BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah pengidap diabetes melitus (diabetesi) di dunia saat ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan sejak tahun 1990, diabetes melitus termasuk 29 penyakit paling banyak diderita (Wild, 2000). Pada tahun 2000, di seluruh dunia terdapat 171 juta diabetesi. Diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 21,3 juta penduduk Indonesia yang mengalami diabetes melitus. Saat ini, Indonesia menempati urutan keempat negara dengan jumlah diabetesi terbanyak yakni 8,4 juta pengidap, dibawah India, China, dan Amerika Serikat (Wild, 2004). Prevalensi diabetes melitus pada penduduk Indonesia adalah 6,9%. Prevalensi tertinggi diabetes melitus yang terdiagnosis di Indonesia berada di provinsi D.I.Yogyakarta dengan prevalensi 2,6% (Riskesdas, 2013). Diabetesi paling banyak terdapat pada golongan umur 45-64 tahun (Wild, 2004). Persebaran diabetesi lebih banyak pada masyarakat pedesaan dengan prevalensi 7.0%. Berbeda halnya dengan masyarakat perkotaan dimana prevalensi diabetesi hanya 6,8%. Prevalensi diabetesi pada wanita adalah 7,7%. Prevalensi ini lebih tinggi dibanding prevalensi diabetesi pada pria, yakni hanya 5,6% (Riskesdas, 2013). Berdasarkan data terbaru, diketahui 90% dari total prevalensi tersebut adalah diabetes melitus tipe 2 (Katz, 2008). Diabetes melitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) adalah diabetes yang tidak tergantung insulin. Tanda penyakit diabetes melitus tipe 2 yang paling mudah dideteksi adalah poliuria, polidipsi, dan polifagi. Poliuria adalah keinginan buang air kecil lebih sering dengan volume yang 1
banyak. Polidipsi adalah keinginan untuk minum dalam jumlah banyak dan sering dikarenakan rasa haus berlebihan. Polifagi adalah peningkatan nafsu makan dikarenakan pemasukan gula ke dalam sel tubuh yang kurang, sehingga terjadi kelaparan sel berlebihan yang merangsang otak meningkatkan rangsang lapar. Keadaan polifagi ini yang perlu diawasi pada diabetesi karena terkadang nafsu makan menjadi tidak terkontrol dan memperparah kondisi penyakit (Price, 2006). Diabetes melitus tipe 2 dapat disebabkan oleh dua hal yakni resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Kedua hal ini berhubungan dengan kebiasaan makan yang kurang baik dan gaya hidup. Untuk itu, diabetesi memerlukan diet diabetes, latihan fisik, penyuluhan kesehatan masyarakat, pengobatan, dan perubahan pola hidup untuk mengendalikan kadar glukosa dalam darah (Novitarum, 2009). Salah satu ciri khas dari diet diabetes melitus tipe 2 adalah memberikan makanan tinggi karbohidrat kompleks terutama serat dan rendah karbohidrat sederhana. Diet tinggi karbohidrat kompleks berfungsi untuk mengatur gula darah agar tidak meningkat secara signifikan akibat penyerapan glukosa yang diperlambat, sehingga membantu menurunkan kadar glukosa plasma postprandial dan kadar insulin dalam darah (Raben, 1994). Selain itu diet tinggi karbohidrat kompleks juga mengatur waktu pengosongan lambung menjadi lebih lama dan memperpendek waktu transit makanan di usus serta meningkatkan sensitivitas insulin pada diabetesi (Robertson, 2005). Gembili (Dioscorea esculenta) dan garut (Marantha arundinaceae) adalah dua jenis umbi minor yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia namun jarang dieksplorasi kebermanfaatannya. Gembili dan garut merupakan umbi yang sangat sehat karena memiliki kadar pati resisten dan serat yang tinggi serta 2
