BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitu pula hukum adat, sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, orang harus menyelami dasardasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. 1 Sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat dan sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh berkembang seperti hidup itu sendiri. Karena sifat hukum adat yang supel dan dinamis inilah akan senantiasa terjadi perkembangan didalam substansi hukum adat baik yang hidup di dalam masyarakat maupun melalui putusan Pengadilan. Perkembangan dimaksudkan adalah perubahan yang tertuju pada kemajuan. Perubahan atau perkembangan akan dimungkinkan oleh adanya modernisasi dalam cara berfikir dari anggota masyarakat adat dan para penegak hukum khususnya hakim yang akan menerapkan hukum dalam kasus-kasus kongkrit 1 Soepomo, 2000, Bab-bab tentang Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.23 1
seperti yang dikemukakan oleh Koesnoe bahwa hukum adat pada prinsipnya adalah hukum rakyat. Sebagai hukum rakyat yang mengatur kehidupan yang terus-menerus berubah dan berkembang pembuatannya adalah rakyat sendiri, oleh karena itu Hukum Adat mengalami perubahan yang terus-menerus melalui keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil temu rasa dan temu pikiran melalui permusyawaratan. Dalam hal ini setiap perkembangan yang terjadi selalu diusahakan mendapat tempatnya di dalam tata hukum adat. Hal-hal lama yang tidak lagi dapat dipergunakan secara mencolok diubah atau ditinggalkan. 2 Banyaknya ketentuan hukum adat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, ditinggalkan oleh masyarakat seperti ketentuan manak salah yang dulu dikenal di dalam hukum adat Bali, ketentuan larangan perkawinan antara mereka yang berkasta yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah. Dalam hukum adat waris, hak-hak wanita Bali, dalam mewaris berdasarkan hukum adat mempunyai peluang untuk berubah seperti dikemukakan Astiti ada beberapa faktor penunjang untuk terjadinya perubahan tersebut antara lain : 1. Telah adanya pemikiran diantara warga masyarakat termasuk pemuka masyarakat untuk melakukan perubahan, terhadap hak wanita dalam mewaris. 2. Tumbuhnya kesadaran dalam masyarakat untuk lebih memperhatikan wanita 3. Adanya perubahan rasa keadilan terhadap wanita yang telah mengetuk hati nurani beberapa orang penegak hukum dalam memberikan pertimbangan 2 Koesnoe, 1979, Catatan-catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, hlm.12 2
hukum dalam kasus-kasus konkrit yang terkait dengan hak-hak mewaris wanita. 3 Pada saat sekarang ini tumbuh kesadaran dalam masyarakat untuk lebih memperhatikan kepentingan perempuan maupun meningkatkan status sosial perempuan, dapat dilihat bahwa dewasa ini para orang tua tidak membedakan pendidikan untuk anak laki-laki dan perempuan orang tua yang sudah modern memandang perlu meningkatkan pendidikan anak perempuannya, untuk bekalnya nanti setelah kawin disamping memberi bekal harta benda berupa emas, atau tanah sebagai harta bawaan kepada anak perempuannya yang kawin. Dibidang hukum adat, sebelum berlakunya Undang-Undang perkawinan ketentuan tentang harta benda perkawinan sebagai akibat terjadinya perceraian terutama terhadap harta perkawinan, berbeda-beda di berbagai daerah di Indonesia. Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal, sehingga budaya sangat besar pengaruhnya dalam menentukan hak istri terhadap harta perkawinan yang didalam hukum adat disebut dengan guna karya dan ada juga yang menyebut druwegabro. Pada tahun 1975 berlakulah Undang-Undang perkawinan (Undang-Undang No.1 Tahun 1974) yang dinyatakan berlaku secara efektif tahun 1975. Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan maka, berarti dibidang hukum perkawinan berlaku satu kesatuan hukum di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Mengingat hukum perkawinan ini terkait erat dengan bidang agama dan budaya, maka di dalam kenyataannya keanekaragaman hukum tetap berlaku. Oleh 3 Astiti, 2000, Hak-hak Wanita Bali dalam Hukum Adat Bali, Hukum dan Kemajemukan Indonesia, hlm. 318 3
