Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1 Fokus Media UUD 1945 dan Amandemennya. Bandung: Fokus Media

BAB I PENDAHULUAN pada alinea ke empat yang dijadikan sebagai landasan pembangunan

BAB II PENGATURAN PELAYANAN PUBLIK DI BIDANG PERTANAHAN A. PENGERTIAN DAN LANDASAN HUKUM PELAYANAN PUBLIK

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 1 Dimana ini merupakan

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN DAN PENGATURAN PERTANAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

2012, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BUPATI ACEH JAYA PERATURAN BUPATI ACEH JAYA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

PROGRAM DAN KEGIATAN PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 064 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN UU 25/2009 tentang PELAYANAN PUBLIK

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Demokrasi adalah salah satu tuntutan terciptanya penyelenggaraan

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan khususnya penyelenggaraan pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. dari terwujudnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam Good Governance

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

2 alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas, serta perubahan status orang asing tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Sedangkan Peristiw

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Setiap kegiatan disamping

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E

BAB I PENDAHULUAN. dan penyelesaian yang komprehensif. Hipotesis seperti itu secara kualitatif

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELAYANAN PUBLIK. menyediakan segala apa yang diperlukan oleh orang lain untuk perbuatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Prins (1976) Izin( vegunning) adalah keputusan administrasi Negara berupa peraturan

2012, No BAB I PENDAHULUAN

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

I. PENDAHULUAN. meningkatkan kesadaran perlunya pembangunan berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan pelayanan publik. Penerima Layanan Publik adalah. hak dan kewajiban terhadap suatu pelayanan publik.

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN BONDOWOSO

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A.

kinerja yang berkualitas merupakan suatu kebutuhan.

BUPATI BLORA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA,

2017, No dalam huruf b, perlu dibuat dalam bentuk Standar Pelayanan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huru

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 01 TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat memberi rasa puas terhadap masyarakat. Pelayanan kepada

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

POKOK-POKOK PIKIRAN RUU APARATUR SIPIL NEGARA TIM PENYUSUN RUU TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa..., dalam rangka mencapai tujuan negara. dalam bentuk pemberian pendidikan bagi anak-anak Indonesia yang akan

BAB II LANDASAN TEORI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK

PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2012

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

Pertimbangan Putusan DKPP Kota Sawahlunto

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. tujuan untuk lebih mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat (pelayanan. demokratis sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan. sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

PROFIL SKPD A. Latar Belakang.

KEPUTUSAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA NOMOR : KEP/26/M.PAN/2/2004 TENTANG

KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo,2002:2).

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan diberlakukannya undang-undang otonomi daerah, maka berbagai aturan di

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Irfan Islamy, kebijakan publik (public policy) adalah

APA ITU DAERAH OTONOM?

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN BELITUNG

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BAB I PENDAHULUAN. berkompetisi menghasilkan, mengeluarkan sebanyak-banyaknya berbagai macam

PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH (Suatu Studi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro)

I. PENDAHULUAN. aspek sosial, politik serta aspek pertahanan dan keamanan. Kenyataan

DEPUTI BIDANG PELAYANAN PUBLIK KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

KATA PENGANTAR. Plt. Kepala Pusat PVTPP. Dr.Ir.Agung Hendriadi, M.Eng. NIP

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menuju Masyarakat Informasi Indonesia

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 30

BAB I. PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi

I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PELAYANAN LEGALISIR

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. sudah melaksanakan pelayanan secara efektif, yaitu kualitas pelayanan yang

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, dalam penyelenggaraan

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PELAYANAN PERMOHONAN DATA KEPENDUDUKAN

JURNAL LOGIKA, Volume XII, No 3 Tahun 2014 ISSN : ASPEK HUKUM PERIZINAN DI BIDANG BANGUNAN

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166,

BUPATI SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Transkripsi:

