B A B I P E N D A H U L U A N

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan zoon politicon atau makhluk sosial. Manusia tidak

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani *

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana di nyatakan dalam UU

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BERBEDA AGAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

PUTUSAN NOMOR 68/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sesuai dengan isi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan negara tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Menurut Mac Iver, negara

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia,

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB III PENUTUP. pengaturan dibidang perkawinan yang dirumuskan kedalam Undang-Undang

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan aturan terhadap suatu perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dan berkedudukan sama di

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni **

Ringkasan Putusan.

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan di atas adalah merupakan rumusan dari Bab I Dasar Perkawinan pasal

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia 1

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

Kompetensi. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. hukum dengan HTSdP.

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, perkawinan di bawah

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

C. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan

Modul ke: Hak Asasi Manusia. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Syarat Sahnya Perkawinan (Agama)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 2 Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

IMPLEMENTASI PENGENAAN TARIF AKAD NIKAH NASKAH PUBLIKASI. derajat S-I Program Studi Pendidikan. Pancasila dan Kewarganegaraan

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Transkripsi:

B A B I P E N D A H U L U A N A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan antar manusia karena perkawinan tidak hanya sebuah peristiwa hukum antara suami dan istri. Akan tetapi, perkawinan juga sebuah peristiwa sosiologis yang berdampak bagi orang ketiga atau orang-orang diluar perkawinan tersebut. Apabila ada pertanyaan terkait Mengapa setiap manusia dianjurkan untuk melaksanakan perkawinan?" mungkin setiap orang juga menemukan berbagai alasan yang berbeda. Oleh karena manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan merupakan budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan memperoleh ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti perkembangan budaya manusia. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinan adalah dalam bentuk yang sederhana, sempit, dan bahkan tertutup. Sedangkan dalam masyarakat modern budaya perkawinannya maju, luas serta terbuka. 1 Perkawinan sudah ada dalam masyarakat yang sederhana sekalipun, karena ia dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat dan para pemuka agama dan pemuka adat. 1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, 2003, Hlm 1.

Perkawinan dianggap sebagai sebuah prosesi yang sakral dan suci yang mana tidak mengherankan permasalahan mengenai perkawinan ini sering kali dihubungkan dengan kaedah-kaedah agama. Selain kaedah agama, perkawinan juga erat kaitannya dengan adanya norma hukum dan aturan yang mengaturnya. Hukum diperlukan dalam perkawinan dikarenakan dampak dari diberlangsungkannya perkawinan itu sendiri dimana akan menimbulkan hak, kewajiban, serta tanggung jawab masingmasing mempelai juga anggota keluarganya. Apabila tidak ada aturan hukum yang jelas mengikat terkait hal tersebut, maka ditakutkan akan terjadi perselisihan dikemudian hari. Aturan perkawinan bagi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlaku secara resmi sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 1974, kemudian berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang tersebut sudah berlaku secara formal yuridis bagi bangsa Indonesia, dan telah menjadi bagian dari hukum positif. Undang-undang perkawinan ini, selain meletakkan asas-asas, sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia. 2 2 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, Jakarta, Dian Rakyat, 1986, hlm. 16

Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 menyatakan bahwa Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. 3 Ikatan lahir batin yang sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 tersebut merupakan perwujudan dari hak asasi manusia itu sendiri, yang mana menunjukan bahwasanya perkawinan merupakan bagian dari hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani serta hak beragama dan juga hak menikah dan membentuk keluarga yang ketentuannya juga diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Walaupun tentang perkawinan ini telah ada pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tidak berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur semua aspek yang berkaitan dengan perkawinan, contoh persoalan yang tidak diatur oleh UU Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berbeda agama. 4 Masalah kawin beda agama kembali mencuat setelah adanya pengajuan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi pada September 2014 yang lalu. Pasal tersebut mengatur terkait syarat sahnya perkawinan, yang mana berbunyi sebagai berikut: 3 Djaja S Meliala,Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hlm.,1. 4 Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1986, hlm. 11

Pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal tersebut diintepretasikan bahwa negara memberikan pembatasan terhadap perkawinan yang hanya diakui secara sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut. Dengan demikian, pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang jelas kepada calon mempelai yang menikah apabila memiliki keyakianan ataupun agama yang berbeda. Ketentuan tersebut memberikan pembatasan berdasarkan agama terhadap kebebasan hak untuk menikah dan membentuk keluarga terhadap lelaki dan perempuan yang telah dewasa yang mana diatur dalam Universal Declaration on Human Rights ( Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Di dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menerangkan dan juga menegaskan bahwasanya perkawinan merupakan bagian dari Hak dasar manusia dalam pergaulan masyarakat Internasional. Hal tersebut dilihat dimana secara khusus hak untuk menikah dan

membentuk keluarga diatur dalam pasal 16 UDHR yang mana berbunyi sebagai berikut : 5 Article 16 (1) Men and women offull age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution (2) Marriage shall be entered into only with free and full consent of intending spouses (3) The family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and State Pasal 16 (1) Orang-orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan, dengan tidak dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam hal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian 5 Vide Pasal 16 ayat (1),(2), dan (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ( Universal Declarationof Human Rights) tentang Hak menikah dan membentuk keluarga, yang dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948.

