PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan LAKI-LAKI PEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN. penduduk, dan sekaligus menambah jumlah penduduk usia lanjut. Indonesia

MODEL PREDIKSI TINGGI BADAN LANSIA ETNIS JAWA BERDASARKAN TINGGI LUTUT, PANJANG DEPA, DAN TINGGI DUDUK FATMAH

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya umur harapan hidup ini mengakibatkan jumlah penduduk lanjut usia meningkat pesat

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas hidup manusia, baik kemajuan dalam bidang sosioekonomi

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi energi pada kelompok umur 56 tahun ke atas yang. mengkonsumsinya di bawah kebutuhan minimal di provinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT kemudian dapat digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran antropometri terdiri dari body mass index

BAB I PENDAHULUAN. Perhitungan indeks masa tubuh (IMT) pada pasien penyakit ginjal

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur. diperkirakan akan meningkat pada tahun 2025 yaitu 73,7 tahun.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tidak langsung dapat meningkatkan angka usia harapan hidup. Di tahun

BAB I PENDAHULUAN. dari sepuluh masalah kesehatan utama di dunia dan kelima teratas di negara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Kemajuan

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

dan rendah serat yang menyebabkan pola makan yang tidak seimbang.

BAB I PENDAHULUAN. diriwayatkan Nabi R. Al-Hakim,At-Turmuzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban: minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi adalah faktor risiko untuk stroke dan. myocard infarct(mi) (Logmore, 2010).Hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara di dunia. Keadaan ini dapat berupa defisiensi makronutrien,

BAB I PENDAHULUAN. epidemiologi di Indonesia. Kecendrungan peningkatan kasus penyakit

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. tidak adanya insulin menjadikan glukosa tertahan di dalam darah dan

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu studi telah menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor

BAB I PENDAHULUAN. anak dan remaja saat ini sejajar dengan orang dewasa (WHO, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. masalah ganda (Double Burden). Disamping masalah penyakit menular dan

BAB I PENDAHULUAN. Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al

BAB I PENDAHULUAN. yang serius dan merupakan penyebab yang penting dari angka kesakitan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB 1 : PENDAHULUAN. penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Salah satu indikator

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus dapat menyerang warga seluruh lapisan umur dan status

BAB I PENDAHULUAN. setelah diketahui bahwa kegemukan merupakan salah satu faktor risiko. koroner, hipertensi dan hiperlipidemia (Anita, 1995).

BAB I PENDAHULUAN. adalah diabetes melitus (DM). Diabetes melitus ditandai oleh adanya

KOMPOSISI TUBUH LANSIA I. PENDAHULUAN II.

BAB I PENDAHULUAN. tercermin dari semakin meningkatnya jumlah penduduk lansia (lanjut usia)

I. PENDAHULUAN. usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, berarti semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Osteoporosis merupakan kondisi atau penyakit dimana tulang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. orang didunia adalah 66 tahun, pada tahun 2012 naik menjadi 70 tahun dan pada

BAB I PENDAHULUAN. tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan. Penurunan tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya.

BAB I PENDAHULUAN. tetapi kurang serat (Suyono dalam Andriyani, 2010). Ketidakseimbangan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa

2016 GAMBARAN PENGETAHUAN WANITA LANJUT USIA TENTANG DIET HIPERTENSI DI PANTI SOSIAL TRESNA WREDHA BUDI PERTIWI BANDUNG.

BAB I PENDAHULUAN. Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 2. Peningkatan kasus Penyakit Tidak Menular (PTM), yang merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. atau tekanan darah tinggi (Dalimartha, 2008). makanan siap saji dan mempunyai kebiasaan makan berlebihan kurang olahraga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah metode sederhana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan salah satu aspek yang menentukan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan lain. Gizi lebih dan. nama Sindrom Dunia Baru New World Syndrome.

