V. GAMBARAN UMUM KARET ALAM. dikenal dengan nama botani Hevea Brasiliensis berasal dari daerah Amazone di

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

VI. PERKEMBANGAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Karet Alam Indonesia

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

I. PENDAHULUAN. karet dunia dengan mengungguli hasil dari negara-negara lain dan negara asal

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

IV. GAMBARAN UMUM KARET ALAM INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sektor perkebunan merupakan salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No.12 tahun 1992, pasal 1 ayat 4, benih tanaman yang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

KARYA ILMIAH BUDIDAYA KARET

TINJAUAN PUSTAKA. dikembangkan sehingga sampai sekarang asia merupakan sumber karet alam.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. B. Tujuan Penulisan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam mengembangkan

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

PENDAHULUAN. yang penting di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.1, Hal , Januari-April 2014 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Sebagian besar produksi kopi di Indonesia merupakan

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

VIII. DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM. hanya merujuk pada ketidakmampuan individu dalam menghasilkan setiap barang

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

PENDAHULUAN. pertanian. Kenyataan yang terjadi bahwa sebagian besar penggunaan lahan di. menyangkut kesejahteraan bangsa (Dillon, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. unggul yang telah dihasilkan dibagi menjadi empat generasi, yaitu: Generasi-1 ( ) : Seedling selected

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao I. PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya pada hasil perkebunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka

Pe n g e m b a n g a n

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

I. PENDAHULUAN. pada 2009 (BPS Indonesia, 2009). Volume produksi karet pada 2009 sebesar 2,8

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komoditas unggulan dari sub sektor perkebunan di Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

LESTARI BRIEF MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KOMODITAS PALA USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KARET. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peran penting dalam

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. usaha perkebunan mendukung kelestarian sumber daya alam dan lingkungan

Chart Title. Indonesia 3.5 ha Thailand 2 ha Malaysia 1.5 ha

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

I. PENDAHULUAN. dari 1,0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1,3 juta ton pada tahun 1995 dan 1,9

Tanaman karet akan mengeluarkan getah atau lebih dikenal dengan sebutan lateks. Lateks keluar pada saat dilakukan penyadapan pada tanaman karet.

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian adalah sektor yang sangat potensial dan memiliki peran yang

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

KERAGAAN PRODUKTIFITAS BEBERAPA KLON UNGGUL KARET RAKYAT DI PROPINSI BENGKULU. Some variability Productivity Superior Rubber Clone People in Bengkulu

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian suatu negara. Terjalinnya hubungan antara negara satu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. opportunity cost. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha)

KEUNGGULAN KARET ALAM DIBANDING KARET SINTETIS. Oleh Administrator Senin, 23 September :16

PENDAHULUAN. tersebar di 32 provinsi. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

TEKNIK KONVERSI KOPI ROBUSTA KE ARABIKA PADA LAHAN YANG SESUAI. Oleh Administrator Selasa, 02 April :00

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

BAB I PENDAHULUAN. yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, sabuk

ISSN OUTLOOK LADA 2015 OUTLOOK LADA

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

V. GAMBARAN UMUM KARET ALAM 5.1. Sejarah Karet Dunia dan Indonesia Karet merupakan tanaman berumur panjang dan secara ekonomis satu siklus pertanamannya memakan waktu sekitar 30 tahun. Tanaman karet yang dikenal dengan nama botani Hevea Brasiliensis berasal dari daerah Amazone di Brasilia. Tahun 1860, Markham dikirim ke Amerika Selatan oleh The Royal Botanic Gardens dengan tujuan mengumpulkan biji-bijian hevea untuk disemai di Kew Garden London, yang hasilnya kemudian dikirimkan untuk ditanam di India dan Sailan (Siswoputranto, 1981 dalam Limbong 1994). Tanaman hasil persemaian yang dikirimkan oleh Wickham dari Brasilia ke Kew Gardens pada tahun 1876 tersebut kemudian dikirimkan ke Kebun Raya Pasadenia di Srilanka, Kebun Raya di Penang, dan Kebun Raya di Bogor sebagai percobaan. Menjelang akhir abad ke-19, mulai diadakan usaha penanaman karet secara luas. Tahun 1905, tanaman karet telah mulai diusahakan dalam bentuk perkebunan, terutama di daerah Malaya dan Sailan. Pada tahun 1910 Dunlop Rubber Company membuka perkebunan karet yang pertama, dan pada tahun 1925 didirikanlah Dunlop Plantation Ltd. yang merupakan perkebunan terbesar pertama saat itu. Areal penanaman karet meningkat secara tajam di Asia Tenggara, dari sekitar 5 ribu hektar pada tahun 1907 menjadi 400 ribu hektar pada tahun 1909. Pengusahaan karet dalam bentuk perkebunan di Malaya membawa dampak terhadap masyarakat Indonesia. Banyak buruh yang berasal dari Indonesia yang bekerja di perkebunan tersebut serta pedagang dari Indonesia yang tertarik dengan tanaman karet ini sehingga membawa biji-biji karet tersebut untuk ditanam di 46

