Post Disaster Management Sebuah Pembelajaran dari Desa Sekoci, Besitang, Langkat BENCANA sejak awal adalah sesuatu yang tak bisa ditebak. Itu adalah salah satu wujud keesaan Tuhan dalam perspektif religiusitas. Tapi, sepanjang sejarah manusia ada, kita pasti akan tergagap ketika bencana menghampiri. Soalnya adalah ketidaksiapan dan shock berkepanjangan. Itu pula yang pernah dialami masyarakat di beberapa desa di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat pada 2006 lalu. Bandang dengan kandungan kayu bulat meluluhlantakkan berbagai desa yang dilintasi sungai Besitang. Salah satu desa terparah adalah Desa Sekoci. Sebuah desa yang berdampingan dengan perkebunan dan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang paling substansi dibutuhkan korban bencana alam setelah bencana terjadi? Jawabnya adalah managemen. Ya,pengaturan sosial dalam sebuah masyarakat yang tengah kacau balau akibat terpaan bencana. Bukan sekedar bantuan pangan dan obat-obatan. Tentu saja bantuan itu penting. Namun yang tak kalah lebih panting lagi adalah bagaimana seluruh bantuan dikelola. Pemerintah Indonesia menyadari hal ini. Tapi sering kali kemudian lupa dan ikut panik menghadapi para korban bencana itu sendiri. Sehingga tak jarang ditemukan kasus bagaimana bantuan tidak terdistribusi dan tidak efektifnya berbagai jenis bantuan yang ada. Untuk itu, perlu sebuah langkah-langkah sistematis yang mesti dilakukan. Pada kasus banjir bandang di Kabupaten Langkat, saya dan teman-teman Sources of Indonesia (SoI) yang tergabung dalam Koalisi Kemanusiaan untuk Bencana (KKB) mencoba mengintervensi penanggulangan bencana dengan menata kembali ketidakteraturan pasca bencana itu terjadi. Dalam konteks penataan ketidakteraturan ini yang terpenting mestilah didasari dengan nilai-nilai : 1. Skala prioritas 1Page
Meletakkan korban sebagai kelompok terpenting yang mesti diselamatkan. Terutama kelompok perempuan, anak-anak, lansia dan korban. 2. Partisipatif Korban bencana adalah kelompok potensial relawan bencana pada tingkat lokal. Mereka adalah kelompok tercepat yang dapat dikelola dan dimobilisir untuk melakukan evakuasi dan tanggap darurat. Keterlibatan kelompok masyarakat korban dalam penanggulangan bencana adalah syarat terpenting dalam percepatan penanggulangan bencana. Baik dalam situasi tanggap darurat maupun rehabilitasi dan rekonstruksi. 3. Komunikasi dan koordinatif Komunikasi dan koordinasi antara relawan lokal (sekaligus korban) dengan relawan yang datang ke daerah bencana merupakan entri penting dalam melibatkan partisipasi masyarakat lokal. 4. Managemen kolaboratif Membangun konsep managemen yang adaptif terhadap kebutuhan lokal dan dikelola oleh masyarakat lokal sebagai pelaksana teknis. Keterlibatan pemerintah dan NGO dalam hal ini hanya sebatas memberikan material bantuan bencana, monitoring dan supervisi teknis. Tentu saja hal itu dilakukan bersamaan dengan pencarian upaya-upaya dukungan material penanggulangan bencana. Dalam konteks ini perlu dilakukan pengklasteran wilayah pengungsi untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap titik pengungsi. Di mana, kebutuhan titik pengungsi berbeda antara satu dengan yang lain. Sehingga upaya generalisasi sangat diharamkan dalam konteks managemen penanggulangan bencana. 5. Mobilisasi Mobilisasi bantuan penting dilakukan agar sektor pangan dan kesehatan pada tahap tanggap darurat dapat terus berlangsung. Hal ini perlu dipastikan agar tidak terjadi kebuntuan ketidaktersediaan sektor pangan, kesehatan dan jenis bantuan lainnya terkait upaya penanggulangan bencana. Apa yang harus dilakukan pada tahap awal bencana? Temuan lapangan KKB dalam konsep penanggulanan bencana ini menemukan konsep Desentralisasi 2Page