(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan kedua mempelai (3) Keluarga adalah kesatuan alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara Selain itu, kedudukan hak untuk menikah dan membentuk keluarga juga mendapatkan perlindungan Hukum Internasional pada Pasal 23 ayat 2 dan 3 dalam International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu : 1. The family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and the State 2. The right of men and women of marriageable age to marry and to found a family shall be recognized, 3. No marriage shall be entered into without the free and full consent of the intending spouses. 1. Keluarga merupakan kesatuan kelompok masyarakat yang alami dan fundamental dan berhak atas perlindungan dari masyarakat dan negara. 2. Hak Pria dan wanita yang cukup umur untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui.

3. Perkawinan tidak boleh diadakan tanpa persetujuan yang bebas dan sempurna dari kedua calon mempelai. Dalam kedua instrumen Hak Asasi Manusia Internasional tersebut menjelaskan bagaimana perkawinan sebagai bagian dari hak asasi manusia seharusnya diberlangsungkan tanpa paksaan dan bebas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tanpa adanya batasan agama, ras, dan kewarganegaraan untuk melangsungkan perkawinan. Akan tetapi, apabila hal tersebut dihubungkan dengan perngertian perkawinan menurut pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 6 yang mana Perkawinan bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masingmasing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia. 7 Dilihat dari aturan tersebut, tampak adanya perbedaan aturan maupun prinsip terkait hak untuk menikah dan membentuk keluarga ini. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara jelas diterangkan bahwa Indonesia berpedoman kepada UDHR, yang mana hal tersebut tertera dalam pasal 75 Undang- Undang No.39 Tahun 1999 yang mana berbunyi sebagi berikut...mengembangkan kondisi yang konduksif bagi pelaksanaan hak asasi 6 Vide Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai definisi Perkawinan 7 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 9

manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.. 8 Dilihat dari ketentuan pasal tersebut, Indonesia seharusnya secara otomatis mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UDHR tersebut terkait kebebasan untuk menikah yang mana juga tercermin dalam ketentuan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 9 sebagai konstitusi tertinggi negara Indonesia. Berdasarkan bunyi pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974, secara eksplisit negara disini mencampurkan koridor perkawinan beserta administrasinya berdasarkan koridor agama. Hal ini dikarenakan hanya perkawinan yang sah yang dapat dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, sedangkan sah atau tidaknya suatu perkawinan dilihat berdasarkan aturan agama masing-masing, maka secara tidak langsung administrasi perkawinan juga tergantung dengan ketentuan agama atau kepercayaan masing-masing. Hal tersebut mungkin tidak akan menjadi sebuah permasalahan apabila perkawinan terjadi diantara laki-laki dan perempuan yang seiman atau beragama sama. Namun, permasalahan pemenuhan hak menikah dan membentuk keluarga ini muncul ketika dihadapkan kepada kasus Perkawinan beda agama dimana laki-laki dan perempuan yang akan menikah tidak seiman dan berbeda agama. Ketika hal tersebut terjadi, 8 Indonesia,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 75 butir a,lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembar Negara nomor 3886 9 Vide Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

