1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, merupakan tonggak penting pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. UU otonomi daerah tersebut kemudian disempurnakan kembali dengan dikeluarkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), menjelaskan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu dampak pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah penerapan sistem desentralisasi dalam menjalankan urusan pemerintahan. Desentalisai adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Berkaitan dengan kesehatan, desentralisasi bidang kesehatan berarti memberikan peluang yang lebih besar kepada daerah untuk merumuskan dan mengembangkan sistem kesehatan di daerah yang bersangkutan berdasarkan 1
aspirasi, kondisi, dan kebutuhan masyarakat setempat. Desentralisasi bidang kesehatan dapat memberikan ruang yang lebih bagi pemerintah daerah untuk dapat menyikapi sendiri permasalahan kesehatan yang ada di daerah tersebut. Tujuan desentralisasi bidang kesehatan adalah untuk mengoptimalkan pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Penerapan sistem desentralistik tersebut, diharapkan program pembangunan kesehatan dapat lebih efektif dan efisien untuk menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat. Hal ini karena sistem desentralistik memberikan kewenangan bagi daerah untuk menentukan sendiri program serta pengalokasian dana pembangunan kesehatan di daerahnya (Zukorofi, 2008). Pembangunan kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya juga memerlukan peran masyarakat. Melalui konsep Upaya Kesehata Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), masyarakat berperan serta aktif dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Bentuk dari UKBM antara lain yaitu: Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dan RW/desa/kelurahan siaga aktif. RW/desa/kelurahan siaga aktif adalah RW/desa/kelurahan yang mempunyai Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) atau UKBM lainnya yang buka setiap hari dan berfungsi sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar, penanggulangan bencana dan kegawat daruratan, surveilans berbasis masyarakat yang meliputi pemantauan pertumbuhan (gizi), penyakit, lingkungan dan perilaku sehingga masyarakatnya menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). 2
Jumlah RW/desa/kelurahan siaga aktif di Indonesia terdapat 58.849 RW/ desa/kelurahan, dengan persentase terhadap jumlah seluruh RW/desa/kelurahan sebesar 69,51 persen pada tahun 2014. Provinsi dengan persentase RW/desa/kelurahan siaga aktif tertinggi adalah Jawa Tengah sebesar 99,99 persen. Provinsi dengan persentase RW/desa/kelurahan siaga aktif terendah adalah Papua Barat sebesar 1,81 persen 1. Gambar 1.1 Persentase Desa dan Kelurahan Siaga Aktif di Indonesia Tahun 2014 Sumber: Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes RI, 2014 1 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014 Kemenkes RI, hal. 39 3
Selain melibatkan peran aktif masyarakat, dukungan perencanaan dan penganggaran juga penting diperhatikan dalam keberhasilan pembangunan bidang kesehatan. Berkaitan dengan penganggaran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menargetkan ketersediaan anggaran kesehatan baik dari APBN (Pusat) maupun APBD (Provinsi/Kabupaten/Kota) minimal sebesar lima persen dari APBN serta sepuluh persen dari APBD di luar gaji. Selama tahun 2010-2013 Kabupaten Klaten merupakan daerah dengan penganggaran belanja kesehatan paling rendah dibanding seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Pada tahun 2014, anggaran belanja kesehatan di Kabupaten Klaten berada pada posisi ketiga terbawah dibanding seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Daerah dengan anggaran belanja kesehatan paling tinggi di Jawa Tengah selama tahun 2010-2014 adalah Kota Tegal (DJPK, 2016). Berikut disajikan grafik perkembangan belanja kesehatan di Kabupaten Klaten, Kota Tegal dan Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014. Gambar 1.2 Persentase Belanja Kesehatan di Kabupaten Klaten, Kota Tegal dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014 (persen) Sumber: DJPK, data diolah dari APBD Seluruh Indonesia tahun 2010-2014 4
Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa anggaran belanja kesehatan di Kabupaten Klaten dari tahun 2010 hingga 2014 masih di bawah sepuluh persen, dengan persentase anggaran paling rendah sebesar 5,42 persen pada tahun 2013, dan meningkat pada tahun 2014 menjadi 9,23 persen. Anggaran belanja kesehatan di Kota Tegal terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan anggaran terendah 17,76 persen pada tahun 2010 dan tertinggi sebesar 25,38 persen pada tahun 2014. Anggaran belanja kesehatan di Jawa Tengah mengalami fluktuatif dengan anggaran paling rendah sebesar 8,65 persen dan tertinggi sebesar 13,07 persen. Konsekuensi dari pengalokasian anggaran untuk belanja kesehatan adalah tercapainya pembangunan dalam bidang kesehatan. Capaian pembangunan kesehatan salah satunya dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut United Nations Development Programme (UNDP), IPM mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup, yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Untuk mengukur dimensi umur panjang dan sehat (dimensi kesehatan) digunakan angka harapan hidup waktu lahir. Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan angka pendekatan yang menunjukkan kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama. Selain itu, AHH merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya 2. 2 ibid, hal. 18 5
Pada tabel di bawah ini, dipaparkan perbandingan capaian IPM dan AHH di Kabupaten Klaten, Kota Tegal, dan rata-rata Kabupaten/Kota di Jawa Tengah pada tahun 2010-2014. Tabel 1.1 Perbandingan IPM dan AHH Kabupaten Klaten, Kabupaten Brebes dan Rata-Rata di Jawa Tengah Tahun 2010-2014 Keterangan AHH IPM Kabupaten Klaten Kota Tegal Provinsi Jawa Tengah 2010 71,33 68,56 71,40 2011 71,67 68,93 71,55 2012 71,84 69,12 71,71 2013 72,16 69,38 71,97 2014 76,54 74,10 73,88 2010 70,76 69,33 66,08 2011 71,16 70,03 66,64 2012 71,71 70,68 67,21 2013 72,42 71,44 68,02 2014 73,19 72,20 68,78 Sumber: BPS Jawa Tengah dan BPS Kota Tegal Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa AHH dan IPM pada Kabupaten Klaten, Kota Tegal, dan Provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kabupaten Klaten merupakan daerah dengan AHH dan IPM tertinggi jika dibanding dengan Kota Tegal dan Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2014, AHH Kabupaten Klaten sebesar 76,54, sedangkan Kota Tegal sebesar 74,10 dan Jawa Tengah sebesar 73,88. Angka IPM tahun 2014 di Kabupaten Klaten sebesar 73,19, sedangkan Kota Tegal sebesar 72,20 dan Jawa Tengah yang terendah dibanding kedua daerah tersebut sebesar 68,78. 6
Meskipun alokasi anggaran bidang kesehatan di Kabupaten Klaten terendah jika dibanding dengan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, namun capaian pembangunan manusia yang berhubungan dengan urusan kesehatan mengalami peningkatan, bahkan berada di atas rata-rata Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Berbeda dengan Kota Tegal yang alokasi pembiayaan kesehatan sudah di atas target minimal bahkan tertinggi di tingkat Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, namun IPM dan AHH Kota Tegal masih berada di bawah Kabupaten Klaten. Pentingnya peranan perencanaan pembangunan menjadi bagian tidak terhindarkan sebagai suatu kebutuhan untuk menyusun rancangan kebijakan, program dan kegiatan yang secara konsisten menuju pada cita-cita yang disepakati bersama. Sementara itu, perencanaan pembangunan dalam bentuk program, kebijakan maupun kegiatan akan tinggal sebagai dokumen yang sia-sia jika tidak dikaitkan dengan penganggarannya. Hal ini disebabkan karena anggaran merupakan bagian yang