BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Tinjaun Pustaka 2.1.1. Klasifikasi Tanaman Gandum Jenis gandum yang dikembangkan di Indonesia adalah Triticumaestivum. Menurut Brewer (2013) klasifikasi tanaman gandum adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae (tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhanpembuluh) Super divisi : Spermatophyta (bibittumbuhan Divisi : Magnoliophyta (tumbuhanberbunga) Class : Liliopsida (berkepingsatuataumonokotil) Sub kelas : Commelinidae Order : Cyperales Family : Poaceae(keluargarerumputan) Genus : Triticum L. Species : Triticumaestivum L. Gandum (Triticum aestivum) merupakan spesies yang berasal dari genus Triticum, Tribe Triticeae, dan Famili Poaceae. Triticeae merupakan Tribe dari famili Poaceae yang terdiri lebih dari 15 genus dan 300 spesies yang termasuk gandum dan barley (Wittenberg, 2004 dalam Nur, 2013). Wilson (1955) dalam Nur (2013) mengklasifikasikan gandum berdasarkan kegunaannya yang meliputi gandum keras (hard wheat) yang memiliki kandungan gluten dan protein tinggi serta cocok untuk pembuatan roti; gandum lunak (soft wheat) yang memiliki kandungan gluten dan protein yang lebih rendah, cocok untuk pembuatan kue-kue kering, biskuit, dan crackers, dan gandum durum. Gandum durum : gandum yang memiliki kandungan gluten dan protein sangat rendah, cocok untuk pembuatan macaroni dan spaghetti.
2.1.2. Syarat Tumbuh Tanaman Gandum Menurut Rudiyanto dkk (2002) dalam Puspita (2012), tanaman gandum akan tumbuh baik pada kondisi lingkungan sebagai berikut: 1) Suhu udara 10⁰C - 25⁰C. 2) Memerlukan penyinaran matahari yang panjang, tetapi saat ini banyak varietas baru yang dikembangkan dimana tanaman gandum dapat tumbuh juga pada daerah dengan panjang penyinaran 9-13 jam/hari. 3) Curah hujan yang diperlukan berkisar 350 mm 1250 mm selama siklus hidupnya, dimana kondisi kering justru diperlukan terutama mulai berbunga hingga panen. 4) Terbentuknya bunga fertil diperlukan suhu udara yang rendah (dingin) pada saat stadia berbunga. Suhu udara minimum bagi pertumbuhan tanaman gandum adalah 2⁰C - 4⁰C dan suhu optimum adalah 15⁰C - 25⁰C dan suhu maksimum adalah 37⁰C. Perkecambahan gandum akan baik pada kondisi suhu optimum dengan kelembaban tanah tinggi. Tanaman gandum tahan terhadap genangan air hingga maksimum 15 hari. Bila lebih dari 15 hari maka akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena pada kondisi tersebut tanah mengalami reaksi anaerob. 2.1.3 Stadia Perkembangan Tanaman Gandum Pertumbuhan dan perkembangan tanaman gandum dibagi dalam beberapa stadia. Menurut Feekes dan Zadoks (Miller, Travis D. 1992) ada 11 skala yang digunakan dalam pengklasifikasian stadia tanaman gandum yang dimulai dari saat benih gandum berkecambah sampai pada saat tanaman gandum siap dipanen. Stadia pertumbuhan tanaman gandum dengan skala Feekes sebagai berikut: Stadia 1.0: Stadia ini ditandai dengan munculnya daun pertama dari koleoptil atau ujung tunas diikuti oleh daun ke-2, ke-3 dan seterusnya. Pada stadia ini titik tumbuh berada di bawah permukaan tanah. Setiap bakal daun yang berkembang diikuti oleh pembentukan anakan pada ketiak daun. Stadia 2.0: Stadia ini ditandai dengan munculnya tunas anakan ke permukaan tanah. Anakan terbentuk dari tempat yang sama dengan koleoptil induk tanaman. 4
