55 23,7 29,2 25,9 26,4 27,1 190 157 128 115 97 40,3 36,4 37,2 38,5 47,8 145 126 113 90 44 30,7 29,2 32,8 30,1 21,7 2 Tinggi Badan Ibu - Risiko - Tidak Risiko 28 49 7,0 4,1 106 306 26,6 25,8 158 470 39,6 39,6 107 362 26,8 30,5 3 4 Pendidikan Ibu - Rendah - Sedang - Tinggi Umur Ibu - Risiko - Tidak Risiko 54 13 16 46 37 9,3 2,7 2,3 11,1 2,8 156 141 164 \ 96 365 26,8 29,5 23,8 23,2 27,3 217 187 283 \ 159 528 37,3 39,1 41,1 38,4 39,6 155 137 226 113 405 26,6 28,7 32,8 \ 27,3 30,3 5 Paritas - Paritas 3 orang - Paritas 2 orang - Paritas 1 orang 37 16 30 5,5 3,4 5,1 149 116 191 22,2 24,5 32,4 272 183 229 40,6 38,6 38,8 212 159 140 31,6 33,5 23,7

55 Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi pengeluaran rumah tangga maka semakin rendah prevalensi bayi yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram. Ibu dengan tinggi badan risiko (<150 cm) mempunyai prevalensi berat badan lahir < 2.500 gram dan 2.500 - < 3.500 gram lebih tinggi dibandingkan ibu yang tinggi badan tidak risiko. Sebaliknya bayi lahir dengan berat badan 3.500 gram prevalensinya lebih tinggi pada kelompok ibu dengan tinggi badan tidak risiko. Berdasarkan tingkat pendidikan, ibu yang pendidikannya rendah (< 6 tahun) mempunyai prevalensi BBLR paling tinggi yaitu 11,3%. Sebaliknya bayi yang lahir dengan berat badan normal prevalensinya lebih tinggi pada ibu dengan pendidikan yang lebih baik yaitu tingkat pendidikan sedang dan tinggi. Umur ibu pada saat hamil yang tidak berisiko cenderung melahirkan bayi dengan berat badan normal lebih tinggi dibandingkan ibu yang hamil pada unur risiko. Prevalensi BBLR lebih tinggi pada kelompok ibu yang hamil pada umur risiko (umur < 20 tahun dan > 35 tahun) dibandingkan dengan yang tidak risiko (umur 20 35 tahun). Sedangkan berdasarkan tingkat paritas prevalensi bayi lahir dengan berat < 2.500 gram (BBLR) paling rendah pada kelompok ibu paritas dua dan prevalensi bayi yang lahir dengan berat badan 3.000 gram paling tinggi pada kelompok paritas 3 (Tabel 8). Status Gizi Anak Status gizi anak diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan/panjang badan (TB). Variabel berat badan dan panjang badan anak ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan tinggi badan menurut umur (TB/U). Untuk menilai status gizi anak maka angka berat badan dan panjang badan serta umur anak dikonversikan ke dalam bentuk nilai standar Z-score dengan menggunakan baku antropometri WHO 2005 dengan menggunakan Program Anthro 2009. Berdasarkan nilai Z score ini ditentukan status gizi balita pada tiap indikator.

56 Berat Badan menurut Umur (BB/U) Indikator berat badan menurut umur (BB/U) memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum dan tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan gizi kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut. Status gizi indikator BB/U lebih mencerminkan status gizi saat ini. Berat badan menggambarkan massa tubuh (otot dan lemak) yang sangat sensitif terhadap perubahan mendadak, misalnya terserang peyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi. Tabel 9 Sebaran Anak menurut Status Gizi berdasarkan Indikator BB/U dan Provinsi di Sumatera No Provinsi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U Buruk Kurang Baik Lebih n % n % n % n % 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau 12 23 13 9 6 5 2 5 4 1 7,5 5,5 4,0 5,8 5,3 3,3 4,3 1,7 3,9 1,3 21 46 29 12 9 12 9 6 11 5 13,0 11,1 8,8 7,8 7,9 8,0 7,8 4,7 10,4 6,5 124 333 272 123 91 123 100 111 88 71 77,0 80,2 82,7 79,9 79,8 82,0 87,0 86,7 83,0 92,2 4 13 15 10 8 10 4 6 3 0 2,5 3,1 4,6 6,5 7,0 6,7 3,5 4,7 2,8 0 Total 80 4,6 160 9,1 1.436 82,1 73 4,2 Tabel 9 menyajikan prevalensi status gizi anak usia 6 11 bulan berdasarkan indikator berat badan menurut umur di 10 provinsi wilayah Sumatera. Prevalensi gizi buruk tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu 7,5% dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau yaitu 1,3%. Ada 3 provinsi yang mengalami masalah gizi kurang (buruk + kurang) masih diatas prevalensi rata rata yaitu Provinsi DI Aceh, Sumatera Utara dan Bangka Belitung. Ada 5 provinsi yang

57 mempunyai anak dengan status gizi normal diatas angka rata rata yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung dan Sumatera Barat. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang (underweight) hasil penelitian ini adalah 13,7% sedangkan prevalensi nasional 12,9%. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2015 sebesar 20% dan target Mellinium Develoment Goals (MDGs) untuk Indonesia sebesar 18,5%, maka untuk wilayah Sumatera target - target tersebut sudah tercapai yaitu < 18,5% tetapi masih ada provinsi yang belum mencapai target tersebut yaitu Provinsi DI Aceh dengan prevalensi kurang gizi 20,5%. Tabel 10 Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/U Berat Bayi Lahir (gram) - < 2.500-2.500 - < 3.000-3.000 - < 3.500-3.500 Status Gizi berdasarkan BB/U Buruk Kurang Baik Lebih n % n % n % n % 13 24 30 113 15,7 5,2 4,4 2,5 9 55 68 28 10,8 11,9 9,9 5,4 58 365 560 453 69,9 79,2 81,5 87,5 3 17 29 24 3,6 3,7 4,2 4,6 Berdasarkan berat bayi lahir status gizi anak ketika berusia 6 11 bulan indikator BB/U prevalensi gizi buruk paling tinggi pada kelompok bayi yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram. Prevalensi gizi kurang lebih tinggi pada kelompok anak yang lahir dengan berat badan < 3.000 gram dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan 3.000 gram. Semakin tinggi berat badan lahir maka semakin tinggi prevalensi status gizi baik pada anak ketika berumur 6 11 bulan. Anak gizi buruk yang berasal dari kelompok dengan berat lahir 3.500 gram paling sedikit dibandingkan kelompok lain yaitu 2,5%. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan antara berat bayi lahir dengan status gizi anak ketika berusia 6 11 bulan (Tabel 10).

