URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

dokumen-dokumen yang mirip
KEBIJAKAN PENGAWASAN TERHADAP LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

2013, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

REVIU PERATURAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DI INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGEMBANGAN SILABUS PELATIHAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KOMPETENSI PETUGAS PROTEKSI RADIASI BIDANG MEDIS

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

No Penghasil Limbah Radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang mempunyai kewajiban mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah sebelum diser

PENGEMBANGAN PERATURAN TERKAIT PERIZINAN INSTALASI NUKLIR

HUKUM KETENAGANUKLIRAN; Tinjauan dari Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja, oleh Eri Hiswara Hak Cipta 2014 pada penulis

FORMAT DAN ISI LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN DEKOMISIONING. A. Kerangka Format Laporan Pelaksanaan Kegiatan Dekomisioning URAIAN INSTALASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI

TINJAUAN PROGRAM PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM FRZR

pekerja dan masyarakat serta proteksi lingkungan. Tujuan akhir dekomisioning adalah pelepasan dari kendali badan pengawas atau penggunaan lokasi

Ruang Lingkup Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir meliputi:

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KETENTUAN KESELAMATAN DEKOMISIONG REAKTOR NUKLIR 1

UPAYA/TINDAKAN HUKUM DALAM PENGAWASAN KEGIATAN PEMANFAATAN KETENAGANUKLIRAN : Preventif, Represif dan Edukatif

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Djarot S. Wisnubroto Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif - BATAN

Widyanuklida, Vol. 15 No. 1, November 2015: ISSN

3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

KAJIAN TERHADAP PERATURAN TENTANG SEIFGARD DAN KEAMANAN BAHAN NUKLIR MENGGUNAKAN KUESIONER US DOE (UNITED STATES DEPARTMENT OF ENERGY)

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN

PENGANGKUTAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT DAN CAIR DARI PENIMBUL KE INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF. Arifin Pusat Teknologi Limbah Radioaktif -BATAN

2015, No Tenaga Nuklir tentang Penatalaksanaan Tanggap Darurat Badan Pengawas Tenaga Nuklir; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 te

PENINGKATAN MUTU HASIL UJI KOMPETENSI PERSONIL PPR SEBAGAI STRATEGI PENGAWASAN TENAGA NUKLIR

OLEH : Dra. Suyati INSPEKSI FASILITAS RADIASI DAN INSPEKSI FASILITAS RADIASI DAN ZAT RADIOAKTIF ZAT RADIOAKTIF

Peraturan Ketenaganukliran

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

PENINGKATAN SISTEM PROTEKSI RADIASI DAN KESELAMATAN KAWASAN NUKLIR SERPONG TAHUN 2009

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION

PROGRAM PERATURAN DALAM PENGAWASAN PLTN UNTUK MENYONGSONG PEMBANGUNAN PLTN 1)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION

Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2000 Tentang : Perijinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2000 (63/2000) TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

Keamanan Sumber Radioaktif

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAPETEN. Petugas Tertentu. Bekerja. Instalasi. Sumber Radiasi Pengion. Bekerja. Surat Izin. Pencabutan.

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI

2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET

KECENDERUNGAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF*) Djarot S. Wisnubroto

KAJIAN PROTEKSI RADIASI DALAM PENGOPERASIAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN) BERDASARKAN NS-G-2.7

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

PENGAWASAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DALAM BIDANG ENERGI

PENINGKATAN EFEKTIVITAS INSPEKSI TERHADAP PENGGUNAAN ZAT RADIOAKTIF UNTUK KEGIATAN WELL LOGGING

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN TENTANG DEKOMISIONING INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN KETENAGANUKLIRAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bab 5 PERKEMBANGAN PERTAHANAN BERLAPIS UNTUK REAKTOR DAYA DI MASA DEPAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TINGKAT RENDAH DAN TINGKAT SEDANG

