BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB 2 PEMBAHASAN. Pembatalan akta..., Rony Fauzi, FH UI, 2010.

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. menyalin kedalam bahasa Indonesia, dengan kata lain belum ada kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. dibidang ekonomi merupakan salah satu yang mendapat prioritas utama

BAB III KERANGKA TEORI. Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Mempunyai sifat sistem terbuka,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. usaha kredit, yaitu berupa bunga dan provisi. Salah satu kegiatan usaha

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. hubungan antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak

Bab IV PEMBAHASAN. A. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Penyimpanan Barang di SDB pada

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. menjadi sebab lahirnya suatu perikatan, selain sumber lainya yaitu undangundang.jika

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu. mengatasi bahaya-bahaya yang dapat mengancam eksistensinya.

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia.

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Perjanjian Kredit Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala ketentuan umumnya didasarkan pada ajaran umum hukum perikatan yang terdapat dalam KUHPerdata. Ketentuan umum dalam KUH Perdata tersebut menjadi dasar atau asas umum yang konkrit dalam membuat semua perjanjian apapun. 14 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Bab I sampai dengan Bab IV Pasal 1319 menegaskan: Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Buku III Bab I dan Bab II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Setiap kredit yang disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Berkenaan dengan praktik perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan. Namun ada hal-hal yang tetap harus dipedomani, yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurangkurangnya harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit. 15 14 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Alfabeta, Bandung, 2004), hal. 68 15 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia. (PT. Citra Aditya Bakti:Bandung, 2000) hal. 385. 24

25 Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok yang bersifat riil. Sebagaimana perjanjian pokok lainnya, maka perjanjian jaminan adalah accessoir-nya. Ada atau berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah kreditur. 16 Kredit yang diberikan oleh bank sebagai kreditur kepada nasabahnya sebagai debitur selalu dilakukan dengan membuat suatu perjanjian. Mengenai bentuk perjanjian ini tidak ada bentuk yang pasti karena tidak ada peraturan yang mengaturnya, tetapi yang jelas perjanjian kredit selalu dibuat dalam bentuk tertulis dan mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Mengenai bentuk perjanjian kredit di dalam undang-undang tidak diatur secara jelas termasuk pula dalam Undang-Undang Perbankan tidak mengenal istilah perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian yang diadakan antara Bank dengan calon debitur untuk mendapatkan kredit dari bank. Perjanjian kredit merupakan perjanjian yang sangat penting dalam rangka penyaluran kredit dari bank sebagai kreditur kepada para debiturnya. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang keberadaannya tidak tergantung pada perjanjian-perjanjian lainnya, jadi perjanjian kredit merupakan perjanjian utama apalagi kalau dikaitkan dengan keberadaan perjanjian pemberian jaminan. Dilihat dari bentuknya, perjanjan kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract) yang telah disediakan 17 16 Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Cetakan 2. (Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2006), hal 71 17 Djuhaendah Hasan. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal. (Citra Aditya Bhakti: Bandung, 1996), hal 170

26 oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasanya disebut perjanjian baku (standard contract), dimana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar menawar. Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut, tetapi apabila debitur menolak ia tidak perlu untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut. Perjanjian kredit ini perlu memperoleh perhatian yang sangat khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan, dan penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu, perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: 18 a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok. b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak di antara kreditur dan debitur. c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah dapat disarankan untuk tidak digunakan meskipun secara teori diperbolehkan 18 Hermansyah, Op.Cit., hal. 72.