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi

BAB I PENDAHULUAN. jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Menurut World

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan bagian dari sindroma metabolik. Kondisi ini dapat menjadi faktor

BAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit asam urat atau biasa dikenal sebagai gout arthritis merupakan

BAB I PENDAHULUAN. makronutrien maupun mikronutrien yang dibutuhkan tubuh dan bila tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. berfungsi mempermudah manusia dalam kehidupan sehari hari,

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Karakteristik kasus menopause..., Herdiana Christanty Sihombing, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan yang belum dapat diselesaikan oleh negara-negara maju. dan berkembang di dunia. Studi pada tahun 2013 dari Institute for

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD) merupakan penyebab utama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan zaman mengakibatkan adanya pergeseran jenis

BAB I PENDAHULUAN. Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang pada tahap awal belum

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun sosial. Perubahan fisik pada masa remaja ditandai dengan pertambahan

BAB I PENDAHULUAN. jaringan yang paling kering, memiliki kandungan H 2 O hanya 10%. Karena itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. negara agraris yang sedang berkembang menjadi negara industri membawa

BAB I PENDAHULUAN. Tubuh manusia terkomposis atas jaringan lemak yang. relatif sama, namun perbedaan lokasi deposisi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. tulang ditentukan oleh tingkat kepadatannya. Penurunan massa tulang akan terus

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit yang cukup banyak mempengaruhi angka kesakitan dan angka. kematian yang terjadi di kawasan Asia Tenggara (WHO, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. begitu pula dengan permasalahan kardiovaskuler dan DM (Marliyanti, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tahun. Menurut data dari Kementerian Negara Pemberdayaan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit tidak menular (noncommunicable diseases)seperti penyakit jantung,

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Data

BAB I PENDAHULUAN. diseluruh dunia baik di negara berkembang maupun negara yang sedang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun(rahayu, 2014). Menurut

BAB 1 : PENDAHULUAN. kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Gizi lebih yang terjadi pada remaja,

BAB 1. Pendahuluan UKDW. berumur lebih dari 20 tahun mengalami overweight (BMI menurut WHO 25

BAB 1 PENDAHULUAN. transisi epidemiologi. Secara garis besar proses transisi epidemiologi adalah

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Penuaan populasi (population ageing) atau peningkatan proporsi penduduk usia tua (di atas 60 tahun) dari total populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut usia terhadap total penduduk dunia akan naik dari 10% pada Tahun 1998 menjadi 15 persen pada Tahun 2025, dan meningkat hampir mencapai 25 persen pada Tahun 2050 (UNFPA 2007). Populasi penduduk lanjut usia (lansia) di Asia dan Pasifik meningkat dengan pesat dari 410 juta di Tahun 2007 menjadi 733 juta di Tahun 2025, dan diprediksi menjadi 1,3 trilyun pada Tahun 2050 (Macao 2007). Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga mengalami peningkatan populasi penduduk lansia dari 4,48% di Tahun 1971 (5,3 juta jiwa) menjadi 9,77% di Tahun 2010 (23,9 juta jiwa). Bahkan pada Tahun 2020 diprediksi akan terjadi ledakan jumlah penduduk lansia sebesar 11,34% atau sekitar 28,8 juta jiwa (Makmur 2006). Indonesia termasuk negara kelima yang akan memiliki populasi lansia terbesar setelah Cina, India, Amerika Serikat, dan Meksiko (WHO 2002). Indonesia dengan 1000 kelompok etnis dan sub-etnis adalah negara yang lebih besar daripada Malaysia dan Singapura. Issue penuaan di Indonesia bervariasi menurut kelompok wilayah dan etnis. Proporsi penuaan di beberapa propinsi dan kabupaten lebih besar daripada di Indonesia secara keseluruhan. Contohnya adalah 8,5% di Propinsi Yogyakarta; 10,65% di Kabupaten Gunung Kidul; 10,01% di Kabupaten Wonogiri; dan 10,13% di Kabupaten Magetan (Aris, Evi, dan Bakhtiar 2005). Perempuan menempati proporsi terbesar lansia di dunia dan di kebanyakan negara di dunia. Saat ini, hampir 60 persen penduduk lansia Indonesia adalah perempuan dan proporsi ini diduga terus meningkat menjadi 64% pada Tahun 2030 (UNFPA 2007). Fenomena peningkatan jumlah lansia terjadi karena beberapa faktor yaitu perbaikan status kesehatan akibat kemajuan teknologi dan pelayanan kedokteran, transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju penyakit degeneratif, perbaikan status gizi yang ditandai peningkatan kasus obesitas dibandingkan kasus gizi

