BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan -perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif, maka kaum laki- laki kemudian terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi utuk menjadi ke sifat gender yang ditentukan masyarakat tersebut. Sebaliknya, karena kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya (Fakih,2004). Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini, yang menjadi masalah adalah terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Saat ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, di mana apa yang sesungguhnya gender, justru dianggap
kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap sebagai kodrat perempuan. Padahal kenyataanya, bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, sebenarnya pekerjaan mendidik anak dan pekerjaan domestik lainnya dapat dilakukan oleh kaum laki-laki (Fakih, 2004). Untuk menganalisis permasalahan gender dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori sosial- konflik yang diidentikkan dengan teori Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan laki-laki perempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx seperti F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins. Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi
sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Dalam rumah tangga, suami adalah pihak yang mendominasi. Suami merupakan pemimpin atas istri dan anak-anak, namun rupanya kekuasaan ini tidak selalu dimanfaatkan dengan benar. Demi mempertahankan kekuasaannya, suami dapat melakukanm intimidasi terhadap istri. Lewat konflik - konflik kecil suami dapat menjalankan aksi kekerasan terhadap istrinya hanya demi menunjukkan kepada istri bahwa sang suamilah yang berkuasa (dikutip dari http://sofyansjaf.ipb.ac.id/2010/06/09/memahami-akar-dan-ragamteorikonflik pada tanggal 16/3/2011 pukul 09.58 WIB). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori konflik digunakan untuk melihat bagaimana bentuk relasi kekuasaan antara suami dan istri Etnis Tionghoa dalam pemenuhan hak reproduksi perempuan Etnis Tionghoa dalam ber-kb. Peran gender yang didasari oleh konstruksi sosial serta nilai dan norma ini sering kali menyebabkan perempuan kehilangan hak reproduksinya dalam ber-kb. Corak hubungan antara penguasa (laki-laki) dan yang dikuasai (perempuan) telah menyebabkan perempuan memiliki kesempatan terbatas dalam menentukan jumlah anak, jarak kelahiran anak, dan menolak pemakaian alat kontarsepsi yang tidak nyaman serta keterbatasan untuk mencapai kesehatan seksual dan reproduksi yang setinggi mungkin. 2.2. Hak Reproduksi Perempuan Pada bulan September 1994 di Kairo, 184 negara berkumpul untuk merencanakan suatu kesetaraan antara kehidupan manusia dan sumber daya yang ada.
Untuk pertama kalinya, perjanjian internasional mengenai kependudukan memfokuskan kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan sebagai tema sentral. Konferensi Internasional ini menyetujui bahwa secara umum akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi dapat diwujudkan sampai tahun 2015. Tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan, pelaksana-pelaksana program serta para advokator adalah mengajak pemerintah, lembaga donor dan kelompok-kelompok perempuan serta organisasi nonpemerintah lainnya untuk menjamin bahwa perjanjian yang telah dibuat tersebut di Kairo secara penuh dapat diterapkan di masing-masing negara. Pada International Conference on Population and Development (ICPD) Kairo 1994 tersebut, hak reproduksi dinyatakan sebagai berikut : Hak-hak reproduksi berlandaskan pada pengakuan terhadap hak asasi pasangan atau individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anaknya dan hak untuk memperoleh informasi serta cara untuk melakukan hal tersebut, dan hak untuk mencapai standard kesehatan reproduksi dan seksual yang setinggi mungkin (Mohamad dalam Hidayana,2004). Namun, defenisi yang dikemukakan dalam konferensi Kairo itu masih sangat abstrak dan sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu, menurut Correa dan Pettchesky, untuk menganalisa hak-hak reproduksi dan seksual seseorang, terutama kaum perempuan, ada 4 (empat) prisnsip etika yang harus diperhatikan yaitu : a. Integritas Tubuh Seseorang berhak untuk mendapatkan akses terhadap keamanan dan kontrol pada tubuhnya yang didasarkan pada kebebasan reproduksi dan
seksualnya. Hal ini tidak berarti bahwa tubuh seseorang merupakan sesuatu yang terpisah dari jaringan sosial dan komunitasnya, tetapi tubuh diartikan sebagai bagian yang integral dari kehidupan seseorang di mana kesehatan adalah syarat utama untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial. b. Personhood Seseorang berhak untuk membuat keputusan sendiri tentang hal hal yang menyangkut kesehatan reproduksi dan seksualitasnya. Penerapan program dan kebijakan yang menyangkut kesehatan reproduksi dan seksual, seperti KB, yang lebih banyak diperuntukkan bagi kaum perempuan, dalam prinsip ini harus memperlakukan perempuan sebagai subjek utama, bukan objek. c. Kesetaraan Prinsip kesetaraan menyangkut hak reproduksi dan seksual dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki (gender) maupun hubungan antar perempuan yang dipengaruhi oleh perbedaan kelas, usia, kebangsaan, atau etnis. d. Pembedaan Berbeda dengan prinsip kesetaraan, prinsip pembedaan justru mempertimbangkan perbedaan di antara sesama perempuan dalam hal nilai, budaya, agama, orientasi seksual, kondisi keluarga, kondisi kesehatan, dan lain lain. Selain memperjuangkan penerapan hak reproduksi secara universal, juga harus diingat bahwa kemungkinan hak-
hak tersebut mempunyai makna yang berbeda atau prioritas yang berbeda pada konteks sosial dan budaya yag berbeda. Maka program program kesehatan reroduksi tidak bisa diterapkan secara sragam di semua tempat. Dengan kata lain, secara makro program program kesehatan reproduksi harus bisa melihat dan mempertimbangkan kondisi perbedaan nilai, budaya dan agama dari suatu masyarakat. Sedangkan secara mikro harus bisa mempertimbangkan kondisi kesehatan, dalam hal ini perempuan, yang berbeda pada masing -masing individu (Correa dan Petchesky dalam Hidayana,2004). Saat ini isu kedudukan dan posisi sosial dalam masyarakat masih menomorsatukan kepentingan dan persfektif pria. Keharusan untuk menggunakan kontrasepsi masih ditangan wanita, pengasuhan anak yang menjadi tanggung jawab pihak wanita. Adanya marjinalisasi kepentingan wanita, dan tidak kekerasan terhadap wanita. Untuk itulah perlu kebijakan kependudukan yang sungguh-sungguh bertujuan untuk tercapainya kondisi reproduksi sehat bagi pria dan wanita sebagai subjek. bukan kebijakan yang mengejar target kuantitatif untuk pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Upaya memberikan perhatian kepada masalah hak asasi manusia termasuk pula didalamnya hak reproduksi wanita, sangat perlu mensosialisasikan pandangan social entitlement yaitu bahwa negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memastikan dihapuskannya diskriminasi terhadap wanita.