sangat penting untuk merealisasikan rencana dan targettarget pembangunan yang telah ditetapkan sebelumnya (Mulyati dalam Meldayeni, 2010). Kondisi yang terjadi di Kabupaten Klaten adalah, bahwa di Kabupaten tersebut mengalami keterbatasan pengalokasian anggaran untuk urusan kesehatan. Selama tahun 2010-2013, alokasi ketersediaan anggaran kesehatan di Kabupaten Klaten berada di bawah sepuluh persen dari target minimal (sesuai amanat UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan), yaitu dengan persentase anggaran paling rendah sebesar 5,42 persen pada tahun 2013. Adanya keterbatasan 7
anggaran tersebut, semakin menuntut adanya perencanaan yang matang, sehingga tujuan pembangunan untuk urusan kesehatan di Kabupaten Klaten dapat tercapai. 1.2 Rumusan Masalah Penganggaran merupakan salah satu bagian yang sangat penting untuk merealisasikan rencana program atau kegiatan yang telah ditetapkan. Kondisi penganggaran untuk belanja kesehatan di Kabupaten Klaten belum mencapai target minimal sepuluh persen dari APBD (di luar gaji). Rata-rata alokasi anggaran untuk belanja kesehatan selama tahun 2010 hingga 2013 adalah sekitar lima persen, dan pada tahun 2014 meningkat menjadi 9, 23 persen. Konsekuensi dari pengalokasian anggaran belanja kesehatan adalah tercapainya peningkatan derajat kesehatan masyarakat, yang salah satunya dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia. Hasil capaian IPM di Kabupaten Klaten selama tahun 2010-2014 mengalami pengingkatan setiap tahunnya, bahkan angkanya melebihi rata-rata Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi anggaran bukan menjadi satu-satunya penentu dari keberhasilan pencapaian sasaan kesehatan. Pentingnya bagian perencanaan dan penganggaran menjadi hal yang tidak terhindarkan sebagai suatu kebutuhan untuk menyusun rancangan program dan kegiatan yang secara konsisten guna mencapai keberhasilan pembangunan kesehatan. Perencanaan dilakukan untuk menentukan rencana berdasarkan prioritas pembangunan berupa program dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Pendanaan dibutuhkan untuk merealisasikan rencana program dan kegiatan yang telah ditetapkan sebelumnya. 8
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Meldayeni (2010), Siti (2013), dan Jefri dkk (2014), bahwa faktor utama penyebab tidak tercapainya sasaran pembangunan adalah adanya ketidakkonsistenan antara perencanaan dan penganggaran. Hal ini karena antara program dan kegiatan yang telah direncanakan tidak konsisten dengan program dan kegiatan yang dianggarkan. Mengingat pentingnya konsistensi antara perencanaan dan penganggaran untuk mencapai sasaran pembangunan, maka pertanyaan penelitian yang diangkat adalah: Bagaimana konsistensi antara perencanaan dan penganggaran di bidang kesehatan Kabupaten Klaten tahun 2014? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsistensi antara perencanaan dan penganggaran pada bidang kesehatan di Kabupaten Klaten tahun 2014. 1.4 Manfaat Penelitian Selain untuk memenuhi persyaratan dalam penyelesaian studi pada Departemen Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, penelitian ini juga sangat bermanfaat bagi penulis dalam menambah wawasan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten maupun daerah lain dalam menentukan kebijakan untuk menjaga konsistensi perencanaan dan penganggaran. Selain itu juga sebagai sumbangsih pemikiran bagi pembaca atau penulis yang mempunyai minat untuk mengkaji atau membahas keberhasilan atau kegagalan pembangunan daerah khususnya dalam hal konsistensi perencanaan dan penganggaran di daerah. 9
1.5 Kerangka Pemikiran Gambar 1.3 Kerangka Berpikir Program dan Kegiatan dalam Dokumen perencanaan Program dan Kegiatan dalam Dokumen penganggaran Analisis Konsistensi Antar Dokumen Perencanaan dan Penganggaran Konsisten Tidak Konsisten Wawancara (faktor-faktor penyebab konsisten/tidak konsisten antar dokumen) Rekomendasi kebijakan 10