BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seluruh pemerintah daerah (pemda) di Indonesia serempak mengimplementasikan akuntansi berbasis akrual pada tahun 2015. Hal tersebut sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang mengatur batas akhir penerapan akuntansi berbasis cash toward accrual paling lama empat tahun setelah tahun anggaran 2010. Transisi basis akuntansi ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu yang mengatur pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual. Transisi ke akuntansi berbasis akrual tidak hanya memengaruhi pemda sebagai pengelola keuangan negara, tetapi juga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga pemeriksa. Hasil pemeriksaan kinerja dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2015 menilai upaya pemda belum sepenuhnya efektif untuk mengimplementasikan sistem akuntansi pemerintahan berbasis akrual (BPK RI, 2016a). Ketidakefektifan tersebut ditunjukkan dengan adanya permasalahan dalam hal strategi, sumber daya manusia, dan sistem aplikasi yang tidak siap serta regulasi yang belum lengkap. Ketidakefektifan upaya pemda tersebut sejalan dengan hasil penelitian Ritonga (2015) selama Januari s.d. Maret 2015 di Pemda Provinsi XYZ yang mengungkapkan bahwa sebagian besar unit kerja dalam 1
mengimplementasikan akuntansi berbasis akrual terdapat ketidaksesuaian dengan SAP, tetapi terdapat kecenderungan untuk melakukan perbaikan. Lebih lanjut, Ismiyati (2016) melakukan evaluasi atas implementasi akuntansi berbasis akrual pada lima pemda berdasarkan ketepatan waktu pengakuan dan pencatatan. Evaluasi dilakukan berdasarkan periode pengakuan dan pencatatan transaksi ke sistem akuntansi, baik itu tepat waktu, bulanan, semesteran, atau tahunan. Hasilnya menunjukkan tingkat/kadar akrual yang bervariasi. Peringkat tertinggi dicapai oleh Pemkab Karanganyar dengan tingkat akrual sebesar 70%, selanjutnya berturut-turut Pemkab Sleman sebesar 54%, Pemkab Bantul sebesar 52%, Pemda D.I.Y. sebesar 49,09%, dan terakhir Pemkot Yogyakarta dengan tingkat akrual sebesar 38%. Kadar akrual yang bervariasi menunjukkan perbedaan kualitas akuntansi berbasis akrual yang diimplementasikan pemda. Semakin tinggi kadar akrual, semakin bagus kualitas akuntansi berbasis akrual yang diimplementasikan pemda. Sebaliknya, IHPS I Tahun 2016 menunjukkan sebagian besar Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Tabel 1.1 menunjukkan terdapat kenaikan opini WTP sebesar 11% (BPK RI, 2016b). Pada tahun 2014 hanya 252 dari 539 LKPD yang mendapatkan opini WTP, sedangkan pada tahun 2015 naik mejadi 312 dari 533 LKPD. Dari data tersebut, terdapat 84 LKPD yang mengalami kenaikan opini dari Wajar Dengan Pengecualian (WDP) menjadi WTP, 20 LKPD yang mengalami penurunan opini dari WTP ke WDP atau Tidak Wajar (TW), dan 9 LKPD yang terlambat disampaikan ke BPK. Sejalan dengan kenaikan tersebut, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LKPD pada pemda-pemda yang dievaluasi Ismiyati (2016) juga memperoleh opini WTP. 2
Tabel 1.1 Perbandingan Opini LKPD 2014 dan 2015 Tahun Wajar Tanpa Pengecualian Wajar Dengan Pengecualian Tidak Wajar Tidak Meberikan Pendapat Total 2014 252 247 5 35 539 2015 312 187 4 30 533* *Terdapat sembilan pemda yang terlambat menyampaikan LKPD tahun 2015 Kondisi tersebut menunjukkan adanya fenomena LKPD memperoleh opini WTP, tetapi memiliki kadar akrual atau kualitas akuntansi berbasis akrual yang bervariasi. Opini merupakan kesimpulan yang diberikan BPK atas tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang salah satunya didasarkan pada kriteria kesesuaian dengan SAP (UU No. 15 Tahun 2004). Lebih lanjut, Opini WTP menunjukkan laporan keuangan yang disajikan secara wajar, tidak terdapat salah saji material, dan tidak ada penyimpangan dari