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG KONSUMEN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMANTAUAN PAPARAN RADIASI LINGKUNGAN DI PUSAT PENGEMBANGAN GEOLOGI NUKLIR TAHUN 2011

PENGAWASAN UNTUK OPTIMALISASI PROTEKSI DALAM KEGIATAN RADIOGRAFI INDUSTRI

BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

- 5 - INDIKATOR KINERJA UTAMA BAPETEN

PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF BENTUK PADAT BERAKTIVITAS RENDAH DI INSTALASI RADIOMETALURGI TAHUN 2007

2011, No Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif (Lembaran Negara Republi

JAMINAN MUTU UNTUK PERSIAPAN PEMBANGUNAN PLTN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Prinsip Dasar Pengelolaan Limbah Radioaktif. Djarot S. Wisnubroto

Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran

SISTEM PENGANGKUTAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT, CAIR DAN GAS. Arifin Pusat Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 07/Ka-BAPETEN/V-99 TENTANG JAMINAN KUALITAS INSTALASI NUKLIR

PELUANG DAN TANTANGAN BATAN SEBAGAI ORGANISASI PENDUKUNG TEKNIS DI BIDANG PROTEKSI RADIASI

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL,

Transkripsi:

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Nanang Triagung Edi Hermawan Direktorat Pengaturan Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat radioaktif - BAPETEN ABSTRAK URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF. Pemanfaatan tenaga nuklir disamping memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan masyarakat juga memiliki potensi risiko yang dapat membahayakan. Untuk memaksimalkan manfaat dan menekan serendah mungkin risiko tersebut, maka setiap pemanfaatan tenaga nuklir harus diawasi. Pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir harus dilakukan semenjak sumber radiasi dibuat, dipergunakan, dilimbahkan, termasuk tahapan klierens. Pengaturan pengelolaan limbah radioaktif telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif. Seiring dengan perkembangan peraturan ketenaganukliran akibat dilakukannya harmonisasi terhadap beberapa rekomendasi Badan Tenaga Atom Internasional yang terbaru, disamping juga perkembangan sistem tata hukum peraturan perundang-undangan di negara kita, maka dipandang perlu untuk mengamandemen Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 tersebut. Amandemen tersebut menyangkut pengaturan tahapan pengelolaan limbah, pemangku kepentingan terkait, serta konsistensi peristilahan yang digunakan. ABSTRACT AMANDMENT URGENCY OF GOVERNMENT REGULATION NUMBER 27 YEAR 2002 ON MANAGEMENT OF RADIOACTIVE WASTES. Nuclear energy practices besides give advantages for people welfare, also have dangerous potential risks. To maximize the benefits and to minimize as low as posible these risks, any nuclear energy practice must be controlled. The control of radiation sources started from manufacturing, operation, waste management, and clearance. Management of radioactive wastes is arranged by Goverment Regulation Number 27 Year 2002 on Management of Radioactive Wastes. In line with improvement on nuclear energy regulations by harmonizing with some new International Atomic Energy Agency recommendations, in addition to the improvement of regulation arrangements in Indonesia, it is necessary to amandment Government Regulation No. 27 Year 2002.The amandment must cover regulation steps on waste management, relevant stake holders, and review some terminology. PENDAHULUAN Pemanfaatan tenaga nuklir telah merambah berbagai bidang kegiatan, mulai dari litbang, kesehatan, industri, dan pertanian. Di samping memiliki manfaat yang sangat besar, tenaga nuklir juga mempunyai potensi risiko, baik bagi keselamatan pekerja dan anggota masyarakat maupun kelestarian lingkungan hidup. Untuk memaksimalkan manfaat dan menekan serendah mungkin potensi bahaya, maka pemanfaatan tenaga nuklir harus diawasi. Setelah ditetapkannya Undangundang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Badan Pengawas Tenaga Nuklir merupakan lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap pemanfaatan tenaga nuklir di dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan pengawasan tersebut dituangkan dalam tiga aspek pengawasan, yaitu pembuatan peraturan, penyelenggaraan sistem perizinan, dan pelaksanaan kegiatan inspeksi[1]. Pengawasan diberlakukan terhadap setiap rangkaian kegiatan yang dapat meningkatkan atau mempunyai peluang dapat meningkatkan paparan radiasi. Kegiatan sebagaimana dimaksud di atas meliputi penelitian, pengembangan, penambangan, pembuatan, produksi, pengangkutan, penyimpanan, pengalihan, ekspor, impor, penggunaan, dekomisioning, dan pengelolaan limbah radioaktif.[1] Dengan demikian setiap sumber radiasi, baik berupa zat radioaktif maupun pembangkit radiasi pengion, harus diawasi mulai pada saat sumber radiasi tersebut dibuat atau diimpor, diangkut, dioperasionalkan, hingga dilimbahkan sampai dengan penetapan klierens atau pembebasan dari pengawasan. Demikian halnya untuk bahan nuklir. 215