KAJIAN YURIDIS STANDAR PELAYANAN PUBLIK PADA BADAN PERTANAHAN NASIONAL DI ERA OTONOMI DAERAH 1 Oleh : Mohamad Eka Putra Manoppo 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengimplementasaian standar pelayanan publik di era otonomi daerah dan bagaimana faktor-faktor pengambat pelaksanaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. BPN Untuk Meningkatkan Pelayanan Pertanahan, antara lain adalah perbaikan lingkungan kerja dengan mengfungsikan loket pelayanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPN RI nomor 1 tahun 2010, perbaikan Sistem Administrasi, dangan cara peraturan tersebut harus dijabarkan sesuai dengan kondisi Kantor Pertanahan. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah bidang pertanahan berbungkus desentralisasi tetapi menekankan sentralisasi akan berdampak terhadap semakin meningkatnya sengketa pertanahan. Melalui semangat reformasi Otonomi adalah peluang daerah untuk menata kembali struktur penguasaan dan kepemilikan tanah untuk dapat melakukan dengan cara menempatkan orang-orang yang konseptual dan profesional, bertanggung jawab dalam menjalankan program pembangunan daerah yang terkait secara lansung maupun tidak langsung dengan persoalan tanah. 2. Faktor Penghambat dalam melaksanakan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan, dapat disimpulkan: Faktor penghambat penerapan kebijakan Badan Pertanahan Nasional dipengaruhi 2 (dua) unsur penting yaitu faktor hukum dan faktor non hukum, adapun faktor hukum yang mempengaruhi terhambatnya penerapan kebijakan Kantor Pertanahan yaitu tidak adanya sanksi yang tegas tehadap pegawai Kantor 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing: Berlian Manoppo,SH, MH; Selviana Sambali, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 13071101202 Pertanahan yang melakukan kesalahan dalam menyelesaikan proses pendaftran akta dan kurangnya pengetahuan tentang hukum pertanahan bagi pegawai-pegawai di Kantor Pertanahan. Adapun faktor non hukum yang mempengaruh terhambatnya penerapan kebijakan Kantor Pertanahan Sumber Daya Manusia yang kurang baik secara kualitas dan kuantitas, tidak adanya Pengawasan yang optimal, dan sarana dan prasarana pendukung kinerja pegawai pertanahan belum memadai. Kewenangan Pemerintah dalam bidang urusan tanah merupakan urusan wajib pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang harus diatur dan diurus pemerintah Kabupaten/kota. Kata kunci: Standar Pelayanan Publik, Badan Pertanahan Nasional, Otonomi Daerah PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas pokok Badan Pertanahan Nasional sekaligus merupakan salah satu fungsi kantor pertanahan Kabupaten/Kota adalah melaksanakan pelayanan pertanahan kepada masyarakat. Oleh sebab itu kiranya wajar apabila pelaksanaan tugas Badan Pertanahan Nasional akan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan perhatian terhadap upaya-upaya untuk lebih meningkatkan pelayanan pertanahan tersebut. Upaya peningkatan pelayanan pertanahan kepada masyarakat mempunyai aspek yang sangat luas, dari tingkat kebijakan termasuk penerbitan ketentuan peraturan yang diperlukan sampai tingkat pelaksanaannya. Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah telah menetapkan kebijakan pelayanan kepada masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan pembangunan pertanahan. Oleh karena BPN merupakan bagian internal dari komponen pembangunan bangsa, sebagaimana dengan komponen pembangunan bangsa yang lainnya maka peran dan posisi BPN dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara utuh terintergrasi, baik sebagai penegak kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun dalam peran membangun bangsa (nation building) dengan mengedepankan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan 82

