II TINJAUAN PUSTAKA. berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat

dokumen-dokumen yang mirip
DRAFT PEDOMAN UMUM PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS LEMBAGA MANDIRI YANG MENGAKAR DI MASYARAKAT (LM3) TAHUN ANGGARAN 2008

Perilaku Petani Terhadap Program Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Agribisnis Peternakan

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

PERSEPSI PETANI TERHADAP PERAN KELEMBAGAAN PENYULUHAN DALAM MENDUKUNG SISTEM INTEGRASI DI KECAMATAN KERUMUTAN KABUPATEN PELALAWAN

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA. Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur :

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 25/Permentan/PL.130/5/2008 TENTANG PEDOMAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN USAHA PELAYANAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pendamping dan pembimbing pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR RENCANA KERJA ( RENJA )

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

PENGANTAR. Ir. Suprapti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering ditemukan bahwa

I. PENDAHULUAN. A. Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38/PERMEN-KP/2013 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERIKANAN

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. subsektor peternakan. Suatu negara dapat dikatakan sistem

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KONSOLIDASI USAHATANI SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN

BAB III METODE PENELITIAN. wilayah di Kecamatan Ungaran Barat dalam usaha pengembangan agribisnis sapi

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2011 TENTANG

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 16/Permentan/OT.140/2/2008 TANGGAL : 11 Pebruari 2008 BAB I PENDAHULUAN. 1.1.

BAGIAN PEREKONOMIAN DINAS PERTANIAN ,95 JUMLAH

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA)

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PENGANTAR AGRIBISNIS

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis

BAB I PENDAHULUAN. melalui kegiatan lain yang bersifat komplementer. Salah satu kegiatan itu adalah

PENGENALAN KONSEP AGRIBISNIS MAHASISWA DAPAT MENJELASKAN KONSEP AGRIBISNIS

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

PENDAHULUAN. Sentra Peternakan Rakyat (yang selanjutnya disingkat SPR) adalah pusat

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi dalam upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG

KERTAS KERJA EVALUASI KESELARASAN SASARAN PROGRAM DAN KEGIATAN BESERTA INDIKATOR KINERJA SKPD

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Penataan Wilayah Pengembangan FAKULTAS PETERNAKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 Monitoring dan Evaluasi dalam Program Pemberdayaan

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT,

BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. berdirinya perusahaan-perusahaan perunggasan. Peternakan unggas, utamanya

BAB I PENDAHULUAN. kuantitas maupun kualitasnya. Keberhasilan pembangunan sub sektor

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

Hubungan antara Karakteristik Petani dan Dinamika Kelompok Tani dengan Keberhasilan Program PUAP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

PENETAPAN KINERJA DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN JOMBANG TAHUN ANGGARAN 2015

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. berlanjut hingga saat ini. Dunia perunggasan semakin popular di kalangan

KEMENTERIAN PERTANIAN RI DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PETERNAK

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

Selanjutnya tugas pembantuan tersebut meliputi : 1. Dasar Hukum 2. Instansi Pemberi Tugas Pembantuan

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

KONSEP, SISTEM DAN MATA RANTAI AGRIBISNIS ILLIA SELDON MAGFIROH KULIAH III WAWASAN AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI, UNIVERSITAS JEMBER 2017

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DA TAHUN DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANA

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. usaha agribisnis di pedesaan, program pengembangan usaha agribisnis pedesaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. populasi, produktifitas, kualitas, pemasaran dan efisiensi usaha ternak, baik

LAPORAN AKHIR KINERJA DAN PERSPEKTIF PENGEMBANGAN MODEL AGROPOLITAN DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH BERBASIS AGRIBISNIS.

