BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. mengamanatkan Pemerintah Daerah sebagai pelayan masyarakat untuk

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BARITO KUALA PERATURAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR 05 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PERIZINAN DI BIDANG PENANAMAN MODAL

DEPUTI BIDANG PELAYANAN PUBLIK KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU BIDANG PENANAMAN MODAL

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 103 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 3 TAHUN 2015 T E N T A N G

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KOTA TANGERANG SELATAN

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT (IKM)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROGRAM DAN KEGIATAN PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

Sosialisasi dan Workshop Pelaksanaan Reformasi Birokrsi Daerah

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 064 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Inti Muatan Undang Undang No. 25/2009 ttg. Pelayanan Publik

BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS

LAPORAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN PUBLIK BALAI VETERINER BANJARBARU

Penyelenggaraan Yanlik [Pasal 39 ayat (4)].

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. aturan-aturan main di dalam suatu kelompok sosial, dan sangat dipengaruhi oleh

LAPORAN HASIL MONITORING DAN EVALUASI INDIKATOR KEPUASAN MASYARAKAT (IKM) DI LINGKUNGAN BPTP BENGKULU

BUPATI SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LAPORAN HASIL PENGUKURAN INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT (IKM) SEMESTER 1 TAHUN 2017

BUPATI BALANGAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN,

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT (IKM)

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA SAMARINDA

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA PEKANBARU PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR TAHUN 2017 TENTANG

Lampiran 1. Pedoman Wawancara dan Hasil Transkip Wawancara. A. Pedoman Wawancara dan Hasil Transkip Wawancara dengan Kepala

BUPATI ENDE PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENDE NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dirasakan sangat penting, tidak hanya oleh pemerintah tapi juga oleh

PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 35 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR SULAWESI BARAT

MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

[ SURVEI INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT ] Periode Tahun 2014

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LAPORAN INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT SEMESTER II TAHUN 2016

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL

2012, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LAPORAN HASIL IKM INDEKS KEPUASAN MASYARAKAT SATPAS POLRES MATARAM

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP) SEBAGAI IMPLEMENTASI PERCEPATAN REFORMASI BIROKRASI DI BIDANG PELAYANAN PUBLIK

BADAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT Jl. PHH MUSTOPA NO. 22 BANDUNG

[ IKM UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG ] Tahun 2015

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir ini merupakan bagian dari adanya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 1 TAHUN 2014 PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. umum.amanat tersebut, antara lain, telah dijabarkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan

KATA PENGANTAR. Plt. Kepala Pusat PVTPP. Dr.Ir.Agung Hendriadi, M.Eng. NIP

I. PENDAHULUAN. tujuan untuk lebih mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat (pelayanan. demokratis sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

REFORMASI BIROKRASI DALAM RANGKA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Muhammad Ichwan, FE UI, 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN LAPORAN SURVEY KEPUASAN MASYARAKAT TAHUN 2016 A. LATAR BELAKANG

A. PENDAHULUAN. Prinsip prinsip dari visi diatas adalah :

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENANAMAN MODAL

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU KABUPATEN PELALAWAN (REVISI) TAHUN

Transkripsi:

i

BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KP2T) dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk lebih mengoptimalkan penyelenggaraan pelayanan bagi masyarakat. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan Pemerintah Daerah sebagai pelayan masyarakat untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dengan jelas dilihat bahwa aspek penyelenggaraan pelayanan publik merupakan salah satu bagian tanggung jawab Pemerintahan Daerah. Sementara itu, berdasarkan keputusan MENPAN No. 63/KEP/M. PAN/7/ 2003, kegiatan pelayanan publik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pelayanan administratif, pelayanan barang, dan pelayanan jasa. Salah satu bentuk pelayanan jasa yang penting bagi Pemerintah Daerah adalah pelayanan perizinan. Guna mempermudah penyelenggaraan pelayanan perizinan bagi masyarakat, beberapa Pemerintah Daerah saat ini mulai menerapkan pelayanan perizinan secara terpadu. Hal itu juga merupakan bentuk implementasi amanat Pasal 47 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, yang menentukan bahwa untuk meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat 1

