(1) PENCERMATAN DAN PERNYATAAN (1) Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia (Polri) dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945 (harap cermati : As Fajar, Inti Hasil Penelitian dan Studi Spesifik tentang Lahirnya Kepolisian dan Angkatan Perang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta, 3 Maret 2007). (2) Pada tanggal 29 September 1945, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo diangkat menjadi Kapolri yang pertama oleh Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. (3) Temuan menunjukkan bahwa Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo adalah pemikir yang cemerlang dan jenius dan kelihatannya tidak pernah berpikir atau berniat menjadikan Polri yang semi militer atau menjadi militer dan tidak pernah berpikir untuk menjadikan Kapolri pejabat pembuat kebijaksanaan politik. 1
(4) Penempatan Polri di bawah Perdana Menteri sejak tanggal 1 Juli 1946 (Penetapan Pemerintah Nomor : 111/S/D//1946) adalah suatu keputusan politik yang terpaksa diterima oleh Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo di dalam posisinya sebagai Kapolri. (5) Fungsi Perdana Menteri adalah merupakan awal dari pelanggaran diametral terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena Undang- Undang Dasar ini tidak mengenal fungsi Perdana Menteri. (6) Fungsi Perdana Menteri dimaksud bersama seluruh produk hukum yang diterbitkannya adalah tidak sah dan mutlak harus dikoreksi dan dicerahkan. (7) Demikian juga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, dan Undang- Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950 adalah perbuatan yang bertentangan diametral dengan Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik 2
Indonesia dan oleh karena itu berstatus tidak sah. (8) Rentetan pengobrak-abrikan Polri berlangsung sebagai berikut: (8)(1) Yang diutarakan butir (4) di depan; (8)(2) Penetapan Dewan Pertahanan Negara tanggal 19 September 1946 Nomor 49, yang memiliterisir Polri yang dimasukkan di Departemen Pertahanan; (8)(3) Sejak 1 Juli 1947 adanya langkah memperkuat pemiliteran Polri. (8)(4) Sejak tanggal 15 Mei 1949 Polri dijadikan Polisi Pemerintahan Militer. (8)(5) Surat Keputusan Presiden tanggal 13 Juli 1959, Kapolri ditetapkan menjadi Menteri Kepolisian Negara dan oleh karena itu menjadi pemegang kebijaksanaan tekhnis dan kebijaksanaan politik Polri; (8)(6) Surat Keputusan Presiden Nomor 290 tahun 1964 : Polri dijadikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 3
(8)(7) Surat Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1969 menetapkan Polri masuk di Departemen Pertahanan dan Keamanan. (8)(8) Instruksi Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata tanggal 3 November 1969 tentang penyamaan organisasi Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Polri yang mencakup penyamaan pendidikan. Instruksi inilah yang paling merusak organisasi, tata-usaha, karakter, dan penampilan Polri. Keseluruhan proses pengobrakabrikan ini sepenuhnya di luar paradigma Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Dari sejak semula, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo bersamasama rekan-rekannya pembangun Polri telah menyarankan agar kebijaksanaan politik Polri ditangani oleh Kementerian Keamanan Dalam Negeri, bukan oleh Kementerian Dalam Negeri 4
terutama tidak oleh Kementerian Pertahanan. (9) Mengacu kepada PEMBUKAAN, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Dasar di mana Administrasi Negara Indonesia berkewajiban melindungi seluruh Rakyat Indonesia, dan Pemegang Fungsi Eksekutif Tertinggi di dalam Administrasi Negara Indonesia adalah Presiden dan oleh karena itu yang berfungsi menetapkan Kebijaksanaan Umum Politik seluruh Departemen dan Sektor Eksekutif termasuk Kebijaksanaan Politik Keamanan Dalam Negeri dan Polri adalah Presiden. (10) Kapolri adalah Pejabat Penetap Kebijaksanaan Tekhnis Polri, bukan Pejabat Penetap Kebijaksanaan Politik Polri. (11) Dan oleh karena itu harus ditetapkan seorang Menteri untuk menangani penetapan Kebijaksanaan Politik Polri yang menjabarkan Kebijaksanaan Umum Politik Polri yang ditetapkan oleh Presiden. (12) Mengacu ke Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adalah norma dasar dari seluruh sistem dan 5