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

HAMDAN SYUKRAN LILLAH, SHALATAN WA SALAMAN ALA RASULILLAH. Yang terhormat :

PROFIL DISTANNAK NAGAN RAYA

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

PENINGKATAN PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN MUTU TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN BERBASIS TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2013

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI BARAT, Menimbang

PENGANTAR. Latar Belakang. merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan

GENDER BUDGET STATEMENT (Pernyataan Anggaran Gender)Tahun : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN Target. Realisasi Persentase URAIAN (Rp)

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 39 TAHUN 2007

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PETERNAKAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT*)

Transkripsi:

7 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prilaku Petani Pola-pola perilaku merupakan cara-cara masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut (Soekanto, 1990 dalam Karunianingtias, 2005). Lebih khususnya lagi dijelaskan oleh Rogers dan Shomaker (Karunianingtias, 2005) perilaku merupakan tindakan nyata atau action yang dapat dilihat atau diaamati. Perilaku tersebut terjadi akibat adanya proses penyampaian pengetahuan suatu stimulus sampai ada penentuan sikap untuk melakukan atau tidak melakukan, dan hal ini dapat dilihat dengan menggunakan panca indra. Selanjutnya Suyatna (Karunianingtias, 2005) berpendapat bahwa perilaku merupakan hakekat dari tujuan penyuluhan yang mempunyai tiga aspek : (1) pengetahuan (cognitif), (2) sikap (affective) dan (3) keterampilan/penerapan. Tiga unsur tersebut secara mendalam diuraikan sebagai berikut. 2.1.1. Aspek pengetahuan A. Pengertian Dinyatakan oleh Mardikanto (Karunianingtias, 2005), bahwa mengetahui berarti memahami dengan pikiran tentang segala ilmu, teknologi, dan informasi yang disampaikan penyuluh dan harus dilakukan. Pengetahuan tidak hanya sekedar dapat mengemukakan atau mengucapkan tentang apa yang diketahui akan tetapi, setidak tidaknya dapat 7

8 menggunakan pengetahuan dalam praktek usahataninya, bahkan sampai dengan tahap menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi segala sesuatu berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki. B. Tingkat pengetahuan Bloom, 1964 (dalam Mardikanto, 1993) membagi tingkat pengetahuan sebagai berikut. 1 Mengetahui, adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengucapkan kembali dengan kata-kata yang sama persis, hafal, dan ingat tetapi belum mengertikan maksudnya. 2 Memahami, adalah kemampuan seseorang untuk lebih sekedar tahu, bisa menjelaskan lebih lanjut dengan bahasa dan kata-kata sendiri serta dapat menunjukkan dengan contoh. 3 Menggunakan, adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengetahuan dalam memecahkan atau menjawab persoalan. 4 Menganalisis, adalah kemampuan seseorang untuk menguraikan menjadi komponen-komponen atau bagian-bagian dan menjelaskan hubungan dan strukturnya tetap dimengerti. 5 Mensintesis, adalah memadukan kemampuan seseorang untuk menggunakan pengetahuan untuk mensintesa sesuatu barang atau ide baru.

9 6 Mengevaluasi, adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengetahuannya dalam mengevaluasi atau mengkritik dan menilai sesuatu. C. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan 1 Pendidikan Menurut YB Mantra yang dikutip Notoadmojo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan (Nursalam, 2003) pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi 2 Pekerjaan Pekerjaan yang dimaksud semakin lama atau beragam pengalaman selama bekerja nantinya tingkat pengetahuan seseorang akan lebih baik ketimbang dengan seseorang yang kurang berpengalaman. 3 Umur Menurut Elisabeth BH yang dikutip Nursalam (Wawan dan Dewi, 2010), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok (Wawan dan Dewi, 2010) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercayai

10 dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat/petani dalam bekerja. 2.1.2. Aspek sikap A. Teori tentang sikap Festinger (Wawan dan Dewi, 2010) dalam teorinya mengemukakan bahwa sikap individu itu biasanya konsisten satu dengan yang lain dan dalam tindakannya juga konsisten satu dengan yang lainnya. Menurut Festinger apa yang dimaksud dengan komponen kognitif ialah mencakup pengetahuan, pandangan, kepercayaan tentang lingkungan, tentang seseorang atau tentang tindakan. B. Pengertian sikap Thurstone (Karunianingtias, 2005) sikap didefinisikan sebagai jumlah seluruh kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan perasangka, prapemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal khusus. Tapi pada tahun 1931 ia mengemukakan secara sederhana bahwa sikap adalah menyukai atau menolak suatu objek psikologis. Dinyatakan oleh Emory Bogardus (Karunianingtias, 2005) bahwa sikap merupakan suatu kecenderungan bertindak ke arah atau menolak faktor lingkungan. C. Komponen sikap Menurut Baron (Wawan dan Dewi, 2010) dan gerungan menyatakan bahwa ada tiga komponen yang membentuk sikap sebagai berikut.

11 1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsikan terhadap sikap. 2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negative. Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu positif dan negatif. 3) Komponen konatif (komponen perilaku), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecendrungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecendrungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. D. Tingkatan dan sifat sikap Sikap terdiri atas berbagai tingkatan yakni sebagai beriut Mardikanto, 1993 (dalam Karuningtias, 2005). 1) Menerima Kemampuan seseorang untuk menyadari, menerima, dan memperhatikan secara selektif terhadap hal baru. 2) Merespon Kemampuan seseorang untuk menanggapi dan menunjukkan kepuasannya terhadap sesuatu hal baru.

12 3) Menilai Kemampuan seseorang untuk menerima nilai-nilai, memilih, dan menunjukkan kesempatan. 4) Mengorganisasikan Kemampuan seseorang untuk mengembangkan konsep-konsep dan nilai-nilai. 5) Menghayati Kemampuan seseorang untuk mengubah dan menunjukkan sikapnya yang mantap. Sikap dapat pula bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif seperti yang dikemukakan oleh Heri Purwanto, 1998 : 63 (Wawan dan Dewi, 2010), yaitu Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu. Sikap negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu. E. Cara pengukuran sikap Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat/pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan peryataan pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo,2003 dalam Wawan dan Dewi, 2010).

13 Ada lima faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran sikap (Hadi, 1971 dalam Wawan dan Dewi, 2010) seperti (1) keadaan obyek yang diukur, (2) situasi pengukuran, (3) alat ukur yang digunakan, (4) penyelenggaraan pengukuran, (5) pembacaan atau penilaian hasil pengukuran. Skala Likert (Method of Summated Ratings), dimana Likert (1932) mengajukan metodenya sebagai alternatif yang lebih sederhana dibandingkan dengan skala Thurstone. Skala Thurstone yang terdiri dari 11 point disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu favorable dan yang unfavorable. Sedangkan aitem yang netral tidak disertakan. Untuk mengatasi hilangnya netral tersebut, Likert menggunakan teknik konstruksi test yang lain. Masing masing responden diminta melakukan egreement atau disagreement-nya untuk masing masing aitem dalam skala yang terdiri dari 5 point (Sangat setuju, Setuju, Ragu-ragu, Tidak setuju, Sangat tidak setuju). Semua aitem yang favorable kemudian diubah nilainya dalam angka, yaitu untuk sangat setuju nilainya 5 sedangkan untuk yang sangat tidak setuju 1. Sebaliknya, untuk aitem yang unfavorable nilai skala sangat setuju adalah 1 sedangkan untuk yang sangat tidak setuju nilainya 5. Seperti halnya skala Thurstone, Skala Likert disusun dan diberi sekor dengan skala interval sama (equal-interva scale). 2.1.3 Aspek penerapan Penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah diketahui ke dalam situasi atau kaitan yang