2 di bidang perizinan yang bersifat lintas sektoral daerah dapat membentuk Unit Pelayanan Perizinan Terpadu. Pembentukan unit tersebut dengan berpedoman Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. Salah satu daerah yang telah mengimplementasikan ketentuan tersebut adalah Provinsi Kalimantan Selatan. Kantor pelayanan perizinan terpadu (KP2T) Provinsi Kalimantan Selatan diresmikan pada tanggal 5 Desember 2012 (kompas.com). Hal itu menunjukkan bahwa KP2T masih terbilang sebagai institusi yang baru terbentuk. Sebagai institusi yang baru tersebut, dalam hal ini KP2T tentu masih memerlukan berbagai upaya untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan perizinan secara terpadu di Provinsi Kalimantan Selatan. Sebagai bentuk penyelenggaraan pelayanan terpadu, KP2T Provinsi Kalimantan Selatan menyelenggarakan pelayanan perizinan dan non perizinan untuk berbagai bidang. Mulai dari bidang perikanan dan kelautan, kehutanan, perkebunan, peternakan, kesehatan, perindustrian dan perdagangan, sosial, pekerjaan umum, hubkominfo, dan penanaman modal. Sementara itu, untuk pelayanan perizinan penanaman modal, KP2T Provinsi Kalimantan Selatan menyelenggarakan pelayanan izin usaha penanaman modal, izin prinsip perluasan penanaman modal, izin prinsip perubahan penanaman modal, izin usaha, izin usaha perluasan, dan izin usaha merger (http://kp2tprovkalsel.info). Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan beberapa asas dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Beberapa diantaranya adalah asas kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, 2

3 keseimbangan hak dan kewajiban, persamaan perlakukan, keterbukaan, akuntabilitas, ketepatan waktu, serta kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan (UU Pelayanan Publik Pasal 4). Sementara itu, pada penyelenggaraan pelayanan perizinan penanaman modal belum sepenuhnya memenuhi kriteria sangat baik untuk kualitas pelayanannya. Hal itu salah satunya dapat dilihat dari hasil perhitungan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) dari KP2T Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2013. Berikut merupakan tabel yang menunjukkan hasil pengukuran IKM tersebut: Tabel 1.1 Indeks Kepuasan Masyarakat terhadap Kualitas Pelayanan KP2T Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013 No Unsur Pelayanan Nilai 1 Prosedur pelayanan B 2 Persyaratan pelayanan B 3 Kejelasan petugas pelayanan B 4 Kedisiplinan petugas pelayanan B 5 Tanggung jawab petugas pelayanan B 6 Kemampuan petugas pelayanan B 7 Kecepatan pelayanan B 8 Keadilan mendapatkan pelayanan B 9 Kesopanan dan keramahan petugas pelayanan A 10 Kewajaran biaya pelayanan B 11 Kepastian biaya pelayanan B 12 Kepastian jadwal pelayanan A 13 Kenyamanan lingkungan A 14 Keamanan pelayanan A Sumber: http://kp2tprovkalsel.info (2014) Tabel tersebut menunjukkan bahwa di antara 14 aspek, hanya 4 aspek yang mendapat penilaian A dari masyarakat pengguna layanan. Rata-rata hasil pengukuran IKM tersebut masih berada pada nilai B. Keempat aspek yang mendapat nilai A adalah kesopanan dan keramahan petugas, kepastian jadwal pelayanan, kenyamanan lingkungan, dan keamanan pelayanan. Sementara aspek-