daerah masing-masing. Buruh karet maupun pedagang yang sebagian besar berasal dari Sumatera dan Kalimantan tersebut kemudian banyak mengembangkan perkebunan karet sehingga dalam kurun waktu sejak 1920 hingga 1935 areal pertanaman karet diwilayah ini berkembang pesat melebihi luasan tanaman karet di pulau Jawa. Bagi Indonesia, karet merupakan komoditi potensial sebagai penghasil devisa dan penyedia lapangan kerja. Kontribusi perkaretan nasional mencapai 1,2 milyar dolar Amerika atau sekitar 20% dari nilai ekspor produk pertanian (Badan Pusat Statistik, 2004). Sebagai mata pencaharian rakyat, komoditas karet, baik secara langsung maupun tidak langsung mampu menghidupi sebanyak 15 juta rakyat Indonesia. Pembudidayaan tanaman karet secara komersial di Indonesia sampai saat ini telah berlangsung selama lebih dari 100 tahun, bila dihitung sejak awal penanaman di Sumatera pada tahun 1902 dengan luasan 176 ha, dan di Jawa yang dimulai tahun 1906 seluas 10.125 ha (Dijkman, 1951 dalam Azwar dan Suhendry, 1998). Dengan demikian dapat diihat bahwa sampai saat ini, dimulai dari generasi awal, pengusahaan tanaman karet baru memasuki siklus ke empat dalam masa tanamnya. Jenis bahan tanaman yang digunakan pada setiap siklus pertanaman tergantung pada kemajuan pemuliaan yang dicapai pada saat penanaman. Pada siklus pertama, benih yang digunakan merupakan benih yang apa adanya (tanpa melalui proses seleksi) yang diperoleh dari tanaman awal yang didatangkan oleh Wickham pada tahun 1876 yang ditanam di Indonesia, Malaysia, dan Sri Lanka. 47

Kegiatan seleksi dan pemuliaan awal tanaman karet dimulai oleh Cramer pada 33 tanaman semaian asal Penang (Malaysia) yang ditanam di Bogor pada tahun 1883. Saat memasuki masa sadap, Cramer melihat bahwa terdapat perbedaan yang mendasar pada pohon-pohon tesebut. Berdasarkan pengamatan pada 33 pohon tersebut, Cramer mendapatkan suatu kesimpulan bahwa keragaman genetik diantara tanaman semaian cukup besar, sehingga perbaikan mutu bahan tanaman akan bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu seleksi klon (perbanyakan vegetatif) dan seleksi benih dengan pengaturan persilangan. Dari hasil tersebut, pertanaman selanjutnya dilakukan dengan menggunakan semaian dari pohon-pohon berproduksi tinggi yang terpilih (tahun 1917). Penggunaan semaian terpilih ini ternyata bisa meningkatkan produktivitas tanaman sebesar 40-70% yaitu dari rata-rata 496 kg/ha/th untuk benih tidak terpilih, menjadi rata-rata 704 kg/ha/th untuk semaian terpilih. Kegiatan pemuliaan yang lebih intensif dan komprehensif dilaksanakan setelah terbentuknya Asosiasi Penelitian Perkebunan Sumatera (Algemene Vereeniging van Rubberplanters ter Ost Kust Van Sumatra = AVROS) di Medan, dan Pusat Penelitian Perkebunan (Central Vereeniging tot Beheer van Proefstations voor de Overjarige Cultures = CVP). CVP mengkoordinasi kegiatan penelitian di tiga stasiun penelitian, yaitu di Bogor, Malang, dan Jember, serta dua unit kegiatan pengembangan di Tanjung Karang dan Semarang (Dijkman, 1951 dalam Azwar dan Suhendry, 1998). Untuk memfasilitasinya, dibentuk unit kegiatan penelitian dan berfungsi melakukan uji pengembangan dari klon-klon karet baru yang dihasilkan oleh pusat penelitian. 48

5.2. Permintaan dan Penawaran Karet Alam Kondisi perdagangan karet alam semakin tahun semakin mengalami perbaikan. Hal ini sejalan dengan makin meningkatnya bidang perindustrian, baik di lingkup lokal maupun internasional. Peningkatan ini khususnya terjadi pada bidang otomotif. Makin berkembangnya ekonomi menyebabkan adanya pengembangan konsumsi terhadap berbagai barang otomotif. Perkembangan konsumsi yang terjadi diperkirakan tidak sejalan dengan perkembangan produksinya. IRSG memperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam pada tahun-tahun ke depan. Hal ini mendorong pembentukan Task Force Rubber Eco Project (REP) oleh IRSG pada tahun 2004 untuk melakukan studi tentang permintan dan penawaran karet sampai dengan tahun 2035 (Anwar, 2006). Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa permintaan karet alam pada tahun 2035 mencapai 15 juta ton. Studi ini juga memproyeksikan bahwa pertumbuhan produksi Indonesia akan mencapai 3% per tahun, sedangkan Thailand hanya 1% dan Malaysia -2%. Membaiknya kondisi perekonomian dunia pasca krisis keuangan global menyebabkan pemulihan industri otomotif yang berdampak pada meningkatnya permintaan terhadap karet alam. Industri yang makin marak berkembang khususnya adalah industri ban (Basri et al., 2010). Kondisi tersebut menyebabkan makin meningkat juga permintaan terhadap karet alam sebagai bahan baku pembuatan ban. Harga minyak dunia yang terus merangkak naik juga berpengaruh terhadap peningkatan permintaan terhadap karet alam karena peningkatan ini menyebabkan naiknya biaya produksi karet sintetis sebagai substitusi karet alam. 49