standar atau prinsip akuntansi (Mahmudi, 2016). Sedangkan kadar akrual yang bervariasi menunjukkan tinggi rendahnya kualitas akuntansi berbasis akrual yang diimplementasikan pemda. Kadar akrual menggambarkan kesesuaian implementasi pemda dengan pengakuan dan pencatatan menurut SAP. Secara tidak langsung, kadar akrual merupakan proxy dari kesesuaian dengan SAP berdasarkan pengakuan dan pencatatan transaksi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis lebih mendalam pertimbangan kualitas akuntansi akrual dalam formulasi opini BPK Perwakilan Provinsi XYZ yang memberikan opini WTP pada pemda-pemda yang memiliki kualitas akuntansi berbasis akrual yang berbeda-beda sesuai dengan hasil riset Ismiyati (2016). 3
2.1 Problem Riset Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat tinggi rendahnya kadar akrual pada pemda-pemda yang memperoleh opini WTP. Tinggi rendahnya kadar akrual mencerminkan kualitas akuntansi berbasis akrual yang diimplementasikan pemda. Dengan demikian, problem dalam riset ini ialah formulasi opini BPK ditengarai tidak mempertimbangkan kualitas akuntansi akrual. 3.1 Pertanyaan Riset Berdasarkan problem riset, pertanyaan yang diajukan dalam riset ini ialah bagaimana kualitas akuntansi akrual dipertimbangkan dalam formulasi opini oleh BPK? 4.1 Tujuan Riset Tujuan riset ialah untuk menganalisis bagaimana BPK mempertimbangkan kualitas akuntansi akrual dalam formulasi opini. 5.1 Kontribusi Riset Hasil riset diharapkan memberikan kontribusi bagi pihak-pihak berikut ini. 1. Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota, sebagai temuan kualitas akuntansi berbasis akrual untuk memperoleh opini WTP 2. BPK, sebagai bahan evaluasi formulasi opini LKPD pada tahun pertama implementasi akuntansi berbasis akrual 3. Akademisi, sebagai referensi dan landasan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan implementasi akuntansi berbasis akrual dan formulasi opini BPK atas LKPD. 4
6.1 Konteks Riset Proses penyusunan laporan keuangan dimulai dari adanya transaksi yang memengaruhi posisi keuangan yang kemudian diakui dan dicatat ke dalam sistem akuntansi (Mahmudi, 2016). SAP mengatur kapan suatu transaksi diakui dan dicatat. Ketentuan tersebut meliputi hal-hal berikut ini. a. Aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh oleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan handal; b. Kewajiban diakui pada saat dana pinjaman diterima atau pada saat kewajiban muncul; c. Pendapatan-LO diakui pada saat timbulnya hak atas pendapatan tersebut atau ada aliran masuk sumber daya ekonomi; d. Pendapatan-LRA diakui pada saat kas diterima di Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan; e. Beban diakui pada saat timbulnya kewajiban, terjadinya konsumsi aset, terjadinya penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa; f. Belanja diakui berdasarkan terjadinya pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan, serta pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan. Namun, pada praktiknya terdapat penundaan atas pengakuan dan pencatatan ke dalam sistem akuntansi. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil evaluasi Ismiyati (2016) terhadap empat kelompok transaksi pada lima pemda yang menunjukkan adanya penundaan pengakuan dan pencatatan. Misalnya, dalam mengakui beban persediaan. Sebagian pemda mengakui beban persediaan pada akhir tahun dan sebagian pemda yang lain langsung mengakui persediaan sebagai beban persediaan. Hal tersebut bertentangan dengan kriteria pengakuan beban seperti yang ditunjukkan pada poin e, yaitu beban diakui pada saat terjadinya konsumsi aset. Ismiyati (2016) melakukan evaluasi implementasi akuntansi berbasis akrual pemda berdasarkan ketepatan pengakuan dan pencatatan. Ketika suatu transaksi dicatat secara tepat waktu diberikan skor 1, bulanan diberikan skor 0,8, dan seterusnya skor 0 untuk pengakuan yang tidak akrual. Penilaian tersebut menunjukkan persentase 5