58 Tabel 11 Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi Demografi dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/U No Peubah Status Gizi berdasarkan BB/U Buruk Kurang Baik Lebih n % n % n % n % 1 Tingkat Pengeluaran - Kuintil I - Kuintil II - Kuintil III - Kuintil IV - Kuintil V 25 21 18 8 8 5,3 4,9 5,2 2,7 3,9 58 38 18 29 17 12,3 8,8 5,2 9,7 8,4 366 355 295 249 171 77,5 82,4 85,8 83,3 84,2 23 17 13 13 7 4,9 3,9 3,8 4,3 3,4 2 Pendidikan Ibu - Rendah - Sedang - Tinggi 34 27 19 5,8 5,6 2,8 55 45 60 9,5 9,4 8.7 471 386 579 80,9 80,8 84,0 22 20 31 3,8 4,2 4,5 3 Status Gizi Ibu - Kurus - Normal - Gemuk - Obesitas 9 54 8 3 6,0 4,8 4,9 1,5 16 110 11 13 10,7 9,8 6,7 6,6 124 908 137 173 82,7 81,1 83.5 87,8 1 48 8 8 0,7 4,3 4,9 4,1 4 Anggota RT - Besar - Sedang - Kecil 18 26 36 5,7 4,0 4,6 34 65 61 10,8 10,0 7,8 251 530 655 79,4 81,4 83,6 13 30 30 4,1 4.6 3,8 Berdasarkan Tabel 11 di atas, tingkat pengeluaran rumah tangga tidak berhubungan dengan status gizi anak uisa 6 11 bulan. Ibu balita dengan pendidikan rendah paling banyak yang menderita gizi buruk dan semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin baik status gizi anaknya hal ini menunjukan adanya hubungan status gizi dengan tingkat pendidikan ibu. Status gizi ibu yang dinilai berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) berhubungan dengan status gizi anaknya. Hal tersebut terlihat kelompok ibu dengan status gizi kategori kurus mempunyai anak dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang paling tinggi dan semakin baik status gizi ibu terlihat semakin baik juga status gizi anaknya. Berdasarkan jumlah anggota rumah tangga terlihat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang paling tinggi pada kelompok dengan

59 anggota rumah tangga besar ( 7 orang) dan semakin sedikit anggota rumah tangga prevalensi anak gizi baik semakin tinggi. Tabel 12 Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/U No Peubah Status Gizi berdasarkan BB/U Buruk Kurang Baik Lebih n % n % n % n % 1 Penyakit Infeksi - Pernah infeksi - Tidak pernah infeksi 44 36 4,8 4,4 92 68 9,9 8,3 755 681 81,6 82,6 34 39 3,7 4,7 2 Pemantauan pertumbuhan - Buruk - Kurang - Baik 24 20 36 16,7 5,9 2,8 24 39 97 16,7 11,4 7,7 93 270 1.073 64,6 79,2 84,9 3 12 58 2,1 3,5 4,6 Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa prevalensi gizi buruk dan gizi kurang paling tinggi pada kelompok anak yang pernah menderita penyakit infeksi dalam 12 bulan terakhir sedangkan kelompok anak yang tidak pernah menderita penyakit infeksi mempunyai prevalensi status gizi baik yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan antara penyakit infeksi yang pernah diderita dengan status gizi anak. Pemantauan pertumbuhan dalam 6 bulan terakhir berhubungan dengan status gizi anak hal ini terlihat dari prevalensi gizi buruk 16,7% pada kelompok anak yang tidak pernah ditimbang dan prevalensi tersebut paling tinggi dibandingkan kelompok anak yang pernah menimbang 1 kali atau 4 kali dalam 6 bulan terakhir. Pemantauan pertumbuhan dapat mencegah terjadinya penurunan status gizi pada anak karena dengan pemantauan pertumbuhan secara rutin dapat diketahui lebih dini jika ada gangguan dalam pertumbuhan anak. Hasil penelitian menunjukan adanya peningkatan prevalensi anak dengan status gizi baik pada kelompok yang melakukan pemantauan pertumbuhan 4 kali dalam 6 bulan terakhir.