Baik produksi maupun konsumsi terhadap karet alam mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut catatan dari IRSG, pada tahun 2007 produksi karet alam global sebesar 9,8 juta ton dengan besaran konsumsi sebesar 10,2 juta ton. Angka ini mengalami peningkatan pada tahun 2008, dimana produksi global mencapai 10,03 juta ton dan konsumsi mencapai 10,08 juta ton. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan produksi dan konsumsi pada karet sintetik yang justru mengalami penurunan. Produksi karet sintetik pada tahun 2007 mencapai 13,4 juta ton turun menjadi 12,79 juta ton pada tahun 2008. Penurunan produksi tersebut diikuti pula oleh penurunan konsumsi dimana pada tahun 2007 konsumsi terhadap karet sintetis mencapai 13,28 juta ton menjadi 12,57 pada tahun 2008 (International Rubber Study Group, 2009). Perkembangan tersebut tentu saja membawa pengaruh positif bagi Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar karet alam. Perbaikan tehadap harga karet memberikan peluang lebih besar untuk peningkatan devisa negara melalui kegiatan perdagangan. Potensi Indonesia sebagai produsen karet yang memiliki areal terluas di dunia sangat besar untuk meningkatkan produksinya. Prospek internasional pun semakin terbuka dengan terbukanya kondisi gobalisasi saat ini. Pasar domestik terhadap karet alam Indonesia juga berkembang sejalan dengan adanya perbaikan dan peningkatan perekonomian dunia. Konsumsi karet alam nasional mengalami peningkatan rata-rata 23,3% per tahun sejak lima tahun terakhir. Terdapat dua faktor penggerak yang meningkatkan konsumsi domestik Indonesia terhadap karet alam. Pertama, pertumbuhan dalam industri otomotif, khususnya sepeda motor, menyebabkan permintaan akan produk olahan karet 50

meningkat. Hal ini dikarenakan pertumbuhan produksi rata-rata sepeda motor Indonesia merupakan yang terbesar di Asia. Kedua, peningkatan pendapatan perkapita dan pertumbuhan populasi yang juga mengakibatkan pertumbuhan penjualan mobil dan sepeda motor di dalam negeri sehingga meningkatkan pula permintaan terhadap produk olahan karet (Basri et al., 2010). 5.3. Perkembangan Produksi Karet Alam Indonesia dibandingkan Thailand dan Malaysia Sebagai Produsen Utama Karet Alam Dunia Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang menjadi andalan ekspor bagi Indonesia. Hal ini terlihat dari upaya Indonesia dalam hal peningkatan produksi karet alam nasional. Pemerintah memperlihatkan keseriusan yang cukup tinggi terhadap pengembangan perkaretan nasional. Hal tersebut terlihat dari penelitian-penelitian yang terus menerus dikembangkan terhadap komoditas karet demi menemukan klon-klon unggul yang dapat meningkatkan produksi. Luas areal perkebunan karet Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan luas areal ini tidak terlepas dari program perluasan lahan yang dilakukan Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwasanya Indonesia akan menjadi eksportir terbesar pada tahun 2010. Merujuk pada tujuan tersebut, maka upaya-upaya rehabilitasi dan peremajaan karet alam yang telah tua dan tidak produktif lagi telah dilakukan sejak awal tahun 2000. Luas areal perkebunan karet tahun 2005 bahkan tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan 15% yang merupakan perusahaan perkebunan, baik milik negara maupun yang diusahakan oleh swasta (Rachman, 2008). 51

Jika dibandingkan dengan luasan Thailand dan Malaysia, hingga saat ini Indonesia baru menggunakan sekitar 1,5% dari luasan total areal kering (daratan) yang dimiliki untuk pemanfaatan tanaman karet. Hal ini jelas berbeda dengan pemanfaatan areal Thailand yang menggunakan sebesar 3% dari luasan total areal keringnya. Perkebunan Malaysia bahkan mencapai 3,8% luas total wilayahnya. Berdasarkan pada data faktual tersebut, maka Indonesia memiliki prospek pengembangan yang sangat besar terhadap tanaman karet karena potensi pengembangan lahan yang masih sangat besar. Indonesia merupakan negara dengan luas areal perkebunan karet terbesar di dunia. Namun kondisi ini tidak serta merta menjadikan Indonesia sebagai produsen utama dalam bisnis perkaretan dunia. Indonesia mesti merasa puas dengan statusnya sebagai produsen karet alam ke dua setelah Thailand. Hal ini dikarenakan kepemilikan areal yang demikian luas tidak diiringi dengan produktivitas yang tinggi. Berbeda dengan produktivitas negara pesaing lain dalam perdagangan karet alam dunia, yaitu Thailand dan Malaysia. Perbandingan luas areal dan produktivitas karet alam Indonesia, Thailand, dan Malaysia diperlihatkan pada Gambar 3. 52

