BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar.

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Sedangkan Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup individu, yaitu suatu masa

HUBUNGAN ANTARA SUPPORT SYSTEM KELUARGA DENGAN MEKANISME KOPING PADA LANSIA DI DESA POLENG GESI SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lanjut usia merupakan suatu anugerah. Menjadi tua, dengan segenap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini jumlah kelompok lanjut usia (usia 60 tahun menurut Undang-

BAB I PENDAHULUAN. membagi lansia ke dalam 3 tahapan yaitu young old, old-old, dan oldest old.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakberdayaan. Menurut UU No.13 tahun 1998, lansia adalah seseorang yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

A. LATAR BELAKANG MASALAH

HUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. 1

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tugas-tugas perkembangannya dengan baik agar dapat tumbuh menjadi individu

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), terutama di

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah satu atap dalam keadaan saling bergantung. Keluarga mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan pada. bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. tahun Data WHO juga memperkirakan 75% populasi lansia di dunia pada. tahun 2025 berada di negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang. telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan suatu kondisi apabila individu memiliki tekanan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. perkembangan pada masa dewasa akhir. Kehidupan pada fase perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. aspek psikologis, biologis, fisiologis, kognitif, sosial, dan spiritual yang akan

para1). BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. WHO akan mengalami peningkatan lebih dari 629 juta jiwa, dan pada tahun 2025

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan mengaitkan kebahagiaan sebagai bagian dari kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. ( orang di tahun Data WHO juga memperkirakan 75% populasi

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU NEGERI DI SMAN I WONOSARI DENGAN GURU SWASTA DI SMA MUHAMMADIYAH I KLATEN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR JENIS KELAMIN DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA LANSIA DI DESA LUWANG, GATAK, SUKOHARJO SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Statistik (2013), angka harapan hidup perempuan Indonesia dalam rentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pembangunan (UU Kesehatan No36 Tahun 2009 Pasal 138)

BAB I PENDAHULUAN. Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA LANSIA DI WILAYAH DESA BUMIHARJO KECAMATAN NGUNTORONADI KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. pertambahan warga lansia terbesar di seluruh dunia pada tahun yaitu

BAB 1 : PENDAHULUAN. pembangunan bangsa, sesuai Undang Undang Nomor 13 tahun 1998 Bab I pasal 11 ayat 11

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. usahanya tersebut. Profesi buruh gendong banyak dikerjakan oleh kaum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN DEPRESI PADA LANSIA DI DESA MANDONG TRUCUK KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. juta jiwa. (United Nation, 2002). Populasi lansia di dunia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

BAB I PENDAHULUAN. alami yang dialami oleh semua makhluk hidup. Di Indonesia, hal-hal yang

PENGARUH TERAPI OKUPASIONAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Usia lanjut adalah suatu proses yang tidak dapat dihindari

BAB I PENDAHULUAN. Lansia yang berhenti bekerja, umumnya menderita post power. syndrome, kehilangan kepercayaan diri karena berkurangnya peran

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2007 sebesar 18,96 juta dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. berstruktur lanjut usia karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN SUBJECTIVE WELL- BEING PADA GURU SEKOLAH DASAR

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bersiap-siap mengakses dan menangani klien-klien lansia. Terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Zahroh Nur Sofiani Suryana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Lieben und arbeiten, untuk mencinta dan untuk bekerja.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keras untuk meraih kebahagiaaan (Elfida, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. umur harapan hidup tahun (Nugroho, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lanjut usia atau lansia

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Manusia akan menjalani proses kehidupan yang memiliki 5 yakni

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. membedakan menjadi dua macam usia, yaitu usia kronologis dan usia

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PADA WANITA LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WREDHA BUDI PERTIWI BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan dalam bidang pendidikan dan teknologi yang pesat

BAB I PENDAHULUAN. psikologis, sosial, dan ekonomi Menurut (BKKBN 2006). WHO dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Proses menua adalah proses alami yang dialami oleh mahluk hidup. Pada lanjut usia

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

PRINSIP DAN TUGAS TUMBUH KEMBANG LANSIA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam

