BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT SOSIALISASI MENGENAL OBAT AGAR TAK SALAH OBAT PADA IBU-IBU PENGAJIAN AISYIYAH PATUKAN AMBARKETAWANG GAMPING

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2002). paling tepat dan murah (Triyanto & Sanusi, 2003).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perpustakaan Unika LAMPIRAN- LAMPIRAN

OTC (OVER THE COUNTER DRUGS)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah pengobatan sendiri, meskipun belum terlalu populer, namun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menghilangkan suatu penyakit. Obat dapat berguna untuk menyembuhkan jenis-jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan kegiatan pemilihan dan

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK KELURAHAN WONOKARTO KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

ANALISIS IKLAN OBAT BEBAS DAN OBAT BEBAS TERBATAS PADA ENAM MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL 2009

PEMILIHAN OBAT SECARA AMAN PADA KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN KESEHATAN MASYARAKAT Oleh : Astri Widiarti

LEBIH DEKAT DENGAN OBAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Daenaa Kecamatan Limboto Barat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. promosi / iklan obat melalui media massa dan tingginya biaya pelayanan kesehatan,

Resep. Penggunaan obat berlabel dan tidak berlabel Aspek legal. Pengertian Unsur resep Macam-macam resep obat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Kebijakan Obat Nasional, Daftar Obat Esensial Nasional, Perundangan Obat. Tri Widyawati_Wakidi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang. benda asing eksternal seperti debu dan benda asing internal seperti dahak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat yang setinggi tingginya (Depkes, 2009). Adanya kemajuan ilmu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PENGELOLAAN OBAT DAN PENYULUHAN OBAT KEPADA MASYARAKAT. Lecture EMI KUSUMAWATI., S.FARM., APT

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. suksesnya sistem kesehatan adalah pelaksanaan pelayanan kefarmasian (Hermawati, kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2014).

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1010/MENKES/PER/XI/2008 TENTANG REGISTRASI OBAT

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal. Kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

Tingkat Pengetahuan Masyarakat Di Desa Talungen Kabupaten Bone Tentang Swamedikasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PHARMACEUTICAL CARE. DALAM PRAKTEK PROFESI KEFARMASIAN di KOMUNITAS

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

BAB I PENDAHULUAN. Self Medication menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini, semakin berkembangnya perekonomian telah memunculkan

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GNPOPA) Edukasi terkait OBAT pada Remaja dan Dewasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

POLA PEMILIHAN OBAT SAKIT KEPALA PADA KONSUMEN YANG DATANG DI ENAM APOTEK DI KECAMATAN DELANGGU SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempunyai kemampuan melakukan tugas fisiologis maupun psikologis

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman tentang perilaku konsumen dapat memberikan penjelasan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

POLA PEMILIHAN OBAT SAKIT MAAG PADA KONSUMEN YANG DATANG DI APOTEK DI KECAMATAN DELANGGU SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

CERDAS MENGENALI PENYAKIT DAN OBAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

DRA. HELNI, APT, M.KES

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN,

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk

Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol : 20-27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. untuk berkomunikasi. Komunikasi adalah salah satu kegiatan manusia yang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pilihan Pengobatan Masalah kesehatan masyarakat termasuk penyakit ditentukan oleh 2 faktor utama, yaitu faktor perilaku seperti pergi ke apotek membeli obat dan non perilaku (fisik, sosial, ekonomi, politik). Oleh karena itu upaya penanggulangan masalah kesehatan masyarakat juga dapat ditujukan pada kedua faktor utama tersebut. Upaya intervensi terhadap faktor non perilaku seperti : upaya pemberantasan penyakit menular, penyediaan sarana air bersih, pembuangan tinja dan penyediaan pelayanan kesehatan. Sedangkan upaya intervensi terhadap faktor perilaku dilakukan melalui 2 pendekatan, yaitu: a. Pendidikan (Education) Pendidikan adalah upaya pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya terhadap proses pembelajaran. Sehingga perilaku tersebut diharapkan berlangsung lama dan menetap karena didasari oleh kesadaran. b. Paksaan atau tekanan Paksaan dilakukan kepada masyarakat agar mereka melakukan tindakantindakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri.tindakan atau perilaku sebagai hasil tekanan ini memang cepat tetapi tidak akan bertahan