3.500.000 3.000.000 2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 Luas Areal Indonesia (ha) Luas Areal Thailand (ha) Luas Areal Malaysia (ha) Produktivitas Indonesia (kg/ha) Produktivitas Thailand (kg/ha) Produktivitas Malaysia (kg/ha) 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 400 Sumber: Food And Agriculture Organization, 2010 Gambar 3. Perbandingan Luas Areal Tanam dan Produktivitas Karet Alam Negara Produsen Utama Rendahnya produksi dan kualitas karet alam merupakan masalah utama bagi perkaretan nasional. Produksi yang rendah terutama disebabkan oleh fakta yang menyebutkan bahwa sekitar 85% tanaman karet Indonesia menggunakan bibit tanam dengan kualitas yang rendah (Basri et al., 2010). Hal ini terjadi antara lain karena sebagian besar tanaman masih menggunakan bahan tanam asal biji (seedling) tanpa pemeliharaan yang baik, dan tingginya proporsi areal tanaman karet yang telah tua, rusak atau tidak produktif (± 13% dari total area). Kondisi yang demikian menyebabkan sebagian besar kebun karet rakyat menyerupai hutan karet (Badan Litbang Pertanian, 2005 dalam Purnama, Firdaus dan Mildaerizanti, 2007). Selain itu, teknologi pengolahan pun masih tergolong tradisional, sehingga belum dapat menghasilkan kuantitas optimal. Masalah lain yang dihadapi oleh perkaretan nasional adalah rendahnya kualitas karet alam yang dihasilkan Indonesia dibandingkan dengan karet yang dihasilkan negara eksportir lain. Kualitas tersebut terutama disebabkan masih banyaknya karet alam yang dihasilkan dari perkebunan rakyat yang pengolahan 53

(penggumpalannya) tidak menggunakan koagulum ataupun bahan pengawet yang sesuai sebagaimana yang dianjurkan oleh lembaga penelitian karet seperti disebutkan pada pasal 7 9 Permentan No. 38 Tahun 2008. Selain itu, kadar air pada karet pun cenderung tinggi, bahkan banyak petani yang secara sengaja merendam lateks sebelum dijual dengan tujuan agar memiliki berat yang lebih, padahal hal tersebut justru menurunkan kualitasnya. Pencampuran lateks dengan bahan-bahan lain juga masih banyak dilakukan (Rachman, 2008). Pada beberapa propinsi di Sumatera bahkan ditemukan pencampuran bokar dengan bahan karet mati (vulkanisat), antara lain di propinsi Sumatera Selatan dan Jambi (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2007). Konsekuensi dari halhal tersebut adalah meningkatnya biaya pengolahan untuk pembersihan ulang, sehingga harga karet di petani cenderung lemah. Bahkan untuk kasus Sumatera, ekspor karet alam dari wilayah ini ditolak oleh konsumen luar negeri. Upaya yang optimal terhadap pengembangan karet nasional terlihat dengan adanya peningkatan produktivitas pohon karet. Produktivitas karet Indonesia semakin meningkat mengingat bahwa dalam perkembangannya pemerintah telah mulai mengusahakan penanaman terhadap klon-klon unggul. Meskipun demikian, nilai produktivitas karet Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara produsen lain. Hal ini tidak lain disebabkan sebagian besar perkebunan karet Indonesia merupakan perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai wilayah. Persebaran ini mengakibatkan usaha penanaman pohon karet dengan bahan klonal masih terbilang rendah, yaitu hanya sekitar 40% dari total luas perkebunan nasional, sangat berbeda dengan negara eksportir lain seperti Malaysia yang telah mengusahakan penggunaan dengan bahan klonal sebesar 54

90%, Thailand sebesar 95%, India sebesar 99%, dan Vietnam yang telah mencapai angka 100% (Barani, 2008) 4. Meskipun demikian perbaikan-perbaikan masih dilakukan oleh berbagai pihak demi terciptanya hasil yang lebih baik lagi. Perkembangan produktivitas karet alam nasional sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4 berikut ini. 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rakyat Negara Swasta Rata-rata Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2003-2009 Gambar 4. Perkembangan Produktivitas Lahan Karet Indonesia (kg/ha) berdasarkan Status Penguasahaan Kuantitas produksi karet Indonesia terus mengalami peningkatan. Dengan perbaikan pada harga karet dunia, maka nilai yang diperoleh dari industri perkaretan ini pun terus meningkat. Produksi karet secara nasional pada tahun 2007 mencapai angka 2.8 juta ton dengan nilai sebesar 1,47 milyar dolar. Perkembangan nilai dan kuantitas produksi karet alam nasional diperlihatkan pada Tabel 6. Jumlah ini masih berpotensi ditingkatkan sejalan dengan dilakukannya peremajaan dan pemberdayaan lahan-lahan pertanian milik petani serta lahan kosong atau tidak produktif yang sesuai untuk perkebunan karet. 4 disampaikan pada Lokakarya Nasional Agribisnis Karet 2008 di Yogyakarta 55