4 aspek lain yang berkaitan dengan transparansi syarat dan biaya pelayanan atau akuntabilitas dari petugas pelayanan masih perlu untuk ditingkatkan. Sebagai institusi baru, KP2T masih memerlukan upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan perizinan yang diselenggarakan. Termasuk juga peningkatan kualitas dari sarana dan prasarana penunjang layanan yang pada umumnya belum optimal pada suatu instansi baru. Kelengkapan sarana dan prasarana, atau fasilitas penunjang dalam penyelenggaraan pelayanan tersebut menjadi penting dalam upaya meningkatkan kepuasan pengguna layanan. Begitu juga dalam hal ini penyelenggaraan pelayanan perizinan penanaman modal, sehingga diharapkan dapat menarik lebih banyak investor untuk menanamkan modalnya di Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Kalimantan Selatan, dapat diketahui bahwa realisasi investasi penanaman modal di Provinsi Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut: Tahun Tabel 1.2 Realisasi Investasi Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Selatan Realisasi Investasi PMA PMDN Jumlah 2011 27 Perusahaan 30 Perusahaan 57 Perusahaan 2012 24 Perusahaan 39 Perusahaan 63 Perusahaan 2013 26 Perusahaan 26 Perusahaan 52 Perusahaan Sumber: BKPMD Provinsi Kalimantan Selatan (2013) Berdasarkan data pada tabel tersebut, dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun realisasi investasi penanaman modal di Provinsi Kalimantan Selatan tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Selain itu, dapat pula dilihat bahwa

5 realisasi investasi penanaman modal, baik untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) pada tahun 2013 justru mengalami penurunan dari dua tahun sebelumnya. Sementara KP2T Provinsi Kalimantan Selatan dibentuk pada akhir tahun 2012. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa terdapat penurunan realisasi investasi penanaman modal di Provinsi Kalimantan Selatan setelah penyelenggaraan pelayanan perizinan penanaman modal dilakukan secara terpadu di KP2T Provinsi Kalimantan Selatan. Kondisi ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan perizinan penanaman modal oleh KP2T Provinsi Kalimantan Selatan belum sepenuhnya optimal. Hal yang sama juga terlihat dari nilai investasi penanaman modal di Provinsi Kalimantan Selatan. Berikut merupakan tabel yang menunjukkan nilai penanaman modal di Provinsi tersebut: Tabel 1.3 Nilai Investasi Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun Nilai Investasi PMA (dalam ribu US$) PMDN (dalam juta Rp) 2011 353.220,44 1.737.543,17 2012 1.032.024,73 1.577.787,19 2013 617.765,17 1.112.632,16 Sumber: BKPMD Provinsi Kalimantan Selatan (2013) Tabel tersebut menunjukkan bahwa untuk nilai investasi PMA dan PMDN di Provinsi Kalimantan Selatan setelah pembentukan KP2T di akhir tahun 2012 justru mengalami penurunan yang cukup banyak. Penurunan nilai investasi PMA dari tahun 2012 sejumlah US $ 1.032.024,73 (dalam ribu) menjadi US$

6 617.765,17 (dalam ribu) pada tahun 2013 atau setelah KP2T dibentuk. Sementara itu, untuk nilai investasi PMDN dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa sepanjang tahun 2012 nilai investasi PMDN di Provinsi Kalimantan Selatan adalah Rp 1.577.787,19 (dalam juta), sedangkan pada tahun 2013 atau setelah dibentuk KP2T jumlahnya menurun menjadi Rp 1.112.632,16 (dalam juta). Berdasarkan hal demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan KP2T tidak memberikan dampak positif pada nilai investasi PMA dan PMDN di Provinsi Kalimantan Selatan. Oleh sebab itu, penyelenggaraan pelayanan perizinan penanaman modal melalui KP2T masih perlu ditingkatkan sehingga dapat menarik lebih banyak investor. Masih belum optimalnya penyelenggaraan pelayanan perizinan penanaman modal oleh KP2T Provinsi Kalimantan Selatan tersebut juga menunjukkan bahwa masih terdapat permasalahan dalam hubungan principal-agent antara Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan KP2T. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan sebagai pihak principal dalam hal ini merupakan pihak yang memberikan sebagian kewenangannya terkait pemberian izin penanaman modal di daerah tersebut kepada KP2T. Sementara kedudukan KP2T merupakan pihak agent yang dilimpahi wewenang untuk menyelenggarakan pelayanan perizinan penanaman modal. Tujuan pembentukan agensi tersebut pada sektor publik adalah untuk meningkatkan kinerja pemerintah (Talbot et. al, 2000: 2). Oleh sebab itu, penyelenggaraan pelayanan perizinan penanaman modal melalui KP2T dalam hal ini diharapkan dapat memberi dampak positif bagi peningkatan kinerja Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan secara keseluruhan.