27 karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah di kemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun harus dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Kita menyimpan tabungan atau deposito di bank maka akan memperoleh buku tabungan atau bilyet deposito sebagai alat bukti. Berkenaan dengan pemberian kredit perlu dibuat perjanjian kredit sebagai alat bukti dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Perbankan. Dalam pasal ini terdapat kata-kata: penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam Pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis, namun dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi yang rapi, teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuktian tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis. Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti. Dikatakan salah satu bentuk akta karena masih banyak perjanjianperjanjian lain yang merupakan akta misalnya perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa dan lain-lain. Dalam praktek bank ada dua bentuk perjanjian kredit yaitu:

28 a. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dinamakan akta di bawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah mempersiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standar (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh bank termasuk jenis akta di bawah tangan. Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan oleh bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam formulir perjanjian kredit tidak pernah memperbincangkan atau dirundingkan atau dinegosiasikan dengan debitur. Calon debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau suka rela harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon debitur melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit, maka kreditur tidak akan menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan oleh lembaga bank itu sehingga bagi petugas bank pun tidak bisa menanggapi usulan calon debitur. Calon debitur menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon debitur dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit (posisi lemah) sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon debitur dapat menyetujui. Perjanjian kredit yang sudah disiapkan oleh bank dalam bentuk standar (standard form),

29 contohnya perjanjian kredit retail BRI, perjanjian kredit pemilikan rumah Bank Tabungan Negara (KPR-BTN) dan lain sebagainya. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notaris. Memang dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditur atau lebih dari satu bank) 19 Terdapat beberapa perbedaan kekuatan pembuktian mengenai perjanjian kredit yang dibuat oleh bank sendiri dinamakan akta di bawah tangan dan perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris dinamakan akta otentik atau akta notaril. Dalam kepustakaan hukum dikenal dua macam akta yaitu: a. Akta otentik Pasal 1868 KUHPerdata akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempatkan dimana akta dibuatnya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa disebut akta otentik apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 19 Dyah Kusumaningrum. Pelaksanaan Perjanjian Kredit yang Diikat dengan Jaminan Fidusia di PT Bank Eksekutif Internasional, Tbk Cabang Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro. Semarang, 2008, hal 33-34.

30 1) Akta yang dibuat dihadapan pegawai umum, yang ditunjuk oleh undangundang. 2) Bentuk akta ditentukan undang-undang dan cara membuatnya akta harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. 3) Di tempat dimana pejabat berwenang membuat akta tersebut. b. Akta di bawah tangan Akta-akta lain yang dibuat bukan akta otentik dinamakan akta di bawah tangan. Menurut Pasal 1874 KUHPerdata yang dimaksud akta di bawah tangan adalah surat atau tulisan yag dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti. Jadi sematamata dibuat antara para pihak yang berkepentingan. Dengan demikian semua perjanjian yang dibuat antara para pihak sendiri disebut akta di bawah tangan. Jadi akta di bawah tangan dapat dibuat oleh siapa saja, bentuknya bebas, terserah bagi para pihak yang membuat dan tempat membuatnya dimana saja diperbolehkan. Kemudian, yang terpenting bagi akta di bawah tangan itu terletak pada tanda tangan para pihak, hal ini sesuai ketentuan Pasal 1876 KUHPerdata yang menyebutkan: Barang siapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan (akta) di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tanda tangannya. Kalau tanda tangan sudah diakui maka akta di bawah tangan berlaku sebagai bukti sempurna seperti akta otentik bagi para pihak yang membuatnya. Sebaliknya jika tanda tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tanda tangan maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu harus berusaha mencari alat bukti lain yang membenarkan bahwa tanda tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri. Selama tanda tangan terhadap akta di

31 bawah tangan masih dipersengketakan kebenarannya, maka tidak mempunyai banyak manfaat yang diperoleh bagi pihak yang mengajukan akta di bawah tangan. 20 B. Asas-Asas Perjanjian Kredit Secara umum asas perjanjian ada lima, yaitu 21 : 1. Asas kebebasan berkontrak Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1337 dan Pasal 1338 KUH Perdata). Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang mengatur bahwa : semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan bagi para pihak untuk 22 : a. Membuat atau tidak membuat perjanjian b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan 20 Sutarno. Op.Cit., hal 101-102. 21 Salim H.S., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 9. 22 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian DiIndonesia, (Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2002), hal 44.

32 Keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. 2. Asas konsensualisme Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak 23. 3. Asas pacta sunt servanda Disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak selama tidak berlawanan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengatur : perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang 4. Asas iktikad baik Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) yang mengatur : 24. 23 Salim H.S., Op.Cit, hal 10. 24 Ibid, hal 11.