Limbah radioaktif merupakan zat radioaktif dan bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir yang tidak dapat digunakan lagi[1,2]. Sebagai amanat dari pasal 27 Undang-undang Ketenaganukliran maka ditetapkanlah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif. PERMASALAHAN Ketentuan mendasar untuk keselamatan pemanfaatan tenaga nuklir direkomendasikan oleh Badan Tenaga Atom Internasional dalam International Basic Safety Standards for Protection Againts Ionizing Radiation and for the Safety of Radiation Sources semenjak tahun 1996[3]. Sebagai harmonisasi terhadap ketentuan tersebut, maka dilakukan harmonisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait, diantaranya Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2000 tentang Ketentuan Keselamatan dan Kesehatan dalam Pemanfaatan Radiasi Pengion yang telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioktif. Demikian halnya dengan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2000 tentang Perizinan Tenaga Nuklir diganti menjadi Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2008 tentang Perizinan Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir. Adanya perubahan peraturan tersebut berimbas dalam hal ketentuan ataupun persyaratan yang terkait dengan pengelolaan limbah radioaktif juga perlu disesuaikan. Rekomendasi Badan Tenaga Atom Internasional dalam kegiatan pengelolaan limbah radioaktif dituangkan dalam Waste Safety Requirement No. 2 tahun 2000(W- S-R.2) mengenai Pre-disposal Management of Radioactive Waste, Includding Decommissioning[4]. Meskipun Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2002 disusun dua tahun setelah rekomendasi tersebut dipublikasikan, namun muatan pengaturannya sama sekali belum mengakomodasi rekomendasi tersebut. Demikian pula pengaturan dalam penyusunan peraturan perundangundangan telah diatur dalam Undangundang No. 10 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagai pedoman dan acuan dalam penyusunan setiap peraturan perundang-undangan[5]. Undang-undang tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, dan Rancangan Peraturan Presiden[6]. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang dan Peraturan Presiden tersebut, maka terdapat tata cara penyusunan draf(legal drafting) yang harus disesuaikan. Mempertimbangkan berbagai perkembangan sebagaimana tersebut di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan harmonisasi terhadap Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif. TUJUAN Adapun tujuan penulisan paparan mengenai konsepsi amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2002 diantaranya adalah: a. Membuat perbandingan tahapan pengelolaan limbah radioaktif menurut Waste Safety Requirement(WSR-2) dan PP No.27 Tahun 2002. b. Memberikan gambaran konsep pengaturan yang akan diperbaharui; c. Memberikan gambaran mengenai proses tahapan dalam penyusunan, atau amandemen sebuah peraturan pemerintah; dan d. Memberikan wahana kepada setiap pemangku kepentingan dalam pengelolaan limbah radioaktif untuk saling berkomunikasi dan memberikan masukan agar terwujud peraturan yang komprehensif dan implementatif di lapangan. RUANG LINGKUP BAHASAN Pembahasan dalam makalah ini hanya mencakup urgensi pengamandemenan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif dari sudut pandang konsistensi penggunaan istilah dan tahapan kegiatan pengelolaan limbah radioaktif semenjak limbah ditimbulkan, prapengolahan, pengolahan, pengkondisian, penyimpanan sementara, hingga penyimpanan akhir. 216

