BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kita hidup di zaman modern yang menuntut setiap individu untuk meninggalkan kebiasaan, pandangan, teknologi dan hal - hal lainnya yang dianggap kuno dan memperbaharui atau bahkan menggantinya dengan berbagai inovasi baru yang tentunya memiliki banyak perubahan didalamnya. Segala sesuatu yang ada di masa yang lalu kebanyakan bertolak belakang dengan kondisi di masa sekarang. Segala hal dimasa lalu termasuk modernisasi yang sangat disukai oleh masyarakat secara umum sekarang mulai dirubah dan beralih kepada suatu pandangan maupun hal baru yang dianggap lebih menyenangkan dari yang sebelumnya. Peristiwa ini bisa menunjukkan bahwa era yang sekarang adalah peralihan dari era modern menuju era postmodern. Dinamisnya zaman juga terjadi dalam hal berpakaian. Pakaian adalah kebutuhan. Semua orang pasti sependapat dengan pernyataan tersebut. Perkembangan zaman juga mulai merubah pandangan masyarakat tentang pakaian. Beberapa orang berpendapat pakaian mampu memberikan cerminan kepribadian dan juga memberi citra diri baik positif mapun negatif dari seseorang. Beragamnya ide dan life style (gaya hidup) di era postmodern ini juga turut mempengaruhi pemilihan individu dalam berbusana. Kebebasan dan perkembangan peradaban manusia juga turut mempengaruhi manusia dalam menciptakan berbagai macam model dan desain pakaian. Semakin beragamnya pemikiran manusia juga membentuk gaya hidup baru di era sekarang ini. Busana dari suatu individu juga bisa menentukan kelas 1
dan kualitas individu itu sendiri, maka tidak jarang beberapa individu memakai busana busana mahal dan model dengan alasan tertentu.ada juga beberapa model busana tersebut dianggap minim / seksi oleh beberapa orang dan mereka berpendapat kurang sopan jika dipakai. Akibatnya, banyak juga yang beranggapan bahwa banyak individu yang sudah mulai meninggalkan nilai-nilai sopan santun di dalam masyarakat. Namun, bukan berarti jika seseorang berpakaian minim, maka dia pasti berkepribadian buruk. Ada pepatah jawa yang mengatakan Ajining diri ono ing lati,ajining saliro ono ing busono yang artinya kehormatan diri terletak pada tutur kata dan kehormatan penampilan terletak pada kesantunan berpakaian. Gaya berbusana memang terkadang menjadi permasalahan bagi beberapa orang. Manusia sepatutnya memang tidak boleh menilai manusia lainnya berdasarkan penampilannya saja. Tidak semua orang yang berbusana minim berkepribadian buruk. Beberapa pria dan wanita memang merasa lebih nyaman memakai pakaian yang cukup minim, khususnya ketika cuaca panas. Mereka beralasan bahwa pakaian yang tertutup sangat tidak nyaman digunakan sehingga mereka lebih memilih pakaian yang terbuka. Anak-anak juga mulai meniru cara berpakaian yang demikian dan tak jarang orangtuanya sendiri yang memakaikan untuk anaknya. Akibatnya kebiasaan berbusana minim sudah ditanamkan sejak dini. Kebiasaan masyarakat dalam berbusana seperti ini telah dipakai oleh banyak jemaat di dalam proses kebaktian di Gereja. Sesungguhnya cara berpakaian seseorang adalah hak mutlak dari individu itu sendiri. Semua orang bebas untuk berekspresi bahkan dalam hal 2
berpakaian. Namun kebebasan tentu ada batasnya. Jemaat di gereja hendaknya harus berpakaian yang menunjukkan bahwa dia menghargai tubuhnya. Hal yang paling mendasari cara kita berpakaian adalah pandangan kita terhadap tubuh kita dimana kita melihat tubuh kita sebagai ciptaan Tuhan yang mulia dan harus dijaga. Beragamnya gaya busana jemaat ini juga dapat ditemukan di beberapa Gereja di daerah Medan dimana tiap jemaat tentunya memiliki ciri dan pandangan yang berbeda terhadap tren busana. Ada jemaat yang lebih memilih busana formal dan tertutup ketika melakukan ibadah, namun ada juga jemaat yang lebih nyaman memakai busana informal dan terbuka. Beberapa jemaat baik itu laki laki dan perempuan memang sudah terbiasa mengenakan busana minim dan informal di kehidupan sehari-hari, jadi menurutnya tidak masalah jika dipakai juga ketika mengikuti kebaktian selama nyaman digunakan. Walaupun cara berbusana juga merupakan hak dari setiap individu, namun ada baiknya memang jika jemaat lebih bijaksana dalam menyesuaikan busana dan keperluan yang akan dilakukan. Beberapa jemaat merasa keberatan dengan cara berbusana sebagian jemaat yang menurut ukuran mereka termasuk tidak sopan. Namun tentu saja ukuran dan pendapat tiap orang berbeda-beda. Beberapa jemaat beralasan merasa terganggu dan terusik ketika melakukan ibadah. Namun beberapa jemaat berpendapat bahwa jemaat tersebut tentunya harus mampu mengendalikan diri dan fokus dalam ibadahnya, bukannya malah menyalahkan gaya berbusana seseorang. Memang di beberapa Gereja tidak ada peraturan tertulis yang mengatur busana dalam beribadah, namun beberapa gereja turut juga menyampaikan secara 3