60 Tabel 13 Sebaran Anak menurut Sanitasi Lingkungan, Pelayanan Kesehatan dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/U No Peubah Status Gizi berdasarkan BB/U Buruk Kurang Baik Lebih n % n % n % n % 1 Sanitasi Lingkungan - Buruk - Kurang - Baik 4 64 12 13,3 5,5 2,1 5 110 45 16,7 9,5 8,0 20 940 476 66,7 81,2 84,8 1 44 28 3,3 3,8 5,0 2 Akses Yankes - Buruk - Kurang - Baik 9 58 13 5,4 4,7 3,8 25 110 25 15,1 8,9 7,2 127 1.012 297 76,5 81,8 85,8 5 57 11 3,0 4,6 3,2 3 Pemanfaatan Yankes - Buruk - Kurang - Baik 32 36 12 9,0 4,5 2,0 42 72 46 11,6 8,9 7,8 269 665 502 75,4 82,2 85,7 14 33 26 3,9 4,1 4,4 Berdasarkan sanitasi lingkungan tempat tinggal responden, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang paling tinggi pada kelompok dengan sanitasi lingkungan yang buruk (13,3% dan 16,7%) sebaliknya prevalensi status gizi baik paling tinggi pada kelompok dengan sanitasi lingkungan yang baik yaitu 84,8%. Semakin baik sanitasi lingkungan tempat tinggal maka prevalensi status gizi baik semakin tinggi. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan antara sanitasi lingkungan tempat tinggal dengan status gizi anak. Akses terhadap pelayananan kesehatan berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang semakin meningkat pada kelompok yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan kurang dan buruk. Sebaliknya prevalensi status gizi normal semakin meningkat dengan bertambah baiknya akses terhadap pelayanan kesehatan ini berarti dengan kemudahan dalam menjangkau pelayanan kesehatan akan menunjang peningkatan status gizi anak. Pemanfaatan pelayanan kesehatan juga berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang semakin meningkat pada kelompok yang memanfaatkan pelayanan kesehatan kurang dan

61 buruk. Sebaliknya prevalensi status gizi normal semakin meningkat dengan bertambah baiknya tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan ini berarti dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia akan mencegah terjadinya penurunan status gizi anak (Tabel 13). Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Indikator BB/TB menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Pada kondisi dengan adanya penyakit infeksi dan kurang gizi berat badan anak akan cepat turun sehingga tidak proporsional lagi dengan tinggi badannya sehingga anak menjadi kurus. Indikator BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi karena BB/TB dapat memberikan gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan sehingga indeks ini dijadikan indikator kekurusan dan kegemukan. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah indikator sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score < -3,0 SD. Tabel 14 Sebaran Anak menurut Status Gizi berdasarkan Indikator BB/TB dan Provinsi di Sumatera No Provinsi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk n % n % n % n % 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau 30 91 43 30 16 24 10 13 9 10 18,6 22,0 13,1 19,5 14,0 16,0 8,7 10,2 8,5 13,0 15 44 37 12 6 12 5 11 7 6 9,3 10,6 11,2 7,8 5,3 8,0 4,3 8,6 6,6 7,8 83 210 207 74 75 87 76 78 77 49 51,6 50,7 62,9 48,1 65,8 58,0 66,1 60,9 72,6 63,6 33 69 42 38 17 27 24 26 13 12 20,5 16,7 12,8 24,7 14,9 18,0 20,9 20,3 12,3 15,6 Total 276 15,8 155 8,9 1.016 58,1 301 17,2

62 Tabel 14 menyajikan prevalensi status gizi anak usia 6 11 bulan berdasarkan indikator berat badan menurut tinggi badan di 10 provinsi wilayah Sumatera. Prevalensi sangat kurus tertinggi di Provinsi Sumatera Utara yaitu 22% dan terendah di Provinsi Bangka Belitung yaitu 8,5%. Ada 9 provinsi yang mengalami masalah gizi kronis (sangat kurus + kurus) merupakan masalah sangat kritis (> 15%) yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau, DI Aceh, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan Lampung. Hasil penelitian ini secara keseluruhan di wilayah Sumatera prevalensi wasting (sangat kurus + kurus) pada anak uia 6-11 bulan adalah 24,7% sedangkan prevalensi nasional 15,4%. Hal ini menunjukan bahwa masalah kurus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kritis karena sesuai dengan kriteria yang ditetapkan WHO (2005), dikatakan masalah kesehatan kritis jika prevalensi wasting > 15%, 10 14,9% masalah serius dan > 5% mengidikasikan adanya masalah kesehatan masyarakat. Tabel 15 Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/TB Berat Bayi Lahir (gram) Status Gizi berdasarkan BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk n % n % n % n % - < 2.500-2.500 - < 3.000-3.000 - < 3.500-3.500 19 88 111 58 22,9 19,1 16,2 11,2 7 47 57 44 8,4 10,2 8,3 8,0 39 259 402 316 47,0 56,2 58,6 61,0 18 67 116 100 21,7 14,5 16,9 19,3 Tabel 15 di atas menunjukan bahwa prevalensi status gizi sangat kurus paling tinggi pada kelompok anak yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram (BBLR) sedangkan status gizi kurus paling tinggi pada kelompok anak dengan berat lahir 2.500 - < 3.000 gram. Semakin baik berat badan pada waktu lahir maka prevalensi status gizi normal semakin meningkat. Masalah wasting (sangat kurus + kurus) paling tinggi prevalensinya pada kelompok anak dengan berat lahir < 2.500 gram yaitu 31,2%. Selain itu prevalensi gizi lebih paling tinggi pada kelompok anak yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram yaitu 21,7%.

63 Tabel 16 Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi Demografi dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/TB No Peubah Status Gizi berdasarkan BB/TB Sgt Kurus Kurus Normal Gemuk n % n % n % n % 1 Tingkat Pengeluaran - Kuintil I - Kuintil II - Kuintil III - Kuintil IV - Kuintil V 67 78 55 42 34 14,2 18,1 16,0 14,1 16,7 46 44 28 21 16 9,7 10,2 8,1 7,0 7,9 284 225 204 183 120 60,2 52,2 59,3 61,4 59,1 75 84 57 52 33 19,9 19,5 16,6 17,4 16,3 2 Pendidikan Ibu - Rendah - Sedang - Tinggi 93 87 96 16,0 18,2 13,9 60 47 48 10,3 9,9 7,0 320 268 428 55,0 56,2 62,1 109 75 117 18,7 15,7 17,0 3 Status Gizi Ibu - Kurus - Normal - Gemuk - Obesitas 33 186 20 21 22,0 16,6 12,2 10,7 16 104 16 12 10,7 9,3 9,8 6,1 80 641 97 131 53,3 57,3 59,1 66,5 21 168 31 33 14,0 16,8 18,9 16,8 4 Anggota Keluarga - Besar - Sedang - Kecil 57 94 125 18,0 14,4 16,0 28 60 67 8,9 9,2 8,6 176 377 463 55,7 57,9 59,3 55 120 126 17,4 18,4 16,1 Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga tidak terlihat perbedaan prevalensi status gizi indikator BB/TB antara rumah tangga pada semua kuintil. Hal tersebut dimungkinkan karena pengeluaran yang dihitung adalah pengeluaran total artinya tingkat pengeluaran yang tinggi belum tentu untuk keperluan makanan. Menurut tingkat pendidikan ibu prevalensi sangat kurus paling tinggi pada kelompok ibu dengan tingkat pendidikan sedang (9-12 tahun) dan prevalensi kurus paling tinggi pada kelompok ibu berpendidikan rendah (< 9 tahun). Semakin baik tingkat pendidikan ibu semakin baik juga status gizi anak, hal ini ditunjukan dengan meningkatnya prevalensi anak gizi normal pada kelompok ibu dengan tingkat pendidikan tinggi dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan rendah dan sedang.