METODOLOGI Dalam penyusunan konsepsi amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif ini dilakukan dengan metode diskriptif melalui studi pustaka dengan tahapan langkah meliputi pengumpulan literatur dan informasi pendukung, analisa, diskusi dan pembahasan, serta penyusunan laporan. Lingkup pembahasan dititikberatkan mengenai urgensi diperlukannya amandemen peraturan tersebut, dan muatan-muatan baru yang perlu diatur. POKOK PIKIRAN A. Pokok Pikiran Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 Pokok pengaturan PP No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah radioaktif secara garis besar adalah sebagaimana tercantum dalam Tabel 1. Dalam definisi mengenai pengelolaan pada bagian ketentuan umum, pengertian penyimpanan memiliki cakupan penyimpanan sementara, penyimpanan, dan penyimpanan lestari. Adapun istilah pembuangan yang tercakup dalam definisi pengelolaan, di dalam batang tubuh tidak pernah digunakan karena telah digantikan dengan istilah penyimpanan dan penyimpanan lestari. Penyimpanan merupakan penempatan akhir limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang. Adapun penyimpanan lestari mempunyai pengertian penempatan akhir limbah radioaktif tingkat tinggi[1,2]. Tabel 1. Pokok Pengaturan PP No. 27 Tahun 2002[2]. BAB BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI BAB VII BAB VIII BAB IX BAB X BAB XI BAB XII BAB XII Pokok Pengaturan Ketentuan Umum Berisi tentang definisi berbagai istilah yang dipergunakan dalam peraturan pemerintah dimaksud. Ruang Lingkup, Asas, dan Tujuan Klasifikasi Limbah Radioaktif Manajemen Perizinan Bagian Pertama Perizinan Bagian Kedua Tanggung Jawab Badan Pelaksana Bagian Ketiga Kewajiban Penghasil Limbah Radioaktif Bagian Keempat Limbah Radioaktif dari Luar Negeri Bagian Kelima Bahan Bakar Nuklir Bekas Pengolahan, Pengangkutan, dan Penyimpanan Limbah Radioaktif Bagian Pertama Pengolahan Limbah Radioaktif Bagian Kedua Pengangkutan Limbah Radioaktif Bagian Ketiga Penyimpanan Limbah Radioaktif Program Jaminan Kualitas Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Pengolahan Limbah Radioaktif Tambang Bahan Galian Nuklir dan Tambang Lainnya. Program Dekomisioning Penanggulangan Kecelakaan Nuklir dan/atau Radiasi Sanksi Administrasi Ketentuan Pidana Ketentuan Penutup 217

PENGHASIL LIMBAH Pengumpulan Pemilahan Pengelompokan Dekontaminasi Perlakuan Kimia*) PENGOLAHAN & PENGKONDISIAN*) PENGOLAH LIMBAH*) Perlakuan Kimia Dekontaminasi PENGOLAHAN & PENGKONDISIAN BATAN (Badan Pelaksana) Pengangkutan Pengumpulan Pemilahan Pengelompokan Perlakuan Kimia Dekontaminasi PENGOLAHAN & PENGKONDISIAN PENYIMPANAN SEMENTARA PENYIMPANAN AKHIR*) Gambar 1. Pelaksana Tahapan Pengelolaan Limbah Radioaktif. Keterangan: : Sudah berjalan saat ini : Belum ada *) : Belum diterapkan 218