33 Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu 25 : a. Iktikad baik nisbi b. Iktikad baik mutlak Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan pada iktikad baik mutlak, peneliannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaianya tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. 5. Asas kepribadian (personalitas) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata mengatur : Pada umumnya seseorang tidak dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata mengatur bahwa : Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. 25 Ibid, hal 11-12

34 Namun ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang diintroduser dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang mengatur dapat pula perjanjian diadakan untuk pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat semacam itu. Pasal ini mengonstruksikan bahwa sesorang dapat mengadakan perjanjian untu kepentingan pihak ketiga dengan syarat yang ditentukan. Sedangkan didalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. C. Syarat-syarat Sah Perjanjian Kredit Salah satu sumber perikatan adalah perjanjian. Perjanjian melahirkan perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Adapun pengertian perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah sebagai berikut : perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Untuk membuat suatu perjanjian maka harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 3. Suatu hal tertentu ; 4. Suatu sebab yang halal

35 Dua syarat yang pertama mewakili syarat subjektif, yang berhubungan dengan subjek dalam perjanjian, dan dua syarat yang terakhir berhubungan dengan syarat objektif yang berkaitan dengan objek perjanjian yang disepakati oleh para pihak dan akan dilaksanakan sebagai prestasi atau utang dari para pihak. 26 Objek tersebut akan terwujud dalam prestasi yang mengakibatkan perjanjian harus dipenuhi atau utang harus dibayar salah satu pihak kepada pihak lainnya. a. Kesepakatan (toestemming) mereka yang mengikatkan diri Ketiadaan pemenuhan kedua syarat subjektif tersebut di atas membawa akibat perjanjian dapat diancam dengan kebatalan, dengan pengertian bahwa setiap saat dapat dimintakan pembatalannya. Hal tersebut secara tegas diatur dalam rumusan Pasal 1446 hingga Pasal 1450 KUHPerdata. Kesepakatan merupakan perwujudan dari kehendak para pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakannya. Sebelum suatu perjanjian dibuat, biasanya salah satu pihak terlebih dahulu melakukan suatu bentuk penawaran mengenai bentuk perjanjian yang akan dibuat kepada lawan pihaknya. Isi dari penawaran tersebut adalah kehendak salah satu pihak yang disampaikan kepada lawan pihaknya guna disetujui oleh lawan pihak tersebut. Apabila pihak lawan menerima penawaran itu, maka tercapailah kata sepakat antara para pihak tersebut. Dalam hal pihak lawan tidak menyetujui penawaran tersebut, maka pihak yang mengajukan penawaran tadi dapat mengajukan penawaran lagi yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi 26 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari Undang-Undang (:RajaGrafindo Perkasa, Jakarta,2005), hal. 53

36 atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Perjanjian konsensuil kesepakatan terjadi pada saat diterimanya penawaran terakhir yang diajukan. KUHPerdata menyatakan bahwa dalam perjanjian konsensuil dengan adanya kesepakatan maka lahirlah perjanjian yang pada saat bersamaan juga melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan sumber dari perikatan. Dengan lahirnya perikatan tersebut maka menimbulkan hak dan kewajiban antara debitur dengan kreditur. Pasal 1236 KUHPerdata menegaskan bahwa debitur wajib memberi penggantian berupa biaya, ganti rugi dan bunga dalam hal debitur itu tidak memenuhi apa yang telah diperjanjikan. Lahirnya kesepakatan harus didasari dengan adanya kebebasan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu sah apabila diberikan tidak karena kekhilafan, atau tidak dengan paksaan, ataupun tidak karena penipuan. Alasan karena kekhilafan dianggap tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian kecuali jika kekhilafan itu mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. 27 Begitupun juga jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut. 28 Kesepakatan tidak sah jika diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. 29 Alasan karena paksaan merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, termasuk jika paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga, untuk 27 I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, (Megapoin:Bekasi, 2004), hal. 47 28 R. Subekti & Tjitrosudibio, KItab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan 28 (Jakarta :Pradnya Paramita, 1996), Pasal 1322 ayat (1). 29 Ibid., Pasal 1323.