timbul berbagai pertanyaan bagaimana keabsahan perkawinan tersebut, lalu ketentuan agama mana yang harus diikuti, dan bagaimana pencatatan perkawinannya. Selain itu, hal ini adalah faktual dan bukan persangkaan bahwa masih banyak anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan yang mengalami diskriminasi pemenuhan dan perlindungan hak anak, mencakup relasi dalam hukum keluarga, termasuk hak-hak atas pelayanan sosial, pendidikan, dan pencatatan kelahiran. Tentu saja hal itu vis a vis dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak ( the best interest of child). 10 Dengan demikian, dengan tidak adanya kepastian hukum terkait pencatatan perkawinan beda agama, maka tidak hanya kedua mempelai yang mengalami dampaknya. Akan tetapi, hal tersebut juga menjadikan anak yang lahir dalam perkawinan beda agama juga tidak memiliki kepastian secara hukum. Pada satu sisi, keinginan melegalkan kawin beda agama merupakan ide sensitif yang sangat potensial menimbulkan polemik di masyarakat. Namun, di sisi lain permintaan ini patut dihargai sebagai fakta empiris yang berhubungan dengan jaminan dan perlindungan hak warga negara untuk membentuk keluarga yang hendak atau telah melangsungkan kawin beda agama. Akan tetapi, pembatasan yang terdapat dalam aturan Pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut membuat banyak pasangan di Indonesia melangsungkan perkawinan agama melalui penyelundupan hukum. Seorang Peneliti dari Human Right 10 http://www.kpai.go.id/tinjauan/perkawinan-tidak-dicatatkan-dampaknya-bagi-anak/ diakses pada tanggal 6 Januari 2016 pukul 20.30 WIB

Watch (HRW), Andreas Harsono, mengatakan Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengakibatkan diskriminasi terhadap pasangan beda agama. Ia melihat pasal tersebut telah membuat warga yang ingin menikah beda agama harus mengorbankan agama dan kepercayaannya demi mendapat status hukum yang sah. 11 Pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Padahal, jelas dalam instrumen HAM Internasional baik UDHR maupun ICCPR dalam hal ini mengatur bahwa perkawinan haruslah dilandasi oleh unsur free and consent. Namun, apabila melihat realita bahwa untuk melaksanakan perkawinan beda agama tersebut terpaksa mengharuskan salah satu calon mempelai harus berpindah agama dan mengorbankan agama ataupun kepercayaan yang dianutnya membuat pembatasan tersebut secara tidak langsung melanggar unsur free and consent tadi. Selain itu, siasat penyelundupan hukum dengan melaksanakan perkawinan di luar negeri ataupun dengan cara adat juga berdampak pada aspek hukum lain seperti status anak dan juga masalah waris. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan 11 http://nasional.kompas.com/read/2014/09/06/09352001/uu.perkawinan.mendiskriminasi.pasang an.beda.agama diakses pada tanggal 4 Januari 2016, pukul 15.00 WIB

dengan pasal 11 ayat (2) bahwa perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia. 12 Hal tersebut menjadi perdebatan, apakah pembatasan yang terdapat dalam aturan perundang-undangan terkait perkawinan di Indonesia tersebut telah melanggar prinsip Hak Asasi Manusi yang diakui secara universal atau memang ada kewenangan negara untuk pembatasan pemenuhan suatu Hak Asasi Manusia dengan alasan tertentu. Setelah diratifikasinya International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005, Negara Indonesia memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan Hak-Hak yang ada didalam ICCPR tersebut termasuk hak untuk menikah dan membentuk keluarga. ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan negara-negara pihak oleh aparatur represif negara yang menjadi ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun didalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin didalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan 12 http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/viewfile/1717/1359 diakses pada tanggal 3 Desember 2015 pukul 16.09 WIB

yang diatur didalamnya akan dilanggar oleh negara. 13 Akan tetapi, dengan adanya aturan perkawinan Indonesia yang berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut. Maka, secara tidak langsung adanya pembatasan pemenuhan hak tersebut yang dilakukan oleh negara. Hal inilah yang secara garis besar akan penulis ulas dalam penulisan hukum berjudul Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional terhadap Kewenangan Negara dalam Membatasi Pemenuhan Hak untuk Menikah dan Membentuk Keluarga dengan memfokuskan studi pada kasus perkawinan beda agama di Indonesia. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan pada sub-bab sebelumnya, Penulis menentukan rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan HAM dalam Hukum Internasional mengenai perkawinan khususnya perkawinan beda agama? 2. Bagaimanakah cara mengatasi gap dalam pengaturan perkawinan beda agama dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional terutama hubungannya dengan Hak Asasi Manusia? 13 IfdhalKasim, Hak Sipil dan Politik (Esai-Esai Pilihan), Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2001, hlm.xi-xii

C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin Penulis capai dalam penulisan hukum ini mencakup 2 (dua) hal, yakni sebagai berikut : 1. Tujuan Subjektif Tujuan Subjektif dari penulisan hukum ini adalah untuk memperoleh semua data yang diperlukan dalam rangka menyusun penulisan hukum guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan Objektif Tujuan Objektif dari penulisan hukum ini didasarkan pada rumusan masalah yang telah Penulis kemukakan pada sub-bab sebelumnya, yakni sebagai berikut : a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan HAM dalam Hukum Internasional mengenai perkawinan khususnya perkawinan beda agama. b. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi gap dalam pengaturan perkawinan beda agama dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional terutama hubungannya dengan Hak Asasi Manusia.