7 Pembentukan KP2T Provinsi Kalimantan Selatan sendiri dalam hal ini diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Kalimantan Selatan. Pasal 1 angka 20 peraturan tersebut menyatakan bahwa pelayanan perizinan terpadu adalah penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap keluarnya dokumen, dilakukan dalam satu tempat berdasarkan pendelegasian, atau pelimpahan wewenang dari Gubernur, dengan prinsip-prinsip kesederhanaan, transparansi, akuntabilitas dengan jaminan kepastian biaya, waktu serta kejelasan prosedur. Sementara itu, Pasal 6 peraturan tersebut menyebutkan beberapa unsur KP2T yang salah satunya adalah seksi perizinan penanaman modal. Hal itu menunjukkan bahwa perizinan penanaman modal merupakan salah satu jenis pelayanan publik yang diselenggarakan KP2T Provinsi Kalimantan Selatan. Pelayanan penanaman modal di tingkat pusat telah diatur dalam Undangundang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 25 ayat (1) peraturan tersebut menyatakan bahwa pemerintah mengkoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antarinstansi pemerintah, antara instansi pemerintah dengan Bank Indonesia, antara instansi pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antarpemerintah daerah. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa penanaman modal dalam hal ini memerlukan satu upaya koordinasi dari pemerintah pusat, terutama berkaitan dengan koordinasi kebijakannya. Selain itu, undang-undang tersebut juga memberikan ketentuan mengenai penyelenggaraan

8 urusan penanaman modal di daerah. Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Penanaman Modal menyatakan bahwa Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan pemerintah. Bahkan penyelenggaraan urusan penanaman modal tersebut menjadi bagian dari urusan wajib Pemerintah Daerah sebagaimana Pasal 30 ayat (3) yang menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib Pemerintah Daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal. Pada sisi lain, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah dalam hal ini juga memberikan aturan mengenai aspek efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan penanaman modal. Pasal 6 peraturan tersebut menyatakan bahwa Pemerintah Daerah memberikan insentif, dan/atau kemudahan penanaman modal dengan kewenangan, kondisi, dan kemampuan daerah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudahan penanaman modal yang dimaksud dalam hal ini adalah penyediaan fasilitas dari Pemerintah Daerah kepada penanam modal untuk mempermudah setiap kegiatan penanaman modal dalam rangka mendorong peningkatan penanaman modal di daerah (PP 45/2008 Pasal 1 angka 6). Sebagai respon atas peraturan tersebut, maka Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dalam hal ini menyusun Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Fasilitasi Penanaman Modal di

9 Provinsi Kalimantan Selatan. Pada ketentuan Pasal 2 peraturan daerah tersebut, ditentukan bahwa pemberian kemudahan penanaman modal di Provinsi Kalimantan Selatan dilakukan berdasarkan prinsip kepastian hukum, kesetaraan, transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas serta efisiensi. Apabila dilihat dari aspek peraturan perundang-undangannya, maka dapat dilihat bahwa secara normatif Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan berupaya untuk meminimalisasi hambatan-hambatan bagi kegiatan penanaman modal. Pembentukan KP2T di Provinsi Kalimantan Selatan dalam hal ini tidak dapat dilepaskan dari keinginan untuk meminimalisasi hambatan tersebut. Kondisi demikian dapat dilihat dari manfaat yang diharapkan dapat diraih dengan pembentukan KP2T, yaitu mempermudah penerbitan izin investasi, proses menjadi transparan dan akuntabel, serta dapat menghimpun data besaran investasi di Provinsi Kalimantan Selatan secara valid. Melalui pelayanan perizinan penanaman modal oleh KP2T, maka semua data akan terakses ke BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) pusat sehingga pemberian izin investasi di tingkat pusat dengan daerah dapat saling berhubungan langsung (Kompas, 5 Desember 2012). Pada kenyataannya, berbagai kebijakan yang terwujud dalam peraturan perundang-undangan tersebut belum sepenuhnya mampu membuat penyelenggaraan pelayanan perizinan penanaman modal mencapai kualitas yang optimal. Prinsip-prinsip pelayanan perizinan penanaman modal belum dapat dilaksanakan sepenuhnya sesuai dengan peraturan yang ada, diantaranya adalah

