BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Sejalan dengan permasalahan yang dirumuskan dan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka di akhir penulisan ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: Pertama pada kilasan struktur VBJS, VBJS sebagai variasi dari BJ tentu memiliki variasi-variasi yang khas yang membedakan dengan variasi BJ lainnya. Variasi-variasi tersebut tercermin pada beberapa tataran seperti fonologi, leksikal, morfologi, semantik dan sintaksis, namun demikian hanya sebagian variasi yang khas dalam VBJS yang akan ditampilkan dalam simpulan ini. Pada tataran fonologi VBJS terdapat pola variasi antara lain: VBJS [o] BJB [u], VBJS [ə] BJB [a], VBJS [e] BJB [i], dan VBJS [ε] BJB [i]. Sementara pada tataran morfologi VBJS memiliki pola variasi, seperti penggunaan prefiks VBJS a- yang berfungsi sama seperti prefiks {ber-} dalam BI dan prefiks VBJS {e-} yang berfungsi seperti prefiks {di-} dalam BI. Masih pada tataran morfologi VBJS juga terdapat pola variasi yang khas seperti adanya penggunaan proklitik VBJS /jə / lho VBJS /bəh/ lho VBJS /ma / atau /me / kok dan enklitik, VBJS /c t/ memang, VBJS /rah/ lho VBJS /koh/ lho VBJS /ḍa / bukan/tidak. Dalam kaitan klitik, penelitian ini memiliki perbedaan sudut pandang dengan penelitian Wibisono (2006:209) yang dilakukan di wilayah Jember. Wibisono mengidentifikasi partikel VBJS /bəh/ lho, VBJS /c /
249 sangat, VBJS /rah/ lho sebagai partikel penegas, sementara dalam penelitian ini partikel tersebut digolongkan sebagai ungkapan ketidakpercayaan dan kekagetan. Pada tataran sintaksis, VBJS terdapat variasi berupa penggunaan bentuk pasif yang khas seperti penggunaan kata BI oleh atai bi dalam kalimat VBJS dianggap sebagai bentuk pasif keharusan bukan manasuka. Kata bi dalam bentuk pasif disebut sebagai sebuah keharusan karena jarang terjadi dalam VBJS terutama dalam tuturan menghilangkan satu unsur kata tersebut. Penggunaan bentuk pasif bi dalam BS berlaku hampir untuk semua bentuk kalimat pasif sebagaimana pola pembentukan pasif dalam BM. Dalam kaitan penggunaan bahasa, di desa Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo berdasarkan hasil identifikasi dapat ditarik sebuah kesimpulan (1) Dalam sebuah peristiwa tutur yang melibatkan KMS dengan KMS bahasa yang digunakan bersifat variatif yaitu VBJS, ragam Bahasa Jawa (BJ) halus, Bahasa Indonesia (BI), dan Bahasa Madura (BM), tergantung konteksnya. (2) Penggunaan bahasa antara KMS dengan Kelompok Mandhalungan (KM) bahasa yang digunakan juga bervariasi, yaitu VBJS atau BM, (3) Pengunaan bahasa antara KMS dengan Kelompok Madura Asli (KMA) bahasa yang dipilih atau digunakan adalah VBJS dan BI, (4) Penggunaan bahasa antara KMS dengan Kelompok Surabaya-an (KS) bahasa yang digunakan adalah VBJS, dan (5) Penggunan bahasa antara KMS dengan Kelompok Mataraman (KMT), bahasa yang digunakan adalah BJ ragam halus. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam KMS tidak mengenal penggunaan speech level atau tingkat tutur sebagaimana yang terdapat di wilayah Mataraman umumnya. Dalam penelitian ini walaupun ditemukan beberapa
250 peristiwa tutur, yang memperlihatkan seorang dari KMS menggunakan BJ ragam halus, namun hal itu bukan merupakan gambaran umum yang mewakili KMS. Dari keseluruhan peristiwa tutur di dalam KMS, terdapat satu peristiwa tutur yang unik terutama penggunaan bahasa dalam keluarga yang berlatar belakang kawin campur antara KMS dengan KM dengan penggunaan bahasa secara bersamaan yaitu VBJS dan BM dalam sebuah peristiwa tutur. Walaupun di dalam peristiwa tutur VBJS dan BM digunakan secara bersamaan, namun komunikasi berjalan lancar tanpa adanya salah paham. Terkait dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi pemilihan atau penggunaan bahasa di Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo ditemukan beberapa alasan atau penyebab antara lain; (1) Menciptakan suasana percakapan santai dan akrab: Bagi kalangan KMS, VBJS cocok digunakan dalam suasana percakapan yang santai dan akrab seperti pertemanan dan ketetanggaan. Penggunaan VBJS di kalangan KMS dapat dikatakan sebagai symbol dari egalitarian atau kesamaan derajat, yang tidak membedakan kelas sosial, sehingga ketika menggunakannya, suasananya tidak terkesan kaku dan monoton karena setiap orang dapat menyampaikan perasaannya secara bebas tanpa ada kungkungan dari sebuah aturan yang mengikatnya. (2) Sebagai salah satu bentuk kesetian dan penghormatan kepada pasangan: Seseorang penutur yang memiliki karakter akomodatif dan pengertian dapat dilihat bagaimana seseorang itu dapat menghargai orang terdekatnya seperti istri dan orang-orang disekitarnya dengan menggunakan bahasa yang digunakan oleh lingkungannya. Selain dapat dikatagorikan sebagai sebagai akomodatif, affirmatif, dan pengertian ia juga dapat digolongkan sebagai seorang yang setia pada pasangan karena