64 Status gizi ibu yang dinilai berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) berhubungan dengan status gizi anaknya. Hal tersebut terbukti dengan semakin baik status gizi ibu prevalensi status gizi normal pada anak semakin meningkat. Prevalensi sangat kurus dan kurus paling tinggi pada kelompok ibu dengan IMT < 18. Berdasarkan jumlah anggota keluarga prevalensi sangat kurus paling tinggi pada kelompok rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang lebih banyak tetapi prevalensi kurus paling banyak pada kelompok dengan anggota rumah tangga sedang. Hal tersebut menunjukan bahwa tidak ada hubungan secara langsung jumlah anggota kelurga dengan status gizi anak (Tabel 16). Tabel 17 Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/TB No Peubah Status Gizi berdasarkan BB/TB Sgt Kurus Kurus Normal Gemuk n % n % n % n % 1 Penyakit Infeksi - Pernah infeksi - Tidak pernah 156 120 16,9 14,6 73 82 7,9 10,0 552 464 59,7 56,3 143 158 15,5 19,2 2 Pemantauan pertumbuhan - Buruk - Kurang - Baik 52 78 146 36,1 22,9 11,6 20 40 95 13,9 11,7 7,5 52 162 802 36,2 47,5 63,5 20 61 220 13,9 17,9 17,4 Berdasarkan Tabel 17 di atas, dapat dilihat bahwa anak dengan status gizi sangat kurus prevalensinya lebih tinggi pada kelompok anak yang pernah menderita penyakit infeksi dalam 12 bulan terakhir dibandingkan dengan anak yang tidak pernah menderita infeksi. Kelompok anak yang tidak pernah menderita penyakit infeksi mempunyai prevalensi status gizi normal lebih tinggi dibandingkan anak yang pernah menderita penyakit infeksi. Pemantauan pertumbuhan secara rutin berhubungan dengan peningkatan status gizi anak. Hal tersebut terlihat dari anak yang tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir mempunyai prevalensi status gizi sangat kurus dan kurus lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak yang rutin dilakukan pemantauan

65 pertumbuhannya. Adanya peningkatan prevalensi anak dengan status gizi normal pada kelompok dengan pemantauan pertumbuhan baik ( 4 kali dalam 6 bulan terakhir). Pemantauan pertumbuhan dapat mendeteksi lebih dini jika ada tanda tanda masalah gizi yang dihadapi anak sehingga dapat dilakukan perbaikan dengan cepat. Tabel 18 Sebaran Anak menurut Sanitasi Lingkungan, Pelayanan Kesehatan dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/TB No Peubah Status Gizi berdasarkan BB/TB Sgt Kurus Kurus Normal Gemuk n % n % N % n % 1 Sanitasi Lingkungan - Buruk - Kurang - Baik 9 185 82 30,0 16,0 14,6 1 109 45 3,3 9,4 8,0 17 664 335 56,7 57,3 59,8 3 200 98 10,0 17,3 17,5 2 Akses Yankes - Buruk - Kurang - Baik 29 197 50 17,5 15,9 14,5 17 107 31 10,2 8,7 9,0 90 720 206 54,2 58,3 59,5 30 212 59 18,1 17,2 17,1 3 Pemanfaatan Yankes - Buruk - Kurang - Baik 72 132 72 20,2 16,4 12,3 38 69 48 10,6 8,6 8,2 181 470 365 50,7 58,3 62,4 66 135 100 18,5 16,7 17,1 Berdasarkan sanitasi lingkungan tempat tinggal responden terlihat prevalensi tertinggi status gizi sangat kurus pada kelompok dengan sanitasi lingkungan yang buruk dan prevalensi tertinggi status gizi kurus pada kelompok dengan sanitasi kurang. Adanya peningkatan prevalensi status gizi normal seiring dengan perbaikan sanitasi lingkungan. Akses terhadap pelayanan kesehatan berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi status gizi sangat kurus dan kurus yang semakin meningkat pada kelompok yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan kurang dan buruk. Sebaliknya prevalensi status gizi normal semakin meningkat dengan bertambah baiknya akses terhadap pelayanan kesehatan ini berarti dengan kemudahan dalam menjangkau pelayanan kesehatan akan menunjang peningkatan status gizi anak.