Transkripsi:

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang manusia dalam kehidupan. Manusia menjadi tua melalui proses perkembangan mulai dari bayi, anak-anak, dewasa, dan tua. Usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus hidup yang akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini, individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya (Soejono, 2000). Usia lanjut dapat dikatakan usia emas, karena tidak semua orang dapat mencapai usia tersebut, sehingga orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan keperawatan, baik yang bersifat preventif maupun represif, agar ia dapat menikmati masa usia lanjut yang berguna dan bahagia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Keberadaan usia lanjut ditandai dengan umur harapan hidup yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan hal tersebut membutuhkan upaya pemeliharaan serta peningkatan kesehatan dalam rangka mencapai masa tua yang sehat, bahagia, berdayaguna, dan produktif (Pasal 19 UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan).Lansia berhak mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dari anak-anaknya. Hal tersebut menjadi salah satu bentuk terima kasih 1

2 anak terhadap orang tua. Kebersamaan dalam keluarga dapat menjadi salah satu faktor yang mampu menciptakan kebahagiaan pada diri lansia karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk penerimaan mereka di dalam keluarga, sehingga kesejahteraan subjektif lansia akan tinggi.populasi lansia yang semakin meningkat dengan kesehatan jiwa lansia yang semakin menurun sebagai salah satu permasalahan yang harus diselesaikan. Berdasarkan hasil survei Kementrian Sosial pada tahun 2008, dari total 20 juta hingga 23 juta warga negara yang lanjut usia di Indonesia, sekitar 1,7 juta adalah lansia terlantar (Republika, 30 Mei 2010). Berikut hasil wawancara di sebuah artikel yang diambil dari media cetak. Ini masih jauh dibandingkan total lansia yang terlantar, sekitar 1,7 juta jiwa. Kami mengharapkan peran semua pihak, termasuk peranan swasta melalui CSR, dapat berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan rakyat, (Imam Chasali, republika 30 Mei 2010). Pada lansia, permasalahan psikologis terutama muncul jika lansia tidak berhasil menemukan jalan keluar masalah yang timbul akibat dari proses menua. Papalia, Olds dan Feldman (2004)mengatakan bahwa kemunduran fungsi tubuh dan berkurangnya peran di masyarakat bagi lansia dapat membuat emosi yang labil, mudah tersinggung, mudah merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan dan tidak berguna. Lansia dengan problem tersebut menjadi rentan terhadap gangguan psikiatrik seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan) atau kecanduan obat (Akhmadi, 2006). Berkurangnya waktu untuk bertemu dengan keluarga menyebabkan para lansia yang berada di panti jompo akan merasa tidak mendapatkan kebahagiaan dari keluarganya. Ada beberapa masalah yang biasa dialami oleh lansia diantaranya adalah kesepian,

3 keterasingan dari lingkungan, ketidakberdayaan, ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran terutama bagi lansia yang miskin serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Hal tersebut dapat mengakibatkan depresi yang dapat menghilangkan kebahagiaan, hasrat, harapan, ketenangan pikiran dan kemampuan untuk merasakan ketenangan hidup, hubungan yang bersahabat dan bahkan menghilangkan keinginan menikmati kehidupan sehari-hari. Sedangkan pada perubahan sosial antara lain terjadinya penurunan aktivitas, peran dan partisipasi sosial (Partini, 2002). Perubahan pola pikir juga terjadi pada usia lanjut, sehingga lansia akan cenderung berpikir negatif jika kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Ketidakbahagiaan yang dialami lansia akan menjadi penyebab ketidakpuasan lansia dalam menjalani hidupnya sehingga lansia akan merasa hidupnya menjadi tidak berguna. Faktor-faktor diatas dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan jiwa lansia sehingga dapat mempengaruhi kesehatan fisiknya. Oleh karena itu, tidak sedikit lansia yang ingin mengakhiri hidupnya karena perasaan tak berguna dalam menjalani hidupnya tersebut. Kasus yang terjadi di Sragen pada tahun 2013, seorang lansia yang berusia 75 tahun, warga Dukuh Banaran, Jenggrik, Paiyem yang memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di pohon mangga karena sakit menahun yang tidak kunjung sembuh (Solopos, 25 Oktober 2013). WHO (dalam JaringNews.com, 2012) mengatakan bahwa orang lanjut usia memiliki niat bunuh diri lebih tinggi dan menggunakan berbagai cara bunuh diri yang lebih mematikan dari pada orang muda dan kelompok lansia tersebut