hidup, dan prinsip hidup berdampingan secara damai. Keberadaan organisasi BPN menjangkau sampai kedaerah pedesaan diseluruh wilayah Indonesia maka kegiatan dibidang Pertanahan akan dapat memberikan konstribusi konstruktif dalam pembangunan bangsa bila bentuk dan implementasi kegiatan dapat disinkronisasikan dengan kegiatan pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang menjadi titik berat otonomi daerah salah satunya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang sering disebut dengan pelayanan publik. Pelayanan publik oleh aparatur pemerintah ini masih banyak dijumpai kelemahan sehingga belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media massa, atau melalui kotak pos 5000 maupun langsung kepada pimpinan Badan Pertanahan Nasional, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan. Masyarakat yang merupakan pelanggan dari pelayanan publik, juga memiliki kebutuhan dan harapan pada kinerja penyelenggara pelayanan publik yang profesional. Sehingga yang sekarang menjadi tugas Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah adalah bagaimana memberikan pelayanan publik yang mampu memuaskan masyarakat. Adanya implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Pemerintah mempunyai tanggung jawab, kewenangan dan menentukan standar pelayanan minimal, hal ini mengakibatkan setiap Daerah (Kotamadya/Kabupaten) di Indonesia harus melakukan pelayanan publik sebaik-baiknya dengan standar minimal. Manajemen pelayanan publik di era otonomi daerah semakin mempermudah ruang gerak masing-masing daerah untuk melakukan upaya perbaikan layanan. Pengalaman beberapa daerah yang berhasil memanfaatkan dan mengembangkan sistem pelayanan publik terpadu diakui telah membawa dampak yang cukup signifikan baik terhadap perbaikan kualitas manajemen layanan publik pemerintah daerah, maupun peningkatan pendapatan daerah dan perbaikan kualitas hidup masyarakat. Di sisi lain, pemerintah pusat tetap memiliki kendali atas keberlangsungan pemerintahan daerah tersebut secara terintegrasi yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam perencanaan peningkatan kualitas layanan publik nasional. Seiring semaraknya geliat pemerintah daerah dalam mendorong sistem pelayanan terpadu, pemerintah perlu mengupayakan sistem informasi terstandarisasi yang dapat menjangkau semua daerah khususnya dalam pelayanan bidang pertanahan. Masalah Pertanahan menyangkut dua sisi kepentingan yaitu, kepentingan pemerintah daerah untuk melakukan regulasi terhadap kegiatan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat agar sesuai dengan perencanaan, kondisi dan kebutuhan pemerintah daerah, di sisi lain adalah kepentingan kebutuhan masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum dalam melakukan penggarapan tanah dan hak-hak atas tanah yang mempunyai efek di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Implementasi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah ke depan salah satunya adalah bagaimana dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik berdasarkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara dan sekaligus merupakan perwujudan dari prinsip utama kebijakan desentralisasi yaitu demokratisasi, akuntabilitas publik daan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan pertimbangan ini penulis tertarik untuk menetahui pelayanan pertanahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat ini sehingga penulis memilih judul dan mengkhususkan penelitian tentang Kajian Yuridis Standar pelayanan publik pada Badan Pertanahan Nasional di Era Otonomi Daerah B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pengimplementasaian standar pelayanan publik di era otonomi daerah? 2. Bagaimana Faktor-faktor pengambat pelaksanaan Peraturan Kepala Badan 83

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan. C. Metode Penelitian Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepas diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengimplementasian Standar Pelayanan Publik di Era Otonomisasi Daerah Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga diadopsi kembali asas umum penyelenggaraan negara yaitu : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggarannegara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asasefektivitas. Pencantuman kembali asas-asas umum penyelenggaraannegara didalam Undang- Undang ini tidak lain inginmereduksi konsep good governance dalam kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan otonomi 18 daerah. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka implementasi kebijakan public desentralisasi kedepan harus menekankan prinsip-prinsip good governance pada fungsi-fungsi regulasi, pelayanan publik dan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berarti kebijakan publik yang di implementasikan dalam sistem administrasi publik di daerah kabupaten/kota benar-benar menerapkan prinsip goodgovernance serta berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi harus mampu mendorong terjadinya layanan public yang lebih dekat dengan masyarakat yang membutuhkan. Kebijakan publik yang 3 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 163. 18 Dharma Setyawan Salam,. Otonomi Daerah dalam perspektif lingkungan, Nilai dan Sumber Daya.Jakarta: Djambatan, Jakarta, 2004, hlm 21 dihasilkan, diharapkan dapat memangkas rentang birokrasi yang panjang untuk menghindari penundaan dan penurunan kualitas dari layanan publik yang menjadi kewajiban negara kepada warganya. Keberhasilan proses desentralisasi dapat diukur dari kualitas layanan publik yang semakin baik. Kebijakan desentralisasi yang hanya dimaksudkan untuk menggantikan peran pemerintah pusat di daerah tanpa melakukan perubahan pada transaksi sosial yang terjadi, maka sangat sulit diharapkan terjadinya efek positif dari kebijakan publik tersebut oleh sebab itu perbaikan kualitaslayanan publik menjadi faktor yang determinan dalam implementasi kebijakan desentralisasi. Pelayanan publik juga merupakanbagian yang krusial dalam praktek negara demokrasi, bahkan banyak ahli mengatakan bahwa pelayanan publiksebagai demokrasi dalam artian yang sebenarnya karena demokrasi sebagai konsep hanya dapat dirasakan dalam kualitas layanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyatnya. Dengan tingkat heterogenitas dan penyebaran yang luas, maka sangatlah rentan bagi suatu pemerintahan dapat memenuhi kebutuhan layanan masyarakat sesuai dengan tingkat kebutuhan apalagi tingkat kepuasan rakyat. Dalam konteks ini layanan menjadi tolok ukur penting untuk melihat perjalanan demokrasi dan desentralisasi. Dengan demikian demokrasi dan desentralisasi harus dilihat dari kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan transaksi sosial yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari yaitu layanan publik. Marsh dan Ian mengemukakan 2 (dua) perspektif yang penting diamati dalam layanan publik yaitu: Pertama, dimensi service delivery agent (dinas atau unit kerja pemerintah) dan Kedua, dimensi customer atau user (masyarakat yang memanfaatkan). Berdasarkan dimensi pemberi layanan perlu diperhatikan tingkat pencapaian kinerja yang meliputi layanan yang adil (dimensi ruang dan klas sosial), kesiapan kerja dan mekanisme kerja (readiness), harga terjangkau (affordable price), prosedur sederhana dan dapat dipastikan waktu penyelesaiannya. Sementara itu dari dimensi penerima layanan publik harus memiliki pemahaman dan reaktif terhadap penyimpangan atau layanan tak berkualitas 84