10 prinsip transparansi. Misalnya, belum semua persyaratan pelayanan perizinan penanaman modal dipublikasikan kepada masyarakat secara luas. Penyelenggaraan pelayanan perizinan penanaman modal melalui KP2T dalam hal ini diharapkan akan meningkatkan kualitas pelayanan yang diterima masyarakat sehingga investasi yang ada dapat dioptimalkan. Hal demikian menjadi penting mengingat saat ini masalah perizinan dianggap menjadi salah satu faktor utama penghambat masuknya investasi di Indonesia sebab tahap-tahap yang harus dilalui sebelum memulai bisnis di Indonesia cukup banyak, yaitu 12 tahapan. Sementara itu, waktu yang dibutuhkan untuk memulai bisnis di Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terlama kedua di Asia karena mencapai 151 hari (Kompas, 4 Februari 2004). Menyelenggarakan pelayanan perizinan penanaman modal dengan baik bukanlah hal yang tidak dapat dicapai oleh suatu Pemerintah Daerah. Salah satunya dapat dilihat dari keberhasilan Pemerintah Kota Banjarbaru dalam membentuk KP2T tahun 2004 yang diubah menjadi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) pada tahun 2009. Pemerintah Kota Banjarbaru dinilai cukup berhasil mereformasi pelayanan perizinan penanaman modal di daerahnya. Reformasi dilakukan dalam hal transparansi, kecepatan proses pengurusan izin usaha, perbaikan sarana penunjang layanan, kualitas SDM petugas pelayanan, serta mekanisme pengaduan untuk evaluasi. Upaya tersebut secara signifikan meningkatkan jumlah penanaman modal di Kota Banjarbaru dan berhasil meraih Piagam Penghargaan Citra Pelayanan Prima tahun 2008 (UNIGI, 2013).

11 Hal demikian menunjukkan pentingnya penyelenggaraan pelayanan perizinan sebagai salah satu bentuk pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah. Buruknya kinerja pelayanan perizinan oleh pemerintah dalam hal ini bukan saja terjadi di tingkat nasional namun yang paling krusial justru di tingkat daerah (Kurniasih dan Anwaruddin, 2008: 4). Oleh sebab itu, diperlukan optimalisasi hubungan antara Pemerintah Daerah dengan instansi penyelenggara pelayanan publik dalam kerangka hubungan principal-agent sehingga kualitas pelayanan bagi masyarakat dapat tercapai. Forrester (2002: 124) menyatakan bahwa agen adalah pihak yang berhak mengklaim sumberdaya pemerintah, sedangkan prinsipal adalah pihak yang mengalokasikan dan menjatah sumber daya tersebut. Hubungan principal-agent pada kerangka teori kelembagaan merupakan aspek hirarki yang penting dalam organisasi. Pada kenyataannya, selama ini masih sedikit penerapan Ekonomi Kelembagaan Baru (EKB) dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan di Indonesia, khususnya pelayanan perizinan penanaman modal melalui optimalisasi hubungan prinsipal-agen. Selain itu, masih belum banyak pula studi empirik penerapan ekonomi kelembagaan baru dalam hal tersebut. Sementara agensi dalam hal ini terbentuk apabila prinsipal mendelegasikan beberapa hak kepada agen yang terikat dalam kontrak tertentu untuk mewakili kepentingan prinsipal (Jaya, 2004: 331). Dengan demikian hubungan antara Pemerintah Daerah dengan KP2T adalah Pemerintah Daerah sebagai prinsipal dan KP2T sebagai agen. Permasalahan akan muncul jika dalam interaksinya masing-