indeks glikemik yang rendah (Marsono, 2002; Jenkins, 1988). Untuk itu gembili dan garut adalah dua jenis umbi yang baik jika dimanfaatkan untuk pembuatan produk diet diabetes melitus tipe 2. Gembili dan garut adalah dua jenis umbi minor yang sangat mudah ditemui di negara tropis Asia mulai dari Asia Selatan hingga Asia Tenggara dan Papua Nugini (Somantri, 2004). Karena mudah ditemui, harga umbi gembili dan umbi garut juga tidak mahal, yakni berkisar antara Rp 2.000 hingga Rp 10.000 per kilogram. Mie adalah salah satu jenis produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan sejumlah bahan tambahan pangan yang diizinkan yang berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Mie adalah makanan khas dari China. Seiring berjalannya waktu, mie mulai banyak digunakan dalam kuliner di Indonesia. Sifat mie yang memiliki rasa netral dan praktis dalam penggunaannya, memudahkan mie untuk diolah menjadi beragam menu masakan (Purnawijayanti, 2009). Saat ini mie yang beredar di pasaran kurang dapat diterima oleh diabetesi dikarenakan ketidak sesuaian dengan diet diabetes melitus yakni rendahnya serat yang dimiliki dan adanya sejumlah campuran bahan yang kurang baik untuk kesehatan seperti pengawet, penyedap rasa, dan sebagainya. Untuk itu, peneliti ingin membuat inovasi makanan baru untuk diabetesi yang telah disesuaikan dengan diet diabetes melitus. Produk yang akan dibuat adalah mie basah untuk diabetesi yang terbuat dari formulasi antara tepung terigu, tepung garut, dan tepung gembili dimana telah disesuaikan dengan diet diabetes melitus. Pembuatan produk mie basah ini bertujuan untuk mengembangkan produk makanan untuk diet diabetes melitus tipe 2 di Indonesia dan meningkatkan penganekaragaman penggunaan produk pangan lokal. 3
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sifat fisik (warna, tekstur, aroma, dan rasa) mie basah untuk diet diabetes melitus tipe 2 yang disubstitusi tepung garut dan tepung gembili? 2. Bagaimana sifat kimia (air, abu, lemak, protein, karbohidrat, gula total, dan gula reduksi) mie basah untuk diet diabetes melitus tipe 2 yang disubstitusi tepung garut dan tepung gembili? 3. Formulasi mie basah mana yang memiliki sifat fisik dan kimia paling baik sehingga dapat diterapkan dalam diet diabetes melitus tipe 2? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum : Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui potensi tepung garut dan tepung gembili sebagai bahan dasar pembuatan mie basah yang memiliki tampilan menarik, tinggi kandungan gizi, dan rendah kandungan gula sederhana sesuai dengan diet diabetes melitus tipe 2 yang juga dapat digunakan untuk program penganekaragaman pangan lokal. 2. Tujuan khusus : a. Mengetahui perbedaan sifat fisik (warna, tekstur, aroma, dan rasa) mie basah untuk diet diabetes melitus tipe 2 berbahan dasar formulasi tepung terigu, tepung garut, dan tepung gembili. b. Mengetahui perbedaan sifat kimia (air, abu, protein, lemak, karbohidrat, gula reduksi, dan gula total) mie basah untuk diet diabetes melitus tipe 2 berbahan dasar formulasi tepung terigu, tepung garut, dan tepung gembili. 4
c. Mengetahui formulasi mie basah yang memiliki sifat fisik dan kimia paling baik sehingga dapat diterapkan dalam diet diabetes melitus tipe 2. D. Manfaat Penelitian 1. Untuk Peneliti Menambah pengetahuan mengenai pengembangan produk mie basah berbahan dasar tepung umbi minor seperti garut dan gembili yang sesuai dengan diet diabetes melitus tipe 2. Selain itu, peneliti dapat meningkatkan kemampuan untuk melakukan analisis zat gizi pada produk makanan dalam rangka mengembangkan riset di bidang gizi kesehatan. 2. Untuk Industri Mendapatkan tambahan informasi dan membuka peluang usaha pembuatan mie basah berbahan dasar tepung garut dan tepung gembili yang sesuai dengan diet diabetes melitus tipe 2. 3. Untuk Masyarakat Meningkatkan potensi pemanfaatan pangan lokal terutama umbi minor seperti garut dan gembili untuk mendukung upaya penganekaragaman pangan serta memberikan pilihan produk alternatif makanan diet diabetes melitus tipe 2. 4. Untuk Pemerintah Hasil penelitian diharapkan dapat membantu pemerintah dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pangan fungsional berbahan baku lokal dan meningkatkan upaya pemerintah dalam rangka Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Pangan Lokal. 5