14 baru atau menggunakan pengetahuan itu untuk memecahkan atau menjawab persoalan (Sutjipta, 1996 dalam Wawan dan Dewi, 2010). Dalam penerapan usaha agribisnis dibutuhkan kejelian di dalam pengelolaannya sehingga dari bibit sampai siap untuk dijual, nantinya hasil penjualan yang didapat akan lebih baik. Diharapkan anggota LM3 mengikuti aturan dan teknik atau cara-cara pengembangan agribisnis. Namun perlu diingat, hasil yang baik tidak akan diperoleh apabila pengetahuan petani rendah walaupun tingkat penerapannya baik, begitu juga sebaliknya apabila tingkat pengetahuan tinggi tetapi tingkat penerapannya rendah terhadap pengembangan agribisnis. 2.2 Konsep Agribisnis Semakin bergemanya kata agribisnis ternyata belum diikuti dengan pemahaman yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering ditemukan bahwa agribisnis diartikan sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis, tersebut masih jauh dari konsep semula yang dimaksud. Konsep agribisnis sebenarnya adalah suatu konsep yang utuh, mulai dari proses produksi, mengelola hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Menurut Arsyad, 1985 (dalam Soekartawi, 2003), yang dimaksud agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah-satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas. Yang

15 dimaksud dengan ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian. Perlunya pengembangan agribisnis karena peranan agribisnis dalam suatu negara agraris seperti Indonesia besar sekali. Hal ini disebabkan oleh cakupan aspek agribisnis adalah meliputi kaitan dari mulai proses produksi, pengolahan sampai pada pemasaran termasuk di dalamnya kegiatan lain yang menunjang kegiatan proses produksi pertanian serta kegiatan lain yang ditunjang oleh kegiatan pertanian. Agribisnis peternakan mulai dikenal dan berkembang di Indonesia sekitar pertengahan tahun 1980-an. Agribisnis peternakan merupakan sebuah sistem pengelolahan ternak secara terpadu dan menyeluruh yang meliputi semua kegiatan mulai dari pembuatan (manufacture) dan penyaluran (distribution) sarana produksi ternak (sapronak), kegiatan usaha produksi (budi daya), penyimpanan dan pengoahan, serta penyaluran dan pemasaran produk peternakan yang didukung oleh lembaga penunjang perbankan dan kebijakan pemerintah. Ini penting dipahami oleh pelaku usaha peternakan agar pengelolaan usahanya menjadi lebih efisien. Selain itu, dimaksudkan pula agar pelaku usaha memahami pola atau alur usaha peternakan secara umum. Dalam agribisnis peternakan, sumber daya manusia (peternakan) menjadi sangat penting karena berperan sebagai subjek, yaitu sebagai pengelola kegiatan usaha.

16 A. Mata rantai agribisnis peternakan Mata rantai agribisnis peternakan terdiri dari empat rangkaian kegiatan ekonomi sebagai berikut. 1) Sub sistem agribisnis praproduksi (hulu) adalah mata rantai pertama dalam kegiatan usaha peternakan. Praproduksi merupakan subsistem agribisnis yang melakukan kegiatan ekonomi untuk menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi ternak (sapronak). Jenis usaha atau industri yang terlibat dalam subsistem ini antara lain usaha pembibitan, industri pakan, industri obat-obatan, dan industri penyediaan peralatan ternak. 2) Sub sistem usaha produksi (budi daya), yaitu kegiatan ekonomi yang menggunakan sapronak untuk menghasilkan produk primer (daging, susu, dll). 3) Sub sistem pascaproduksi (hilir) merupakan kegiatan usaha ekonomi yang meliputi pengelolaan produk ternak beserta pemasarannya. Kegiatan yang dilakukan antara lain penanganan produk primer dengan memberi nilai tambah sehingga menghasilkan produk olahan. Pengolahan susu segar menjadi susu bubuk, pengalengan daging, pembuatan keju, dan sosis adalah sebagian kegiatan dalam sub sistem pasca produksi. 4) Sub sistem jasa penunjang peternakan, yaitu lembaga yang menyediakan jasa bagi ketiga sub sistem peternakan seperti transportasi, pelatihan, penyuluhan, perbankan dan kebijakan pemerintah. Lembaga atau jasa