12 masing pihak baik agen maupun prinsipal berusaha mengutamakan kepentingan masing-masing. Uraian tersebut menunjukkan beberapa permasalahan yang sering timbul dalam hubungan principal-agent berkaitan dengan aspek penguasaan informasi yang tidak seimbang, perilaku oportunistik, serta pengukuran kinerja (Jaya, 2004: 331). Dalam hal ini, agen cenderung menguasai informasi lebih dari pihak prinsipal sehingga kecenderungan untuk berbuat curang menjadi semakin besar. Oleh sebab itu, aspek keseimbangan dalam hubungan prinsipal dan agen menjadi penting guna mencapai hubungan yang optimal. Begitu pula dalam hubungan antara Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan KP2T. Keseimbangan informasi antara principal dengan agent juga sangat diperlukan. Hubungan yang seimbang antara principal-agent pada penyelenggaraan pelayanan perizinan, dalam hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan perizinan, termasuk perizinan penanaman modal sehingga realisasi investasi penanaman modal di Provinsi Kalimantan Selatan dapat ditingkatkan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis Pola Hubungan Principal-Agent terhadap Kualitas Pelayanan Perizinan Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Selatan (Studi pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Kalimantan Selatan).

13 1.2 Rumusan Masalah Hubungan prinsipal-agen terjadi ketika pihak prinsipal memberikan kewenangan pada pihak agen untuk menyelenggarakan pelayan publik. Pada proses pelaksanaan wewenang tersebut, pihak agen sebagai penyelenggara wewenang akan memiliki lebih banyak informasi dari pada pihak prinsipal. Kondisi demikian menunjukkan adanya ketidakseimbangan informasi sebab akan terdapat beberapa informasi yang tidak diketahui oleh prinsipal, misalnya mengenai kinerja organisasi dan kualitas pelayanan yang diberikan pada pengguna layanan. Ketidakseimbangan informasi tersebut berkaitan pula dengan kecenderungan sikap oportunistik. Penulis tertarik untuk melakukan penggalian informasi secara lebih mendalam pada pola hubungan prinsipal-agen antara Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan KP2T Provinsi Kalimantan Selatan. Pada proses perizinan penanaman modal, hubungan prinsipal-agen tidak hanya terjadi pada dua pihak tersebut, namun juga terjadi antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah. Pada penelitian ini, penulis hanya berfokus pada hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara KP2T dengan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Beberapa pertanyaan yang perlu dikaji antara lain: apakah terdapat ketidakseimbangan informasi dalam hubungan antara Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan KP2T, serta bagaimana penegakkan hukum dilakukan oleh pihak prinsipal. Pada penelitian ini, penulis juga menggali pola hubungan yang ideal berdasarkan teori yang ada antara KP2T dengan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

14 1.3 Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran penulis pada berbagai sumber referensi, tidak ditemukan adanya penelitian dengan judul Analisis Pola Hubungan Prinsipal- Agen terhadap Kualitas Pelayanan Perizinan Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian mengenai pola hubungan prinsipal-agen terhadap kualitas pelayanan perizinan penanaman modal di Provinsi Kalimantan Selatan sampai saat ini belum pernah dilakukan, namun beberapa penelitian mengenai prinsipal-agen pada birokrasi telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu tersebut adalah sebagai berikut. 1. Gyorgy dan Gyorgy (2011). Pada penelitian ini, local authorities merupakan pihak prinsipal dalam hubungannya dengan penyelenggara pelayanan publik yang merupakan agen. Dalam hubungan prinsipal-agen tersebut, dapat diidentifikasi adanya ketidakseimbangan informasi terkait dengan tipe organsiasi agen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakseimbangan informasi dalam hubungan prinsipal-agen pada penyelenggaraan pelayanan publik memberikan kerugian bagi masyarakat. Oleh sebab itu, pihak prinsipal seharusnya mampu memberikan motivasi lebih pada penyelenggara pelayanan publik yang tidak segera meningkatkan kualitas pelayanannya. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu pada penelitian tersebut kajian prinsipal-agen dikaji dalam lingkup pelayanan publik secara keseluruhan, sedangkan pada penelitian yang penulis lakukan difokuskan pada lingkup pelayanan perizinan penanaman modal saja.