251 seorang yang memiliki ego tinggi maka orang tersebut tidak mau menggunakan bahasa orang lain. (3) Keterbatasan penguasaan bahasa kedua: Adakalanya seseorang tidak mau menggunakan bahasa di luar bahasa ibu, salah satu faktornya adalah karena keterbatasan penggunaan bahasa kedua tersebut. (4) Anggapan bahasa kedua sebagai bahasa rendah: Jika sebagian yang lain menganggap, bahwa menggunakan VBJS adalah sebuah kebanggaan, namun juga terdapat sebagian yang lain yang menganggap bawa VBJS adalah bahasa rendahan, sehingga ia enggan menggunakan bahasa tersebut. (5) Kebiasaan sejak awal bertemu: Faktor kebiasaan sejak awal bertemu juga menjadi salah satu pemicu seseorang untuk tidak beralih ke bahasa yang lain (6) Ketiadaan tingkat tutur: Karena ketidaktersediaan tingkat tutur, menjadi salah satu penyebab seorang penutur memilih menggunakan BM. (7) Penunjukan simbol status: Bahasa di dalam masyarakat juga menjadi penanda status sosial seseorang, seperti penggunaan BJ ragam halus di wilayah pesisir Jawa Timur. Menurut sejarawan Tjipto mengatakan, bahwa sejak jaman penjajahan BJ ragam halus dianggap sebagai bahasa yang memiliki kedudukan yang tinggi yang umum digunakan oleh para priyayi. Fenoma tersebut sampai kini masih dapat dilihat di Selogudig kecamatan pajarakan kabupaten Probolinggo yang sebagian penuturnya adalah individu-individu yang memiliki status sosial tinggi seperti kepala, anggota DPR, atau orang kaya tertentu yang ingin disebut sebagai priyayi atau KMS menyebutnya sebagai parjəji. Hasil identifikasi pada peristiwa arah alih kode dalam KMS, di Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo dapat disarikan sebagai berikut: Hasil identifikasi dalam peristiwa arah alih kode dalam KMS dapat disarikan sebagai berikut: (1) Alih kode dari VBJS ke BJ ragam halus, (2) Alih kode dari
252 VBJS ke BM, (3) Alih kode dari VBJS ke Bahasa Indoensia (BI), (4) Alih kode dari VBJS ke BM dan ke BI. (5) Alih kode dari BI ke VBJS, (6) Alih kode dari BI ke BM, (7) Alih kode dari VBJS ke BA, (8) Alih kode dari BM ke Bahasa Arab (BA), (9) Alih kode dari BI ke Bahasa Inggris (BIng). Sementara hasil identifikasi terhadap faktorfaktor yang memicu terjadinya peristiwa alih kode dalam KMS, yakni sebagai berikut: (1) Alih kode karena keinginan menyesuaikan diri dengan kode lawan tutur, (2) Alih Kode karena materi yang disampaikan, (3) Alih kode karena kendornya penguasan diri,(4) Alih kode karena adanya maksud-maksud tertentu, (5) Alih kode karena hadirnya orang ketiga, (6) Alih kode karena kalimat yang mendahului tuturan,(7) Alih kode karena keterbatasan penggunaan kode kedua, (8) Alih kode karena adanya penggunaan istilah populer, (9) Alih kode untuk peringkasan/efisiensi kode yang digunakan, dan (10) Alih kode untuk menunjukkan kedudukan sosial. 7.2 Saran Penelitian tentang penggunaan bahasa di Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo ini, merupakan penelitian rintisan yang belum pernah ada sebelumnya. Untuk sebuah penelitian awal atau rintisan, penelitian ini dirasa cukup memberikan gambaran umum, tentang bagaimana keberadaan KMS dan situasi kebahasaannya. Beberapa informasi tentang sejarah dan budaya KMS dan budaya Mandhalungan di luar KMS juga telah dijelaskan secara umum di dalam penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini dapat digunakan sebagai pijakan awal bagi peneliti lain yang akan meneliti hal yang berkaitan dengan KMS dan VBJS atau penelitian yang sejenis. Dengan penelitian juga diharapkan pemerintah lokal, khususnya pemerintah
253 kabupaten Probolinggo untuk lebih memperhatikan dan melestarikan khazanah yang terdapat di Selogudig. Dilihat dari tataran kajian secara umum, penelitian tentang penggunaan bahasa di Selogudig Wetan dan Selogudig Kulon, kecamatan Pajarakan, kabupaten Probolinggo ini, memang belum sepenuhnya memenuhi harapan semua orang. Untuk itu, masih perlu ada kajian yang lebih intensif dan menyeluruh tidak hanya meliputi tataran penggunaan bahasa saja, namun juga dibutuhkan kajian-kajian pada tataran lainnya. Sebagai sebuah penyumbang khazanah kebahasaan dan kebudayaan yang unik dan khas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, maka pantas kiranya KMS dan VBJS dijaga dan dilestarikan sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.