17 pendukung tersebut sangat dibutuhkan oleh usaha-usaha yang tercakup di setiap sub sistem agribisnis peternakan. Sebagai gambaran bahwa masyarakat yang ingin terjun dalam usaha tani ternak atau peternak yang ingin mengembangkan usahanya membutuhkan modal awal atau tambahan modal. Bank sebagai salah satu lembaga penunjang menyediakan kebutuhan tersebut. Begitu pula dukungan dari penyuluh dan konsultan peternakan sangat dibutuhkan peternak dalam rangka peningkatan keterampilan pengelolahan usaha. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa tanpa dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan, niscaya usahausaha di sektor peternakan tidak akan berkembang. Para pelaku agribisnis peternakan harus memahami bahwa mata rantai agribisnis peternakan dapat dipandang sebagai suatu sistem industri peternakan. Artinya, setiap sub-sistem dalam agribisnis peternakan merupakan unit-unit usaha yang secara manajemen terpisah, tetapi saling memiliki ketergantungan.sebagai contoh, pada sub sistem praproduksi (hulu) terdapat unit usaha atau industri pembibitan sapi penggemukan, industri pakan, obatobatan. Pada sub sistem usaha produksi terdapat usaha budidaya sapi penggemukan. Sementara pada subsistem pascaproduksi (hilir) terdapat usaha pemotongan sapid dan industri sosis sapi. Semua unit tersebut saling membutuhkan. Usaha pembibitan sapi penggemukan, misalnya memasarkan bibit sapi ke peternak untuk dibesarkan menjadi sapi potong. Selanjutnya peternak menjual hasil pembesaran ke rumah potong hewan atau langsung menjual ke konsumen.

18 Pemahaman konsep agribisnis peternakan menjadi sangat penting bagi para pelaku, terutama pada ternak. Ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim usaha terpadu sehingga mengarah kepada efisiensi usaha. Pera pelaku agribisnis peternakan bisa memilih salah satu sub sistem dari mata rantai agribisnis peternakan yang sesuai untuk diusahakan. 2.3 LM3 (Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat) 2.3.1 Konsepsi Pada awalnya LM3 yang diberdayakan dan difasilitasi adalah lembaga Pondok Pesantren. Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga yang difasilitasi mencakup juga lembaga-lembaga keagamaan, antara lain seminari, paroki, pasraman, gereja, subak dan vihara, yang berkedudukan di perdesaan dan mempunyai nilai strategi dalam menyampaikan pesan pembangunan melalui kegiatan pendidikan moral dan sosial di dalam msyarakat, serta mempunyai kekuatan dan potensi untuk dikembangkan sebagai penggerak pembangunan perdesaan. Potensi LM3 yang dapat dimanfaatkan sebagai penggerak perkembangan agribisnis antara lain sebagai berikut. 1 Mempunyai sumberdaya lahan pertanian yang cukup potensial dan masyarakat di sekitarnya yang berusaha di bidang pertanian; 2 Mempunyai sumberdaya manusia, dalam hal ini tokoh agama yang kharismatik, yang menjadi panutan bagi warga LM3 dan masyarakat sekitarnya;

19 3 Merupakan kelembagaan yang strategis untuk mendesiminasikan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) agribisnis; dan 4 Merupakan pasar potensial hasil pertanian untuk menghuni kebutuhan sendiri dan masyarakat sekitarnya. Pada tahun 2009 Departemen Pertanian akan melanjutkan fasilitas LM3 untuk mengembangkan usaha agribisnis yang telah dirintis melalui pemberdayaan SDM, penguatan kelembagaan dan penguatan modal usaha serta pendampingan, yang dilaksanakan oleh berbagai unit kerja Eselon I Departemen Pertanian sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Untuk itu Departemen Pertanian merencanakan alokasi dana sebesar Rp. 250,00 milyard untuk kegiatan pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis di 33 provinsi. Pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3 dilakukan secara terpadu mulai dari proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi yang didasarkan pada indikator kinerja, sehingga program pembangunan agribisnis dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan akuntabel. Pemberdayaan LM3 dimaksudkan untuk mengatasi rendahnya penguasaan teknologi dan manajemen serta lemahnya SDM dan kelembagaan LM3, sedangkan fasilitas dana bantuan sosial penguatan modal LM3 dimaksudkan untuk mengatasi masalah dan pengembangan usaha agribisnis di LM3, seperti keterbatasan modal untuk pengembangan usaha hulu, budidaya, hilir dan jasa penunjang. Dana tersebut ditransfer langsung ke rekening LM3