Stadia 3.0: Stadia ini ditandai dengan terbentuknya anakan. Stadia 4.0: Stadia ini ditandai dengan batang semu mulai muncul, akar sekunder mulai berkembang, dan pelepah daun mulai memanjang. Stadia 5.0: Stadia ini ditandai dengan batang semu yang berdiri tegak. Perubahan inisiasi daun menjadi inisiasi bunga dikenal dengan stadia titik tumbuh ganda. Pada stadia ini pembentukan bakal daun telah berakhir, sehingga jumlah daun tidak bertambah. Stadia 6.0: Stadia ini ditandai dengan buku pertama pada batang sejati yang nampak pada dasar tunas anakan. Malai akan berkembang di atas buku pertama. Terkadang buku pertama terkubur dalam tanah. Pada stadia ini pembentukan anakan telah berhenti, kemudian dilanjutkan dengan pemanjangan ruas, jumlah bunga perbulir mencapai maksimum, dan bakal bunga mulai berkembang. Stadia 7.0: Stadia ini ditandai dengan buku kedua terlihat, bulir mulai berkembang. Pada stadia ini bakal bunga telah tercapai. Stadia ini sulit untuk dideteksi, karena buku tertutup pelepah daun dan tidak terlalu menonjol. Stadia 8.0: Stadia ini ditandai dengan daun bendera terakhir pada ujung batang semu terbentuk, tetapi masih menggulung. Sementara itu bulir mulai terbentuk di dalam batang semu sehingga ruas paling atas mulai membengkak. Stadia 9.0: Stadia ini ditandai dengan ligula atau daun bendera pada daun terakhir mulai terlihat. Daun bendera berkembang sempurna, bulir berkembang dalam pelepah daun bendera yang dikenal dengan stadia bunting. Mulai stadia ke 6 sampai stadia ke 9, bakal bunga mengalami kematian atau abortus. Hal ini disebabkan oleh persaingan fotosintat dengan organ tanaman lainnya. Jumlah bakal bunga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Stadia 10.0: Stadia ini ditandai dengan pelepah daun terakhir terbentuk dengan sempurna, sementara itu pembengkakan ruas paling atas akibat pembentukan bulir mulai terlihat dengan jelas, tetapi bulir belum muncul. Stadia 10.1: Stadia ini ditandai dengan ekor bulir mulai terlihat melalui robekan pelepah daun terakhir. Stadia 10.2: Stadia ini ditandai dengan seperempat bagian dari bulir telah terbentuk. 5
Stadia 10.3: Stadia ini ditandai dengan setengah bagian dari bulir telah terbentuk. Bulir terbentuk di atas ketiak daun bendera. Pada stadia ini tinggal 30-40% bakal bunga yang akan menjadi bakal biji. Stadia 10.4: Stadia ini ditandai dengan tiga perempat bagian dari bulir telah terbentuk. Stadia 10.5: Stadia ini ditandai dengan seluruh bagian bulir sudah keluar dari pelepah daun paling atas. Stadia 10.5.1: Stadia ini ditandai dengan dimulainya pembungaan pada bulir bagian atas dan muncul beberapa bunga kecil. Stadia 10.5.2: Stadia ini ditandai dengan pembungaan yang sudah selesai terjadi pada bagian atas dari akar bulir. Stadia 10.5.3: Stadia ini ditandai dengan seluruh bunga mekar sempurna. Stadia 10.5.4: Stadia ini ditandai dengan bulir mulai berisi cairan karbohidrat. Stadia 11.0: Stadia ini sering disebut dengan pematangan. Pematangan sendiri telah dibagi menjadi seperti dibawah. Stadia 11.1: Stadia ini ditandai dengan butir terisi cairan karbohidrat sampai penuh sehingga bulir terlihat mengembang penuh tetapi masih lembek dan bila dipecah akan keluar cairan putih seperti susu, sehingga disebut masak susu. Stadia 11.2: Stadia ini ditandai dengan masak tepung, bulir mulai mengeras, kadar air mulai berkurang tetapi bulir masih terasa agak lunak. Stadia 11.3: Stadia ini ditandai dengan bulir sudah mengeras. Stadia 11.4: Stadia ini ditandai dengan tanaman gandum benar-benar sudah kering, batang gandum sudah mati dan mulai menguning. Keadaan ini menunjukkan bahwa gandum harus segera dipanen. 6
2.1.4. Hama dan Penyakit Tanaman Gandum A. Hama 1. Belalang Salah satu kendala yang dihadapi dalam penanaman gandum adalah hama belalang (Locusta migratoria). Belalang betina mampu menghasilkan telur sekitar 270 butir. Telur berwarnakeputih-putihan dan berbentuk buah pisang, tersusun rapi sekitar 10 cm di bawah permukaan tanah (Sedyowati, 2011). Menurut BPOPT (2000) lihat Sedyowati (2011), telur akan menetas setelah 17 hari. Imago betina yang berwarna coklat kekuningan siap meletakkan telur setelah 5-20 hari, tergantung temperatur. Seekor betina mampu menghasilkan 6-7 kantong telur dalam tanah dengan jumlah telur 40 butir per kantong. Imago betina hanya membutuhkan satu kali kawin untuk meletakkan telur-telurnya dalam kantong-kantong tersebut. Imago jantan yang berwarna