yang muncul dalam praktik penyelenggaraan layanan publik. Keterlibatan aktif masyarakat baik dalam mengawasi dan menyampaikan keluhan terhadap praktik penyelenggaraan layanan publik menjadi faktor penting umpan balik bagi perbaikan kualitas layanan publik dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Pemahaman masyarakat tentang dasar hukum atau kebijakan publik yang ditetapkan menjadi salah satu faktor penting untuk menjamin standar layanan publik yang berkualitas. Pemahaman masyarakat tentang formulasi kebijakan publik yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme pemberian layanan publik dapat diukur dari kemudahan masyarakat untuk memahami prosedur tersebut, kesiapan birokrasi untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat, informasi yang transparan tentang standar pelayanan publik dimaksud serta perilaku petugas pelayanan publik terhadap masyarakat dalam praktik penyelenggaraan layanan publik. Formulasi kebijakan tersebut tentunya berada pada tahapan implementasi kebijakan publik yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu bidang layanan publik yang krusial adalah masalah Pertanahan. Pertanahan merupakan aspek regulasi dan legalitas dari berbagai bidang kegiatan masyarakat yang ditetapkan oleh pemerintah melalui prosedur tertentu. Masalah Pertanahan menyangkut dua sisi kepentingan yaitu, kepentingan pemerintah daerah untuk melakukan regulasi terhadap kegiatan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat agar sesuai dengan perencanaan, kondisi dan kebutuhan pemerintah daerah, di sisi lain adalah kepentingan kebutuhan masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum dalam melakukan pengarapan tanah dan hak-hak atas tanah yang mempunyai efek di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Keseluruhan permasalahan yang muncul dalam pelayanan Pertanahan menjadi semakin krusial ketika prosedur pemberian Pelayanan publik tersebut tidak dibakukan secara komprehensif dan tidak ditetapkan dalam suatu standar pelayanan yang baik. Pelayanan Pertanahan akan tidak memberikan kepuasan kepada masyarakat apabila dalam pelaksanaannya tidak terkoordinasi dan berjalan sendiri-sendiri dalam sektornya masing-masing. Implementasi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah ke depan salah satunya adalah bagaimana dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik berdasarkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara dan sekaligus merupakan perwujudan dari prinsip utama kebijakan desentralisasi yaitu demokratisasi, akuntabilitas publik daan pemberdayaan masyarakat. Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan merupakan pedoman dalam pelaksanaan layanan pertanahan di lingkunagan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional, dan Kantor Pertanahan. Adapun peraturan yang mengatur mengenai standar pelayanan di Kantor Badan Pertanahan Nasional adalah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 yakni perubahan dari Keputusan Kepala Badan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan di Lingkungan BPN dan juga diatur sebelumnya di dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Pencepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Tertentu. Tujuan peraturan ini adalah untuk mewujudkan kepastian hukum, keterbukaan dan akuntabilitas pelayanan publik. Ruang lingkup pengaturan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan terdapat pada pasal 4 peraturan ini, yang meliputi: a) Kelompok dan Jenis Pelayanan ; b) Persyaratan ; c) Biaya ; d) Waktu ; e) Prosedur ; f) Pelaporan ; a) Kelompok dan Jenis Pelayanan Kelompok pelayanan sebagaimana diatur pada Pasal 4 huruf a Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun 2010 terdiri dari pelayanan : 1. Pendaftaran Tanah pertama kali 2. Pemeliharaan data pendaftaran anah 85