37 kepentingan siapa perjanjian itu dibuat. 30 Hal tersebut diatur dengan tegas dalam Pasal 1323 KUHPerdata, yang menunjuk pada subjek yang melakukan pemaksaan dalam perjanjian maupun orang yang tidak termasuk pihak dalam perjanjian tetapi memiliki kepentingan dengan perjanjian tersebut. Selanjutnya di dalam Pasal 1324 KUHPerdata dijelaskan bahwa suatu paksaan telah terjadi jika perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan orang yang berpikiran sehat, dan jika perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. 31 Berdasarkan ketentuan Pasal 1324 dan Pasal 1326 KUHPerdata dapat diketahui bahwa paksaan tersebut terwujud dalam dua bentuk yaitu : 1) Paksaan fisik, dalam hal ini yaitu kekerasan; 2) Paksaan psikis, dalam hal ini kejiwaan; Di samping itu, hal-hal yang dipaksa tersebut adalah : jiwa dari subjek hukum, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1325 KUH-Perdata. Paksaan yang mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan, tidak saja paksaan yang ditujukan kepada salah satu pihak yang membuat perjanjian itu, tetapi paksaan terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah juga dapat diartikan sebagai paksaan yang dapat mengakibatkan perjanjian dibatalkan. 32 Pembatalan perjanjian karena adanya paksaan yang para pihaknya adalah suami istri dan keluarga tersebut dinyatakan dalam Pasal 1325 KUHPerdata. Pembatalan suatu perjanjian berdasarkan pemaksaan tidak dapat dituntut jika perjanjian itu dikuatkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam atau jika 30 Ibid., Pasal 1321. 31 Ibid., Pasal 1324 ayat (1). 32 Ibid., Pasal 1325

38 seorang melampaui waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dipulihkan seluruhnya. 33 Alasan karena paksaan tidak sah jika dilakukan oleh orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, dan orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 34 Alasan karena penipuan, dianggap ada jika tipu-muslihat yang dipakai salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak akan membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat itu. Dalam tindak penipuan terdapat unsur kesengajaan salah satu pihak supaya pihak lawan sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam perjanjian. Penipuan itu tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. 35 Pihak yang membuktikan dalam hal ini adalah pihak yang ditipu apakah benar pihak lawan telah melakukan penipuan dalam perjanjian yang telah mereka sepakati. Alasan karena penipuan tidak sah jika tidak memuat barang yang dapat diperjanjikan. Barang yang dimaksud yaitu barang yang dapat diperdagangkan. Dalam perjanjian, barang harus disebutkan jenisnya. 36 Konteks yang demikian, ketidaksahan perjanjian disebabkan kesepakatan yang lahir secara tidak bebas, mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Ada dua kemungkinan yang terjadi dalam hal syarat perjanjian tersebut tidak terpenuhi. 33 Ibid., Pasal 1327. 34 Ibid., Pasal 1330 35 Ibid., Pasal 1328 36 Ibid., Pasal 1332

39 (a) Kemungkinan pertama adalah pembatalan atas perjanjian tersebut yang pembatalannya dimintakan kepada hakim atau melalui pengadilan. Ini yang disebut dapat dibatalkan. (b) Kemungkinan kedua adalah perjanjian itu batal dengan sendirinya, artinya batal demi hukum. 37 b. Kecakapan (bekwaamheid) untuk membuat suatu perjanjian Selain kesepakatan para pihak, juga ada syarat subjektif lainnya yaitu kecakapan para pihak dalam perjanjian. Setiap orang yang sudah dewasa dan memiliki pikiran yang sehat adalah cakap menurut hukum. Kedewasaan tersebut menurut Pasal 330 KUH-Perdata yaitu sudah berumur 21 tahun atau telah menikah. Dengan demikian orang-orang yang belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah dan pernikahannya tersebut putus maka orang itu tidak akan kembali kedalam keadaan belum dewasa. Seseorang yang pernah menikah meskipun usianya belum genap 21 tahun tetap dianggap sebagai orang dewasa. Dengan dewasanya seseorang maka ia dianggap cakap (bekwaam, capable) untuk melakukan perbuatan hukum seperti perjanjian, membuat wasiat, menikah dan lain-lain. Cakap disini menurut hukum seseorang memiliki kewenangan untuk melakukan suatu tindakan hukum, baik untuk dan atas namanya sendiri yang berkaitan dengan kecakapanya bertindak dalam hukum, kewenangan bertindak selaku kuasa dari orang lain, yang tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Bab XVI KUHPerdata dan kewenangan bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali dari pihak lain. Melakukan tindakan hukum untuk kepentingan orang lain disini 37 I. G. Rai Widjaya, Op. cit., hal. 47