lama karena tidak didasari pada pemahaman dan kesadaran untuk apa mereka berperilaku sepert itu. Jadi dari kedua pendekatan itu, maka pendekatan pendidikanlah paling tepat sebagai upaya pemecahan masalah kesehatan masyarakat melalui faktor perilaku (Notoatmodjo, 2005). Promosi kesehatan sebagai pendekatan terhadap faktor perilaku kesehatan, maka kegiatannya tidak terlepas dari faktor-faktor yang menentukan perilaku tersebut. Ada 3 faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu: 1. Faktor predisposisi Faktor - faktor yang dapat mempermudah terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat adalah pengetahuan dan sikap seseorang / masyarakat tersebut terhadap apa yang dilakukan. 2. Faktor pemungkin atau pendukung Faktor pemungkin atau pendukung perilaku adalah fasilitas, sarana atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang / masyarakat. Misalnya seorang ibu berobat ke rumah sakit dan diberi resep oleh dokter. Fasilitas berobat seperti rumah sakit dan apotek. Dalam hal ini pengetahuan dan sikap saja belum menjamin terjadinya perilaku, maka masih diperlukan sarana atau fasilitas untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut. 3. Faktor penguat Pengetahuan, sikap dan fasilitas yang tersedia belum menjamin terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya faktor penguat bagi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Peraturan,

undang-undang, surat keputusan dari pejabat pemerintah pusat atau daerah merupakan faktor penguat perilaku (Notoatmodjo, 2005). Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Hal ini adalah sangat tepat dikumandangkan ditengah berkembangnya berbagai macam penyakit, pola hidup sehat mutlak dilakukan agar penyakit tak mudah menyerang. Ada kalanya upaya belum maksimal, tetapi penyakit lebih dulu menghampiri (Anonim,2008). Orang yang mempersepsikan penyakitnya sebagai penyakit ringan cenderung untuk memilih pengobatan sendiri (self medication) dengan membeli obat di toko obat atau apotek. Orang yang mengganggap penyakit mereka serius, apabila dalam tiga hari sampai seminggu tidak sembuh maka mereka cenderung untuk memilih pergi ke dokter atau pelayanan kesehatan lain. Mereka yang mempersepsikan bahwa pengobatan profesional sulit untuk dijangkau, mahal dan tidak efektif cenderung untuk beralih ke pengobatan sendiri dan pengobatan alternatif (Nasiruddin, 2009). Dalam sistem penyelenggaraan kesehatan, pengobatan sendiri (selfmedication) menjadi upaya utama dan terbesar yang dilakukan masyarakat (Sukasediati, 1999). Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat, baik obat modern maupun obat tradisional oleh seseorang untuk mengobati penyakit atau gejalanya yang dapat dikenali sendiri (WHO, 1998). Salah satu peran farmasis dalam pengobatan sendiri yaitu sebagai komunikator, dimana farmasis harus memberikan informasi yang cukup tentang pengobatan pasien (FIP, 1999; WHO, 1998).

2.2 Pengobatan Sendiri Dewasa ini masyarakat sudah lebih menyadari tanggung jawabnya atas kesehatan diri dan keluarga. Di mana-mana dirasakan kebutuhan akan penyuluhan yang jelas dan tepat mengenai penggunaan secara aman dari obat-obatan yang dapat dibeli bebas di Apotek guna melakukan pengobatan sendiri (Tan, dkk., 1993). Lebih dari 60% anggota masyarakat melakukan pengobtan sendiri, dan 80% mengandalkan obat modern (Wulandari, 2010). Pengobatan sendiri adalah tindakan pemilihan dan penggunaan obatobatan oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri. Pengobatan sendiri didefinisikan sebagai tindakan penggunaan obatobatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif mereka sendiri. Keuntungan pengobatan sendiri yaitu praktis, ekonomis, mudah diperoleh, efisien, aman apabila digunakan sesuai petunjuk. Kerugiannya yaitu kurangnya pengetahuan tentang obat yang dapat menimbulkan efek samping dari obat (tidak mengetahui tidak memperhatikan peringatan dan kontra indikasi, interaksi obat ) salah diagnosa, salah memilih terapi. Pengobatan sendiri merupakan upaya pengobatan yang mengacu pada kemampuan sendiri, tanpa petunjuk dokter atau tenaga medis, untuk mengatasi sakit atau keluhan penyakit ringan dengan menggunakan obat-obat yang di rumah atau membeli langsung ke toko obat atau apotek. Apotek adalah sarana kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (PP no. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 13). Yang dimaksud praktek