3. Pencatatan dan informasi pertanahan 4. Pengukuran bidang tanah 5. Pengaturan dan penataan pertanahan 6. Pengelolaan pengaduan b) Persyaratan Persyaratan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2010 adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon agar permohonannya dapat diproses lebih lanjut. Persyaratan dimaksud adalah berupa dokumen pertanahan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pemohon, Surat Permohonan Hak Atas Tanah, Gambar atau Peta Tanah yang telah diukur, Slip Pajak atas tanah yang dimohonkan, Kartu Keluarga Pemohon, Bukti Jual Beli atau Perjanjian Jual Beli terhadap tanah tersebut bila ada melakukan transaksi Jual Beli. Apabila persyratan dokumen tidak lengkap maka Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah BPN menolak berkas permohonan. Penolakan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN atau petugas yang diunjuk. c) Biaya Biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2010 adalah biaya pelayanan yang diwajibkan kepada pemohon sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada BPN RI. d) Waktu Waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2010 adalah jangka waktu penyelesaian pelayanan pertanahan terhitung sejak penerimaan berkas lengkap dan telah lunas pembyaran biaya yang ditetapkan. Jangka waktu yang dimaksud adalah jangka waktu paling lama untuk penyelesaian masing masing jenis pelyanan pertanahan yang dihitung berdasar hari kerja. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Peraturan Kepala BPN RI No.1 Tahun 2010 tidak berlaku bagi permohonan pelayanan pertanahan yang didalam prosesnya diketahui terdapat sengketa, konflik, perkara, atau masalah hukum lainnya dan berkasnya dapat dikembalikan kepada pemohon. e) Prosedur Prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2010 adalah tahapan proses pelayanan untuk masing masing jenis kegiatan. f) Pelaporan Kepala Kantor Pertanahan setiap bulan melaporkan hasil pelaksanaan pelayanan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Kepala Kantor Wilayah BPN setiap bulan melaporkan hasil pelaksanaan pelayanan yang menjadi tugasnya. Negara Republik Indonesia menganut sistim demokrasi artinya dari rakyat, oleh rakyat dan untukrakyat, dimana rakyatlah memegang kekuasaan tertinggi. Konsep ini merupakan pola dalam memberikan pelayanan publik. Hal ini sebagaimana sudah diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 tentang pendidikan dan pasal 33 tentang kekayaan alam, selain itu ada lagi pasal pasal yang menyangkut tentang pelayan publik atau yang menjadi hak rakyat. Dengan sendirinya jelas sudah bahwa secara menyeluruh pelaksanaan pelayanan publik adalah menjadi tanggung jawab pemerintah, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa pemerintah pada hakikatnya menyelenggarakan fungsi pelayanaan kepada masyarakat, atau pemerintah adalah pelayan bagi masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan demi mencapai tujuan bersama. 19 Adapun pembina dalam penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, dan pimpinan lembaga lainnya terhadap pimpinan lembaga negara dan pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Dimana lembaga ini mempunyai tugas untuk mengoordinasikan kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan standar pelayanan pada setiap 19 Ryaas Rasyid, Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan Administrasi di Indonesia, PT. Pustaka, Jakarta, 1998, hlm. 139. 86