40 misalnya kewenangan seorang direksi untuk mewakili suatu badan hukum atau Perseroan Terbatas (PT). Pasal 1329 KUHPerdata dikatakan, bahwa setiap orang adalah cakap (bevoegd) untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. 38 Kecakapan bertindak menunjuk kepada kewenangan yang umum, kewenangan umum untuk menutup perjanjian lebih luas lagi, untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya sedangkan kewenangan bertindak menunjuk kepada yang khusus, kewenangan untuk bertindak dalam peristiwa yang khusus. Kewenangan hanya menghalang-halangi untuk melakukan tindakan hukum 39 tertentu. 40 Orang yang dinyatakan tidak cakap adalah orang yang secara umum cakap untuk bertindak, tetapi untuk hal-hal tertentu tidak. 41 Orang yang tidak cakap untuk bertindak adalah pasti orang yang tak cakap, sedang orang yang tak cakap adalah orang yang pada umumnya cakap untuk bertindak, tetapi pada peristiwa tertentu tidak dapat melaksanakan tindakan hukum, dalam hubungannya, tidak cakap menutup perjanjian tertentu (secara sah). 42 Dengan demikian, kata kewenangan dalam Pasal 1329 KUHPerdata yang tertuju kepada kewenangan umum, harus dibaca kecakapan sedang Pasal 1330 sub 3 anak kalimat terakhir, kata kecakapan bertindak yang tertuju kepada kewenangan khusus harus dibaca kewenangan bertindak. 43 Pasal 1330 KUHPerdata telah menentukan siapa saja para pihak yang tidak cakap, yaitu : 1) orang-orang yang belum dewasa; 2) mereka yang ditaruh di 38 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian Buku II, cet. 1, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995), hal. 2. 39 Ibid. 40 Ibid., hal. 3. 41 Ibid., hal. 3. 42 Ibid., hal. 3. 43 Ibid., hal..3

41 bawah pengampuan; 3) orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang untuk membuat perjanjian tertentu. 44 Akan tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka istri adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum, termasuk perjanjian. Adanya pihak-pihak yang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya berkaitan dengan masalah kehendak, bukan atas dasar kenyataan. Pihak-pihak yang belum dapat menyatakan kehendaknya dengan sempurna dalam arti belum dapat menyadari sepenuhnya akibat hukum dari pernyataan kehendaknya tersebut. Atas tindakan hukum pihak-pihak yang tidak cakap tersebut maka tidak dapat mengakibatkan akibat hukum sebagaimana mestinya. Dengan perkataan lain, dalam hal adanya ketidakcakapan berbeda dengan adanya paksaan atau penipuan yang mengakibatkan seseorang untuk melakukan perjanjian. Pihak-pihak yang dipaksa atau ditipu merupakan orang-orang yang memang cakap untuk melakukan tindakan hukum dan mengerti akibat hukum dari pernyataan kehendak tersebut sedangkan orang-orang yang tidak cakap adalah orang-orang yang tidak mengerti mengenai akibat hukum dari pernyataan kehendak mereka sendiri. Ketidakcakapan untuk melakukan perbuatan hukum termasuk dalam syarat subjektif perjanjian. Hal ini disebabkan kesepakatan dan kecakapan menyangkut subjek yang membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum yang terjadi dengan dilanggarnya syarat tersebut mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (Voidable). Sehingga jika para pihak yang tidak keberatan dengan pelanggaran 44 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Cet I, (Gitama Jaya:Jakarta, 2005), hal. 142.