D. KEASLIAN PENELITIAN Penulis telah melakukan penelusuran kepustakaan terhadap beberapa sumber, telah banyak penelitian dengan topik Penegakan Hak Asasi Manusia, namun tidak penulis temukan penelitian yang serupa dengan judul Penulis yakni Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional terhadap Kewenangan Negara dalam Membatasi Pemenuhan Hak untuk Menikah dan Membentuk Keluarga. Adapun penelitian yang serupa dengan tulisan penulis, berikut perbedaan dan persamaannya dengan Penulisan Hukum yang dibuat penulis : 1. Tesis berjudul Kawin Beda Agama Dalam Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia Perspektif HAM, hasil karya Faiq Tobroni. 14 Tesis yang dibuat oleh Faiq ini sama-sama membahas terkait perkawinan beda agama dalam persfektif HAM. Namun, Faiq secara khusus lebih membahas terkait implikasi penggunaan konsep maslahat, baik dari Maqashid Syari ah dan Utilitarianisme, terhadap kasus kawin beda agama. Selain itu, dalam tesis tersebut Faiq juga membahas terkait implikasi konsep tersebut dengan dinamika legislasi perkawinan konteks Indonesia dalam mengakomodasi tuntutan HAM. Dilihat dari 14 Magister Hukum (M.H), Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

rumusan masalah dan pembahasan Tesis dari Faiq tersebut tentunya berbeda dengan penulisan hukum yang penulis tulis dikarenakan penulis lebih cendrung membahas perkawinan beda agama dalam kaitan pemenuhan Hak menikah dan membentuk Keluarga oleh negara dilihat dari Hukum HAM Internasional yang mana tidak hanya dilihat dari persfektif islam saja seperti karya Faiq tersebut, namun juga dari persfektif agama-agama yang ada di Indonesia. 2. Jurnal berjudul Interfaith Marriage and Religious Commitment among Catholics, hasil karya Larry R Petersen. 15 Jurnal yang dibuat oleh Petersen ini juga memiliki kesamaan dengan Penulisan Hukum yang penulis tulis terkait sama-sama membahas terkait Perkawinan Beda Agama. Akan tetapi, perbedaannya terdapat pada pembahasan Petersen lebih kepada Perkawinan Beda Agama yang dilakukan oleh Seseorang yang beragama Katolik dengan diluar agama Katolik. Dalam jurnal tersebut, Petersen juga membahas terkait Perkawinan Beda Agama apabila dikaitkan dengan HAM. Namun, Jurnal Petersen ini berbeda jauh dengan penulisan hukum penulis yang mana dapat dilihat dari segi lokasi yang mana penulis menganalisis mengenai Pemenuhan Hak menikah 15 Student of Memphis State University

dan membentuk keluarga terkait kasus Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Disamping itu, penulis juga lebih membahas perkawinan beda agama secara keseluruhan dimana dilihat dari berbagai agama yang ada di Indonesia. Demikian kedua penelitian dengan tema yang hampir bermiripan dengan penulisan hukum penulis, yakni terkait Hak Asasi Manusi dan Perkawinan Agama. Kendati memiliki kesamaan topik, namun substansi materiil dari apa yang disampaikan berbeda dimana dalam penulisan hukum ini, penulis lebih membahas terkait kewenangan negara dalam pembatasan pemenuhan HAM terutama terkait hak untuk menikah dan membentuk keluarga di Indonesia. Oleh karena itu, Penulis memiliki keyakinan bahwa sepanjang pengetahuan penulis bahwa penulisan hukum ini adalah asli. E. KEGUNAAN PENELITIAN Secara khusus, berikut adalah beberapa keguanaan dari penulisan hukum berjudul Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional terhadap Kewenangan Negara dalam Membatasi Pemenuhan Hak untuk Menikah dan Membentuk Keluarga ini : 1. Kegunaan Akademis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang

Hukum Internasional, lebih khusus lagi dalam bidang hukum hak asasi manusia internasional dengan fokus utama pada hak untuk menikah dan membentuk keluarga. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagibagi penelitian-penelitian selanjutnya yang memiliki research interest yang sama dengan Penulis, yakni dibidang hak asasi manusi, khususnya terkait hak untuk menikah dan membentuk keluarga. 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya terutama dalam pemenuhan hak asasi manusia terkhusunya hak untuk menikah dan membentuk keluarga. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia warga negaranya terkhususnya hak untuk menikah dan membentuk keluarga.