2 kurang (underweight), peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH) dari 45 tahun di awal tahun 1950 menjadi usia 65 tahun pada saat ini, pergeseran gaya hidup dari urban rural lifestyle ke arah sedentary urban lifestyle, dan peningkatan pendapatan per-kapita sebelum krisis moneter melanda Indonesia (Makmur 2006). Peningkatan jumlah lansia mempengaruhi aspek kehidupannya melalui perubahan-perubahan fisik, biologis, psikologis, dan sosial atau munculnya penyakit degeneratif akibat proses penuaan tersebut. Salah satu jenis penyakit degeneratif yang banyak dialami oleh lansia adalah osteoporosis. Osteoporosis mempengaruhi penurunan tinggi badan pada lansia wanita karena gejala paling umum pada osteoporosis adalah retak/patah tulang, tubuh bungkuk, kehilangan tinggi badan, dan sakit punggung (Takao 2001). Hasil analisis data Densitas Mineral Tulang (DMT) di 16 wilayah di Indonesia hasil kerjasama antara Puslitbang Gizi Bogor dengan PT. Fonterra Brands Indonesia pada Tahun 2005 menemukan bahwa makin lanjut usia makin tinggi proporsi osteoporosis. Prevalensi osteoporosis lansia perempuan lebih besar daripada laki-laki (Abas & Sri 2006). Selain masalah penyakit degeneratif seperti osteoporosis, malnutrisi juga menjadi masalah kesehatan masyarakat pada lansia saat ini yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Penilaian status gizi lansia dapat dilakukan dengan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) dari perhitungan tinggi badan dan berat badan. Namun untuk memperoleh pengukuran tinggi badan yang tepat pada lansia cukup sulit dilakukan karena masalah postur tubuh, kerusakan spinal, kelainan kifosis dan skoliosis, serta kelumpuhan yang menyebabkan lansia harus duduk di kursi roda atau di tempat tidur. Beberapa penelitian menunjukkan perubahan tinggi badan lansia sejalan dengan peningkatan usia dan efek beberapa penyakit seperti osteoporosis. Perubahan struktur tulang akan terjadi pada tulang-tulang punggung (vertebrae), struktur jaringan pengikat dan tulang rawan (fibrosa post-chondralis) yang akan mengubah kurvatura tulang punggung menjadi lebih melengkung (discus invertebralis), dan posisi akan menjadi bungkuk (Darmojo & Hadi 1999). Sebagian besar fungsi-fungsi fisiologis tubuh berhubungan secara allometri dengan massa tubuh. Allometri digunakan untuk menggambarkan hubungan antar bagian-bagian atau organ dalam tubuh manusia. Tubuh manusia memiliki ukuran-