20 untuk dikelola secara terorganisasi dengan mekanisme, cara, dan bentuk ikatan tertentu. Pola pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis di LM3 seperti ini diharapkan dapat merangsang tumbuh dan berkembangnya usaha agribisnis di pedesaan. Agar kegiatan tersebut dapat mencapai tujuan yang ditetapkan, maka diperlukan pedoman pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis di LM3. 2.3.2 Strategi operasional Strategi operasional pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3 meliputi empat hal seperti di bawah ini. 1. Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dilaksanakan melalui: (a) Pelatihan bagi pengelola agribisnis LM3, (b) Pelatihan bagi pendamping LM3, dan (c) Workshop diikuti oleh pengurus LM3. 2. Optimalisasi potensi agribisnis yang tersedia di LM3 dapat dilaksanakan melalui: (a) identifikasi potensi agribisnis dan daya dukung sumberdaya yang tersedia, (b) pemanfaatan sumberdaya untuk usaha agribisnis dan introduksi teknologi tepat guna, dan (c) Pendampingan usaha. 3. Penguatan modal pengembangan usaha agribisnis LM3 dilaksanakan melalui: (a) Penyaluran dana bantuan sosial kepada LM3 terpilih dan (b) Fasilitas kemitraan dengan sumber permodalan lainnya. 4. Penguatan kapasitas kelembagaan LM3 dilaksanakan melalui: (a) Pengembangan kelembagaan ekonomi, (b) Pengembangan jaringan usaha,

21 (c) Fasilitas pengembangan manajemen usaha, dan (d) Fasilitas terhadap akses pemasaran. 2.3.3 Komponen kegiatan Komponen kegiatan pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3 tahun 2009 meliputi sebagai di bawah ini. 1. Sosialisasi program dalam rangka membangun kesiapan dan kesediaan berpartisipasi dalam kegiatan. 2. Seleksi LM3 melalui identifikasi, vertifikasi, dan validitas. 3. Penetapan LM3 terpilih melalui Keputusan Mentri Pertanian. 4. Pemberdayaan SDM LM3 terpilih melalui pelatihan dan pengembangan LM3 Model. 5. Workshop pemantapan Rencana Usaha/Kegiatan (RUK) LM3. 6. Penyaluran dana bantuan sosial kerekening LM3 di bank untuk penguatan modal usaha agribisnis. 7. Pertemuan/silahturahmi nasional (1) membangun keterpaduan dan koordinasi pembinaan LM3 lintas sektoral; (2) membangun jejaring kerja sama dan kemitraan LM3 dengan berbagai pihak yang terkain; (3) memperomosikan hasil-hasil kegiatan pengembangan LM3 melalui ajang pameran; dan (4) mengevaluasi pelaksanaan kegiatan LM3. 8. Pendampingan kegiatan pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3. 9. Pembinaan, koordinasi, dan supervise pelaksanaan kegiatan pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3.