lisan yang biasanya disampaikan di dalam kotbah maupun saran-saran dari sesama jemaat lainnya agar hendaknya berbusana lah dengan sewajarnya ketika beribadah. Fenomena beragamnya gaya busana jemaat gereja menjadi hal yang cukup sering terjadi di beberapa daerah. Ada juga beberapa artikel dan beberapa penelitian yang berkaitan dengan fenomena ini. Penelitian sebelumnya oleh Naniek Risnawati (2014) dengan judul Busana Mencerminkan Kepribadian yang menyatakan bahwa busana mampu memberikan citra baik itu positif maupun negatif bagi seseorang. Dalam penelitian tersebut beberapa individu menyatakan bahwa busana mampu menggambarkan watak, kebiasaan, dan status sosial bagi pemakainya. Penelitian oleh Ifa Handayani (2015) dengan judul Etika Berbusana dalam Pergaulan Mahasiswa menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki pandangan tersendiri terhadap busana dan kurang setuju dengan peraturan yang mengekang kebebasan berbusana. Banyak mahasiswa yang tidak terbiasa dengan busana formal dan tidak setuju jika dipaksa mengenakan busana formal ketika mengikuti perkuliahan di kampus. Namun sebagian mahasiswa juga setuju dengan penggunaan busana formal karena lebih terkesan sopan dan nantinya akan membiasakan mahasiswa berpenampilan sopan di masyarakat. Dalam penelitian Diah Andarini (2012) dengan judul Busana Sebagai Identitas, mahasiswa Pendidikan Sosiologi dan Antropologi FKIP UNS cukup mengikuti tren fashion karena mengikuti perkembangan jaman itu sendiri dan juga untuk menarik perhatian lawan jenis. Mahasiswa mengikuti perkembangan tren fashion melalui majalah, televisi, dan keberadaan mall / butik. Dalam penelitian 4
selanjutnya berjudul Pakaian Sebagai Penanda oleh Herman Jusuf (2001), dikatakan setiap bentuk dan jenis pakaian apapun yang mereka kenakan akan menyampaikan penanda sosial (social signals) tentang pemakainya. Ada juga sebuah artikel yang ditulis oleh Anne Avantie berjudul Gereja Bukanlah Fashion Show dimana Anne Avantie yang juga merupakan desainer top di Indonesia kurang setuju dengan fenomena busana minim ketika beribadah. Anne menganggap bahwa banyak jemaat wanita yang salah tempat dalam berbusana dalam beribadah. Menurut Anne Avantie, Gereja bukanlah seperti ajang Fashion Show dimana jemaat sangat terfokus dengan busana dan terkadang beberapa jemaat lupa akan tujuannya yaitu beribadah. Setiap orang tentu memiliki pendapat yang berbeda terkait hal ini. Beberapa gereja juga tidak setuju dengan kebebasan berbusana jemaat dalam melakukan ibadah. Beberapa gereja bahkan membuat larangan secara tertulis terkait aturan berbusana dalam beribadah. Beberapa jemaat tentu tidak bermasalah dengan aturan tersebut, namun tentu saja ada jemaat yang keberatan. Beberapa jemaat yang tidak keberatan tentunya merasa tidak bersalah karena merasa itu merupakan haknya dalam memilih busananya. Hal ini bisa menjadi dilema dimana kebebasan bisa menjadi permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebebasan manusia dalam bertindak termasuk berbusana tentunya bisa menjadi masalah baru di kehidupan bermasyarakat. Kebebasan memanglah harus dibatasi walaupun banyak orang yang tidak setuju dan menuntut untuk sebebas mungkin. Namun batasan ini tentunya dalam hal yang sewajarnya. Kebebasan tentunya dibatasi agar kehidupan 5
bermasyarakat tetap pada jalurnya dan sesuai dengan nilai yang disepakati bersama. Berdasarkan beberapa uraian diatas, beberapa jemaat dan masyarakat memiliki pandangan yang berbeda terkait gaya busana dalam beribadah. Beragam pluralitas ide dan gaya hidup masyarakat mampu mempengaruhi gaya berbusana individu baik itu dalam kehidupan sehari-hari juga dalam beribadah. Beberapa alasan dan penjelasan diatas membuat penulis cukup tertarik untuk meneliti fenomena beragamnya tren busana dalam beribadah ini. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana beragamnya tren gaya busana modern jemaat bisa terjadi di Gereja GKPI Padang Bukan Medan? 2. Bagaimana sikap jemaat terhadap beragam tren gaya busana modern tersebut ketika beribadah? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui bagaimana ragam tren busana modern jemaat gereja dan apa saja yang menyebabkan beragamnya tren busana modern di Gereja bisa terjadi. 2. Untuk mengetahui sikap jemaat terhadap fenomena beragamnya tren busana modern jemaat dalam beribadah. 6
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan bagi para pembaca khususnya mahasiswa dan penelitian ini juga diharapkan memberi dampak positif untuk Gereja dan masyarakat. 1.4.2 Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi maupun sebagai bahan kajian atau bahan perbandingan untuk penelitian berikutnya. Penelitian ini juga turut menambah wawasan penulis baik itu data dari buku, internet, maupun pustaka lainnya ataupun data dari narasumber. 7