3 ukuran bentuk linier proportional yang bervariasi sesuai jenis kelamin dan tingkat pertumbuhan. Perkiraan tinggi badan dapat diperoleh dari persamaan regresi yang tingkat keakuratannya dipengaruhi oleh pola dan hubungan yang proporsional antara berbagai ukuran bagian tubuh, yang dikenal dengan konsep allometri. Model allometri memberikan prediksi fungsi fisiologi tubuh manusia yang lebih akurat karena memanfaatkan hubungan antara struktur tubuh yang homolog pada bagian kiri dan kanan tubuh, dan menghilangkan variabel-variabel perancu (Sorg 2005). Tinggi badan prediksi lansia dapat diperoleh dari prediktor tinggi lutut (knee height), panjang depa (arm span), dan tinggi duduk (sitting height). Tinggi lutut dapat digunakan untuk melakukan estimasi tinggi badan lansia dan orang cacat. Proses penuaan tidak mempengaruhi panjang tulang di tangan, kaki, dan tinggi tulang vertebral. Panjang depa relatif kurang dipengaruhi oleh penambahan usia. Pada kelompok lansia terlihat adanya penurunan nilai panjang depa yang lebih lambat dibandingkan dengan penurunan tinggi badan sehingga dapat disimpulkan bahwa panjang depa cenderung tidak banyak berubah sejalan penambahan usia. Panjang depa direkomendasikan sebagai parameter prediksi tinggi badan, tetapi tidak seluruh populasi memiliki hubungan 1:1 antara panjang depa dan tinggi badan. Tinggi duduk juga dapat memprediksi tinggi badan lansia, tetapi cenderung menurun seiring penambahan usia. Selanjutnya prediksi tinggi badan lansia dianggap sebagai indikator yang cukup valid dalam mengembangkan indeks antropometri, dan melakukan interpretasi pengukuran komposisi tubuh. Beberapa penelitian tentang pengembangan model prediksi tinggi badan lansia telah dilakukan selama ini. Salah satunya adalah penggunaan parameter tinggi lutut oleh Chumlea. Formula ini diperuntukkan bagi kaum Caucasian (Kaukasoid) dan setelah melalui beberapakali pengukuran tinggi lutut lansia ditemukan adanya prediksi nilai yang terlalu tinggi (overestimate). Myers et al. (1985) membuktikan bahwa persamaan Chumlea menimbulkan kesalahan sistematik (systematic error) saat diterapkan pada penduduk lansia Jepang- Amerika (Shahar & Pooy 2003). Alasan yang melatarbelakangi pentingnya suatu studi pengembangan model prediksi tinggi badan lansia di Indonesia adalah studi pengukuran tinggi lutut

4 sebagai prediktor tinggi badan lansia telah banyak dilakukan pada populasi lansia Amerika Utara dan Eropa. Sementara studi tentang validasi model persamaan Chumlea bagi penduduk lansia Indonesia masih amat terbatas. Salah satunya dilakukan oleh Oktavianus et al. (2005) pada 150 lansia di DKI Jakarta. Penggunaan model regressi Chumlea menunjukkan adanya estimasi yang lebih tinggi (over-estimate) pada lansia wanita yaitu ada perbedaan tinggi badan 0,9 cm daripada tinggi badan sebenarnya (p = 0,002). Sementara studi validasi persamaan Chumlea yang dilakukan oleh Fatmah Tahun 2005 terhadap 217 lansia di DKI Jakarta dan Tangerang menunjukkan bahwa prediksi tinggi badan menggunakan tinggi lutut pada lansia pria dengan persamaan Chumlea sedikit lebih rendah 1 cm daripada hasil pengukuran tinggi badan sebenarnya. Perbedaan nyata ditunjukkan pada kelompok lansia wanita sebesar 2 cm ( p < 0,05). Alasan lain yang mendorong perlunya dilakukan suatu penelitian pengembangan model prediksi tinggi badan lansia di Indonesia adalah hingga saat ini Departemen Kesehatan RI belum memiliki rumus persamaan prediksi tinggi badan dengan parameter tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk untuk menilai status gizi lansia. Departemen Kesehatan RI menggunakan rumus Eleanor D. Sthlenker Tahun 1993 dalam Buku Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut untuk Tenaga Kesehatan di Indonesia untuk menghitung tinggi badan prediksi lansia dalam menilai status gizinya. Belum tersedianya model prediksi tinggi badan lansia di Indonesia yang dikembangkan melalui pengukuran tinggi badan aktual menyebabkan perhitungan tinggi badan lansia tidak akurat dan tepat sehingga akhirnya mempengaruhi penilaian Indeks Massa Tubuhnya. Berdasarkan kedua alasan sebelumnya, maka diperlukan suatu penelitian pengembangan model prediksi tinggi badan lansia di Indonesia. Sebagai langkah awal, suatu studi telah dilakukan pada Suku Jawa sebagai salah satu etnis terbesar di Indonesia. Proporsi penduduk lansia Suku Jawa menempati urutan terbesar di antara empat suku lain di Indonesia yaitu Sunda, Batak, Melayu, dan Madura (Aris & Evi 2005). Penelitian ini menggunakan parameter tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk. Selanjutnya analisis perbedaan rata-rata tinggi badan dengan faktor-faktor penentu tinggi badan; hubungan antara tinggi badan dengan densitas massa tulang (osteoporosis) dan lemak tubuh; serta analisis faktor-faktor