22 10. Monitoring, evaluasi, dan pengawasan kegiatan pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3. 11. Pelaporan kegiatan pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3. 2.3.4 Sasaran kegiatan Sasaran kegiatan pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3 yaitu sebagai berikut. 1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para pengelola LM3 di bidang agribisnis. 2. Menguatkan modal usaha LM3 untuk mengembangkan usaha agribisnis. 3. Meningkatkan produksi, produktivitas usaha, mutu yang berdaya saing dan memiliki nilai tambah sehingga meningkatkan pendapatan LM3 dan masyarakat sekitarnya dari usaha agribisnis. 4. Berkembangnya usaha agribisnis LM3 termasuk diversifikasi produk; 5. Menguatnya kelembagaan usaha agribisnis LM3. 6. Meningkatnya kemandirian dan jaringan kerja sama antara LM3 serta antara LM3, stakeholder, dan masyarakat. 7. Berfungsinya LM3 sebagai motivator dan fasilitator pengembangan usaha masyarakat di sekitar (agent of development) khususnya dalam bidang agribisnis. 8. Berkembangnya LM3 sebagai embrio pembentukan inti kawasan pembangunan ekonomi masyarakat berbasis agribisnis.

23 2.3.5 Indikator keberhasilan Indikator keberhasilan berupa masukan (input), keluaran (output), hasil (outcame), manfaat (benefit), dan dampak (impact) kegiatan pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3. 2.3.6 Penanggung jawab fasilitasi kegiatan Penanggung jawab fasilitasi kegiatan pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3 sebagai berikut. (a) Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, (b) Direktorat Jenderal Hortikultural, (c) Direktorat Jenderal Peternakan, (d) Direktorat Jenderal Pengelolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, (e) Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, serta (f) Peran Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, swasta, dan Masyarakat. 2.4 Kerangka Pemikiran Salah satu strategi pembangunan pertanian yang dilaksanakan oleh Departemen Pertanian yaitu pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis berbasis LM3. Pada awalnya LM3 yang difasilitasi yaitu lembaga pondok pesantren, dalam perkembangan lebih lanjut juga mencangkup lembagalembaga keagamaan lainnya seperti seminari, paroki, pasraman, subak, vihara yang kedudukan, kekuatan, dan potensinya sebagian besar berada di perdesaan. Pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2008 Departemen Pertanian, melalui Direktorat Jenderal Peternakan memfasilitasi LM3 untuk mengembangkan usaha agribisnis yang telah dirintis melalui pemberdayaan

24 SDM, penguatan kelembagaan, dan penguatan modal usaha serta pendampingan usaha. Direktorat Jenderal Peternakan bertanggung jawab untuk memfasilitasi pengembangan agribisnis peternakan melalui kerjasama dengan Dinas Peternakan Kab. Klungkung di LM3 Dadia Pura Panti Kebon Tubuh. Adanya LM3 ini diharapkan dapat menggerakan perekonomian perdesaan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan kesempatan berusaha di perdesaan. Namun tingkat keberhasilan program pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis peternakan pada LM3 dapat dilihat melalui perilaku petani yang meliputi pengetahuan petani tentang program, dan sikap petani penerima program, serta terhadap penerapan program usaha agribisnis peternakan oleh petani. Sehingga dapat menjawab judul penelitian yang berkaitan dengan perilaku petani. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan penerapan oleh petani penerima program pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis peternakan pada LM3 Dadia Pura Panti Kebon Tubuh di Dusun Penasan, Desa Tihingan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, maka analisis yang digunakan adalah analisis deskritif dengan menggunakan penilaian skor berdasarkan Skala Likert. Dari penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang akan diteliti seperti pengetahuan petani tentang program, sikap petani terhadap program, dan penerapan bantuan usaha agribisnis peternakan petani. Hasil penelitian akan direkomendasikan kepada Direktorat Jendral Peternakan

25 sebagai penanggung jawab untuk memberikan fasilitas pengembangan agribisnis peternakan pada LM3 terpilih. Berdasarkan uraian tersebut maka kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1. Ditjen. Peternakan Dinas Peternakan Kab. Klungkung Pendampingan/Pembinaan oleh Penyuluh LM3 Dadia Pura Panti Kebon Tubuh Pengetahuan Petani Sikap Petani Penerapan oleh Petani Perilaku Petani Penerima Program Usaha Agribisnis Peternakan Rekomendasi Gambar 1. Kerangka Perilaku Petani Program Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Agribisnis Peternakan pada LM3 Dadia Pura Panti Kebon Tubuh Tahun 2011