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan referensi, penelitian mengenai pengembangan produk mie basah berbahan dasar tepung garut dan gembili yang sesuai dengan diet diabetes melitus tipe 2 belum pernah dilakukan. Penelitian yang sudah pernah dilakukan diantaranya : 1. Utilization of Green banana Flour as a Functional Ingredient in Yellow Noodle : Saifullah, et.al (2009). Penelitian ini meneliti substitusi tepung pisang hijau sebagai bahan dasar mie kuning. Dalam penelitian ini diteliti perbedaan ph, warna, kekuatan, elastisitas, dan glikemik indeks (GI) secara in vitro dibandingkan dengan mie kuning berbahan dasar tepung terigu. Hasil dari penelitian ini adalah mie kuning yang disubstitusi dengan tepung pisang hijau memiliki warna yang lebih cerah, elastisitas dan kekuatan mie yang lebih tinggi, ph yang sama, dan glikemik indeks yang lebih rendah dibandingkan mie yang terbuat dari tepung terigu. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada produk yang dihasilkan yakni mie. Perbedaannya adalah tepung yang digunakan untuk substitusi pada penelitian ini adalah tepung pisang. Selain itu terdapat perbedaan sejumlah parameter yang diteliti dimana pada penelitian ini hanya diteliti ph, elastisitas, kekuatan, dan indeks glikemik tetapi tidak meneliti kadar gula sederhana, kandungan gizi, dan sifat fisikokimia yang lain. 2. Kadar Serat, Aktivitas Antioksidan, Amilosa, dan Uji Kesukaan Mi Basah Dengan Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas var Ayamurasaki) Bagi Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 : Nintami (2012). Dalam penelitian ini digunakan tepung ubi jalar ungu sebagai substitusi 6
tepung terigu dalam pembuatan mi basah. Pada penelitian ini diteliti kadar serat, aktivitas antioksidan, kadar amilosa, dan pengujian tingkat kesukaan mie basah substitusi tepung ubi jalar ungu. Hasil dari penelitian ini adalah diketahui mie basah yang disubstitusi dengan tepung ubi ungu memiliki kadar serat dan kadar antioksidan yang tinggi, tetapi kadar amilosanya lebih rendah dibandingkan kontrol (mie basah tanpa substitusi). Warna dan tekstur mie yang disubstitusi tepung ubi ungu lebih baik, tetapi tidak terjadi perubahan pada rasa dan aroma. Persamaan dengan penelitian ini adalah produk yang dihasilkan sama yaitu mie basah untuk diet diabetes melitus tipe 2. Perbedaannya adalah penggunaan tepung ubi jalar ungu sebagai substitusi tepung terigu dan pembuatan formulasinya. 3. The Potential of Oatbran (Avena sativa) as Wheat Flour Replacer in High- Fiber Instant Dried Noodle : Chandra (2011). Dalam penelitian ini dilakukan substitusi tepung terigu dengan oatbran untuk meningkatkan serat dalam pembuatan mie. Berdasarkan hasil penelitian diketahui mie yang disubstitusi oatbran memiliki total serat pangan, serat larut, kadar abu, lemak, protein yang meningkat. Akan tetapi kadar air dan kelentingan mie menurun. Persamaan dengan penelitian ini adalah produk yang dihasilkan adalah mie basah yang sesuai untuk diet diabetes melitus tipe 2. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penggunaan oatbran sebagai substitusi, formulasi, dan sejumlah parameter yang diujikan. 7