2.3. Etnis Tionghoa Gendermerupakan seperangkat peran yang dikenakan pada jenis kelamin seseorang. Pada gender ini sangat dipengaruhi oleh tingkat sosial, usia serta latarbelakang budaya etnis (Yulia Celes,1996 dalam http://staff.undip.ac.id/tanggal 20/7/2011, pukul 09.30 WIB). Gender di lingkungan masyarakat Tionghoa secara umum terkait dengan konsep pemikiran mereka tentang alam semesta. Konsep alam dalam budaya Tionghoa adalah menyatunya unsur Yang dan Yin. Yang merupakan simbol dari kekuatan, keperkasaan, keaktifan, cahaya (siang), panas, matahari, arah selatan. Sedangkan Yin ini merupakan simbol dari segala hal yang bersifat pasif, dingin, gelap (malam), bulan, arah utara, yang semuanya merupakan sifat-sifat dasar wanita. Berdasarkan konsep Yang dan Yin ini, jelas tampak telah ada pemisahan sifat dan peran anatara sifat laki-laki dan wanita. Pengaruh budaya dan tradisi yang hidup dalam masyarakat Tionghoa juga mempengaruhi peran gender mereka. Kepercayaan dan ajaran moral Taoisme dan Konfusianisme telah mengajarkan keharmonisan hubungan-hubungan antara anggotaanggota keluarga dan hubungan-hubungan dalam masyarakat. Taoisme mengajar hubungan-hubungan yang harminis antara orangtrua dan anak, suami dan istri, Raja dan rakyat, saudara yang lebih tua dan saudara yang lebih muda. Konfusianisme juga mengatur hubungan-hubungan sosial secara harminis, antara pemerintah dengan para menteri dan rakyat, ayah dengan anak laki-laki, saudara laki-laki tertua dengan yang lebih muda, suami dengan istri dan teman dengan istri. Dari ajaran Taoisme dan Konfusianisme terlihat jelas bahwa kedudukan wanita Tionghoa mempunyai derajat yang sama dengan anggota keluarga yang lain. Namun yang mempengaruhi peran gender dalam masyarakat Tionghoa adalah bahwa
dalam KonfuSianisme menganut sistem patrilineal. Kedudukan ayah dan anak lakilaki sangat penting dalam keluarga. Anak laki-laki tertua akan menggantikan keudukan ayahnya bila ayahnya meninggal (dikutip dari http://staff.undip.ac.id/sastra/indrahti/2009/07/23/kehidupan/wanita/dilingkungan/mas yarakat/cina tanggal 20/7/2011, pukul 09.30 WIB ). Dalam keluarga warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki saja, dan anak laki-laki tertua yang mendapatkan warisan yang paling banyak. Bila dasar-dasar hubungan-hubungan sosial seperti dalam ajaran Tao dan Konfusius dijalankan, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, maka dapat dipastikan bahwa hubungan dengan masyarakat luas juga baik ( http://staff.undip.ac.id/sastra/indrahti/2009/07/23/kehidupan/wanita/dilingkungan/ma syarakat/cina, tanggal 20/7/2011, pukul 09.30 WIB). Keluarga merupakan lembaga yang sangat penting, karena pada hakekatnya keluarga merupakan tempat kelahiran manusia. Penghormatan terhadap keluarga ini juga terkait dengan etik bahwa lakilaki harus menghormati istrinya sebagai orang yang melahirkan manusia. Walaupun demikian, bila istri tidak dapat melahirkan anak laki-laki, maka suaminya boleh menikah lagi. Lambang penghormatan terhadap wanita Tionghoa dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tionghoa yaitu dilaksakannya pemujaan terhadap Dewi Kuan Yin yang menjadi lambang kasih sayang. Dari fakta-fakta yang hidup dalam masyarakat Tionghoa, maka dapat dikatakan bahwa di satu sisi wanita tampak mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki tetapi di satu sisi lain sebagai pelengkap untuk bisa memperkuat kedudukan laki-laki melalui sistem kekerabatan patrilineal.