15 2. Levin dan Tadels (2010). Pada penelitian ini, dilakukan kajian mengenai pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan kerangka pemikiran bahwa efisiensi pelayanan publik sangat bergantung pada pelaksanaan kontrak yang memuat biaya transaksi rendah. Sementara itu, hubungan antara prinsipal-agen pada penelitian tersebut dijelaskan sebagai hubungan yang berjalan sesuai dengan kontrak. Apabila prinsipal menginginkan agen untuk bekerja secara optimal, maka prinsipal harus menerangkannya dengan jelas pada kontrak kerja. Oleh sebab itu, kontrak tersebut memuat tiga aspek kewajiban agen, yaitu jam kerja yang harus dipenuhi, standar kualitas minimal, dan kriteria pembayaran upah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan pelayanan bagi masyarakat merupakan aspek yang sangat mempengaruhi pengambilan keputusan pembuatan kontrak prinsipal dengan agen. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu pada penelitian tersebut kajian prinsipal-agen dikaji secara luas dalam lingkup negara, sedangkan pada penelitian yang penulis lakukan difokuskan pada satu lingkup instansi saja. 3. Adetunji et al. (2013). Pada penelitian ini, dilakukan penelitian mengenai kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh salah satu institusi di Afrika Selatan, yaitu National Home Builders Registration Council. Penelitian tersebut mengkaji proses pemenuhan kebutuhan masyarakat pelayanan publik dengan ekspektasi atau harapan masyarakat atas kualitas pelayanan yang diterima. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peningkatan mekanisme feedback dalam penyelenggaraan pelayanan dapat meningkatkan

16 persepsi masyarakat atas kualitas pelayanan yang diberikan National Home Builders Registration Council. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan adalah tidak dikajinya aspek pola hubungan prinsipalagen dalam penelitian tersebut sebagai salah satu bagian yang dapat memberikan pengaruh pada kualitas pelayanan publik. 4. Kayode et al. (2013) meneliti tentang fenomena korupsi dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Nigeria yang dikaitkan dengan berbagai persoalan pada hubungan prinsipal-agen di negara tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode penelitian kualitatif yang dilakukan dengan menganalisis berbagai sumber data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korupsi merupakan faktor penghambat utama dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang baik bagi warga Nigeria. Korupsi tersebut terjadi karena adanya ketidakseimbangan informasi sebagai masalah utama dalam hubungan prinsipal-agen pada proses penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu, akses agen pada berbagai sumber daya yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan publik juga membuat kecenderungan penyalahgunaan wewenang semakin besar. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan adalah pada hubungan prinsipal-agen yang dikaji. Pada penelitian tersebut, pihak prinsipal merupakan pegawai negeri selaku petugas penyelenggara pelayanan publik, sedangkan prinsipal adalah masyarakat. Sementara pada penelitian penulis, hubungan prinsipal-agen yang dikaji adalah pada hubungan pemerintah dengan instansi penyelenggara pelayanan publik.

17 1.4 Model Penelitian Berikut merupakan gambar yang menunjukkan model penelitian ini: New Institutional Economics Hubungan Principal-Agent Ketidakseimbangan Informasi Perilaku Oportunistik Lemahnya Penegakan Hukum Biaya Transaksi Tinggi Kualitas Pelayanan Publik 1. Reliability 2. Responsiveness 3. Access 4. Communication 5. Tangible Gambar 1.1 Model Penelitian NIE menurut Meinard dan Shirley (2005: 282) mempelajari masalah kelembagaan dan cara lembaga berinteraksi dengan peraturan organsiasi. Hubungan prinsipal-agen merupakan hirarki yang penting dalam organisasi. Sementara hubungan antara prinsipal-agen akan terbentuk ketika prinsipal mendelegasikan beberapa hak kepada agen yang diikat dengan kontrak untuk