5 risiko dengan osteoporosis dan lemak tubuh juga telah dilakukan. Analisis prevalensi osteoporosis dengan faktor-faktor risikonya berhubungan dengan tinggi badan. Lemak tubuh dan faktor-faktor risikonya berperan dalam kejadian obesitas lansia. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan kejadian penyakit-penyakit metabolik antara lain hipertensi, dislipidemia, dan aterosklerosis. Semua ini dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (PJK). Akumulasi jaringan lemak terutama di bagian abdomen atau viseral berperan besar dalam pengembangan sindrom metabolik, PJK, atau keduanya. Oleh karena itu, penelitian persen lemak tubuh dan lemak viseral sebagai salah satu indikator penilaian risiko obesitas lansia juga dilakukan dalam studi ini mengingat minimnya penelitian-penelitian ini pada lansia khususnya etnis Jawa di Indonesia. Perumusan Masalah Penilaian status gizi lansia ditentukan melalui perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Tinggi badan dan berat badan merupakan indikator penting dalam menghitung nilai IMT. Oleh karena tinggi badan adalah komponen beberapa indikator status gizi, maka pengukuran tinggi badan individu secara tepat sangat penting. Tetapi mendapatkan hasil pengukuran yang akurat pada manusia lanjut usia cukup sulit karena masalah postur tubuh yang berubah, atau harus duduk di kursi roda atau tempat tidur. Studi antropometri lansia yang dilaksanakan di Indonesia amat terbatas. Hingga saat ini belum ada studi-studi pengembangan model prediksi tinggi badan lansia pada etnis-etnis tertentu melalui pengukuran tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk. Hal itu mungkin disebabkan oleh belum ada metode standard untuk pengumpulan data dan perlunya jumlah sampel yang sangat besar sehingga menyulitkan perbandingan nilai referensi untuk tujuan klinik dan epidemiologi. Variasi berbagai metode pengukuran tinggi badan seperti tinggi badan tegak (stature), tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk dapat memberikan hasil penilaian tinggi badan yang lebih akurat dibandingkan dengan persamaan yang telah ada seperti Chumlea.

6 Chumlea telah mengembangkan persamaan untuk memprediksi tinggi badan lansia dan individu yang mengalami cacat melalui pengukuran tinggi lutut karena tinggi lutut tidak berubah seiring meningkatnya usia. Namun persamaan itu kadang-kadang tidak dapat diterapkan bagi penduduk lansia di Indonesia karena tinggi badan prediksi dari persamaan Chumlea cenderung memiliki selisih/perbedaan cukup jauh dari tinggi badan aktual. Di wilayah Asia, pengembangan persamaan tinggi badan prediksi dari berbagai pengukuran antropometri telah dilakukan untuk Ras Kaukasoid, tetapi hanya satu studi yang dikembangkan berdasarkan pengukuran panjang depa untuk populasi lansia Malaysia (Shahar & Pooy 2003). Beberapa studi sejenis telah dilakukan di Indonesia dalam jumlah terbatas. Salah satunya adalah studi pengembangan persamaan tinggi badan prediksi lansia di beberapa panti werdha terpilih di DKI Jakarta dan Tangerang oleh Fatmah Tahun 2005. Beberapa temuan penting dalam studi ini antara lain korelasi tinggi lutut dengan tinggi badan lansia wanita lebih tinggi daripada lansia pria. Korelasi panjang depa dengan tinggi badan lansia pria lebih tinggi dibandingkan lansia wanita. Persamaan Chumlea saat diaplikasikan pada lansia pria dan wanita menunjukkan selisih 1 cm lebih rendah daripada tinggi badan sebenarnya (under-estimate). Prediksi tinggi badan lansia wanita lebih tinggi 2 cm dibandingkan dengan tinggi badan sebenarnya (over-estimate). Disimpulkan bahwa persamaan Chumlea kurang tepat digunakan dalam menghitung prediksi tinggi badan lansia di Indonesia. Panjang depa lebih tepat digunakan untuk memprediksi tinggi badan karena memiliki korelasi lebih tinggi terhadap tinggi badan sebenarnya pada lansia pria daripada lansia wanita. Korelasi antara tinggi lutut dengan tinggi badan aktual pada lansia wanita lebih besar daripada lansia pria sehingga lebih representatif untuk memperoleh tinggi badan prediksi lansia wanita. Hal lain yang mendorong perlunya dilakukan studi pengembangan model prediksi tinggi badan lansia Indonesia adalah hingga saat ini Departemen Kesehatan RI belum memiliki model prediksi tinggi badan lansia Indonesia baik menggunakan parameter tinggi lutut, panjang depa, ataupun tinggi duduk dalam menilai status gizi lansia. Institusi ini menggunakan formula yang dikembangkan oleh Eleanor D. Sthlenker Tahun 1993 dalam Buku Pedoman Tatalaksana Gizi