administrasi Negara di Indonesia bahwa Polri tidak boleh digabung dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Ketentuan ini bersifat absolut dan tidak ada kaitannya dengan kehendak Rakyat. (13) Polri adalah Aparat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam kewajibannya untuk melayani segenap Rakyat Indonesia dan dalam kaitan ini agar dimaklumi bahwa yang berdaulat atau yang berkuasa di Indonesia yang merdeka itu adalah seluruh Rakyat Indonesia (volkssouvereniteit). (14) Tentang apa yang disebut Undang-Undang Keamanan Nasional tidak pernah dipahami oleh Masyarakat, dan Masyarakat tidak pernah mengusulkan dibentuknya Undang-Undang dimaksud. (15) Mengacu kepada Pasal 1, Pasal 2, Pasal 5, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 (5), dan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa pembagian kekuasaan yang diatur di Indonesia adalah Eksekutif yang posisi tertinggi ditangani Presiden; Legislatif yang ditangani oleh 6
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Utusan-Utusan dari daerah-daerah dan dari golongan-golongan; Yudikatif yang ditangani oleh Mahkamah Agung, dan disempurnakan dengan fungsi Dewan Pertimbangan Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. (16) Polri sejak dilahirkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia telah menjadi Kepolisian Republik Indonesia atau kalimat penegasannya : Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk dengan resmi melalui Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan oleh karena itu status dan posisi Polri tidak boleh dirubah oleh siapa pun atau badan manapun sepanjang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlangsung itu adalah yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. (17) Kapolri sebagai Pejabat Negara Penetap Kebijaksanaan Tekhnis Polri bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan tidak melalui Pejabat lain. 7
Ketentuan ini absolut dan kendati Presiden menetapkan Menteri yang menangani Penetapan Kebijaksanaan Politik Keamanan Dalam Negeri-Polri, tidak berarti bahwa Kapolri menjadi bawahan Menteri yang dimaksud. Menteri dimaksud dan Kapolri adalah Pejabat Negara yang dalam posisi sejajar. (18) Untuk menciptakan Keamanan Dalam Negeri Indonesia adalah hak dan kewajiban seluruh atau siapa pun Warga Negara Indonesia. Oleh karena hak dan kewajiban seluruh Warga Negara maka Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara juga berhak dan wajib ikut serta dalam usaha menciptakan Keamanan Dalam Negeri Indonesia. INTI KEKUATAN MENCIPTAKAN KEAMANAN DALAM NEGERI INDONESIA ADALAH POLRI (19) Polri agar memegang teguh gugus cara berpikir dan gugus cara berbuat yang mengacu mewujudkan ketentuan bahwa yang berdaulat atau yang berkuasa di negeri Indonesia yang 8
merdeka itu adalah seluruh Rakyat (volkssouvereniteit) dan oleh karena itu kewajiban utama Polri adalah melayani kepentingan seluruh Warga Negara. (20) Untuk menjadikan Rakyat berdaya terutama di bidang ekonomi dan keuangan adalah fungsi dan tanggung jawab Presiden dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Utusan). (21) Komisi Kepolisian Nasional adalah lembaga yang sangat cacad terutama dalam proses penetapan Kapolri. Sebagaimana diutarakan di depan bahwa Kapolri adalah Pejabat Negara Penetap Kebijaksanaan Tekhnis Polri dan penetapannya adalah berbasis standar-standar tekhnis Polri yang telah dibakukan. Untuk menjadi Kapolri telah melalui jenjang yang bertingkat dan dalam masa sangat panjang. Jenjang yang bertingkat dimaksud telah menciptakan posisi Pejabat Senior Polri yang telah dalam peluang ditetapkan menjadi Kapolri. (22) Yang harus dicermati oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Utusan adalah Penetapan 9
Kebijaksanaan Politik Keamanan Dalam Negeri-Polri, dan oleh karena itu yang harus ditanyakan oleh Dewan kepada Presiden adalah Menteri yang menangani Kebijaksanaan Politik dimaksud. Menteri yang ditunjuk Presiden untuk menangani Kebijaksanaan Politik Keamanan Dalam Negeri-Polri dimaksudlah yang diuji kepatutan dan kelayakannya dalam makna kemampuannya yang prima untuk menetapkan Kebijaksanaan Politik Keamanan Dalam Negeri-Polri. (23) Dalam kenyataannya seluruh Aparatur Negara Indonesia masih gagal mewujudkan kewajibannya dan terlihat kehilangan imajinasi sebagai Pelayan Kepentingan Seluruh Warga Negara. Temuan-temuan menunjukkan bahwa akarnya adalah Lingkaran Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Dasar yang menimbulkan kekacaubalauan Undang-Undang Dasar dan Administrasi Negara, Pertumbuhan Perekonomian yang tidak menguntungkan seluruh Warga Negara yang berakibat 10