Tabel 6. Perkembangan Nilai dan Produksi Karet Alam Negara Eksportir Utama Indonesia Thailand Malaysia Tahun Nilai (000 US$) Produksi (ton) Nilai (000 US$) Produksi (ton) Nilai (000 US$) Produksi (ton) 2000 805.337 1.501.430 1.275.512 2.378.000 497.760 928.000 2001 862.209 1.607.460 1.373.669 2.561.000 473.087 882.000 2002 874.492 1.630.360 1.411.752 2.632.000 477.378 890.000 2003 961.380 1.792.350 1.534.565 2.860.966 528.656 985.600 2004 1.108.064 2.065.820 1.613.223 3.007.612 626.867 1.168.700 2005 1.218.060 2.270.891 1.596.969 2.977.309 603.963 1.126.000 2006 1.414.558 2.637.231 1.646.966 3.070.520 688.497 1.283.600 2007 1.477.819 2.755.172 1.622.124 3.024.207 643.441 1.199.600 Sumber: Food And Agriculture Organization, 2010 Sebagaimana Indonesia, Thailand yang merupakan produsen terbesar karet alam di dunia juga terlihat sangat fokus terhadap perkembangan karet alam negaranya. Hal ini terlihat dari seriusnya usaha pemerintahan Thailand dalam rangka pengembangan karet melalui penelitian-penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Thailand Rubber Research Institute. Luas areal tanam karet alam Thailand juga cenderung meningkat, dari seluas 1,52 juta ha pada tahun 2000 menjadi 1,77 juta ha pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa karet alam merupakan salah satu tanaman perkebunan yang penting bagi Thailand. Produktivitas pohon karetnya pun terbilang tinggi. Produktivitas yang besar dengan luas areal yang semakin meningkat menjadikan produksi negara ini juga makin tahun semakin mengalami peningkatan. Perkembangan produksi karet alam Thailand terbilang cukup baik. Berdasarkan data yang diperlihatkan pada Tabel 6 terlihat bahwa terjadi fluktuasi perkembangan nilai dan kuantitas produksi. Namun secara umum, perkembangan nilai produksi karet alam Thailand cenderung terus mengalami peningkatan. Peningkatan produksi Thailand diiringi pula dengan peningkatan kuantitas ekspor komoditas ini di pasaran dunia. Hal ini juga yang kemudian menjadikan Thailand tetap bertahan menyandang status sebagai produsen karet alam terbesar di dunia. 56

Produksi karet alam Thailand cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 2000 hingga 2004. Namun pada tahun 2005, kuantitas produksinya menurun. Penurunan ini disebabkan oleh adanya penurunan produktifitas karet, yaitu dari sebesar 1.815 kg/ha pada tahun 2004 menjadi 1.760 kg/ha pada tahun 2005 akibat telah banyak pohon-pohon karet yang telah tua dan kurang produktif, serta karet-karet baru dari revitalisasi belum dapat memberikan hasil yang optimal. Hal tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun selanjutnya, Thailand dapat kembali meningkatkan produksinya menjadi 3,07 juta ton dengan produktivitas 1.762 kg/ha. Hingga tahun 2008 produktivitas yang dapat dicapai oleh perkebunan karet Thailand telah mencapai 1.790 kg/ha. Malaysia yang merupakan produsen karet terbesar ke tiga setelah Thailand dan Indonesia tetap bertahan dalam jajaran eksportir terbesar karet alam internasional karena tingkat produktivitas yang cukup baik. Luas areal karet Malaysia sejak tahun 2000 hingga 2008 cenderung turun. Penurunan luas areal karet ini antara lain dipicu oleh adanya alih fungsi lahan penanaman karet untuk tanaman perkebunan lain yang lebih kondusif dan dianggap memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti kelapa sawit. Keterbatasan lahan yang dimiliki menyebabkan selama beberapa tahun terakhir tidak ada penambahan areal tanam baru bagi perkaretan Malaysia. Meskipun demikian, karena produktivitas pohon yang terus mengalami peningkatan, maka kuantitas produksi karet alam Malaysia masih dapat dipertahankan dengan pertumbuhan yang positif. Kuantitas produksi karet alam Malaysia pada tahun 2000 tercatat sebesar 928 ribu ton. Nilai ini mengalami penurunan menjadi 882 ribu ton pada tahun berikutnya. Namun pada tahun 2002 hingga 2006 kuantitas produksi karet alam 57

Malaysia kembali mengalami peningkatan. Tercatat produksi pada tahun 2006 telah mencapai angka 1,28 juta ton. Perbaikan kinerja produksi karet alam tersebut salah satunya dipicu oleh membaiknya harga karet alam di pasaran dunia sejak tahun 2003. Namun penurunan kembali terjadi. Menurut laporan dari Departemen Statistik Malaysia, pada tahun 2009 produksi karet alam negara ini hanya sebesar 857 ribu ton. Penurunan tersebut terjadi karena makin berkurangnya areal sadap karet negara ini akibat alih fungsi lahan, yaitu dari seluas 750 ribu hektar pada tahun 2008 menjadi 590 ribu hektar pada tahun 2009 (Association of Natural Rubber Producing Countries, 2010) (Lampiran 3). 5.4. Sentra Produksi Karet Indonesia Karet alam di Indonesia sebagian besar dijalankan oleh perkebunan rakyat (Rachman, 2008). Hanya sekitar 7% yang dari total luas areal penanaman karet yang dikuasai oleh perkebunan besar negara serta 8% yang merupakan perkebunan besar milik swasta. Sisanya, sekitar 85% merupakan perkebunan karet milik rakyat (Anwar, 2006). Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk penanaman karet. Penanaman karet nasional dilakukan hampir diseluruh wilayah kecuali Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo (Departemen Pertanian, 2009). Sebagian besar perkebunan rakyat terpusat di daerah Sumatra dan Kalimantan. Kedua wilayah ini dikenal sebagai daerah tradisional perkebunan karet (Sugiyanto et al., 1998). Sedikitnya 15 Provinsi tercatat sebagai sentra produksi karet nasional, antara lain Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, 58