Gambar 1 memperlihatkan tahapan kegiatan sebagai implementasi PP No. 27 Tahun 2002. Garis panah tak putus memperlihatkan pelaksanaan pengelolaan limbah radioaktif secara terpusat, dimana para penghasil limbah hanya melakukan penampungan sementara untuk selanjutnya mengirimkan limbahnya ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional. Adapun garis panah terputus-putus merupakan peluang alur pengelolaan limbah radioaktif yang secara legal formal dimungkinkan dilakukan oleh pihak di luar BATAN. Pengolahan limbah radioaktif selain dilaksanakan oleh BATAN juga dimungkinkan oleh pihak BUMN, koperasi atau swasta dengan kerja sama atau penunjukkan oleh BATAN. B. Pokok Pikiran Pengaturan IAEA WSR-2 Adapun pokok pengaturan dalam rekomendasi IAEA dalam Waste Safety Requirement Nomor 2 Tahun 2002, secara garis besar dapat dilihat dalam Tabel 2. Disamping pokok pengaturan secara garis besar sebagaimana dipaparkan dalam Tabel 2, dalam hal tahapan kegiatan pengelolaan limbah radioaktif terdapat pola rangkaian yang jelas dan berurutan mulai pada saat limbah dihasilkan(kegiatan prapengolahan:pengumpulan, pemilahan, perlakuan kimia, dekontaminasi), penampungan sementara, pengolahan(pembersihan zat radioaktif, reduksi volume), pengkondisian(conditioning), pembuangan(near surface and geological disposal). Disamping pengaturan tentang pengelolaan limbah radioaktif, WSR-2 juga berisi ketentuan mengenai pelaksanaan dekomisioning, baik untuk instalasi nuklir ataupun failitas radiasi. Hal tersebut sengaja disatukan karena pada saat pelaksanaan dekomisioning akan dihasilkan limbah radioaktif dalam jumlah dan jenis yang sangat banyak. Tabel 2. Pokok Pengaturan dalam WSR-2. BAB BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI BAB VII Pokok Pengaturan Pendahuluan Latar Belakang Tujuan Ruang Lingkup Struktur Proteksi Kesehatan Manusia dan Lingkungan Tanggung Jawab terkait dengan Pengelolaan Limbah Radioaktif Prapembuangan, termasuk Dekomisioning Umum Badan Pengawas Operator Saling Keterkaitan Bagian dari Pengelolaan Limbah Radioaktif Pra-pembuangan Produksi Limbah Pemrosesan Limbah Penyimpanan Sementara Limbah Radioaktif Kriteria Penerimaan untuk Pembuangan Limbah Radioaktif Dekomisioning Rencana Dekomisioning Pelaksanaan Dekomisioning Penyelesaian Dekomisioning Keselamatan Fasilitas Umum Pengkajian Keselamatan dan Dampak Lingkungan Jaminan Kualitas 219