42 syarat subjektif ini dan tidak melakukan upaya pembatalan perjanjian melalui Pengadilan, maka perjanjian tersebut tetap sah. Mengenai pembatalan tersebut, KUHPerdata Pasal 1454 memberikan jangka waktu yaitu selama 5 tahun atau dalam hal ketidakcakapan maka jangka waktunya tidak harus menunggu 5 tahun tetapi sejak orang yang tidak cakap tersebut menjadi cakap menurut hukum. Oleh karena itu, untuk melakukan tindakan hukum pihak yang belum dewasa diwakili oleh walinya. 45 Terhadap pihak-pihak yang tidak sehat pikirannya diwakili oleh pengampunya karena dianggap tidak dapat melakukan tindakan hukum sendiri. c. Mengenai suatu hal tertentu Untuk menimbulkan kepastian maka setiap perjanjian harus mencantumkan secara jelas dan tegas apa yang menjadi objek perjanjian. Ketegasan objek perjanjian tersebut dapat diartikan bahwa objek perjanjian dapat dihitung dan dapat ditentukan jenisnya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1333 KUHPerdata yang berbunyi : Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Berdasarkan rumusan Pasal 1333 KUHPerdata tersebut di atas menjelaskan bahwa semua jenis perjanjian pasti melibatkan keberadaan dari suatu kebendaan tertentu. Pada perikatan untuk memberikan sesuatu, maka benda yang diserahkan tersebut harus dapat ditentukan secara pasti. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUHerdata, hal yang wajib dilakukan oleh satu pihak dalam perikatan tersebut (debitur) pastilah juga berhubungan dengan 45 Syahmin AK., Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 2006), hal. 14.

43 suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud. 46 Dalam hal perjanjian penanggungan utang, hak tagih kreditur merupakan kebendaan yang harus dapat ditentukan terlebih dahulu. Alasannya karena pada perjanjian penanggungan utang, kewajiban pihak penanggung adalah menanggung utang debitur, dimana penanggung akan memenuhi kewajiban debitur dan ia mendapat hak tagih dari kreditur terhadap debitur. Selanjutnya dalam perikatan untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata, juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau tidak diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. 47 Dengan demikian menurut KUHPerdata, kebendaan yang dapat dijadikan objek dari perjanjian adalah telah ditentukan jenisnya. Apabila ditinjau dari Pasal 1332 KUHPerdata, maka benda yang dapat menjadi pokok perjanjian adalah benda-benda yang dapat diperdagangkan atau kebendaan yang masuk dalam lapangan hukum harta kekayaan. Adapun bunyi Pasal 1332 KUHPerdata tersebut adalah sebagai berikut : Hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian. Benda-benda yang berada di luar lapangan hukum harta kekayaan, terutama dalam Buku II KUHPerdata tentang Kebendaan, tidak dapat menjadi pokok perjanjian. Hal tersebut disebabkan benda-benda itu tidak termasuk dalam rumusan Pasal 1131 KUHPerdata, oleh karena itu tidak dapat dijadikan jaminan pelunasan suatu perikatan. 46 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., hal. 156. 47 Ibid., hal. 158.