Riau, Jambi, Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur (Johari, 2009). Sumatera bagian utara, jika dilihat dari periode iklim yang dimilikinya, hanya dapat dikategorikan sebagai kelas cukup sesuai (S2) bagi penanaman karet alam. Wilayah Sumatera bagian selatan merupakan wilayah yang dapat dikategorikan sebagai lahan yang sangat sesuai untuk penanaman karet alam. Selain itu, Kebun Way Lima di Provinsi Lampung dan Kebun Rimsa di Provinsi Jambi memiliki keadaan lahan yang sama. Berbeda dengan kawasan tersebut, seluruh wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah iklimnya dinilai tidak sesuai sementara untuk areal penanaman karet. Hal ini dikarenakan wilayahwilayah tersebut memiliki curah hujan tahunan yang tinggi dan pendeknya periode bulan kering (Sugiyanto et al., 1998). Indonesia merupakan produsen karet alam dengan luas areal terbesar di dunia. Luas areal karet alam Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang didapat dari Departemen Pertanian RI, tercatat luas areal perkebunan karet rakyat pada tahun 2001 seluas 3,34 juta hektar. Luasan ini meningkat menjadi sekitar 3,47 juta hektar pada tahun 2008 (Lampiran 1). Areal terluas untuk penanaman karet rakyat tersebut terletak di provinsi Sumatra Selatan, disusul kemudian di wilayah Sumatera Utara, Jambi, dan Kalimantan Barat. Sejak sekitar tahun 1967, areal perkebunan karet di Indonesia meningkat sekitar 1,2% per tahun. Namun pertumbuhan ini hanya terjadi pada areal karet rakyat (± 1,5% per tahun), sedangkan pada perkebunan besar negara dan swasta cenderung menurun. Sekitar 400 ribu ha areal karet berada dalam kondisi tua dan 59

rusak dan sekitar 2-3% dari areal tanaman maghasilkan (TM) yang ada setiap tahun akan memerlukan peremajaan. Untuk keperluan peremajaan petani menggunakan bibit karet yang berasal dari anakan pohon karet (praktek tradisional) atau bibit yang berasal dari hasil pemuliaan (klon) sebagaimana yang dilakukan pada proyek SRAP (Smallholder Rubber Agroforestry Project) dan system sisipan (Wibawa, et al, 2000 dalam Purnama, Firdaus dan Mildaerizanti, 2007). Penguasaan lahan petani karet rakyat periode tahun 2000-2009 rata-rata sekitar 1,4 ha/kk. Hal tersebut sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 7. Jumlah petani yang bergerak di bidang perkebunan karet rakyat pada tahun 2009 tercatat mencapai 2,1 juta kk (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009). Tabel 7. Rata-Rata Penguasaan Lahan Petani Karet Rakyat Per KK (Ha/KK) Tahun Penguasaan Lahan Petani Rakyat Per KK (Ha/KK) 2000 1,1253 2001 1,4116 2002 1,4562 2003 1,4171 2004 1,4037 2005 1,3973 2006 1,4097 2007 1,4112 2008 1,3891 2009 1,4099 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (diolah), 2009 Persentase luas lahan TM (tanaman menghasilkan) terhadap luas lahan total karet alam Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan program revitalisasi terhadap karet alam cenderung dilakukan dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 2000, persentase luas lahan TM terhadap luas lahan total karet alam Indonesia sebesar 68,83%. Nilai ini mengalami peningkatan 60

menjadi 83,26% pada tahun 2009. Perkembangan persentase luas lahan tersebut sebagaimana disajikan pada Gambar 5. 85% 83% 83,51% 83,26% 81% 79% 80,33% 81,46% 81,31% 77% 75% 75,48% 73% 71% 69% 68,83% 69,42% 70,59% 71,24% Persentase lahan menghasilkan per luas lahan total 67% 65% 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (diolah), 2009 Gambar 5. Perkembangan Luas Lahan Tanaman Menghasilkan terhadap Luas Lahan Total Karet Alam Indonesia Guna pengembangan industri karet nasional, Indonesia memiliki pusatpusat penelitian karet yang berfungsi sebagai areal riset pengembangan karet. Pusat Penelitian Karet Indonesia memiliki empat Balai Penelitian, yaitu Balai Penelitian Sungei Putih di Medan, Balai Penelitian Sembawa di Palembang, Balai Penelitian Getas di Salatiga, Jawa Tengah, dan Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor di Bogor, Jawa Barat. Mandat institusi tersebut adalah untuk mengelola kegiatan inovasi bagi kemajuan bisnis dan industri karet Indonesia melalui kegiatan penelitian, pengembangan, dan jasa pelayanan kepada para stakeholdernya. Guna peningkatan daya saing terhadap produk karet, maka sejak tahun 1997 Laboratorium Analisis dan Pengujian Karet (LAP-Karet) yang berada di Balai Penelitian teknologi Karet Bogor telah mendapatkan status sebagai laboratorium yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional dan pada tahun 2002, akreditasi mengacu pada SNI 19-17025-2000 (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2010). 61