satuan kerja, melakukan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik dan melaporkan kepada pembina pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh satuan kerja unit pelayanan publik. Menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 tentang Kode Etik Pelayanan Publik di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia menyebutkan bahwa : Pelayan Publik adalah pejabat, pegawai, atau petugas yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik dan pelayanan internal di lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Penyelenggara Pelayanan Publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah pimpinan unit/satuan kerja di lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang melakukan pelayanan publik dan pelayanan internal. Maka dapat disimpulkan bahwa Instansi Penyelenggara Pelayanan Publik di bidang Pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN). B. Faktor-faktor apa saja yang menghambat Pengimplementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan Adapun faktor penghambat dalam penerapan kebijakan Kantor Pertanahan dipengaruhi 2 (dua) unsur penting yaitu faktor hukum dan faktor non hukum. Adapun faktor hukum yang mempengaruhi terhambatnya penerapan kebijakan Kantor Pertanahan yaitu tidak adanya sanksi yang tegas dari Kepala Kantor Pertanahan tehadap pegawai Kantor Pertanahan yang melakukan penyalagunaan aturan hukum, yakni salah satu bentuk penyalagunaan aturan hukum yaitu terkait batas waktu selesainya proses pendaftaran akta serta kurangnya pemahaman tentang hukum terutama mengenai peraturanperaturan terkait hukum pertanahan bagi pegawai-pegawai di Kantor Pertanahan. Sedangkan factor non hukum yang mempengaruhi terhambatnya penerapan kebijakan Kantor Pertanahan yaitu Sumber Daya Manusia yang kurang baik secara kualitas maupun secara kuantitas, tidak adanya Pengawasan yang optimal, Iman atau Mental dari pegawai Kantor Pertanahan belum kuat dalam menghadapi segala bentuk usaha pemberian sejumlah uang atau barang dari pihak luar yang menggunakan jasa dari oknum pihak pertanahan, serta sarana dan prasarana pendukung kinerja pegawai pertanahan belum memadai. Terkait upaya-upaya yang sudah dilakukan kantor pertanahan dalam meningkatkan pelayanan pendaftaran tanah, Dari hasil interview di atas dapat disimpulkan upayaupaya yang sudah dilakukan kantor pertanahan dalam meningkatkan pelayanan pendaftaran tanah adalah: - memasang alur pendaftaran tanah, - pemasangan papan pengumuman lamanya waktu pendaftaran tanah - sosialisasi mengenai kode etik, terkait kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Pelayanan Publik Dan Penyelenggara Pelayanan Publik Di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional - mengingat minimnya petugas BPN, Kepala kantor pertanahan sudah melakukan permohonan ke BPN pusat untuk penambahan kariawan, untuk setiap seksi. - dan saat ini telah dikembangkan sistem informasi pengelolaan pengaduan masyarakat secara online disetiap Kantor BPN disetiap Kota. Tanah adalah modal dasar pembangunan, oleh karena itu daerah harus diberi peluang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah di bidang bertanahan. Sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004. Otonomi daerah adalah: hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat, dalam sistem negara kesatuan RI. Dengan demikian dalam menjalankan otonomi daerah melekat satu kesatuan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Fungsi pemerintah daerah menjalankanurusan yang diserahkan pemerintah pusat antara lain; menumbuhkembangkan daerah dalam 87

berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah, dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan. Peranan masyarakat dan swasta dalam pembangunan daerah akan semakin besar dan menentukan, untuk itu tanpa meningkatkan partisipasi masyarakat dan swasta, maka otonomi akan kehilangan makna, karena melalui otonomi pemerintah daerah mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendorong dan member motivasi membangun daerah. Yang kondusif, sehingga akan muncul kreasi dan daya inovasi masyarakat yang dapat bersaing dengan daerah lain. Di samping itu, daerah dapat membangun pusat pertumbuhan daerah, karena daerah lebih akrab dengan masyarakat dan lingkungannya. Pemberdayaan adalah pemberian wewenang, pendelegasian wewenang atau pemberian otonomi jejajaran bawah. Inti dari pemberdayaan upaya membangkitkan segala kemampuan yang ada untuk mencapai tujuan. Pencapaian tujuan melalui pertumbuhan motivasi, inisiatif, kreatif, serta penghargaan dan pengakuan bagi mereka yang berprestasi. PENUTUP A. Kesimpulan 1. BPN Untuk Meningkatkan Pelayanan Pertanahan, antara lain adalah perbaikan lingkungan kerja dengan mengfungsikan loket pelayanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPN RI nomor 1 tahun 2010, perbaikan Sistem Administrasi, dangan cara peraturan tersebut harus dijabarkan sesuai dengan kondisi Kantor Pertanahan. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah bidang pertanahan berbungkus desentralisasi tetapi menekankan sentralisasi akan berdampak terhadap semakin meningkatnya sengketa pertanahan. Melalui semangat reformasi Otonomi adalah peluang daerah untuk menata kembali struktur penguasaan dan kepemilikan tanah untuk dapat melakukan dengan cara menempatkan orang-orang yang konseptual dan profesional, bertanggung jawab dalam menjalankan program pembangunan daerah yang terkait secara lansung maupun tidak langsung dengan persoalan tanah. 2. Faktor Penghambat dalam melaksanakan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan, dapat disimpulkan: Faktor penghambat penerapan kebijakan Badan Pertanahan Nasional dipengaruhi 2 (dua) unsur penting yaitu faktor hukum dan faktor non hukum, adapun faktor hukum yang mempengaruhi terhambatnya penerapan kebijakan Kantor Pertanahan yaitu tidak adanya sanksi yang tegas tehadap pegawai Kantor Pertanahan yang melakukan kesalahan dalam menyelesaikan proses pendaftran akta dan kurangnya pengetahuan tentang hukum pertanahan bagi pegawai-pegawai di Kantor Pertanahan. Adapun faktor non hukum yang mempengaruh terhambatnya penerapan kebijakan Kantor Pertanahan Sumber Daya Manusia yang kurang baik secara kualitas dan kuantitas, tidak adanya Pengawasan yang optimal, dan sarana dan prasarana pendukung kinerja pegawai pertanahan belum memadai. Kewenangan Pemerintah dalam bidang urusan tanah merupakan urusan wajib pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang harus diatur dan diurus pemerintah Kabupaten/kota. B. Saran 1. Pelayanan yang melebihi standard pelayanan agar dapat dipublikasikan. Strategi ini penting untuk menunjukkan bahwa ada pelayanan publik yang berhasil dan sukses, karena yang biasa kita dengar adalah cerita kegagalan pelayanan public dalam memberikan pelayanan terbaik. 2. Kelangsungan suatu kinerja pelayanan dalam pelayanan publik jangan cepat merasa puas dengan kinerjanya sehingga lupa untuk menjaga kualitas terbaiknya. DAFTAR PUSTAKA Abdullah Rozali,. Pelaksanaan OtonomiLuas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung,. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. 88

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010. Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Syafaat,. Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Penerbit Konstitusi Press., Jakarta, 2006. Deddy S BrataKusumah, dan Dadang S,. Otonomi Penyelenggara Pemerintah Daerah. PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2003. Dharma Setyawan Salam,. Otonomi Daerah dalam perspektif lingkungan, Nilai dan Sumber Daya.Jakarta: Djambatan, Jakarta, 2004. Harsono, Boedi,. Hukum Agraria Indonesia,. Teruna Grafica, Jakarta, 2006. Husni Thamrin, Hukum Pelayanan Publik Indonesia, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013. Inu Kencana Syafie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, PT. Eresco, Jakarta, 1999. Lijan Poltak Sinambela, dkk., Reformasi Pelayanan Publik, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2011. Lukman, Samparan,. Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima, LAN, Jakarta, 2000. Parmudji, Perbandingan Pemerintahan, Bumi Aksara, Jakarta, 1994. Ridwan, Juniorso,. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, 2009. Ryaas Rasyid, Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan Administrasi di Indonesia, PT. Pustaka, Jakarta, 1998. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan. Internet, Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Publik, http://jdih.ntbprov.go.id/sites/default/fil es/produk-hukum/lampiran I., diakses pada tanggal 19 April 2016 Sumartini,L,. Penyusunaan Kerangka Ilmiah Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional di Bidang Pemberdayaan RencanaLegislatif Daerah Dalam Era Otonomi Daerah. Jakarta, 2011. Widjaja, HAW,. Otonomi Daerah Dan Daerah Otonomi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen. Undang-undang Dasar 1945 Amandemen Tahun 2002. 89