karena itulah Hazairin yang mengatakan bahwa hukum perkawinan sebagai unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berke-tuhanan Yang Maha Esa. 4 Dibidang harta benda perkawinan Undang-Undang ini mengandung pula prinsip Hukum Adat seperti tercantum dalam pasal 35 yang mengenal adanya dua macam harta benda perkawinan yaitu : 1. Harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri, dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta perkawinan diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 Undang-Undang No.1 tahun 1974) sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukumhukum lainnya. Hal ini mendorong adanya perubahan serta perkembangan dalam perubahan hukum adat tentang pembagian harta perkawinan akibat perceraian. Apalagi adanya Undang-Undang No.7 Tahun 1984, yaitu Undang-Undang tentang konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Seyogyanya Undang-undang ini senantiasa dijadikan pertimbangan hukum oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa yang terkait dengan masalah perempuan. Oleh karena itu timbul keinginan penulis untuk melakukan penelitian mengenai hak untuk janda akibat perceraian baik dikalangan masyarakat Bali 4 Wantjik Saleh, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, hlm. 3 4
maupun di pengadilan dan oleh karena dalam masyarakat Bali dikenal adanya 2 bentuk perkawinan yaitu, perkawinan ngerorod dan nyeburin, maka penelitian ini konteks terhadap hak waris janda dalam perkawinan. Perkawinan ngerorod dapat diartikan yaitu dengan cara kawin lari bersama, dimana si laki dan wanita yang akan kawin, pergi bersamaan (biasanya secara sembunyi-sembunyi) meninggalkan rumahnya masing-masing dan bersembunyi pada keluarga lain (pihak ke III) dan mengatakan diri sedang ngerorod. Perkawinan seperti ini, umumnya tidak diketahui, orang tua pura-pura tidak tahu, karena perkawinan ngerorod persyaratan adatnya lebih ringan dari yang lain, cara ini dilakukan karena orang tua pihak perempuan tidak menyetujui hubungan antara anak perempuannya dengan laki-laki calon suaminya, atau karena keluarga pihak laki-laki tidak mampu bila menempuh cara perkawinan secara meminang serta alasan perbedaan wangsa. Bentuk perkawinan ini masih umum dilakukan di Bali, dan mereka yang melakukan tidak dapat dipersalahkan, asalkan syarat perkawinan umum sudah dipenuhi, misalnya tidak melanggar batas umur atau tidak ada unsur paksaan terhadap si gadis, walaupun perkawinan ngerorod ini dapat dibenarkan dalam pelaksanaannya tetap harus memperhatikan norma-norma adat perkawinan tersebut. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 5
a. Bagaimanakah bentuk dan pengelolaan harta dalam perkawinan memadik dan ngerorod di Desa Guwang Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar? b. Bagaimana hak mewaris janda pada perkawinan memadik dan ngerorod dalam kehidupan sehari-hari? B. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis setelah diadakan penelusuran kepustakaan lebih lanjut, ditemukan beberapa penelitian di bidang hukum adat. Penulisan tesis tersebut dapat diketahui bahwa dari segi tinjauan penelitian, perumusan masalah serta pembahasan yang ada berbeda dengan penulisan mengenai PENGELOLAAN HARTA DAN HAK WARIS JANDA DALAM PERKAWINAN ADAT BALI DI DESA GUWANG KECAMATAN SUKAWATI KABUPATEN GIANYAR PROVINSI BALI. Beberapa penelitian yang meneliti tentang bidang kenotariatan dan bidang hukum adat diantaranya : 1. Tesis berjudul PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN SECARA ADAT PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA SURAKARTA, disusun oleh Febbe Joesiaga, SH. Perumusan masalah : a. Bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan secara adat pada masyarakat Tionghoa di Kota Surakarta? b. Bagaimana cara penyelesaian sengketa pewarisan secara adat pada masyarakat Tionghoa di Kota Surakarta? 6
Kesimpulan : a. Pelaksanaan pembagian warisan secara adat pada masyarakat Tionghoa di Kota Surakarta adalah berdasarkan kesepakatan bersama keluarga (para ahli waris). Sedangkan dalam masyarakat Tionghoa peranakan yang terasimilasi adat setempat dalam hal ini adat Jawa, menganut sistem kekerabatan parental, dimana kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sama sehingga dalam pembagian waris hak anak laki-laki dan hak anak perempuan sama besarnya. b. Pada masyarakat Tionghoa di Kota Surakarta, jarang ada sengketa pewarisan. Jika ada sengketa, maka cara penyelesaian sengketa pewarisan secara adat pada masyarakat Tionghoa di Kota Surakarta adalah dengan cara musyawarah yang terbatas dalam lingkup keluarga, dan berusaha agar penyelesaiannya tidak dibawa ke tingkat pengadilan, karena masyarakat Tionghoa menganggap merupakan aib keluarga, jika sampai ada perselisihan antara sesama keluarga hanya gara-gara soal warisan. 2. Tesis berjudul PELAKSANAAN HUKUM WARIS ISLAM DALAM LINGKUNGAN ADAT MANDAILING GODANG (STUDI PADA MANDAILING GODANG KABUPATEN MADINA) disusun oleh Farida Hanum. Perumusan masalah : a. Bagaimana pelaksanaan hukum waris Islam pada masyarakat Mandailing Godang? 7