4 juga memiliki tingkat bertahan hidup yang lebih rendah.masalah depresi menjadi salah satu faktor risiko bunuh diri yang banyak dialami oleh kaum lanjut usia atau lansia. Dokter spesialis kesehatan jiwa dari RSUD Gunung Kidul (dalam BeritaSatu.com, 2014) mengatakan bahwa faktor depresi sebagai penyebab bunuh diri pada lansia terjadi karena adanya penyakit degenerative yang umum diderita kaum lansia, hingga rasa kesepian karena tidak diperhatikan lagi oleh lingkungan sekitar. Berikut hasil wawancara di sebuah artikel yang diambil dari media cetak : "Banyak juga keluarga yang mengabaikan kesejahteraan para lansia. Tidak jarang, mereka pun ditinggal sendiri hingga merasa kesepian. Ini harus menjadi perhatian para usia produktif. Di samping itu, peningkatan jumlah lansia ini seharusnya juga dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup. Tidak sekedar tua, tapi juga berkualitas,"(ida Rachmawati, BeritaSatu.com, 15 September 2014). Permasalahan yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa keluarga yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan lansia ternyata belum sepenuhnya dapat membantu. Peran anak kepada orang tua salah satunya yaitu menjaga orangtua di hari tuanya agar orang tua merasa lebih dihargai dan dihormati. Hal tersebut sebagai salah satu bentuk terimakasih anak kepada orang tua. Bunuh diri salah satu risiko yang ditimbulkan akibat stres yang dialami oleh lansia. Semakin tua usia, risiko penyakit degeneratif termasuk gangguan kesehatan jiwa akan semakin besar. Uraian tersebut sejalan dengan pendapat Carr (2004) yang mengatakan bahwa kebahagiaan tergantung pada evaluasi kognitif kepuasan dalam berbagai domain kehidupan seperti keluarga, pekerjaan, dan pengalaman afektif. Oleh karena itu, fokus dari skripsi ini adalah kesejahteraan subjektif yang dirasakan oleh lansia yang tinggal di panti jompo.

5 Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti, disimpulkan bahwa kesejahteraan subjektif berpengaruh dengan kualitas hidup seseorang. Hal tersebut didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya mengenai kesejahteraan subjektif, terdapat banyak hubungan yang dapat mempengaruhi kesejahteraan subjektif seseorang. Kepribadian yang positif sering menjadi penyebab dalam meningkatkan kesejahteraan yang subjektif, salah satunya yaitu berfikir positif (Shyh, 2012). Individu dapat menciptakan kesejahteraan subjektif yang tinggi guna menekan angka ketidakberdayaannya sebagai manusia yang berpotensi. Permasalahan kesejahteraan subjektifmenjadi perhatian pada lansia karena semakin bertambah usia seseorang, maka kemampuan kognitifnya menurun sehingga sangat sulit untuk mempertahankan kepribadian yang positif tersebut. Salah satu contohnya yaitu pola berpikir yang negatif yang dapat menyebabkan rasa tidak punya harapan hidup (hopelessness), sehingga rasa tidak punya harapan ini dapat berakibat pada perilaku bunuh diri (MacLeod, 2005). Kesejahteraan subjektif dapat terlihat dari kebahagiaan seseorang dalam menikmati hidupnya. Faktor dalam menciptakan kesejahteraan subjektif berhubungan dengan faktor religius seseorang. Hal tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Diyah (2015) yang menunjukkan bahwa sikap syukur memberikan sumbangan efektif sebesar 68% dalam mempengaruhi kesejahteraan subjektif.carr (2004) yang mengatakan bahwa kebahagiaan tergantung pada evaluasi kognitif kepuasan dalam berbagai domain kehidupan seperti keluarga, pekerjaan, dan pengalaman afektif. Kebahagiaan seseorang dapat terjadi karena adanya kebutuhan yang telah tercapai, misalnya kebutuhan