kefarmasian tersebut meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (PP no. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 1). Keberadaan apotek turut membantu pemerintah dalam memelihara dan menjaga kesehatan masyarakat. Peran profesi seorang apoteker di apotek adalah melaksanakan kegiatan Pharmaceutical Care atau asuhan kefarmasian. Salah satu tujuan utama asuhan kefarmasian adalah meningkatkan kualitas hidup pasien (Anonim, 2009). Penerapan asuhan kefarmasian yang baik atau GPP (Good Pharmaceutical Practice) di apotek telah diatur dalam Permenkes 1027 tahun 2004. Dalam PP no. 51 Pasal 21 ayat 2 juga sudah dipaparkan, bahwa yang boleh melayani pemberian obat berdasarkan resep adalah apoteker. Secara tidak langsung tersirat bahwa apoteker harus selalu ada di apotek untuk melakukan asuhan kefarmasian. Apoteker sendiri telah diberi kewenangan untuk melakukan pengobatan sendiri kepada orang yang datang ke apotek. Pasien menyampaikan keluhan dan gejala yang dirasakan, kemudian Apoteker menginterpretasikan penyakitnya lalu memilihkan obat yang sesuai dengan keluhannnya atau merujuk ke pelayanan kesehatan lain (rumah sakit, laboratorium, dokter spesialis, dan lain-lain). Obat yang diberikan Apoteker meliputi obat wajib apotek (OWA, dengan ketentuan dan batasan yang tercantum dalam daftar OWA 1 dan OWA 2), obat bebas terbatas, dan obat bebas. Apoteker hendaknya membuat catatan pasien serta obat yang diserahkan, serta memberikan informasi penting tentang dosis, cara pakai, kontra

indikasi, dan efek samping yang perlu diperhatikan oleh pasien (Dhadhang, 2008). Masyarakat lebih memilih membeli obat ke apotek untuk mendapatkan obat-obat untuk pengobatan sendiri. Masyarakat semakin terdidik dan kritis dalam memilih layanan kesehatan dan jenis-jenis obat sehingga kebutuhan untuk mendapatkan informasi tentang obat menjadi lebih tinggi. Masyarakat punya hak dalam memilih dari sekian banyak jenis obat yang telah diresepkan dokter (Anonim, 2007). Upaya masyarakat melakukan pengobatan sendiri dinilai seperti pedang bermata dua, apabila tidak dengan tepat dilakukan. Di satu sisi akan mengurangi beban pelayanan di puskesmas atau rumah sakit. Namun di sisi lain bila obat yang digunakan adalah obat-obat yang termasuk dalam daftar G (obat keras) seperti antibiotika, antidiabetes, hormon dan antihipertensi tanpa pengetahuan yang memadai akan menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan. Begitu juga dengan pemakaian obat daftar W (bebas terbatas) seperti analgetika, antipiretika dan obat batuk dalam jangka lama juga dapat menimbulkan efek samping yang merugikan (Cermin Dunia Kedokteran No. 125, 1999). Untuk pemakaian obat antibiotika dianjurkan untuk tidak menggunakannya dalam pengobatan sendiri karena pemakaian antibiotika yang tidak tepat dengan dosis yang rendah, pemakaian dalam jangka waktu yang lama, yang sudah rusak atau kadaluwarsa menimbulkan terjadinya resistensi atau superinfeksi bahkan timbulnya alergi ataupun syok anafilaksis pada individu tertentu.