7 Usia Lanjut untuk Tenaga Kesehatan di Indonesia. Belum tersedianya model prediksi tinggi badan lansia di Indonesia yang dikembangkan melalui pengukuran tinggi badan sebenarnya menyebabkan perhitungan tinggi badan lansia tidak akurat dan tepat sehingga akhirnya mempengaruhi penilaian Indeks Massa Tubuhnya. Hasil perhitungan dapat bersifat under-estimate atau over-estimate bila memakai persamaan Chumlea ataupun persamaan dari negara di luar Indonesia. Akibatnya adalah penilaian status gizi lansia tidak akurat dan bias sehingga berdampak pada perencanaan program gizi lansia oleh pemerintah maupun pihak swasta. Melalui uji validitas model prediksi tinggi badan pada beberapa lansia di luar studi ini dengan kondisi tubuh sehat dan mampu berdiri tegak, diharapkan persamaan prediksi tinggi badan dapat diterapkan pada semua lansia. Berbagai variasi kondisi tubuh baik bungkuk, memiliki gangguan pergelangan tangan sehingga sulit merentangkan kedua tangannya, lumpuh, dan sebagainya tidak menjadi halangan untuk diukur tinggi badannya. Salah satu parameter pengukuran bisa dipilih yaitu panjang depa, tinggi lutut, atau tinggi duduk dengan memperhatikan bagian organ tubuh yang dapat diukur dan posisi pengukuran (duduk atau berbaring). Selanjutnya hasil pengukuran salah satu parameter itu dimasukkan ke dalam Tabel IMT yang berbeda untuk tiap parameter pengukuran baik lansia laki-laki maupun perempuan. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah tinggi badan dapat diprediksi dari tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk? 2. Apakah tinggi badan (aktual dan prediksi) berbeda makna dengan faktor-faktor penentu tinggi badan yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir), dan beban pekerjaan fisik harian? 3. Apakah tinggi badan (aktual dan prediksi) berhubungan dengan densitas tulang (osteoporosis), dan lemak tubuh? 4. Apakah prevalensi osteoporosis dan faktor-faktor risikonya yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir), dan beban pekerjaan fisik harian dapat dianalisis?

8 5. Apakah lemak tubuh (persen lemak tubuh dan lemak viseral) dan faktor-faktor risikonya yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir), dan beban pekerjaan fisik harian dapat dianalisis? Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian adalah untuk mengembangkan model prediksi tinggi badan lansia berdasarkan tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk. Tujuan Khusus 1. Menganalisis perbedaan antara tinggi badan (aktual dan prediksi) dengan faktor-faktor penentu tinggi badan yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir), dan beban pekerjaan fisik harian. 2. Menganalisis hubungan antara tinggi badan (prediksi dan aktual) dengan densitas tulang (osteoporosis), dan lemak tubuh (persen lemak tubuh dan lemak viseral). 3. Menganalisis prevalensi osteoporosis dan faktor-faktor risikonya yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir), dan beban pekerjaan fisik harian. 4. Menganalisis lemak tubuh (persen lemak tubuh dan lemak viseral) dan faktorfaktor risikonya yaitu wilayah tinggal, jenis kelamin, usia, tingkat aktivitas fisik, ekonomi (tingkat pendidikan akhir), dan beban pekerjaan fisik harian. Manfaat Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi beberapa bidang ilmu dan sejumlah pihak yaitu: Pihak Pelayanan Kesehatan khususnya Kesehatan Usia Lanjut 1. Tabel Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dihasilkan dalam studi ini diharapkan bermanfaat bagi pihak pemerintah (puskesmas, RS, atau tempat sarana pelayanan kesehatan usia lanjut lainnya), swasta, LSM, maupun berbagai