6 akankasih sayang, kebutuhan pokok, sekunder, dan kebutuhan hidup yang lainnya. Kebutuhan yang tidak terpenuhi bukan berarti dapat menghambat seseorang untuk mendapatkan kesejahteraan subjektif. Berpikir positif akan menjadikan individu lebih optimis menghadapi hidup dan memudahkan individu untuk beraktivitas dengan baik. Individu yang tidak mampu berpikir positifakan merasakan kesulitan dalam hidup, karena keyakinan dan konsep yang salah dan negatif mengenai hidup dan lingkungannya (Rusydi, 2012). Kesejahteraan subjektif diartikan sebagai bentuk kesehatan mental. Menurut Elfiky (2009)berfikir positif merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kesejahteraan subjektif seseorang. Pikiran yang positif menyebabkan seseorang memiliki kontrol yang baik terhadap perasaan sedih, marah, kecewa, maupun perasaan-perasaan negatif lainnya. Individu yang memiliki kepribadian positif lebih mudah mendapatkan kebahagiaan karena hal tersebut sebagai salah bentuk kebersyukuran hidup seseorang kepada pencipta-nya. Menurut Ariati (2012), individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiiki impian dan harapan yang positif tentang masa depan. Berfikir positif mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan, baik jasmani maupun rohani, sehingga berfikir positif mampu meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang (Shyh, 2012). Pemikiran dan perlakuan yang positif akan menghasilkan sesuatu yang positif. Ketika individu membiasakan diri untuk berfikir positif, maka individu tersebut akan jauh dari penyakit hati yang mampu memberikan kecemasan pada hidupnya. Seperti yang dikatakan oleh Elfiky

7 (2009), bahwa pemikir adalah pembuat pikiran, pikiran menyebabkan orang berfikir, berfikir membuat konsentrasi, konsentrasi melahirkan perasaan, dan perasaan melahirkan perbuatan, serta perbuatan menghasilkan sesuatu dengan hasil yang menentukan kenyataan hidup.oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa berfikir positif mampu meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang, karena seseorang akan tetap bahagia dengan segala yang ia lakukan dan tetap tenang dalam menghadapi setiap cobaan yang Allah berikan dengan keyakinan bahwa setiap permasalahan selalu hadir disertai penyelesaian. Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitiannya adalah apakah ada hubungan antara berfikir positif dengan kesejahteraan subjektif pada lansia yang tinggal di panti jompo? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif karena penelitian ini membutuhkan banyak subjek dan memiliki alat yang sudah teruji. Subjek yang akan berkontribusi dalam penelitian ini adalah lansia yang tinggal di panti jompo. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara berpikir positif dan kesejahteraan subjektif pada lansia yang tinggal di Panti Jompo. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Penelitian mengenai kesejahteraan subjektif pada lansia yang tinggal di panti jompo diharapkan dapat menumbuhkembangkan rasa kepedulian yang lebih terhadap kaum lansia. Hasil penelitian yang diperoleh, diharapkan

8 dapat menjadi referensi tambahan bagi peneliti-peneliti berikutnya yang ingin menggali lebih lanjut mengenai hubungan berpikir positif terhadap kesejahteraan subjektif pada lansia di panti jompo. 2. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan yang ada guna menciptakan kesejahteraan subjektif pada masyarakat. D. Keaslian Penelitian Hariyanti (2012) meneliti tentang hubungan emptynest dengan kesejahteraan subjektif pada wanita yang berusia 40-60 tahun dan memiliki anak yang tidak tinggal serumah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara emptynest dengan kesejahteraan subjektif. Semakin tinggi empty nest yang dialami oleh ibu, semakin rendah kesejahteraan subjektifnya, begitupun sebaliknya. Sedangkan penelitian yang dilakukan Erlangga (2011), meneliti tentang kesejahteraan subjektif pada lansia di panti jompo. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa orang yang lebih optimis akan masa depannya merasa lebih bahagia dan puas atas hidupnya, dan mengevaluasi dirinya secara positif bahwa dirinya dapat mengendalikan aspekaspek penting dalam hidupnya. Semakin tinggi sikap optimis lansia, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektif lansia yang tinggal di panti jompo. Putri (2014) meneliti tentang self-management abilities (SMA) untuk meningkatkan subjective well-being (SWB) perempuan lanjut usia di panti