Pengobatan sendiri mempunyai beberapa dampak positif diantaranya masyarakat dapat mengatasi masalah kesehatannya secara dini. Keberhasilannya akan mengurangi beban pusat-pusat pelayanan kesehatan, biaya yang dikeluarkan relatif lebih murah, serta memberi kesempatan kepada banyak pihak untuk terlibat dalam bisnis obat. Ada beberapa aspek yang perlu diwaspadai agar pengobatan sendiri dapat dilakukan secara bermutu yaitu tepat, aman, dan rasional. Garis besarnya adalah sebagai berikut: a. Kenali gejala penyakit atau keluhan kesehatan yang diderita. b. Tentukan obat yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan tersebut yaitu Pilih produk dengan formula yang paling sederhana dengan memperhatikan komposisi dan dosis. Secara umum komposisi tunggal lebih dianjurkan. Pilih obat yang mengandung dosis efektif, serta mencantumkan komposisi dan jumlahnya. Dianjurkan menggunakan produk generik bila tersedia. Berhati-hatilah terhadap iklan yang melebihkan efek obat dibanding produk sejenis yang lain. Perhatian khusus harus diberikan untuk pemberian pada anak-anak, terutama mengenai dosis, bentuk sediaan, dan rasa. c. Perhatikan waktu penggunaan obat dengan kesembuhan atau berkurangnya keluhan penyakit, bila dalam beberapa hari tidak terdapat perubahan sebaiknya meminta bantuan dokter atau tenaga medis lainnya.

Untuk melindungi masyarakat dari resiko penggunaan obat yang tidak tepat, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pengobatan sendiri. Pengobatan sendiri hanya boleh menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas. Tanda golongan obat harus tercantum pada setiap kemasan obat. Semua obat bebas dan obat bebas terbatas wajib mencantumkan keterangan tentang kandungan zat berkhasiat, kegunaan, aturan pakai, dan pernyataan lain yang diperlukan dalam setiap kemasan. Semua kemasan obat bebas terbatas wajib mencantumkan apabila sakit berlanjut segara hubungi dokter Pendidikan menentukan seseorang dalam memilih pengobatan untuk dirinya. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak pula dia berusaha untuk mengobati dirinya sendiri. Seperti orang-orang di pedesaan yang sama sekali tidak pernah menerima pendidikan, berusaha untuk mengobati dirinya sendiri, kalau mengalami sakit. Sedangkan mereka yang pernah mendapatkan pendidikan lebih baik akan terlihat persentasenya lebih kecil. Demikian juga di perkotaan. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak yang memilih cara pengobatan sendiri itu. Hal pemberian obat-obat resep dokter ini perlu sekali diperhatikan, karena sekarang ini obat-obatan dapat diperoleh dengan bebas. Akibatnya masyarakat di daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan yang rendah bisa menjadi korban pemakaian yang tidak benar dari obat-obatan tersebut. Peningkatan pengetahuan masyarakat dalam masalah kesehatan ini, khususnya dalam masalah penggunaan obat-obatan, harus ditingkatkan terus

menerus. Peranan petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan sangatlah besar, sehingga masyarakat yang tidak mengetahui tentang obat bebas yang dipergunakannya dapat diminimalisasi. Dengan demikian mereka tidak akan menjadi korban dari kesalahan sendiri dalam mempergunakan obat-obat tersebut. 2.3 Penggunaan Obat Dalam Pengobatan Sendiri Semua orang dalam hidupnya pasti membutuhkan obat. Begitu juga tenaga kesehatan yang berhak memperoleh layanan kesehatan yang terbaik. Menurut Departemen Kesehatan RI, Obat menjadi unsur yang penting dalam upaya kesehatan, mulai dari upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pemulihan harus diusahakan agar selalu tersedia pada saat dibutuhkan. Obat adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992). Obat merupakan senyawa kimia yang sangat kuat. Disamping manfaat yang besar, obat berpotensi untuk mendatangkan malapetaka. Karena itu semakin lengkap pengetahuan tentang obat dan bagaimana cara menggunakannya secara tepat dan aman, akan lebih banyak memperoleh manfaatnya (Anonim, 2009). Obat dapat merugikan kesehatan bila tidak memenuhi persyaratan atau bila digunakan secara tidak tepat atau disalahgunakan (Kulinegara, 2008).