66 Pemanfaatan pelayananan kesehatan juga berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi status gizi sangat kurus dan kurus yang semakin meningkat pada kelompok yang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan. Sebaliknya prevalensi status gizi normal semakin meningkat dengan bertambah baiknya tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan ini berarti dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia akan mencegah terjadinya penurunan status gizi anak (Tabel 18). Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Status gizi berdasarkan indikator tinggi badan / panjang badan menurut umur (TB/U) merupakan gambaran status gizi dalam jangka waktu yang lama (kronis), artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku, pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena hygiene dan sanitasi yang kurang baik. Indeks TB/U mengambarkan pertumbuhan skletal yang dalam keadaan normal berjalan seiring dengan pertambahan umur (Riyadi 2003). Tabel 19 Sebaran Anak menurut Status Gizi berdasarkan Indikator TB/U dan Provinsi di Sumatera No Provinsi Status Gizi berdasarkan TB/U Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n % 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau 40 85 41 38 22 20 25 27 19 11 24,8 20,5 12,5 24,7 19,3 13,3 21,7 21,1 17,9 14,4 16 34 35 11 12 17 17 11 10 13 9,9 8,2 10,6 7,1 10,5 11,3 14,8 8,6 9,4 16,9 105 296 253 105 80 113 73 90 77 53 65,2 71,3 76,9 68,2 70.2 75,3 63,5 70.3 72,6 68,8 Total 328 18,8 176 10,1 1.245 71,2

67 Tabel 19 menyajikan prevalensi status gizi anak usia 6 11 bulan berdasarkan indikator panjang badan menurut umur di 10 provinsi wilayah Sumatera. Prevalensi sangat pendek tertinggi di Provinsi DI Aceh dan terendah di Provinsi Sumatera Barat. Masalah gizi kronis (sangat pendek + pendek) masih diatas angka rata rata yaitu di Provinsi DI Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu dan Kepulauan Riau. Masalah pendek pada anak usia 6 11 bulan masih tinggi yaitu 28,9%. Namun jika dibandingkan dengan prevalensi pendek anak usia 6 11 bulan masih dibawah angka nasional yaitu 34,2%. Tabel 20 Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Status Gizi berdasarkan Indikator TB/U Berat Bayi Lahir (gram) Status Gizi berdasarkan TB/U Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n % - < 2.500-2.500 - < 3.000-3.000 - < 3.500-3.500 26 87 124 91 31,3 18,9 18,0 17,0 6 55 70 45 7,2 11,9 10,2 8,7 51 319 493 382 61,4 69,2 71,8 73,7 Berdasarkan Tabel 20 di atas, prevalensi sangat pendek paling tinggi pada kelompok anak anak yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram (31,3% tetapi prevalensi pendek paling tinggi pada kelompok anak dengan berat lahir 2.500 < 3.000 gram (11,9%). Adanya peningkatan prevalensi status gizi normal sesuai dengan peningkatan berat bayi lahir. Kelompok anak yang lahir dengan berat badan 3.500 gram setelah berusia 6 11 bulan mempunyai prevalensi sangat pendek paling sedikit dibandingkan kelompok yang lahir dengan berat < 3.500 gram.

68 Tabel 21 Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi Demografi dan Status Gizi berdasarkan Indikator TB/U No Peubah Status Gizi berdasarkan TB/U Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n % 1 Tingkat Pengeluaran - Kuintil I - Kuintil II - Kuintil III - Kuintil IV - Kuintil V 91 88 64 51 34 19,3 20,4 18,6 17,1 16,7 45 37 48 28 18 9,5 8,6 14,0 9,4 8,9 336 306 232 220 151 71,2 71,0 67,4 73,6 74,4 2 Pendidikan Ibu - Rendah - Sedang - Tinggi 127 88 113 21,8 18,4 16,4 50 51 75 8,6 10,7 10,9 405 339 501 69,6 70,9 72,2 3 Status Gizi Ibu - Kurus - Normal - Gemuk - Obesitas 26 221 25 28 17,3 19,7 15,2 14,2 13 108 18 26 8,7 9,6 11,0 13,2 111 791 121 143 74,0 70,6 73,8 72,6 4 Jumlah anggota keluarga - Besar - Sedang - Kecil 56 133 139 17,7 20,4 17,8 35 54 87 11,1 8,3 11,1 225 464 556 71,2 71,3 71,1 Berdasarkan Tabel 21, dapat dilihat ada perbedaan prevalensi status gizi sangat kurus pada kelompok dengan tingkat pengeluaran rumah tangga dan terjadi penurunan dengan bertambah baiknya pendapatan/pengeluaran. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam jangka waktu yang lama pengeluaran akan mempengaruhi jenis dan macam bahan makanan yang dipilih dan disesuaikan dengan ketersediaan uang. Menurut tingkat pendidikan ibu prevalensi sangat kurus paling tinggi pada kelompok ibu dengan tingkat pendidikan rendah (< 6 tahun). Semakin baik tingkat pendidikan ibu semakin baik juga status gizi anak, hal ini ditunjukan dengan meningkatnya prevalensi gizi normal pada kelompok ibu dengan tingkat pendidikan tinggi dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan rendah dan sedang.

69 Status gizi ibu yang dinilai berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) terlihat prevalensi masalah gizi kronis pada kelompok ibu dengan status gizi normal paling tinggi. Hal tersebut menunjukan tidak ada hubungan antara status gizi ibu dengan status gizi anaknya. Berdasarkan jumlah anggota keluarga prevalensi sangat pendek paling tinggi pada kelompok rumah tangga dengan anggota rumah tangga 4-6 orang (20,4%) dan prevalensi kurus paling banyak pada kelompok dengan anggota rumah tangga kecil dan besar yaitu 11,1%. Berdasarkan Tabel 22 di atas, dapat diihat bahwa anak dengan status gizi sangat pendek prevalensinya lebih tinggi pada kelompok anak yang pernah menderita penyakit infeksi dalam 12 bulan terakhir sedangkan prevalensi status gizi normal tidak ada perbedaan antara kelompok anak yang pernah menderita penyakit infeksi maupun yang tidak pernah menderita infeksi. Tabel 22 Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan dan Status Gizi berdasarkan Indikator TB/U No Peubah Status Gizi berdasarkan TB/U Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n % 1 Penyakit Infeksi - Pernah infeksi - Tidak pernah 166 162 19,7 17,9 99 77 9,3 10,7 660 585 71,0 71,4 2 Pemantauan pertumbuhan - Buruk - Kurang - Baik 31 77 220 21,5 22,6 17,4 18 55 33 12,5 7,3 10,5 99 239 911 66,0 70,1 72,1 Pemantauan pertumbuhan berhubungan dengan peningkatan status gizi anak karena dengan memantau pertumbuhan anak dapat dideteksi secara dini jika ada kelainan gizi pada anak. Hasil penelitian terlihat anak yang tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir mempunyai prevalensi masalah gizi kronis (sangat pendek + pendek) lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak yang dilakukan pemantauan pertumbuhan secara rutin. Adanya peningkatan prevalensi anak dengan status gizi normal pada kelompok dengan pemantauan pertumbuhan 4 kali dalam 6 bulan terakhir.