44 Selanjutnya Pasal 1334 KUHPerdata menegaskan bahwa hanya seseorang yang dapat berbuat bebas dengan kebendaan yang menjadi pokok perjanjian saja yang dapat membuat perjanjian yang mengikat kebendaan tersebut. 48 Akan tetapi undang-undang melarang barang-barang yang akan ada untuk dijadikan objek dalam perjanjian sekalipun barang tersebut ada dalam warisan yang belum dibuka. Alasannya tidak adanya kepastian bahwa benda yang diwariskan itu menjadi milik dari orang yang akan membuat perjanjian tersebut. Bahkan Pasal 178 ayat (2) KUHPerdata menyatakan bahwa suatu hibah yang diberikan sebelum pemberi hibah meninggal akan menjadi gugur apabila pemberi hibah hidup lebih lama, juga dari anak-anak dan keturunan penerima hibah. Dengan demikian sesuatu yang belum pasti tidak dapat dijadikan objek dalam suatu perjanjian. Pasal 1471 hingga 1472 KUHPerdata mengatur mengenai barang-barang yang dapat diperjualbelikan. Pasal 1471 KUHPerdata menyatakan bahwa : Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain. Pasal 1472 KUH-Perdata menyatakan bahwa : jika ada saat penjualan, barang yang dijual telah musnah sama sekali, maka pembelian adalah batal. Jika yang musnah hanya sebagian saja maka pembeli leluasa untuk membatalkan pembelian atau menuntut bagian yang masih ada serta menyuruh menetapkan harganya menurut penilaian yang seimbang. Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa dalam jual beli, maka objek jual beli tersebut harus ada pada saat jual beli dilaksanakan. 48 Ibid., hal. 159

45 d. Suatu sebab yang halal Selain harus memenuhi ketiga syarat tersebut di atas, maka untuk sahnya perjanjian para pihak juga harus memuat alasan atau sebab yang halal kenapa perjanjian itu dibuat. Mengenai sebab yang halal ini diatur dalam Pasal 1335 hingga 1337 KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa : suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. Selanjutnya mengenai pengertian sebab tersebut tidak dijelaskan lebih terperinci dalam KUHPerdata. Akan tetapi Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa sebab yang halal itu adalah : 1. bukan tanpa sebab; 2. bukan sebab yang palsu 3. bukan sebab yang terlarang. Pada dasarnya hukum hanya memperhatikan apa yang tertulis dalam suatu perjanjian, mengenai segala sesuatu yang wajib dipenuhi oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Dengan kata lain, hukum tidak memperhatikan apa alasan dari subjek hukum untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan lebih lanjut bahwa suatu perjanjian yang dibuat para pihak adalah sah jika tidak bertentangan dengan sebab yang dilarang. Selanjutnya Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan sebab yang halal maksudnya adalah isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di sini adalah undang-undang yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum. 49 49 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. 2, (Pustaka Sinar Harapan: Jakarta,1996), hal. 99

46 Berbeda dengan syarat pertama dan syarat kedua, syarat ketiga dan syarat keempat merupakan syarat objektif memiliki akibat hukum dimana perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Tidak memiliki kekuatan hukum itu sejak semula dan tidak mengikat para pihak yang membuat perjanjian atau biasa disebut dengan batal demi hukum (null and void). Akibat batal demi hukumnya perjanjian, maka salah satu pihak tidak dapat mengajukan tuntutan melalui pengadilan untuk meminta pemenuhan prestasi dari pihak lain. Hal tersebut disebabkan perjanjian itu tidak melahirkan hak dan kewajiban yang mempunyai akibat hukum. Dengan demikian, untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi keempat syarat tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan dan apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum. D. Berakhirnya Perjanjian Kredit Pasal 1381 KUHPerdata mengatur cara hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Namun pada prakteknya hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit lebih banyak disebabkan: 50 1. Pembayaran Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda, maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitur. 2. Subrogasi (subrogatie) Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan kemungkinan pembayaran (pelunasan) utang dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak 50 Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, (Citra Aditya Bakti, 2001), hal 279.

47 berpiutang (kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur oleh pihak ketiga. 3. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan atau dalam bahasa Belanda dinamakan consignatie. Prestasi debitur dengan melakukan pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan dapat mengakhiri atau menghapuskan perjanjian. 4. Pembaruan utang (novasi) yaitu dibuatnya perjanjian kredit yang baru untuk atau sebagai pengganti perjanjian kredit yang lama. Sehingga dengan demikian yang hapus atau berakhir adalah perjanjian kredit yang lama. Dalam Pasal 1413 KUHPerdata disebutkan ada 3 (tiga) cara untuk terjadinya inovasi yaitu : a) Membuat perjanjian baru yang bertujuan mengganti kreditur lama dengan kreditur baru. b) Membuat perjanjian baru yang bertujuan mengganti debitur lama dengan debitur baru. c) Membuat perjanjian baru yang bertujuan untuk memperbaharui atau merubah objek atau isi perjanjian. Pembaharuan objek perjanjian ini terjadi jika kewajiban tertentu dari debitur diganti dengan kewajiban lain. 5. Perjumpaan hutang (kompensasi). Kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masingmasing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada diantara kedua utang tersebut.