Strategi untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas penggunaan obat yang tepat, aman dan rasional khususnya pada pengobatan sendiri dapat ditempuh melalui peningkatan komunikasi (konseling) antara pasien dengan tenaga kesehatan serta melakukan penilaian individu, kondisi sosial dan ekonomi yang mencerminkan gaya hidup pasien (Lofholm & Katzung, 1997). Intervensi Pengetahuan Pasien dapat juga dilakukan melalui penyebaran brosur mengenai penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional (Arustiyono, 1999). Strategi-strategi tersebut sangat penting dilakukan mengingat berhasilnya suatu terapi tidak hanya ditentukan oleh diagnosis dan pemilihan obat yang tepat, tetapi juga oleh kepatuhan pasien untuk mengikuti terapi yang telah ditentukan (Muliawan, 2004). 2.3.1 Penggolongan Obat Sesuai Permenkes No. 917/MENKES/PER/X/1993 Tentang Daftar Wajib Obat Jadi, bahwa yang dimaksud dengan golongan obat adalah penggolongan yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketetapan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri dari Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Wajib Apotek, Obat Keras, Psikotropika dan Narkotika. 1. Obat Bebas ( OB ) Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter. Obat ini biasa menjadi pilihan saat ada kebutuhan untuk melakukan pengobatan sendiri. Pada wadah obat terdapat tanda khusus obat bebas, berupa lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: vitamin atau multivitamin, beberapa obat

analgetik-antipiretik (seperti: parasetamol) dan obat gosok. Obat ini dapat dibeli bebas di apotek, toko obat dan warung. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan obat bebas adalah: o Apakah obatnya masih baik atau tidak? o Lihat tanggal kadaluarsa obatnya o Bacalah dengan baik keterangan tentang obat tadi pada brosurnya o Lihat indikasi penggunaan, yang merupakan petunjuk kegunaan obat untuk penyakit. o Perhatikan dengan baik dosis yang digunakan, untuk dewasa atau anak-anak. o Lihat pula dengan baik komposisi zat berkhasiat dalam kemasan obat. o Perhatikan peringatan-peringatan khusus dalam pemakaian obat. o Perhatikan pula tentang kontra indikasi dan efek samping obat. (DitJen Bina Kefarmasian, 2006) 2. Obat Bebas Terbatas ( OBT ) Disebut daftar W, Obat golongan ini masih termasuk obat keras tapi dapat dibeli tanpa resep dokter, sehingga penyerahannya pada pasien hanya boleh dilakukan oleh Asisten Apoteker penanggung jawab. Obat bebas terbatas ditandai dengan lingkaran berwarna biru dengan garis tepi lingkaran berwarna hitam (DitJen POM, 2008). Pada wadah obat terdapat tanda khusus obat bebas terbatas. Obat-obatan yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain obat batuk, obat influenza, obat penghilang rasa sakit dan penurun panas pada saat demam (analgetik-antipiretik), obat antimabuk (Antimo), CTM, obat asma, anti muntah.

Terdapat pula tanda peringatan P dalam labelnya. Kenapa disebut terbatas karena ada batasan jumlah dan kadar isinya. Label P ada beberapa macam yaitu: 1. P.No. 1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan pemakaiannya. 2. P.No. 2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur jangan ditelan 3. P.No. 3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar badan. 4. P.No. 4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar 5. P.No. 5: Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan 6. P.No. 6: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan 3. Obat Wajib Apotek ( OWA ) Menurut Keputusan Mentri Kesehatan Nomor : 347/ MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di Apotek tanpa resep dokter. Obat yang termasuk dalam obat wajib apotek ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Surat keputusan tersebut dilampiri dengan Daftar Obat Wajib Apotek No. 1. Jumlah obat yang ditetapkan sebagai obat wajib Apotek bertambah berdasarkan Daftar Obat Wajib Apotek No.2, sebagai lampiran dari surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 925/ MENKES/PER/X/1993 tanggal 23 Oktober 1993 yang dilampiri Daftar Perubahan Golongan Obat No.1, beberapa obat dari Daftar Obat Wajib Apotek No. 1 diubah golongannya.