melemahnya Keuangan Negara, yang berakibat melemahnya biaya Administrasi Negara, dan melemahnya kesejahteraan bagian terbanyak Petugas Administrasi Negara dan kaitankaitannya. Penyakit ini tidak semata berlangsung di Polri tetapi di seluruh sektor dan tingkat Administrasi Negara dan oleh karena itu untuk menghentikannya mutlak dilakukan perbaikan yang mendasar dan menyeluruh. (24) Undang-Undang yang sangat mendesak ditangani saat ini adalah : (24)(1) Pembentukan Undang-Undang Tentang Keamanan Dalam Negeri. (24)(2) Penyempurnaan dan Pencerahan Undang-Undang Tentang Polri. (24)(3) Penyempurnaan dan Pencerahan Undang-Undang Tentang Pertahanan. (24)(4) Penyempurnaan dan Pencerahan Undang-Undang Tentang Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. 11
(24)(5) Penyempurnaan dan Pencerahan Undang-Undang Tentang Darurat Perang dan Perang. (24)(6) Penyempurnaan dan Pencerahan Tentang Undang-Undang Tentang Keadaan Bahaya. (24)(7) Penyempurnaan dan Pencerahan Undang-Undang tentang Intelijen, Kontra Intelijen, dan Kontra Spionase. (25) Ketua Gabungan Kepala Staf (saat ini disebut Panglima Tentara Nasional Indonesia), Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, dan Kepala Staf Angkatan Udara tidak berada di bawah Menteri Pertahanan. Ketua Gabungan Kepala Staf yang adalah Pemegang Ko-ordinasi Kebijaksanaan Tekhnis Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; Kepala Staf Angkatan Darat yang adalah Pemegang Kebijaksanaan Tekhnis Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut yang adalah Pemegang Kebijaksanaan Tekhnis Angkatan Laut, dan Kepala Staf Angkatan Udara yang adalah Pemegang Kebijaksanaan Tekhnis Angkatan Udara masing-masing 12
bertanggung jawab langsung kepada Presiden di dalam Penetapan Kebijaksanaan Tekhnis dimaksud. (26) Pemegang Kebijaksanaan Umum Politik Pertahanan, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara adalah Presiden dan untuk menjalankannya ditugaskan kepada Menteri Pertahanan. (27) Menteri Pertahanan menetapkan Kebijaksanaan Politik Pertahanan, Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara dan Ketua Gabungan Kepala Staf, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, dan Kepala Staf Angkatan Udara terikat untuk mengikuti Kebijaksanaan Politik dimaksud. (28) Menteri Pertahanan tidak berhak untuk mencampuri Kebijaksanaan Tekhnis Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. (29) Menteri Pertahanan, Ketua Gabungan Kepala Staf, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, dan Kepala Staf Angkatan Udara adalah Pejabat-pejabat Negara yang berposisi sejajar dan senyawa untuk usaha mempertahankan Negara. 13
(30) Oleh karena itu bahwa Polri bersamaan posisinya dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara yang adalah Lembaga-lembaga Tekhnis Profesional. (31) Pemegang kedaulatan atau kekuasaan yang tertinggi di Indonesia yang merdeka itu adalah seluruh Rakyat Indonesia (volkssouvereniteit). Untuk menjalankan kedaulatan atau kekuasaan itu bahwa seluruh Rakyat memilih Presiden melalui pemilihan umum. (32) Salah satu cara Presiden untuk menjalankan kedaulatan atau kekuasaan dimaksud bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Ketentuan ini mengatur absolut bahwa Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara berfungsi mewujudkan kedaulatan atau kekuasaan yang tertinggi yang adalah di tangan seluruh Rakyat. (33) Dari sejak menjabat fungsi Menteri Pertahanan Prof. Dr. Juwono Sudarsono telah menyatakan dipisahnya Polri dari Angkatan Darat, 14
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara adalah reformasi yang kebablasan. Pernyataan ini diikuti oleh dirancangnya apa yang disebut Rancangan Undang-Undang Tentang Keamanan Nasional. Ketika Rancangan Undang-Undang ini mendapat protes dari Pengamat, Kalangan Akademi, dan Lembaga Non Administrasi Negara, Prof. Dr. Juwono Sudarsono menyatakan: Fakta di lapangan di mana hingga saat di masyarakat maupun administrasi Negara di daerah lebih tergantung dan mengandalkan Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi persoalan keamanan daripada Polri. Terdapat kesenjangan besar antara kondisi dan fakta di lapangan dengan konsep reformasi sektor Pertahanan dan Keamanan tahun 2000 yang kemudian melahirkan kebijaksanaan pemisahan Institusi Tentara Nasional Indonesia dengan Polri. (34) Kedua pernyataan tersebut adalah bentuk pemikiran yang tidak memiliki nilai ilmiah. 15