70 Tabel 23 Sebaran Anak menurut Sanitasi Lingkungan, Pelayanan Kesehatan dan Status Gizi berdasarkan Indikator TB/U No Peubah Status Gizi berdasarkan TB/U Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n % 1 Sanitasi Lingkungan - Buruk - Kurang - Baik 5 223 100 16,7 19,3 17,8 2 123 51 6,7 10,6 9,1 23 812 410 76,7 70,1 73,1 2 Akses Yankes - Buruk - Kurang - Baik 38 228 62 22,9 18,4 17,9 17 120 39 10,2 9,7 11,3 111 889 245 66,9 71,9 70,8 3 Pemanfaatan Yankes - Buruk - Kurang - Baik 90 144 94 25,2 17,9 16,0 42 78 56 11,8 9,7 9,6 225 584 436 63,0 72,5 74,4 Berdasarkan sanitasi lingkungan tempat tinggal responden terlihat prevalensi tertinggi status gizi sangat pendek dan pendek pada kelompok dengan sanitasi lingkungan yang kurang. Akses terhadap pelayanan kesehatan berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi status gizi sangat pendek paling tinggi pada kelompok yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan buruk. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dengan kemudahan dalam menjangkau pelayanan kesehatan akan menunjang peningkatan status gizi anak. Pemanfaatan pelayananan kesehatan juga berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi status gizi sangat pendek dan pendek yang semakin meningkat pada kelompok yang memanfaatkan pelayanan kesehatan kurang dan buruk. Sebaliknya prevalensi status gizi normal semakin meningkat dengan bertambah baiknya tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan ini berarti dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia akan mencegah terjadinya penurunan status gizi anak (Tabel 23).

71 30,0% 25,0% 20,0% 15,0% 10,0% 24,7% 13,7% 15,8% 9,1% 8,9% 18,8% 10,1% 28,9% < -3 SD < -2 SD (<-3 SD + <-2 SD) 5,0% 4,6% 0,0% Underweight Wasting Stunting Gambar 2 Besaran Masalah Gizi di Sumatera berdasarkan Indikatot BB/U, BB/TB dan TB/U Berdasarkan ciri masalah gizi diketahui bahwa di wilayah Sumatera menghadapi masalah gizi akut-kronis, dimana prevalensi balita wasting mencapai 24,7% (> 5%), balita stunting mencapai 28,9% (> 20%) dan balita status gizi underweight sebesar 13,7% (> 10%). Tiga indeks status gizi dapat dijadikan pedoman dalam menentukan ciri masalah gizi di suatu wilayah apakah ciri masalah gizi akut, masalah gizi kronis atau masalah gizi akut-kronis. Depkes RI (2009) membagi 3 (tiga) masalah gizi wilayah berdasarkan WHO (World Health Organization), yaitu : 1) Suatu wilayah memiliki masalah gizi akut, jika banyak balita wasting (gabungan kurus dan sangat kurus) (> 5%), sedikit balita stunting (gabungan pendek dan sangat pendek) (< 20%) dan banyak balita underweight (> 10%) ; 2) Suatu wilayah memiliki masalah gizi kronis, jika balita stunting (> 20%), sedikit balita gizi underweight (< 10%) dan sedikit balita wasting (< 5%); 3) Suatu wilayah memiliki masalah gizi akut-kronis, jika banyak balita wasting (> 5%), banyak balita stunting (> 20%) dan balita underweight (> 10%).

72 Faktor - Faktor yang mempengaruhi Berat Bayi Lahir Berdasarkan hasil analisis Regresi Linier Berganda diperoleh bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap berat bayi lahir adalah pemeriksaan kehamilan, paritas, umur ibu saat hamil dan pendidikan ibu. Pemeriksaan kehamilan memberikan kontribusi pengaruh yang paling kuat diantara variabel yang lainnya yaitu 6,43%. Secara keseluruhan keempat variabel memberikan kontibusi terhadap berat bayi lahir sebesar 8,45%. Paritas atau urutan kelahiran memberikan kontribusi terhadap berat badan lahir sebesar 0,4% setelah faktor pemeriksaan kehamilan masuk ke dalam model. Umur ibu ibu pada saat hamil memberikan pengaruh negatif terhadap berat bayi lahir artinya semakin tua umur ibu pada saat hamil akan mengurangi berat bayi lahir. Pemeriksaan kehamilan, pendidikan ibu yang lebih baik dapat meningkatkan berat bayi lahir. Sedangkan anak yang lahir pada urutan ke dua atau tiga mempunyai berat bayi lahir yang lebih baik dibandingkan anak pertama (Tabel 24). Model persamaannya adalah : Ŷ= 3222,19 + 416,99 X 5 + 44,56 X 7-10,98X 4 + 39,44 X 1 Tabel 24 Faktor Faktor yang mempengaruhi Berat Bayi Lahir Kode Peubah B T R 2 Parsial Sig X 5 X 7 X 4 X 1 Intercept Pemeriksaan Kehamilan Paritas Umur Ibu Pendidikan Ibu 3222,19 416,99 44,56-10,98 39,44 1305,90 18,96 70,20 13,01 8,99 0,0643 0,0041 0,0090 0,0072 0,0000 0,0000 0,0001 0,0003 0,0028 N = 1.749 R 2 0,0845 Pemeriksaan Kehamilan Pemeriksaan kehamilan merupakan pemeriksaan yang diberikan kepada ibu hamil oleh tenaga kesehatan selama kehamilannya, dengan jumlah standar kunjungan selama hamil minimal 4 kali. Adapun jenis pemeriksaan kehamilan yaitu pemeriksaan kehamilan yang diperoleh oleh ibu hamil dari tenaga kesehatan meliputi ; pengukuran tinggi badan. pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan tinggi fundus, pemberian tablet Fe, pemberian Imunisasi TT, penimbangan berat badan, pemeriksaan Hb dan pemeriksaan urine.