Tabel 3. Perbedaan Peristilahan antara PP No.27(2002) dan WSR-2. Perbedaan PP No. 27 Tahun 2002 IAEA WSR-2 Pengelolaan Pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan/atau pembuangan limbah. Semua kegiatan penanganan limbah mulai saat limbah dihasilkan, hingga dibuang(disimpan akhir). Dibedakan menurut tahapan pretreatment, treatment, condisioning, dan disposal. Pra-pengolahan Pengumpulan, dan pengelompokan Pengumpulan, pemilahan, perlakuan pengolahan Penyimpanan sementara Pengkondisian pembuangan penyimpanan Penyimpanan lestari Pemangku Kepentingan Proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah radioaktif sehingga apabila disimpan dan/atau dibuang tidak membahayakan masyarakat dan lingkungan hidup Untuk penyimpanan limbah sebelum diserahkan ke BATAN atau reekspor, dan hasil pengolahan BATAN Tidak dikenal istilah pengkondisian Digantikan dengan istilah penyimpanan, dan penyimpanan lestari Penempatan terakhir limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang Penempatan terakhir limbah radioaktif tingkat tinggi Penghasil Limbah Pengelola Limbah Badan Pelaksana kimia, dekontaminasi Pengambilan zat radioaktif, reduksi volume, dan pengubahan komposisi Diistilahkan dengan interim storage Immobilisasi dan pembungkusan Pembuangan tanah dangkal untuk limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang; Pembuangan tanah dalam untuk limbah radioaktif tingkat tinggi. Near surface disposal Geological disposal Penghasil Limbah Pengolah Limbah Masyarakat PERBEDAAN KONSEP PP No. 27 TAHUN 2002 DAN IAEA WSR-2 Dengan membandingkan pokok pengaturan dalam peraturan pemerintah yang sudah ada dengan rekomendasi IAEA dalam WSR-2, beberapa catatan penting dapat disimpulkan, diantaranya sebagaimana tercantum dalam Tabel 3: Secara skematis, perbedaan pengelolaan limbah radioaktif menurut ketentuan yang direkomendasikan oleh IAEA dalam WSR-2 dengan konsep yang ada pada Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 ditunjukkan pada Gambar 2. Terlihat bahwa tahapan yang direkomendasikan IAEA lebih lengkap dan komprehensif, serta terlihat dengan jelas urutan atau alur kegiatannya. PEMBAHASAN Ditinjau dari segi tahapan kegiatan dalam pengelolaan limbah radioaktif, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif belum secara eksplisit mengatur tahapan kegiatan dengan berurutan dan lengkap. Perdefinisi mengenai pengelolaan limbah radioaktif hanya mencakup pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan/atau pembuangan limbah radioaktif. 220

TAHAPAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Versi IAEA WSR 2, 2000 Versi UU No. 10 Thn 1997 Limbah RA Limbah RA PRAPENGOLAHAN Pretreatment Pengumpulan Pemilahan/Penglmpokan Perlakuan Kimia Dekontaminasi PENGUMPULAN PENGELOMPOKAN Storage PENGOLAHAN Treatment Dekontaminasi Reduksi volume Pengubahan komposisi Pengangkut PENGOLAHAN PENGKONDISIAN Conditioning Immobilisasi Pembungkusan Pengangkut Storage PEMBUANGAN Disposal Near Surface Disposal Geological Disposal PENYIMPANAN; dan/atau PEMBUANGAN Gambar 2. Perbedaan Tahapan Pengelolaan Limbah Radioaktif menurut WSR-2 dan PP No. 27 Tahun 2002. 221