b. Apa sajakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan hukum waris Islam pada masyarakat Mandailing Godang? c. Bagaimana penyelesaian sengketa masalah harta warisan pada masyarakat Mandailing Godang? Kesimpulan : a. Pelaksanaan hukum waris pada masyarakat Mandailing Godang belum sepenuhnya berdasarkan hukum waris Islam. Dimana dalam menentukan objek harta warisan pada umumnya masih membedakan harta pusaka dan harta pencaharian sedangkan menurut hukum waris Islam objek harta warisan adalah ½ (setengah) dari harta pencaharian dan harta pusaka. Pada umumnya bagian para ahli waris masih berdasarkan hukum adat. Kalaupun ada bagian ahli waris berdasarkan hukum waris Islam, ayah dan Ibu belum termasuk ahli waris utama. Cara pembagian harta warisan pada umumnya langsung melaksanakan musyawarah. b. Hambatan pelaksanaan hukum waris Islam ada beberapa faktor, yaitu pertama, faktor adat yaitu masih berpegang pada hukum warisan adat dan kedua, kurangnya sosialisasi oleh pemuka adat tentang hukum warisan Islam di tengah-tengah masyarakat. c. Sedangkan cara penyelesaian jika terjadi sengketa yaitu dengan dua cara, yaitu pertama, cara musyawarah adat, tetapi tidak bersifat final dan kedua, dengan cara ke Pengadilan Agama. 8
3. Tesis berjudul PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT MASYARAKAT MALAMOI DI KABUPATEN SORONG, disusun oleh Irin Siam Musnita, SH. Perumusan masalah : a. Bagaimana proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Masyarakat Malamoi dalam rangka penyelesaian sengketa tanah? b. Hambatan-hambatan / kendala-kendala apa yang dihadapi dalam penyelesaian sengketa tanah di Kabupaten Sorong? c. Apa manfaat yang diperoleh dari pilihan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh masyarakat Malamoi. Kesimpulan : a. Penyelesaian sengketa tanah ulayat yang biasa digunakan oleh masyarakat Malamoi adalah penyelesaian sengketa secara alternatif dengan sebutan Liurai. Penyelesaian antara masyarakat sendiri ataupun pihak-pihak di luar anggota masyarakat hukum adat Malamoi yaitu dengan pendekatan sosial budaya melalui musyawarah yang biasanya dilakukan oleh masyarakat hukum adat Malamoi dalam menyelesaikan sengketa tanahnya melalui non litigasi dengan melibatkan Lembaga Masyarakat Adat, Tokoh Agama dan Fungsionaris Pemerintah. b. Dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah ulayat juga terdapat berbagai faktor yang menghambat jalannya proses penyelesaian sengketa alternative / non litigasi. Faktor-faktor penghambat tersebut dapat dibedakan menjadi 2 yaitu faktor internal yang disebabkan oleh faktor 9
temperamen, tingkat pendidikan, kedisiplinan, dan ketidakjelasan batasbatas tanah. Selain itu faktor penghambat lainnya adalah faktor eksternal yang berasal dari pihak ketiga baik yang berasal dari keluarga masyarakat Malamoi maupun pihak di luar para pihak yang bersengketa. c. Manfaat yang diperoleh dari pilihan penyelesaian sengketa tanah ulayat yang dilakukan oleh masyarakat Malamoi yaitu dilakukan dengan cara upacara adat Bakar Batu (Liurai / alternatif) tersebut sangat menguntungkan masyarakat adat suku Malamoi karena biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut relatif lebih murah dan waktu yang dibutuhkannya pun lebih singkat, selain itu juga merupakan suatu kebiasaan dalam lingkungan masyarakat Malamoi. C. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum adat. Karena hukum adat tersebut dinamis dan berlakunya terbatas pada masyarakat hukum tertentu, maka substansinya senantiasa berkembang sehingga memperkaya materi hukum adat yang telah ada. 2. Diharapkan nantinya dapat menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara aspek-aspek sosial lainya dengan hukum, begitu pula sebaliknya bahwa hukum dapat pula melakukan perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga bahan-bahan ini dapat menjadi masukan bagi pembuat Undang-Undang dalam pembaharuan hukum. 10
3. Diharapkan bermanfaat bagi masyarakat sebagai informasi bahwa yurisprudensi juga berperan untuk mengadakan perubahan sosial dalam hal ini melalui Putusan Pengadilan dapat dilihat adanya perkembangan terhadap hak perempuan Bali terhadap harta benda perkawinan sebagai akibat adanya perceraian, sehingga hal ini dapat dipakai pedoman oleh para praktisi hukum maupun aparat pemerintah serta prajuru desa pakraman di dalam menyelesaikan masalah-masalah perkawinan atau di dalam melaksanakan fungsinya sebagai hakim perdamaian desa. D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui & menganalisis bentuk dan pengelolaan harta dalam perkawinan menurut hukum adat Bali. 2. Untuk mengetahui & menganalisis perubahan-perubahan hak mewaris janda cerai hidup dan cerai mati pada perkawinan memadik dan ngerorod, dalam kehidupan sehari-hari. 11