9 wredha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan subjective well-being setelah pemberian pelatihan self-management ability, dengan nilai sig. 0,015 (α 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi self-management ability dapat meningkatkan subjective well-being. Semakin tinggi selfmanagement ability seseorang maka akan meningkatkan kesejahteraan subjektif seseorang. Utomo & Prasetyo (2011) meneliti tentang well-being pada lansia yang tinggal di panti wredha atas dasar keputusan sendiri. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan dengan keluarga, konflik dengan orang lain, kedekatan relasi dengan orang lain, otonomi, problem solving, pertumbuhan pribadi dan fasilitas panti saling berkaitan dalam membentuk well-being seseorang. Tema tersebut saling berkaitan dalam membentuk well-being seseorang, sehingga ketika salah satu tema tersebut tidak terpenuhi maka akan menurunkan well-being seseorang. Nurhidayah (2012) meneliti tentang kebahagiaan lansia di tinjau dari dukungan sosial dan spiritualitas. Hasil penelitian menemukan dukungan sosial memiliki korelasi positif dengan kebahagiaan. Tidak ada yang signifikan antara kebahagiaan lansia yang tinggal di dalam panti maupun di luar panti. Dukungan sosial memiliki pengaruh nyata positif terhadap kebahagiaan lansia. Semakin tinggi tingkat dukungan sosial yang diterima oleh lansia, maka semakin tinggi kesejahteraan subjektif yang dirasakan oleh lansia. Begitupun dengan tingkat spiritual yang tinggi pada lansia, akan meningkatkan tingkat kebahagiaan lansia yang tinggal di panti jompo maupun yang tinggal di luar panti jompo.

10 Masithoh (2014) meneliti tentang hubungan berpikir positif dengan motivasi lansia hipertensi untuk mengikuti senam lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan yang positif antara berpikir positif dengan motivasi lansia hipertensi untuk mengikuti senam lansia. Kekuatan hubungannya adalah sangat kuat karena nilai rho (0,886 berada pada rentang nilai 0,70-0,89.hasil penelitian juga menunjukkan bahwa usia yang semakin tinggi akan mempengaruhi pemikiran ke arah yang positif karena adanya pengalaman hidup yang selama ini di jalani oleh lansia. Andini, A. & Supriyadi (2013) meneliti tentang hubungan antara berpikir positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara berpikir positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo. Hasil lain yang dapat menjelaskan adanya hubungan berpikir positif dengan harga diri adalah karena lansia mampu: (1) menerima diri dan keadaannya, (2) menyesuaikan diri, (3) memandang diri secara positif, (4) menunjukkan kekuatan, dan (5) menunjukkan kompetensinya. Semakin tinggi kemampuan tersebut maka semakin tinggi tingkat berpikir positif dan harga dirinya. 1. Keaslian Topik Penelitian mengenai kesejahteraan subjektif sudah banyak dilakukan sebagai penelitian oleh peneliti sebelumnya. Penelitian ini juga memiliki variabel serupa dengan peneliti sebelumnya, namun penelitian ini memiliki perbedaan pada variabel bebasnya, yaitu disandingkan dengan variabel berpikir positif.

11 2. Keaslian Alat Ukur Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan subjektif dalam penelitian ini, peneliti adaptasi dari alat ukur milik Diener (2005) yaitu Satisfaction With Life Scale (SWLS) dan Scale of Positive and Negative Experience (SPANE). Untuk alat ukur berpikir positif peneliti mengadaptasi alat ukur PositiveThinkingScale (PTS).