a. Empat obat wajib apotek menjadi obat bebas terbatas yaitu: 1. Aminofilin dalam bentuk supositoria menjadi obat bebas terbatas. 2. Bromheksin menjadi obat bebas terbatas 3. Heksetidin sebagai obat luar untuk mulut dan tenggorokan dengan kadar sama atau kurang dari 0,1% menjadi obat bebas terbatas. 4. Mebebndazol menjadi obat bebas terbatas. b. Satu obat wajib apotek menjadi obat bebas yaitu: 1. Tolnaftat sebagai obat luar untuk infeksi jamur lokal dengan kadar sama atau kurang dari 1% menjadi obat bebas. Dengan bertambahnya obat yang ditetapkan sebagai obat wajib apotek, peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan obat perlu lebih mendapatkan perhatian. Informasi, terutama yang menyangkut efek samping, kontraindikasi dan interaksi sangat diperlukan. Oleh karena beberapa obat yang ditetapkan sebagai obat wajib apotek merupakan obat yang dapat mengakibatkan kebiasaan dan ketergantungan (Sartono, 1996). 4. Obat Keras Obat keras adalah obat yang hanya bisa diperoleh dengan resep dokter. Kemasan obat ditandai dengan lingkaran yang di dalamnya terdapat huruf K berwarna merah yang menyentuh tepi lingkaran yang berwarna hitam. Obatobatan yang termasuk dalam golongan ini antara lain: obat jantung, obat darah tinggi/antihipertensi, obat darah rendah/antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika dan beberapa obat ulkus lambung (DitJen POM, 2008).

5. Obat Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam undang-undang sebagaiman terlampir dalam Undang-Undang ini. Undang undang ini hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Undang Undang Republik Indonesia tentang Narkotika, 1997). Kemasan obat golongan ini ditandai dengan lingkaran yang di dalamnya terdapat palang (+) berwarna merah. Obat narkotika bersifat ketergantungan atau adiksi dan penggunaannya diawasi dengan ketat, sehingga obat golongan narkotika hanya dapat diperoleh dengan resep dokter yang asli (tidak dapat menggunakan copy resep). Contoh dari obat narkotika antara lain: Opium, coca, ganja/marijuana, morfin, heroin, dan lain sebagainya. Dalam bidang kedokteran, obat-obat narkotika biasa digunakan sebagai anestesi / obat bius dan analgetika / obat penghilang rasa sakit. 6. Obat Psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Undang-undang Psikotropika nomor 5 tahun 1997 pasal 1).

Psikotropika hanya bisa digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan. Psikotropika golongan 1 hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan (Undang-undang Psikotropika nomor 5 tahun 1997 pasal 4). Resiko dari upaya pengobatan sendiri, yakni penggunaan obat yang tidak tepat, pemborosan biaya dan waktu jika terjadi kesalahan, memungkinkan timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan (baik berupa sensitivitas, efek samping atau resistensi). Resiko ini dapat terjadi karena beberapa faktor seperti informasi yang kurang lengkap dari iklan obat, pemilihan obat, kesalahan diagnosis dan faktor irrasional dalam penggunaan obat. Sebagian obat memiliki tanda obat keras sehingga hanya dapat diperoleh di apotek dengan resep dokter atau untuk obat yang termasuk golongan OWA (Obat Wajib Apotek) dapat diserahkan oleh apoteker tanpa resep. Legalitas saluran distribusi obat menjadi penting untuk diperhatikan karena akan berkaitan dengan kualitas obat itu sendiri. Jalur resmi dengan sendirinya akan meningkatkan kualitas obat. Tentu menjadi sangat berbeda ketika membeli obat di sumber lain yang tidak resmi. Selain itu, apoteker dapat memberikan informasi dan konsultasi tentang obat yang dibeli di apotek (Anonim, 2008).