ketepatan waktu pengakuan dan pencatatan dengan kriteria pengakuan yang diatur dalam SAP atau kadar akrual. Peneliti menggunakan istilah kadar akrual untuk menggambarkan kesesuaian antara ketepatan waktu pengakuan dan pencatatan yang diimplementasikan pemda dengan ketentuan pengakuan yang diatur dalam SAP. Jadi, ketika kadar akrual menunjukkan persentase yang tinggi, hal itu mencerminkan bahwa implementasi pemda dalam mengakui dan mencatat suatu transaksi sesuai dengan kriteria pengakuan yang diatur dalam SAP. Sebaliknya, ketika kadar akrual menunjukkan persentase yang rendah, hal itu menunjukkan terjadinya penundaan pencatatan atau ketidaksesuaian pengakuan dengan kriteria yang diatur dalam SAP. Oleh karena itu, kadar akrual merupakan proxy dari kesesuaian dengan SAP berdasarkan ketepatan pengakuan dan pencatatan. Selain itu, tinggi rendanhya kadar akrual mencerminkan kualitas akuntansi berbasis akrual yang diimplementasikan pemda. Opini WTP merupakan derajat paling tinggi atas laporan keuangan (Zamzami dan Pramesti, 2014) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan (Mahmudi, 2016). Mahmudi (2016) lebih lanjut menjelaskan bahwa kualitas informasi salah satunya dipengaruhi oleh sistem akuntansi. Sistem akuntansi yang baik akan menghasilkan informasi yang berkualitas untuk pengambilan keputusan. Sehubungan dengan fenomena adanya perbedaan kualitas akuntansi berbasis akrual pada pemda-pemda yang memperoleh opini WTP, peneliti tertarik untuk melakukan riset bagaimana BPK mempertimbangkan kualitas akuntansi akrual dalam perumusan opini. Peneliti memilih BPK RI Perwakilan Provinsi XYZ sebagai objek riset. Objek riset dipilih berdasarkan hasil evaluasi Ismiyati (2016), yaitu pemda-pemda yang diperiksa oleh BPK RI Perwakilan Provinsi XYZ. Selain itu, BPK perwakilan tersebut memberikan opini WTP atas semua LKPD yang diperiksa. Adanya keseragaman opini 6
memfokuskan riset dalam menjelaskan pertimbangan kadar akrual dalam formulasi opini LKPD. 7.1 Sistematika Penulisan Secara garis besar, riset ini terbagi ke dalam empat bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut. BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan bab pembuka yang terdiri atas uraian latar belakang, problem riset, pertanyaan riset, tujuan riset, kontribusi riset, konteks riset, dan sistematika penulisan. BAB 2 KAJIAN PUSTAKA Bab ini merupakan hasil studi kepustakaan untuk mempelajari fenomena yang diteliti. Hal tersebut meliputi akuntansi berbasis akrual pada sektor publik, pemeriksaan keuangan atas LKPD, SAP berbasis akrual, kesesuaian dengan SAP sebagai kriteria perumusan opini BPK, kadar akrual sebagai proxy dari kesesuaian dengan SAP, dan penelitian terdahulu. BAB 3 METODE RISET Bab ini merupakan rancangan riset yang akan dilakukan peneliti. Bab ini meliputi gambaran umum objek penelitian, rasionalitas objek riset, sumber dan jenis data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, serta validitas dan reliabilitas data. BAB 4 ANALISIS DAN DISKUSI Bab ini berisi uraian komprehensif mengenai kesimpulan riset berdasarkan rancangan penelitian yang diajukan pada bab tiga untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan pada bab satu. Kesimpulan riset berisi pembahasan analisis studi kasus atas bukti-bukti yang ditemukan dari riset. 7
BAB 5 KESIMPULAN Pada bab terakhir, peneliti menyimpulkan secara ringkas jawaban dari pertanyaan dan tujuan penelitian serta paparan mengenai argumentasi penulis dalam memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan hasil analisis yang telah dilaksanakan. Selain itu, penulis juga akan mengemukakan rekomendasi dan keterbatasan riset. 8