Definisi tersebut sesungguhnya mengacu kepada definsi pengelolaan limbah radioaktif dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sebagai peraturan induk yang mengamanatkan peraturan pemerintah tersebut. Hal ini tentu saja berbeda dengan WSR-2 yang secara lengkap memberikan cakupan pengelolaan limbah radioaktif meliputi kegiatan prapengolahan(pengumpulan, pemilahan, pengelompokan, perlakuan kimia, dan dekontaminasi), pengolahan(pengambilan zat radioaktif, reduksi volume, pengubahan komposisi), pengkondisian(immobilisasi, dan pembungkusan), serta penyimpanan akhir/pembuangan. Penggunaan istilah penyimpanan dalam PP No. 27 Tahun 2002 secara eksplisit dibedakan menjadi penyimpanan sementara, penyimpanan, dan penyimpanan lestari. Sedangkan istilah pembuangan yang terdapat dalam definisi pengelolaan limbah radioaktif sama sekali tidak muncul di batang tubuh. Dari segi konsistensi istilah, hal ini rancu dan membingungkan, serta tidak mengikuti penggunaan kata pembuangan sebagaimana lazimnya pada limbah konvensional(nonradioaktif). Setelah tahapan pengolahan, di dalam PP No. 27 Tahun 2002 belum diatur kegiatan pengkondisian. Pengkondisian merupakan langkah untuk mempersiapkan limbah hasil pengolahan dalam suatu wadah dengan ketentuan dan standar tertentu, agar nantinya bungkusan limbah memenuhi persyaratan untuk penyimpanan sementara maupun penyimpanan akhir. Dari sisi pemangku kepentingan atau pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan limbah radioaktif dalam PP No. 27 Tahun 2002 terlihat secara eksplisit terdapat empat pihak, yaitu Penghasil Limbah, Pengelola Limbah, Badan Pelaksana(BATAN) dan masyarakat. Apabila pilihan sistem pengelolaan limbah radioaktif yang kita anut adalah pengelolaan limbah radioaktif secara terpusat oleh BATAN, maka secara otomatis pihak yang memiliki kemampuan dan fasilitas paling lengkap adalah BATAN. Dalam hal dibuka peluang bahwa penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang dapat mengolah sendiri limbah yang dimilikinya, maka harus secara tegas dinyatakan tahapan-tahapan sampai dimana yang dapat dilakukannya. Apakah hanya sekedar menerapkan prinsip delay and decay untuk limbah berumur pendek, yang nantinya mempunyai peluang untuk bisa langsung diklierens oleh BAPETEN saja? Hal ini agar ke depan tidak terjadi pembenaran adanya penghasil limbah yang tidak mau mengirimkan limbahnya, atau limbah hasil olahannya kepada BATAN dengan alasan mereka telah mengolahnya sendiri. Permasalahan inkonsistensi istilah yang mengacu pada tindakan teknis yang sama di lapangan dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mulai di tingkat Undang-undang, Peraturan Pemerintah, hingga ke tingkat Peraturan Kepala BAPETEN yang lebih teknis harus diharmonisasikan agar tidak melanggar asas hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana telah digariskan dalam Undangundang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 3. Peraturan perundang-undangan pada tingkatan yang lebih bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pada tingkatan yang lebih tinggi. Apabila terdapat pertentangan, maka peraturan perundangan yang lebih rendah tingkatannya menjadi batal demi hukum. Menyikapi adanya inkonsistensi istilah pada bagian ketentuan umum dengan pengaturan dalam batang tubuh PP No. 27 Tahun 2002, juga adanya keterkaitan dengan istilah yang diberlakukan di UU No. 10 Tahun 1997, maka adanya kebutuhan harmonisasi dengan rekomendasi IAEA dalam WSR-2 harus disiasati dengan mencari celah hukum agar tidak terjadi saling pertentangan diantara undang-undang yang mengamanatkan dengan peraturan pemerintah pelaksananya. Proses pembentukan, perubahan ataupun amandemen terhadap suatu peraturan perundang-undangan merupakan proses yang sangat panjang dan seringkali nuansa politik dan hukumnya yang lebih menonjol dibandingkan dengan kebutuhan teknis di lapangan. Secara garis besar proses penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, RPERPU, RPP, dan RPERPRES dapat dilihat pada bagan Gambar 4. 222