5.5. Kemajuan Pemuliaan Karet Indonesia 5.5.1. Produktivitas Karet Produktivitas pertanaman karet di Indonesia mengalami perkembangan dari tiap siklus yang dijalaninya. Siklus pertama pada pertanaman pohon karet memiliki nilai tengah populasi sebesar 1 kg/ha/th dengan kisaran 0-4,2 kg/ph/th. Seleksi klon pada populasi awal tersebut menghasilkan klon unggul generasi pertama (G-1) seperti Tjir 1, GT 1, LCB 1320, dan PR 107 dengan potensi produksi 1400-2200 kg/ha/th. Hasil persilangan klon-klon G-1 terpilih digunakan sebagai bahan seleksi klon pada siklus ke dua, dimana nilai rata-rata populasi meningkat dari 1 kg/ha/th menjadi 1,8 kg/ph/th, dengan nilai tertinggi mencapai 5,6 kg/ph/th. Klon terbaik dari siklus seleksi tahap II adalah klon generasi ke dua (G-2) yaitu PR 255, PR 261, dan RRIM 600 dengan potensi produksi 1800-2800 kg/ha/th (Sugiyanto et al., 1998). Bahan seleksi pada siklus ke tiga umumnya berasal dari persilangan ganda antara klon generasi ke dua atau dari persilangan three-way cross antara klon G-1 dan G-2. Rata-rata populasi pada hasil persilangan ini hanya sedikit meningkat, yaitu menjadi 2,2 kg/ph/th dibandingkan dengan 1,8 kg/ha/th pada G-2. Hal ini mengindikasi bahwa telah terjadi penyempitan keragaman genetik pada tiga kali persilangan. Klon terbaik yang diperoleh dari siklus ke tiga (G-3) adalah BPM 24, PB 235, PB 260, dan RRIM 712 dengan potensi produksi 2000-3000 kg/ha/th. Penyempitan keragaman genetic yang terjadi mengakibatkan upaya penggunaan sumber genetic baru, yaitu dengan menggunakan klon-klon hasil seleksi Brazil, seperti seri IAN, seri F, dan seri FX serta plasma nutfah baru hasil ekspedisi IRRDB 1981 (PN-IRRDB 81). Program persilangan ini dimulai oleh 62

Puslit Karet di Sungei Putih, Sumatra Utara pada tahun 1985. Seleksi terhadap populasi HP 85-89 menghasilkan beberapa klon baru yang kemudian diberi nama seri IRR (Indonesian Rubber Research). Hasil penyadapan awal pada jenis klon ini menunjukkan adanya peluang peningkatan produktivitas, namun masih diperlukan penelitian lanjutan. 5.5.2. Pertumbuhan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) Klon karet yang ideal biasanya memiliki tipe pertumbuhan batang cepat sejak awal. Hal ini mengakibatkan tanaman cepat mencapai masa matang sadap. Seleksi terhadap laju pertumbuhan awal, dalam perkembangannya telah berhasil menemukan klon-klon unggul baru yang matang sadap pada umur 3,5 tahun. Berdasarkan pada laju pertumbuhan awal saat tanaman belum menghasilkan, maka klon karet anjuran dan klon harapan pada saat ini dapat dibedakan atas tiga kelompok masa tanaman belum menghasilkan (TBM) yaitu singkat, sedang, dan lama (Sugiyanto et al., 1998). Pengelompokkan tersebut sebagaimana terlihat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Pengelompokan Klon Karet berdasarkan Laju Pertumbuhan TBM Periode Pertumbuhan Batang Klon Masa TBM (cm/th) Singkat IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 100, IRR > 13 (< 4 thn) 111, IRR 118, PB 330, dan TM 8 IRR 2, IRR 7, IRR 13, IRR 21, IRR 24, IRR 41, IRR 42, IRR 54, IRR 104, IRR Sedang 11-13 105, IRR 107, AVROS 2037, BPM 1, (4-4,5 thn) BPM 107, PB 235, PB 260, RRIC 100, TM 2, TM 6, dan TM 9 Lama BPM 24, GT 1, PR 255, PR 261, PR 300, < 11 (> 4,5 thn) PB 217, RRIM 600, RRIM 712 Sumber: Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 1998 63

5.5.3. Pertumbuhan Tanaman Menghasilkan (TM) Dari segi pertumbuhan batang setelah tanaman menghasilkan (TM), ternyata klon-klon yang tersedia juga dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu (Sugiyanto et al., 1998): 1) kelompok pertumbuhan tinggi (> 5 cm/th); 2) kelompok pertumbuhan sedang (4-5 cm/th); dan 3) kelompok pertumbuhan rendah (< 4 cm/th). Pengelompokan klon-klon tersebut disajikan pada Tabel 9 berikut. Tabel 9. Pengelompokan Klon Karet berdasarkan Pertumbuhan Batang TM Potensi Biomassa Pertumbuhan Batang Selama TM (cm/thn) Klon Tinggi > 5 BPM 22, IRR 32, IRR 33, IRR 39, dan PR 107 Sedang 4-5 AVROS 2037, BPM 1, BPM 107, IRR 2, IRR 7, IRR 13, IRR 21, IRR 24, IRR 41, IRR 42, IRR 54, IRR 104, IRR 105, IRR 107, PB 235, PB 260, RRIC 100, TM 2, TM 6, dan TM 9 Rendah < 4 BPM 24, BPM 107, BPM 109, GT 1, PR 255, PR 261, PR 300, RRIM 712, dan PB 235 Sumber: Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 1998 Klon yang memiliki pertumbuhan tinggi selama tanaman menghasilkan, akan menghasilkan tanaman yang memiliki batang besar dan hasil kayunya tinggi. Nilai ekonomi kayu karet dari waktu ke waktu semakin meningkat, terutama karena semakin terbatasnya sumber kayu alam. Dengan memperhatikan hal tersebut, maka dalam pemilihan klon untuk masa yang akan datang tidak hanya didasarkan pada produktivitas lateks, tetapi juga pada produktivitas kayu. Klon yang memiliki produktivitas lateks yang agak rendah sampai sedang (1500-2000 kg/ha/th) dengan potensi pertumbuhan batang tinggi, apabila memperhitungkan juga nilai kayu karet, maka nilai ekonominya dalam satu siklus akan sangat tinggi. 64