kuning mengkilap berkembang lebih cepat dibandingkan dengan betina. Lama hidup dewasa adalah 11 hari. Siklus hidup rata-rata 76 hari, sehingga dalam setahun dapat menghasilkan 4-5 generasi di daerah tropis, terutama Asia Tenggara. Di daerah subtropis, serangga ini hanya menghasilkan satu generasi per tahun. Belalang kembara mengalami tiga fase pertumbuhan populasi yaitu fase soliter, fase transien, dan fase gregaria. Pada fase soliter, belalang hidup sendiri-sendiri dan tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman. Pada fase gregaria belalang kembara hidup bergerombol dalam kelompok-kelompok besar, berpindah-pindah tempat dan merusak tanaman secara besar-besaran (Sedyowati, 2011). Perubahan fase dari soliter ke gregaria dan dari gregaria kembali ke soliter dipengaruhi oleh iklim, melalui fase yang disebut transien. Perubahan fase soliter ke gregaria dimulai pada awal musim hujan setelah melewati musim kemarau yang cukup kering (di bawah normal). Pada saat itu, biasanya terjadi peningkatan populasi belalang soliter yang berdatangan dari berbagai lokasi ke suatu lokasi yang secara ekologis sesuai untuk berkembang. Lokasi tersebut biasanya berupa lahan yang terbuka atau banyak ditumbuhi rumput, tanah gembur berpasir, dan dekat sumber air (sungai, danau, rawa) sehingga kondisi tanah cukup lembab. Setelah berlangsung 3-4 generasi, apabila kondisi lingkungan 7
memungkinkan, fase soliter akan berkembang menjadi fase gregaria, melalui fase transien. Lokasi ini dikenal sebagai lokasi pembiakan awal (Sedyowati, 2011). Perubahan fase gregaria kembali ke fase soliter biasanya terjadi apabila keadaan lingkungan tidak menguntungkan bagi kehidupan belalang, terutama karena pengaruh curah hujan, tekanan musuh alami dan atau tindakan pengendalian oleh manusia. Perubahan ini juga melalui fase transien (Sedyowati, 2011). Belalang kembara pada fase gregaria aktif terbang pada siang hari berkumpul dalam kelompok-kelompok besar. Pada senja hari, kelompok belalang hinggap pada suatu lokasi, biasanya untuk bertelur pada lahan lahan kosong, berpasir, makan tanaman yang dihinggapi, dan kawin. Pada pagi hari, kelompok belalang terbang untuk berputar-putar atau pindah lokasi. Pertanaman yang dihinggapi pada malam hari biasanya dimakan sampai habis. Kelompok besar nimfa (belalang muda) biasanya berpindah tempat dengan berjalan secara berkelompok. Sepanjang perjalanannya juga memakan tanaman yang dilewati. Tanaman yang paling disukai belalang kembara adalah kelompok Graminae yaitu padi, jagung, sorgum, tebu, alang-alang, gelagah, dan berbagai jenis rumput. Selain itu, belalang juga menyukai daun kelapa, bambu, kacang tanah, petsai, sawi, dan kubis daun. Tanaman yang tidak disukai antara lain adalah kacang hijau, kedelai, kacang panjang, ubi kayu, tomat, ubi jalar, dan kapas (Sedyowati, 2011). 2. Tikus Sawah Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer) merupakan salah satu hama utama pada kegiatan pertanian. Kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan hama tikus ini dapat terjadi mulai dari lapangan sampai ke tempat penyimpanan. Selain itu, tikus sering membawa berbagai macam patogen yang dapat ditularkan kepada manusia, yaitu diantaranya Yersiniosis, Leptospirosis, Salmonellosis dan Lymphochytis choriomeningitis (Meehan, 1984 lihat Deptan 2001 ). Tikus cenderung untuk memilih biji-bijian (serealia) seperti : padi, jagung, dan gandum. Kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang lebih 10% dari bobot tubuhya jika pakan tersebut berupa pakan kering. Hal ini dapat pula ditingkatkan sampai 15% dari bobot tubuhnya jika pakan yang 8