73 Pertumbuhan janin merupakan hasil interaksi antara potensi genetik dengan lingkungan ibu yang mulai memasuki masa kehamilan. Ibu hamil yang sehat dan tidak mengalami masalah pada organ-organ reproduksinya, berpeluang melahirkan bayi yang lebih sehat dibandingkan ibu yang mengalami masalah kesehatan dan gizi. Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan sejak dini akan memungkinkan diketahuinya kelainan atau masalah kesehatan yang dihadapi ibu selama proses kehamilannya, sehingga dapat diambil langkah langkah yang dapat menyelamatkan janin dan ibunya (Ebrahim 1985). Selain itu sesuai dengan petunjuk dari Departemen Kesehatan bahwa selama kehamilan seorang ibu hamil minimal harus memperoleh pelayanan antenatal sebanyak 4 kali, masing-masing satu kali pada trimester I dan II, dua kali pada trimester III. Pelayanan yang harus diperoleh pada saat memeriksakan kehamilan adalah pelayanan 5T (timbang badan, periksa tekanan darah, imunisasi TT, ukur tinggi fundus dan memperoleh tablet Fe). Salah satu jenis pelayanan dalam pemeriksaan kehamilan adalah memperoleh tablet tambah darah (tablet Fe). Ibu hamil memerlukan zat besi lebih banyak dibandingkan ibu yang tidak hamil sehingga harus mendapatkan tambahan berupa suplemen tablet Fe berhubungan dengan peningkatan kadar haemoglobin dalam darah yang berfungsi mengikat dan mendistribusikan oksigen ke sel-sel jaringan tubuh, termasuk ke dalam sel jaringan janin. Apabila kadar Hb < 11 gr% (anemia) pada saat hamil, maka distribusi oksigen ke jaringan akan berkurang sehingga metabolisme jaringan menurun, termasuk pada janin pertumbuhan akan terhambat dan berakibat berat badan bayi rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Roudbari et al di Zahedan - Republik Islam Iran tahun 2004 menyebutkan bahwa BBLR disebabkan oleh tidak mendapatkan suplemen Fe dan jarak kelahiran < 3 tahun. Penelitian Singh et al (2007) di Amerika Serikat juga menunjukan bahwa pemeriksaan kehamilan < 3 kali merupakan penyebab BBLR dan sejalan dengan penelitian di India yang menghasilkan kunjungan antenatal care (ANC) yang kurang dan ANC yang terlambat akan memberikan dampak yang besar terhadap berat bayi lahir (Velankar 2008).

74 Paritas Paritas (urutan kelahiran) merupakanrhubungan dengan berat bayi lahir. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Elshibly E dan Schmalisch G di Sudan yang menyatakan bahwa paritas menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi berat badan lahir. Primiparity dikaitkan dengan peningkatan risiko relatif untuk BBLR sebesar 2,16. Beberapa penelitian lainnya telah menunjukkan bahwa berat lahir meningkat dengan urutan kelahiran. Hirve et al, di India menemukan risiko relatif 1,3 lebih tinggi untuk BBLR anak kelahiran pertama dan di Afrika Lawoyin menemukan bahwa bayi yang lahir pertama 3,1 kali memiliki risiko kematian lebih tinggi. Paritas dan umur ibu saling berkaitan sebagai faktor risiko pertumbuhan dan perkembangan anak. Landers (1984) dalam Yongky (2007) mendapatkan bahwa sampai dengan 3 kehamilan pertama, jumlah kehamilan berhubungan dengan berat lahir rendah, sedangkan sesudah itu hubungan tersebut tidak lagi sistematis. Mata dan Wyat (1971) dalam Yongky (2007) menyatakan bahwa paritas pada umumnya menggambarkan jarak dua kehamilan yang manifestasinya nyata pada persediaan energi dan zat gizi ibu serta kemampuan ibu untuk memelihara kehamilan dan memberikan ASI sesudah kelahiran anak. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengurangi risiko kejadian BBLR. Penelitian yang dilakukan oleh Lee, et al (2007) menjelaskan bahwa program kunjungan rumah ibu hamil dengan fokus pada dukungan sosial, pendidikan kesehatan dan akses terhadap pemberi layanan promosi dan kesehatan dapat menurunkan risiko BBLR. Umur Ibu Umur ibu pada saat hamil mempengaruhi kondisi kehamilan ibu karena selain berhubungan dengan kematangan organ reproduksi juga berhubungan dengan kondisi psikologis terutama kesiapan dalam menerima kehamilan serta berhubungan dengan pengetahuan dan tingkat pendidikan. Umur ibu menentukan efisiensi reproduksi. Ibu yang terlalu muda mungkin tidak memiliki kematangan