Kelebihan klon ini adalah tanaman lebih tahan terhadap gangguan angin, sehingga tegakan tanaman dapat terpelihara dengan baik sampai saat peremajaan. 5.5.4. Tipe Keunggulan Klon Mengingat nilai ekonomi yang terkandung pada pohon karet tidak hanya sebatas potensi atas produktivitas lateks tetapi juga terhadap potensi lebih pada kayu karet, maka dalam perkembangannya, tipe klon unggul untuk komoditas karet berdasarkan pola produksi dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu Tipe 1, Tipe 2, dan Tipe 3 (Sugiyanto et al., 1998). Tipe 1 dikenal dengan potensi sebagai penghasil cepat, Tipe 2 sebagai potensi penghasil lambat, dan Tipe 3 dengan spesifikasi penghasil lateks dan kayu. Tabel 10 menyajikan perbedaan yang terdapat pada tipe klon unggul yang pengelompokannya didasarkan pada pola produksi karet kering dan laju pertumbuhan batang. Tabel 10. Tipe Klon Unggul berdasarkan Pola Produksi Karet Kering dan Laju Pertumbuhan Batang Ciri Klon Tipe 1 (Penghasil Cepat) Tipe 2 (Penghasil Lambat) Tipe 3 (Penghasil Lateks dan Kayu) Produksi awal Tinggi Sedang Rendah (kg/ha/th) Produksi lanjutan (kg/ha/th) Pertumbuhan batang TM (cm/th) Ukuran batang saat peremajaan (cm) Potensi produksi kayu saat peremajaan (m 3 /ha) Klon (> 1500) Melandai (2000-5000) Rendah (<4) Kecil (< 100) Rendah (< 100) BPM 24 BPM 107 PB 235 PB 260 RRIM 712 (1000-1500) Meningkat (2000-3000) Sedang (4-5) Sedang (100-150) Sedang (100-200) AVROS 2037 PB 217 PR 107 RRIM 600 RRIC 100 Sumber: Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 1998 (< 1000) Meningkat (2000-3000) Tinggi (>5) Besar (> 150) Tinggi (> 200) IRR 32 IRR 33 IRR 38 BPM 22 65

Klon Tipe 1 dikategorikan sebagai klon penghasil cepat dengan pola produksi langsung tinggi sejak awal dengan rata-rata produksi lima tahun sadap awal lebih dari 1500 kg/ha/th. Namun dalam perkembangannya, produksi lanjutan yang dihasilkan memiliki pola melandai, yaitu berkisar antara 2000-5000 kg/ha/th. Selain itu, tipe ini tidak toleran terhadap penyadapan. Hal ini terlihat dari pertumbuhan batang tanaman menghasilkan yang mana tergolong dalam kategori rendah, kurang dari 4 cm/th sehingga potensi produksi kayunya saat peremajaan juga tergolong kecil yaitu kurang dari 100 m 3 /ha. Karena ukuran batang yang kecil tersebut, maka tipe ini tergolong rentan terhadap gangguan angin. Klon Tipe 2 dikategorikan sebagai klon penghasil lambat karena rata-rata potensi lima tahun sadap awal berkisar antara 1000-1500 kg/ha/th. Perkembangan lanjutan yang dihasilkan oleh tipe ini mengalami peningkatan 2000-3000 kg/ha/th. Tipe ini termasuk jenis yang toleran terhadap penyadapan dan tidak peka terhadap kekeringan alur sadap. Hal ini terlihat dari pertumbuhan batang tanaman menghasilkan yang berkisar antara 4-5 cm/th, sehingga potensi produksi kayu yang dihasilkan pun tergolong cukup besar, yaitu berkisar antara 100-200 m 3 /ha. Klon Tipe 3 merupakan jenis yang potensial sebagai penghasil kayu. Pertumbuhan batang tanaman menghasilkan yang tergolong tinggi (> 5 cm/th) membuat tipe ini memiliki potensi produksi kayu yang tinggi pula, yang mana potensi tersebut bernilai hingga lebih dari 200 m 3 /ha. Hal tersebut membuat batang pohon menjadi tidak peka terhadap angin. Meskipun dikenal sebagai jenis yang potensial sebagai penghasil kayu, namun jenis ini tetap memiliki/bernilai ekonomi dari segi lateks. 66