dikonsumsi berupa pakan basah. Kebutuhan minum seekor tikus setiap harinya kira-kira 15-30 ml air (Priyambodo, 1995). Bagian punggung tikus sawah berwarna cokelat muda bercak hitam, perut dan dada berwarna putih, panjang kepala dengan badan 130-210 mm, panjang ekor 120-200 mm dan tungkai 34-43 mm. Jumlah puting susu betina 12 buah, 3 pasang di dada dan 3 pasang diperut. Kepadatan populasi tikus berkaitan dengan fase pertumbuhan tanaman padi (Departemen Pertanian Jakarta, 2006a). Dewasa adalah 68 hari, dan bagi betina masa bunting selama 20-22 hari (Liem, 1979). Tikus termasuk binatang nokturnal, keluar dari sarangnya aktif pada malam hari untuk mencari makan. Untuk itu diperlukan suatu kemampuan yang khusus agar bebas mencari makanan dan menyelamatkan diri dari predator (pemangsa) pada suasana gelap (Ambarwati dan Sagala, 2006). Tikus mempunyai daya cium yang tajam, sebelum aktif atau keluar sarangnya ia akan mencium-cium dengan menggerakkan kepala kekiri dan kekanan. Mengeluarkan jejak bau selama orientasi sekitar sarangnya sebelum meninggalkannya. Urin dan sekresi genital yang memberikan jejak bau yang selanjutnya akan dideteksi dan diikuti oleh tikus lainnya. Bau penting untuk tikus karena dari bau ini dapat membedakan antara tikus sefamili atau tikus asing. Bau juga memberikan tanda akan bahaya yang telah dialami. Selain itu tikus sangat sensitif terhadap suara yang mendadak. Disamping itu tikus dapat mendengar suara ultra. Sedangkan mata tikus khusus untuk melihat pada malam hari. Tikus dapat mendeteksi gerakan pada jarak lebih dari 10 meter dan dapat membedakan antara pola benda yang sederhana dengan obyek yang ukurannya berbeda-beda. Mampu melakukan persepsi/perkiraan pada jarak lebih 1 meter, perkiraan yang tepat ini sebagai usaha untuk meloncat bila diperlukan (Kompas, 2001). Luas wilayah dan jarak jelajah tikus dipengaruhi jumlah sumber pakan dan populasi tikus. Bila sumber pakan berlimpah (fase generatif tanaman), maka jelajah hariannya pendek 50-125 meter dan bila sumber pakan tikus sedikit (fase pengolahan tanah sampai dengan akhir vegetatif), jelajah hariannya panjang dapat mencapai 100-200 meter. Dapat disimpulkan bahwa tikus akan terus melakukan 9
migrasi untuk dapat memperoleh pakan yang sebanyak-banyaknya. Migrasi tikus dapat mencapai 1-2 kilometer (Departemen Pertanian Jakarta, 2006). Habitat tikus umumnya di permukaan tanah, persawahan, padang rumput, perkebunan dan semak belukar. Daerah penyebarannya di kawasan Asia, meliputi Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Filipina, dan termasuk Papua Nugini (Anita, 2003). Tikus sawah mencapai umur dewasa sangat cepat, masa kebuntingannya sangat pendek dan berulang-ulang dengan jumlah anak yang banyak pada setiap kebuntingan. Tikus sawah merupakan hama utama padi yang dapat menimbulkan kerusakan besar pada semua stadia pertumbuhan padi dari persemaian hingga panen, bahkan juga di gudang penyimpanan. Kerusakan parah terjadi jika tikus menyerang padi pada stadia generatif, karena tanaman padi tidak mampu lagi membentuk anakan yang baru. Tikus merusak tanaman padi mulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir, dan menyisakan satu sampai dua baris padi di pinggir petakan pada keadaan serangan berat. Kerusakan tanaman padi pada waktu bunting dan bermalai adalah yang sangat berpengaruh terhadap turunnya produksi (Brooks & Rowe 1979). 3. Walang Sangit Salah satu hama yang menyerang pertanaman gandum. Hama ini menyerang pertanaman setelah padi berbunga. Bulir padi ditusuk dengan rostrumnya, kemudian cairan bulir tersebut dihisap (Domingo dkk, 1982). Akibat serangan hama ini pertumbuhan bulir padi kurang sempurna, biji atau bulir tidak terisi penuh ataupun hampa sama sekali, dengan demikian dapat mengakibatkan penurunan kualitas maupun kuantitas hasil. Walang sangit bertelur pada permukaan daun bagian atas padi dan rerumputan lainnya secara kelompok dalam satu sampai dua baris. Telur berwarna hitam, berbentuk segi enam dan pipih. Satu kelompok telur terdiri dari 1-21 butir, lama periode telur ratarata 5,2 hari (Siwi dkk, 1981). Nimfa berukuran lebih kecil dari dewasa dan tidak bersayap. Lama periode nimfa rata-rata 17,1 hari. Pada umumnya nimfa berwarna hijau muda dan menjadi coklat kekuning-kuningan pada bagian abdomen dan sayap coklat saat dewasa. Walaupun demikian warna 10