48 6. Percampuran hutang terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur bersatu pada satu orang, maka demi hukum atau otomatis suatu percampuran utang terjadi dan perjanjian ini menjadi hapus atau berakhir. Contoh terjadinya pernikahan antara kreditur dan debitur dan ada persatuan harta pernikahan maka terjadi percampuran hutang. 7. Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum yang dilakukan kreditur dengan menyatakan secara tegas tidak menuntut lagi pembayaran hutang dari debitur. Artinya kreditur memberitahukan secara lisan atau tertulis kepada debitur bahwa kreditur membebaskan kepada debitur untuk tidak membayar lagi hutangnya. Jadi pembebasan hutang ini dapat dilakukan secara sepihak yang berupa pernyataan atau pemberitahuan tertulis kepada debitur yang isinya kreditur membebaskan hutangnya dan debitur menerima pemberitahuan itu atau membalas surat kreditur yang menyetujui pembebasan hutang tersebut. 8. Musnahnya barang yang terhutang. Apabila barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, hilang, tidak dapat lagi diperdagangkan, sehingga barang itu tidak diketahui lagi apakah barang itu masih ada atau tidak maka perjanjian menjadi hapus asal musnahnya barang, hilangnya barang bukan kesalahan debitur dan sebelum debitur lalai menyerahkan barangnya kepada kreditur. Apabila debitur dibebaskan untuk memenuhi perjanjian yang disebabkan peristiwa musnahnya atau hilangnya barang, namun jika debitur mempunyai hak-hak berkaitan dengan barang yang musnah atau hilang, misalnya hak asuransi atas barang tersebut maka debitur diwajibkan menyerahkan kepada kreditur.

49 9. Pembatalan perjanjian. Jika syarat subjektif (sepakat dan cakap) tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan artinya para pihak dapat menggunakan hak untuk membatalkan atau tidak menggunakan hak untuk membatalkan. Bila syarat objektif (objek tertentu dan sebab yang halal) tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya perjanjian itu sejak semula dianggap tidak pernah ada jadi tidak ada perikatan hukum yang dilahirkan. Meskipun syarat-syarat subjektif dan syarat objektif dalam perjanjian telah dipenuhi, perjanjian juga dapat dibatalkan oleh salah satu pihak jika salah satu pihak dalam perjanjian tersebut melakukan wanprestasi Pasal 1266 KUHPerdata. Akibat hukum suatu perjanjian dibatalkan karena syarat subjektif dan syarat objektif dalam perjanjian tidak dipenuhi atau karena dibatalkan salah satu pihak karena wanprestasi yaitu: a. Hak dan kewajiban para pihak kembali kepada keadaan semula sebelum adanya perjanjian. b. Para pihak harus mengembalikan hak-hak yang telah dinikmati misalnya debitur yang telah menerima uang pinjaman maka debitur segera mengembalikan sebesar uang yang diterimanya. Pembeli yang telah menerima barangnya segera mengembalikan barangnya. Penjual yang telah menerima pembayaran segera mengembalikan uang Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUHPerdata. c. Berlakunya suatu syarat batal perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang lahirnya atau berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa itu masih belum tentu terjadi. Suatu perikatan yang lahirnya digantungkan dengan terjadinya suatu peristiwa dinamakan

50 perikatan dengan syarat tangguh. Apabila syarat batal dipenuhi maka akan menghentikan perjanjian itu dan membawa kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada perjanjian, akibatnya semua pihak dalam perjanjian itu harus mengembalikan ke dalam keadaan semula. Misalnya, seorang yang berutang telah menerima uangnya, dan kreditur menerima jaminannya, maka si berutang harus mengembalikan hutangnya dan kreditur memberikan dokumen jaminannya Pasal 1265 KUHPerdata.