BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Industri mempunyai pengaruh besar terhadap lingkungan, karena dalam prosesnya akan dihasilkan produk utama dan juga produk samping berupa limbah produksi, baik limbah padat, cair, maupun gas, yang berakibat pada pencemaran lingkungan. Salah satu pencemaran yang dihasilkan dari limbah industri adalah pencemaran logam berat. Logam berat sulit membusuk karena sulit didegradasi, dan apabila masuk ke dalam perairan maka akan menyebabkan peningkatan konsentrasi ion logam dalam air. Logam berat yang terdapat dalam limbah cair biasanya berasal dari industri yang melibatkan unsur-unsur logam dalam proses produksinya. Menurut Sudarmaji dkk. (2006), beberapa logam berat yang sering ditemukan dalam limbah industri adalah logam timbal (Pb), merkuri (Hg), kadmium (Cd), arsenik (As), dan kromium (Cr). Kromium merupakan salah satu logam berat yang berpotensi besar mengkontaminasi lingkungan perairan. Kromium memiliki beberapa tingkat oksidasi, dan yang paling banyak terdapat di alam adalah kromium (II), kromium (III), dan kromium (VI) (Mackay dkk., 1996). Cr(III) memiliki tingkat toksisitas sekitar 300 kali lebih rendah daripada Cr(VI) dan senyawa hidroksidanya mempunyai kelarutan yang rendah sehingga relatif tidak mudah larut dan tidak mudah terserap oleh tubuh (Krishnani dan Ayyappan, 2006), sedangkan Cr(VI) bersifat sangat toksik bahkan di konsentrasi rendah karena Cr(VI) dapat dengan mudah melewati membran sel sehingga berbahaya untuk jaringan ginjal dan hati. Selain itu, Cr(VI) juga bersifat karsinogenik dan mutagenik (DeFilippi, 1994). Pada lingkungan perairan, spesies Cr(VI) sangat dipengaruhi oleh ph sistem. Spesies H2CrO4 dominan berada dalam larutan asam dengan ph < 1. Pada ph 2-6 terjadi kesetimbangan antara ion bikromat (HCrO4 - ) dan ion dikromat (Cr2O7 2- ), sedangkan pada larutan basa dengan ph > 6, Cr(VI) dominan dalam bentuk ion kromat (CrO4 2- ) (Cotton dkk., 1999). 1
2 Kromium biasa digunakan di berbagai proses industri, seperti penyamakan kulit, produksi baja dan campuran logam, pembuatan zat warna dan pigmen, industri kaca, pengawetan kayu, industri tekstil, film dan fotografi, pembersihan logam, pelapisan logam, dan lain-lain (Sarin dkk., 2006). Penggunaan senyawa kromium pada proses industri ini akan menimbulkan kontaminasi air jika tidak diproses dengan metode pembuangan yang tepat. Baku mutu kromium total dalam air limbah industri maupun air minum telah ditetapkan oleh beberapa badan pemerintah di berbagai negara. Untuk air limbah industri, kadar maksimum kromium total bervariasi dari 0,1 mg.l -1 hingga 1 mg.l -1 tergantung industrinya (Anonim, 2010a), sedangkan kadar maksimum kromium total yang diperbolehkan dalam air minum yaitu 0,05 mg.l -1 (Anonim, 2010b). Kelebihan kadar Cr dalam tubuh manusia dapat menyebabkan beberapa penyakit, seperti radang ginjal, tukak lambung, penyakit pada sistem saraf pusat, kanker, dan alergi kulit (Krishnani dan Ayyappan, 2006). Beberapa metode telah dikembangkan untuk menurunkan kadar Cr(VI) dalam air, dan yang umum digunakan adalah metode pertukaran ion (Kabay dkk., 2003), elektrokimia (Rana dkk., 2004), dan reduksi-pengendapan sebagai kromium hidroksida (Almaguer-Busso dkk., 2009), akan tetapi metode-metode ini membutuhkan biaya pembuatan alat serta biaya operasional dan perawatan yang cukup besar. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metode alternatif yang lebih murah untuk mengurangi kadar Cr(VI) dalam air limbah industri. Proses adsorpsi dapat menjadi pilihan metode yang baik untuk pengolahan air limbah karena prosesnya yang relatif sederhana dan mudah dilakukan serta biaya yang diperlukan relatif murah. Padatan yang digunakan sebagai adsorben pada umumnya berupa senyawa anorganik yang memiliki sisi aktif pada permukaannya dan luas permukaan yang besar. Silika gel merupakan salah satu padatan pendukung anorganik yang dapat digunakan sebagai adsorben karena stabil pada kondisi asam, non-swelling, memiliki karakteristik pertukaran massa yang tinggi, porositas dan luas permukaan yang tinggi serta memiliki daya tahan tinggi terhadap panas (Buhani dkk., 2009). Silika gel memiliki situs aktif berupa gugus silanol ( Si OH) dan siloksan
3 ( Si O Si ) di permukaannya. Silika gel dapat dibuat dari sekam padi, yang merupakan limbah pertanian dari hasil samping aktivitas penggilingan padi. Indonesia merupakan negara agraris, di mana produksi padi di Indonesia sangat besar, hampir mencapai 70 juta ton gabah kering giling setiap tahunnya (Anonim, 2013). Di sisi lain, besarnya jumlah produksi padi juga berakibat pada banyaknya hasil samping sekam padi yang dihasilkan, yang jika tidak dimanfaatkan secara optimal maka akan menimbulkan masalah baru sebagai limbah. Sekam padi setelah dibakar akan berkurang massanya sebesar 80-86% namun mengalami peningkatan kandungan silika sebesar 90% (Chandrasekhar dkk., 2006), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan silika gel. Kelemahan penggunaan silika gel menurut Tokman dkk. (2003) adalah keasaman yang rendah pada gugus silanol serta kemampuan mendonorkan elektron yang rendah dari atom oksigen di permukaan. Rendahnya kemampuan oksigen untuk mendonorkan elektron menyebabkan ikatan antara ion logam dengan permukaan silika menjadi lemah. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi permukaan silika gel dengan penambahan gugus aktif yang diinginkan untuk meningkatkan efektivitas adsorpsi silika terhadap ion logam. Modifikasi permukaan silika gel dapat dilakukan dengan menambahkan senyawa organik yang memiliki gugus fungsional yang dapat berikatan dengan permukaan padatan pendukung anorganik dan sekaligus memiliki gugus yang mampu menarik ion logam dengan mekanisme ikatan tertentu (Fahmiati dkk., 2006). Ikatan yang terbentuk antara permukaan padatan pendukung silika dengan senyawa organik tertentu berupa ikatan kovalen, yang akan menghasilkan permukaan baru pada silika gel (Filha dkk., 2006). Senyawa organik yang ditambahkan harus mempunyai gugus fungsi yang memiliki atom donor elektron, sehingga dapat berikatan dengan ion logam. Jenis-jenis atom donor yang sering digunakan adalah nitrogen (gugus amina, azo, amida, dan nitril) dan sulfur (tiokarbamat, tioeter, dan merkapto) (Buhani dkk., 2009). Modifikasi permukaan silika gel dengan senyawa organik yang mengandung atom donor akan menghasilkan suatu hibrida organo silika. Sintesis hibrida organo silika dapat dilakukan dengan menggunakan larutan natrium silikat
4 yang dibuat dari abu sekam padi dengan metode sol-gel. Metode sol-gel merupakan metode homogen di mana prosesnya sederhana karena proses pengikatan senyawa organik terjadi bersamaan dengan proses terbentuknya padatan. Selain itu, metode sol-gel merupakan metode yang mudah diaplikasikan di laboratorium karena tidak memerlukan temperatur tinggi. Saat ini, telah dikembangkan beberapa adsorben dari padatan pendukung silika yang dimodifikasi dengan senyawa organik yang mengandung gugus amina, seperti (3-aminopropil)trimetoksisilan (APTMS) (Nuryono dan Narsito, 2006; Sakti, 2010) dan (3-aminopropil)trietoksisilan (APTES) (Tokman dkk., 2003), sehingga dihasilkan material hibrida amino silika (HAS). Modifikasi lebih lanjut yaitu dengan menggunakan gugus amonium kuaterner (Méry dkk., 2007; Tiwow, 2013), sehingga dihasilkan material hibrida amonium kuaterner silika (HAKS). Modifikasi permukaan silika dengan gugus yang bermuatan positif diharapkan dapat meningkatkan efektivitas terhadap adsorpsi ion Cr(VI) karena dalam larutan Cr(VI) berada dalam bentuk anion. Gugus amonium kuaterner ( N + R3) adalah gugus yang muatan positifnya cenderung bersifat stabil tanpa terpengaruh oleh ph sistem. Gugus amonium kuaterner dapat dibuat dengan mereaksikan gugus amina dengan alkil halida primer dan basa melalui mekanisme SN2. Sintesis adsorben hibrida amonium kuaterner silika (HAKS) telah dilakukan oleh Tiwow (2013) dengan menggunakan senyawa organik berupa (3-aminopropil)trimetoksisilan (APTMS). Larutan natrium silikat yang dibuat dari abu sekam padi direaksikan dengan senyawa APTMS melalui proses sol-gel membentuk hibrida amino-silika (HAS), setelah itu direaksikan dengan metil halida berlebih sehingga diperoleh adsorben HAKS. Adsorben ini kemudian digunakan untuk mengadsorpsi logam Cr(VI). Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kapasitas adsorpsi Cr(VI) dari 12,083 mg.g -1 pada adsorben HAS menjadi 15,035 mg.g -1 pada adsorben HAKS. Pada penelitian sebelumnya, belum ada yang mengkaji tentang adsorpsi Cr(VI) pada adsorben HAKS yang disintesis dengan cara mereaksikan larutan natrium silikat dari sekam padi dengan senyawa amonium kuaterner yang terlebih
5 dahulu disintesis dari senyawa APTMS, melalui proses sol-gel. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji adsorpsi Cr(VI) menggunakan adsorben HAKS yang disintesis dengan cara mereaksikan larutan natrium silikat dengan senyawa amonium kuaterner, serta dipelajari isotermnya menggunakan model isoterm Langmuir dan isoterm Freundlich. Dalam penelitian ini, dikaji pula pengaruh anion kompetitif lain, yang banyak ditemui di limbah industri seperti limbah industri pelapisan logam, terhadap adsorpsi Cr(VI) pada adsorben HAKS. I.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sintesis adsorben HAKS dengan cara mereaksikan larutan natrium silikat dengan senyawa amonium kuaterner hasil sintesis dari APTMS, melalui proses sol-gel. 2. Mengkaji kemampuan adsorpsi Cr(VI) pada adsorben HAKS berdasarkan pengaruh ph sistem melalui sistem batch. 3. Mengkaji isoterm adsorpsi Cr(VI) pada adsorben HAKS. 4. Mengkaji pengaruh anion kompetitif lain yang terdapat dalam limbah industri pelapisan logam terhadap adsorpsi Cr(VI) pada adsorben HAKS. I.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pembuatan adsorben hibrida amonium kuaterner silika dari abu sekam padi serta kemampuannya sebagai adsorben Cr(VI). Selain itu, adsorben HAKS diharapkan dapat diaplikasikan sebagai adsorben pengendali limbah cair industri terutama yang mengandung logam berat.