18 mewakili kepentingan prinsipal sebagai balasan atas beberapa kompensasi (Jaya, 2004: 331). Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan adalah prinsipal dan KP2T adalah agen yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan perizinan. Beberapa masalah yang sering terjadi dalam hubungan prinsipal-agen adalah ketidakseimbangan informasi dan perilaku oportunistik (Jaya, 2004: 331). Hal itu terjadi karena pihak agen berhubungan langsung dengan pengguna layanan, sehingga prinsipal cenderung tidak memiliki informasi mengenai kinerja agen dan kualitas pelayanan yang diberikan pada pengguna layanan. Selain ketidakseimbangan informasi dan perilaku oportunistik, lemahnya penegakkan hukum juga merupakan masalah tersendiri dalam hubungan prinsipal-agen. Aspek penegakkan hukum berkaitan dengan biaya transaksi yang diperlukan karena informasi tidak seimbang. Hal demikian dikarenakan regulasi yang dibuat oleh pemerintah akan mendukung regulasi dalam suatu lembaga (Becht et al. 2002: 278). Penegakkan hukum dapat menjadi satu sarana kontrol sehingga perilaku oportunistik dalam hubungan prinsipal-agen tidak berubah menjadi perilaku yang merugikan pengguna layanan. Lemahnya penegakkan hukum dalam hal ini dapat menyebabkan tingginya biaya transaksi. Informasi yang tidak sempurna menimbulkan konsekuensi biaya transaksi (transaction cost). Semakin informasi tidak sempurna (asymmetric information), maka semakin tinggi pula biaya transaksi yang harus dikeluarkan (Furubotn and Richter, 2000: 35). Apabila informasi tidak seimbang, maka

19 pihak yang memiliki lebih sedikit informasi memerlukan biaya untuk memperolehnya. Biaya transaksi tersebut dapat berbentuk biaya untuk meningkatkan kinerja agen atau biaya untuk melakukan pengawasan atas kinerja agen dalam menyelenggarakan pelayanan. Apabila hubungan prinsipal-agen berjalan baik, maka penyelenggaraan pelayanan bagi masyarakat dalam hal ini juga dapat ditingkatkan. Talbot et al. (2000: 2) menyatakan bahwa tujuan pembentukan agensi (autonomous atau semi autonomous) pada sektor publik adalah untuk meningkatkan kinerja pemerintah. Agen merupakan alat penting untuk membuka bundle birokrasi dan menciptakan organisasi politik yang lebih fleksibel, dan berorientasi pada kinerja. Dengan demikian, hubungan prinsipal-agen dapat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang diselenggarakan pemerintah. Kualitas pelayanan berkaitan dengan pemenuhan standar kriteria pelayanan. Menurut Parasuraman (1998) terdapat sepuluh kriteria yang menunjukkan berkualitas atau tidaknya suatu pelayanan. Pada penelitian ini, penelitian lebih difokuskan pada pemenuhan lima dari sepuluh standar tersebut. Kelima standar kriteria pelayanan yang digunakan adalah reliability (keandalan), responsiveness (kesiapan/daya tanggap dalam memberikan pelayanan), access (kemudahan bagi pengguna layanan), communication (komunikasi dengan pengguna layanan), tangible (bukti pelayanan secara fisik/fasilitas penunjang layanan) (lihat Tijptono, 2004: 69).

20 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola hubungan principal-agent antara Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu terhadap kualitas pelayanan perizinan penanaman modal di Provinsi Kalimantan Selatan. Pola hubungan principal-agent tersebut penulis amati dari aspek ketidakseimbangan informasi, perilaku oportunistik, lemahnya penegakan hukum dan biaya transaksi ekonomi. 1.5.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut. 1. Sebagai bahan masukan bagi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Kalimantan Selatan dalam mengevaluasi hubungannya dengan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan. 2. Sebagai bentuk kontribusi pemikiran dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan perizinan penanaman modal di Provinsi Kalimantan Selatan. 3. Dapat menjadi bagian referensi penelitian selanjutnya dan melengkapi penelitian terdahulu yang memiliki keterikatan tema, khususnya dalam bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan.

21 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab I: Pengantar, berisikan uraian tentang latar belakang, rumusan masalah, keaslian penelitian, model penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II: Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, berisi uraian tentang tinjauan mengenai pola hubungan prinsipal-agen dan ketidakseimbangan informasi di dalamnya, landasan teori mengenai pelayanan perizinan penanaman modal dan kualitas pelayanan, hipotesis, serta alat analisis yang digunakan dalam penelitian. Bab III: Analisis Data, yang memuat uraian tentang cara penelitian, hubungan antar variabel, serta hasil analisis data dan pembahasan. Bab IV: Kesimpulan dan Saran, berisikan tentang hasil kesimpulan penelitian serta rekomendasi dari penulis.