walang sangit ini lebih ditentukan oleh makanan pada periode nimfa. Bagian ventral abdomen walang sangit berwarna coklat kekuning-kuningan jika dipelihara pada padi, tetapi hijau keputihan bila dipelihara pada rerumputan (Goot, 1949 lihat Suharto dan Siwi, 1991). Serangga dewasa berbentuk ramping dan berwarna coklat, berukuran panjang sekitar 14-17 mm dan lebar 3-4 mm dengan tungkai dan antena yang panjang. Perbandingan antara jantan dan betina adalah 1:1. Setelah menjadi imago serangga ini baru dapat kawin setelah 4-6 hari, dengan masa pra peneluran 8,1 dan daur hidup walang sangit antara 32-43 hari (Siwi dkk, 1981). Kerusakan yang hebat disebabkan oleh imago yang menyerang tepat pada masa berbunga, sedangkan nimpa terlihat merusak secara nyata setelah pada instar ketiga dan seterusnya. Tingkat serangan dan menurunnya hasil akibat serangga dewasa lebih besar dibandingkan nimfa. Suharto dan Damardjati (1988) melaporkan bahwa 5 ekor walang sangit pada tiap 9 rumpun tanaman akan merugikan hasil sebesar 15%, sedangkan 10 ekor pada 9 rumpun tanaman akan mengurangi hasil sampai 25%. Kerusakan yang tinggi biasanya terjadi pada tanaman di lahan yang sebelumnya banyak ditumbuhi rumput-rumputan serta pada tanaman yang berbunga paling akhir (Willis, 2001). B. Penyebab Penyakit Palm (1918, lihat Semangun 2004) telah meneliti penyakit yang terdapat pada gandum di Jawa sejak tahun 1916. Serangan penyakit pada tanaman gandum di Jawa diakibatkan oleh tingginya kelembaban dan suhu udara (Kadir dan Daradjat, 1989 lihat Semangun 2004). Menurut Bahar dan Kaher (1989, lihat Novita 2006), iklim tropik yang mempunyai karakteristik suhu dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung berkembangnya patogen penyakit gandum, terutama jamur. Pada daerah tropis umumnya tanaman gandum mengalami serangan cukup berat oleh patogen Helminthosporium sp., Fusarium sp., Rhizopus spp., Puccinia sp., Ustilago tritici dan Nigrospora panici. Penyakit utama gandum di daerah tropika disebabkan oleh jamur Helminthosporium spp. Jamur ini menyebabkan penyakit busuk akar (root rot), hawar kecambah dan bercak daun (spot blotch). Semula jamur ini disebut 11
Drechslera sorokiniana. Jamur ini juga disebut Helminthosporium sorokiniana, Bipolaris sorokiniana, dan Helminthosporium sativum (Johnston et al, 1984; Holliday, 1980). Oleh Palm (1918, lihat Semangun 2004), jamur ini disebut Helminthosporium graminearum. Bercak daun (spot blotch) adalah penyakit gandum yang mempunyai daerah penyebaran yang sangat luas dan memberikan kerugian yang cukup besar. Selain menyerang daun, jamur penyebab penyakit ini juga menyerang bulir, akar, dan semai. Adanya penyakit ini di Jawa pernah dilaporkan oleh Palm pada tahun 1918 dan penyakitnya disebut sebagai penyakit bulir. Di Indonesia penyakit ini hanya tersebar di Jawa (Anonim, 1987 lihat Semangun, 2004). Penyakit ini juga dilaporkan terdapat di Thailand (Giatgong, 1980 lihat Semangun 2004), dan India (Misra, 1984 lihat Semangun 2004). Gejala yang ditimbulkan oleh jamur ini dimulai dengan timbulnya bintikbintik jorong, berwarna coklat tua atau hitam pada daun. Bintik-bintik meluas menjadi bercak-bercak memanjang, bentuknya tidak teratur, berwarna coklat muda sampai coklat tua, dengan batas yang jelas. Bercak yang tua berwarna coklat kehijauan karena jamur penyebab penyakit dan membentuk spora. Pada serangan yang berat seluruh daun menjadi kering dan dapat patah. Bulir-bulir yang sakit mula-mula berwarna kekuningan, lalu menjadi coklat tua serta seperti beledu karena adanya konidiofor dan konidium jamur. Biji yang sakit menjadi rusak dan berkerut-kerut (Semangun, 2004). 12