9 kelompok usia lanjut itu sendiri untuk merancang strategi program-program pengembangan kesehatan gizi lansia di Indonesia dalam rangka mengoptimalkan pelayanan gizi usia lanjut yang selaras dengan peningkatan program kesehatan usia lanjut 2. Penelitian ini berupaya mengembangkan pemakaian alat Sahara Bone Clinical Sonometer yang memiliki tingkat sensitivitas cukup tinggi untuk memprediksi kejadian fraktur osteoporosis ke depan, dan Omron Body Fat Analyzer dalam menilai kandungan persen lemak tubuh dan lemak viseral. Diharapkan nantinya pemakaian kedua alat ini di lapangan oleh pihak pelayanan kesehatan dapat menghasilkan penilaian status densitas massa tulang dan lemak tubuh lansia yang cukup akurat. Bidang Gizi Lansia Hasil penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan keilmuan gizi lansia terkait dengan antropologi gizi. Dengan diperolehnya model prediksi tinggi badan lansia Etnis Jawa yang diperoleh dari persamaan regresi dengan konsep allometri, maka diketahui kekuatan korelasi antara prediktor panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk lansia etnis terbesar di Indonesia. Ahli Gizi dan Bidang Lain yang Terkait 1. Prediktor panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk dapat digunakan untuk menilai tinggi badan prediksi lansia dan individu yang mengalami kecacatan sehingga dapat dinilai status gizinya, lalu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah penanganan malnutrisi (gizi kurang dan gizi lebih) jika ditemukan kelainan status gizi. 2. Studi sejenis dapat dilakukan dengan pengukuran parameter lain seperti calf circumference, dan length trunk atau tetap menggunakan 3 prediktor sebelumnya, namun pada etnis yang berbeda karena etnis adalah faktor non patologis yang mempengaruhi perbedaan tinggi badan antar individu. 3. Tersedianya data dan informasi epidemiologis tentang besaran masalah osteoporosis, gambaran persen lemak tubuh, dan lemak viseral menjadi penting dalam rangka mencegah penduduk lansia dari risiko osteoporosis

10 dan obesitas. Ketiga jenis data tersebut dapat dijadikan sebagai input bagi pihak pemerintah, swasta, dan pihak lain yang terkait untuk merancang program-program kesehatan lansia terutama bagi pencegahan osteoporosis dan obesitas di Indonesia. Gizi merupakan salah satu bidang yang menjadi aspek penting bagi peningkatan kesehatan hidup lansia melalui perbaikan pola konsumsi makanan dan aktivitas fisik. Pihak Masyarakat Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi masyarakat dalam menuju usia tua yang sehat (healthy aging) khususnya dalam melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanganan osteoporosis dan obesitas antara lain melakukan aktivitas fisik secara rutin; mengonsumsi makanan rendah lemak dan tinggi serat; serta makanan sumber kalsium. Bagi Perguruan Tinggi Bagi perguruan tinggi, penelitian ini merupakan: 1. Salah satu realisasi Tridharma Perguruan Tinggi dalam melakukan fungsi dan tugas perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan penegakan masyarakat. 2. Pembuka jalan bagi penelitian lanjutan yang sejenis pada etnis lain di Indonesia. Bagi Peneliti Penelitian ini merupakan salah satu kesempatan untuk: 1. Mengembangkan daya nalar, minat, dan kemampuan dalam bidang penelitian. 2. Memperoleh hal-hal baru mengenai pengembangan model prediksi tinggi badan lansia, hubungan antara tinggi badan dengan densitas massa tulang dan lemak tubuh. 3. Membuka wawasan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian osteoporosis dan lemak tubuh pada lansia etnis lain di Indonesia.