Pembuatan Naskah Akademis(Konsepsi) oleh Instansi Pemrakarsa Pembahasan Internal Naskah Akademis(Konsepsi) secara di Instansi Penyusunan Draf RPP Pembahasan Internal Draf RPP di Instansi Pembahasan Antardepartemen Draf Akhir RPP Pembahasan Draf Akhir RPP di Seknek Harmonisasi Draf Akhir RPP di DepKumHAM Pembahasan Akhir RPP di Seknek Penandatanganan oleh PRESIDEN Pengundangan oleh DepKumHam Gambar 4. Tata Cara Penyusunan, Perubahan, atau Amandemen Peraturan Pemerintah menurut Perpres No. 68 Tahun 2005. Selain harmonisasi terhadap tahapan pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana direkomendasikan dalam WSR-2, perlu juga diatur secara eksplisit dalam batang tubuh di bagian ketentuan umum mengenai asas-asas dalam pengelolaan limbah radioaktif. Adapun asas-asas dalam pengelolaan limbah radioaktif meliputi[7]: a. menjamin kesehatan masyarakat; b. melindungi kualitas lingkungan hidup; c. menjamin kesehatan masyarakat dan perlindungan terhadap lingkungan hidup di luar batas wilayah Republik Indonesia; d. menjamin keselamatan dan kesehatan generasi mendatang; e. tidak membebani generasi mendatang dengan keberadaan limbah radioaktif; f. mengupayakan volume dan aktivitas limbah radioaktif yang dihasilkan sekecil mungkin; g. menetapkan ketentuan dan peraturan tentang pengelolaan limbah radioaktif; h. melaksanakan semua tahap pengelolaan limbah radioaktif mulai dari pengumpulan sampai dengan pembuangan; dan i. menerapkan sistem keselamatan pada fasilitas pengelolaan limbah radioaktif mulai dari penentuan tapak sampai dengan dekomisioning. Demikian halnya dengan konsep mengenai keamanan sumber radioaktif perlu juga diakomodasi dalam amandemen yang dilakukan. Pada tahun anggaran 2009 ini, BAPETEN tengah memprakarsai kegiatan untuk melakukan pembuatan konsepsi atau naskah akademik amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif. Adapun sasaran kegiatan tersebut untuk melakukan harmonisasi peraturan pemerintah yang ada dengan berbagai rekomendasi dan ketentuan terbaru dalam hal pengelolaan 223

limbah radioaktif, harmonisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan ketentuan peraturan lain yang terkait, serta untuk menjawab tantangan di lapangan. KESIMPULAN 1. Terdapat kesenjangan ketentuan yang direkomendasikan IAEA dalam WSR-2 dan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, terkait dengan tahapan kegiatan pengelolaan. 2. Terdapat inkonsistensi pengaturan dalam ketentuan umum dan batang tubuh PP No. 27 Tahun 2002 yang perlu diperbaiki. 3. Penyusunan, perubahan, atau amandemen terhadap peraturan pemerintah mengacu harus mengacu kepada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. 4. Perlu dilakukan harmonisasi terhadap PP No. 27 Tahun 2002 agar tercipta suatu peraturan yang utuh, komprehensif, dapat diterapkan dengan baik, dan mampu menjawab tantangan di lapangan yang semakin kompleks. 5. Harmonisasi yang dilakukan antara lain mecakup peristilahan dalam tahapan pengelolaan limbah radioaktif, konsistensi istilah, dan beberapa ketentuan baru. DAFTAR PUSTAKA 1. Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. 2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif. 3. IAEA, International Basic Safety Standards for Protection againts Ionizing Radiation and for the Safety of Radiation Sources, BSS 115, IAEA, Vienna, 1996 4. IAEA, Pre-disposal Management of Radioactive Waste, Includding Decommissioning, Waste Safety Requirement No. 2, IAEA, Vienna, 2000. 5. Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 6. Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, RPERPU, RPP, RPERPRES. 7. IAEA, The Principles of Radioactive Waste Management, Safety Series No. 111-F, IAEA, Vienna, 1995. TANYA JAWAB 1. Penanya : Elpido Instansi : PPLI-BATAN Pertanyaan : Apakah sudah ada pengaturan untuk limbah NORM/TENORM Jawab : BAPETEN sudah mempersiapkan draf PERKA BAPETEN tentang TENORM amandemen PP 27/2002 juga menyangkut isyu pengaturan limbah TENORM. Pada saat PP hasil Amandemen diberlakukan nantinya, maka perka TENORM tersebut juga langsung diberlakukan. 2. Penanya : Yunita Instansi : PUSDIKLAT-BATAN Pertanyaan : Berapa lama proses Amandemen Jawab : Amandemen terhadap PP melibatkan pembahasan antar departemen, sehingga proses birokrasinya memang agak panjang. Proses tersebut harus mengacu ke UU 10/2004, paling cepat amandemen PP 1-2 tahun. Tahun ini BAPETEN baru mengagendakan pembuatan konsepsi untuk dilanjutkan proses drafting pada tahun 2010. 224