75 fisiologis untuk menanggung tambahan beban saat hamil. Secara psikologis sikap perasaan ambivalen ibu hamil muda tentang kehamilan membuatnya tidak memperhatikan pentingnya perawatan kehamilan yang memadai. Sebaliknya ibu yang lebih tua mulai menunjukan pengaruh proses penuaannya. Kejadian BBLR dan kematian neonatus meningkat pada ibu yang berumur < 15 tahun dan > 35 tahun. Ibu yang berumur antara 25 dan 35 tahun mengalami kehamilan yang terbaik (Wortington R & Williams 2000). Kehamilan dibawah umur 20 tahun merupakan kehamilan berisiko tinggi. Angka kesakitan dan kematian ibu demikian pula bayi, 2 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan pada wanita yang telah cukup umur (Unicef, 2002). Masa reproduksi wanita pada dasarnya dibagi dalam 3 periode yaitu kurun reproduksi muda (15-19 tahun), kurun reproduksi sehat (20-35 tahun) dan reproduksi tua ( 36-45 tahun). Pembagian ini didasarkan atas data epidemiologi bahwa risiko kehamilan rendah pada kurun reproduksi sehat dan meningkat lagi secara tajam pada kurun reproduksi tua (Depkes RI 1995). Pendidikan Ibu Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan ibu mengenai kehamilan yang sedang berlangsung. Semakin baik pengetahuan ibu maka diharapkan ibu semakin mengerti tentang kesehatannya saat hamil dan berhubungan dengan pemilihan makanan bergizi pada saat hamil serta akan memeriksakan kehamilan secara rutin. Hasil penelitian Madanijah (2003) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Beberapa studi memperkuat hasil penelitian ini yaitu Alisyahbana (1990) menemukan hal yang bermakna antara pendidikan dengan kejadian BBLR, ibu

76 yang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup mempunyai risiko 1,7 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan ibu yang berpendidikan kurang. Penelitian yang dilakukan oleh Eltahir M dan Schmalisich di Sudan tahun 2007 menyebutkan bahwa usia ibu dan antropometri ibu berhubungan dengan berat bayi lahir. Ibu dengan tingkat pendidikan rendah (< 9 tahun) dan kurang gizi meningkatkan risiko relatif BBLR. Prevalensi BBLR berbeda antara kelompok ibu yang berpendidikan < 9 tahun (9,2%) dan kelompok ibu dengan pendidikan > 12 tahun (6,0%). Penelitian di Tanzania menunjukan bahwa Ibu dengan pendidikan rendah mempunyai risiko 4 kali lebih mungkin untuk melahirkan BBLR daripada pendidikan tinggi (Siza 2002). Sanitasi lingkungan juga berhubungan dengan berat bayi lahir yang dihubungkan dengan penyakit infeksi yang pernah diderita oleh ibu pada waktu hamil. Penelitian ini tidak melihat penyakit infeksi yang pernah diderita oleh ibu hamil karena tidak tersedianya data pada Riskesdas 2007 dan ini merupakan salah satu keterbatasan dalam penelitian ini. Berdasarkan study terhadap beberapa literatur, diindikasikan ibu yang tinggal di lingkungan sanitasi kurang cenderung lebih mudah untuk terkena penyakit infeksi dimana penyakit infeksi akan berdampak terhadap pertumbuhan janin dalam kandungannya. Penelitian Watson-Jones et al (2007), menyebutkan bahwa ibu hamil yang menderita penyakit malaria berisiko 7,76 kali melahirkan anak BBLR dibandingkan ibu yang tidak menderita malaria. Penelitian di Medical Center Tanzania (2002) juga menyebutkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan BBLR adalah penyakit infeksi (HIV), hipertensi, komplikasi (TBC, Malaria, Anemia) dan malnutrisi (Siza 2002). Faktor Faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak Berdasarkan model penyebab kurang gizi yang dikembangkan UNICEF 1998, gizi salah (malnutrition) disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan tidak cukupnya asupan gizi secara kuantitas maupun kualitas; sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh akses dan kualitas pelayanan

77 kesehatan, pola asuh anak yang kurang memadai, kurang baiknya kondisi sanitasi lingkungan serta rendahnya ketahanan pangan ditingkat rumah tangga. Menurut Soetjiningsih (1998), ada dua faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan anak, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Pengaruh faktor lingkungan ini jauh lebih besar dibandingkan faktor genetik. Selanjutnya, untuk faktor lingkungan, dirinci menjadi lingkungan biologis, lingkungan fisik, faktor psikososial, faktor keluarga dan adat istiadat. Berdasarkan hasil analisis Regresi Linier Berganda diperoleh bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap status gizi anak berdasarkan indikator BB/U adalah pemantauan pertumbuhan, sanitasi lingkungan, berat bayi lahir, penyakit infeksi pemanfaatan pelayanana kesehatan dan status gizi ibu. Pemantauan pertumbuhan memberikan kontribusi terhadap status gizi anak sebesar 2,87% dan sanitasi lingkungan memberikan kontribusi 2,48% setelah faktor pemantauan pertumbuhan masuk kedalam model. Berat bayi lahir memberikan kontribusi terhadap status gizi anak ketika berusia 6 11 bulan sebesar 2,14% setelah faktor pemantauan pertumbuhan dan sanitasi lingkungan masuk kedalam model. Secara keseluruhan keenam variabel memberikan kontribusi terhadap status gizi 8,75%. Penyakit infeksi memberikan efek negatif artinya jika anak terkena penyakit infeksi dapat menurunkan/memperburuk status gizi anak sedangkan variabel yang lain memberikan efek positif (Tabel 25). Adapun model persamaan yang diperoleh adalah : Ŷ= - 5,38755+0,110X 2 +0,055X 6 +0,00043X 3-0,233X 7 +0,0119X 5 + 0,019X 9 Tabel 25 Faktor Faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U Kode Peubah B T R 2 Parsial Sig X 2 X 6 X 3 X 7 X 5 X 9 Intercept Pemantauan Pertumbuhan Sanitasi Lingkungan Berat Bayi Lahir Penyakit Infeksi Pemanfaatan Yankes Status Gizi Ibu -5,38755 0,11002 0,05505 0,00043-0,23328 0,01904 0,01915 126,94 31,77 39,76 35,82 10,56 7,74 3,85 0,0287 0,0248 0,0214 0,0057 0,0046 0,0022 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0012 0,0055 0,0499 N= 1.749 R 2 0,0875