dan Pengelolaan Dapur Umum. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam konsep inin antara lain: 1. Evakuasi Evakuasi korban adalah hal terpenting. Tidak sekedar untuk menyelamatkan korban yang masih hidup dan terjebak dalam situasi bencana lalu membawanya ke tempat yang lebih aman, tapi juga memastikan setiap korban tewas untuk segera dievakuasi. Di samping itu, evakuasi ini sebaiknya melibat pihak masyarakat korban. Karena mereka adalah kelompok yang paling memahami dan mengetahui situasi lokal. Sehingga lebih mudah memprediksi posisi korban yang akan diselamatkan. Dengan begitu, evakuasi merupakan entri membangun kepercayaan dan keterlibatan korban dalam melakukan upaya penyelamatan yang bersifat kolaboratif. Korban, terutama yang selamat dan sehat adalah kelompok terpenting yang mesti dilibatkan dalam upaya evakuasi. 2. Observasi Melakukan observasi di lokasi bencana. Yang terpenting dilihat di sini adalah apa saja yang masih bisa terselamatkan. Baik berupa suprastruktur maupun infrastruktur. Observasi ini penting dilakukan untuk melihat potensi lokal dalam penanggulangan bencana. Hal terpenting lainnya adalah melakukan pemetaan konflik pasca bencana. Konflik ini merupakan salah satu bentuk dari potensi penyelesaian konflik itu sendiri. Pada konteks ini, biasanya para korban mengkonsentrasikan diri pada titik yang dianggap aman. Hal itu biasanya lahir dari sebuah pengetahuan sosial terkait tata ruang wilayah. Yang kemudian dipilih secara intuitif terkait upaya menyelamatkan diri. Meski begitu, penting untuk dilakukan reevaluasi terhadap lokasi pengungsian itu sendiri. Terkait dengan bila bencana terjadi kembali, fasilitas pengungsian yang tersedia dan akses public untuk memberikan bantuannya. Termasuk ketersediaan energy dan tata ruang wilayah serta sosialnya. Untuk itu, tidak perlu dilakukan relokasi pengungsian bila dianggap tidak terlalu penting. 3Page
3. Titik Pengungsi Titik pengungsi adalah salah satu penyebaran sosial yang lahir dari rasa ingin mendapatkan rasa aman secara lebih massif. Ia lahir karena ada justifikasi sosial tentang lokasi yang paling dianggap aman dan nyaman dalam situasi darurat. Untuk itu, titik pengungsi mesti dikelola. Tidak sekedar didata secara kuantitatif saja. Tapi juga mengelola sumber daya-sumber daya yang tersedia sebagai upaya penanggulangan bencana secara integrative dengan para korban. Titik pengungsi ini dipimpin oleh seorang koordinator titik pengungsi. Ia akan memobilisasi seluruh kerja-kerja di titik pengungsian. Di titik ini pula di bangun dapur umum dan gudang sebagai tempat penyimpanan bantuan. Lalu seluruh bantuan dikelola dengan menggunakan konsep public facility. Artinya, bantuan dikelola dalam konsep memfasilitasi kebutuhan publik. Dapur umum dikelola secara bergilir oleh para korban. Terutama kaum perempuan. Pengelolaan dapur umum ini dipimpin oleh seorang perempuan yang memahami tentang penyiapan dan gizi makanan bagi orang dalam jumlah banyak. Pelaksanaan dapur umum dilakukan secara bergantian. Sedangkan kepala gudang dipimpin oleh salah satu pengungsi yang memiliki kemampuan memanajemen dan sikap adil. Kepala gudang memiliki beberapa anggota yang berfungsi mengawal pengelolaan berbagai bahan baku bantuan yang akan dikelola. Secara prinsip, seluruh bantuan tidak boleh diberikan dengan dasar pemberian bantuan per kepala keluarga. Hal ini didasari oleh kemampaun para korban yang tidak sama. Sehingga untuk distribusi bantuan mesti diatur berdasarkan kebutuhan pengungsi selama berada dalam pengungsian. Kebutuhan yang mesti diatur dalam pengungsian ini antara lain adalah soal makanan, obat-obatan, fasilitas tidur dan MCK. Keempat factor ini merupakan faktor penting dalam mengelola titik pengungsi. 4Page
Selama berada dalam pengungsian, di titik pengungsi koordinasi dipegang oleh seorang kordinator yang secara rutin mendiskusikan posisi bantuan dan keadaan yang berkembang di tiap-tiap titik pengungsian. 4. Desentralisasi Penanggulangan bencana tidak akan efektif bila dilakukan secara sentralistik. Karena rendahnya kemampuan berkomunikasi dan berkordinasi pada level yang berbeda mengakibatkan penafsiran berbeda pada konteks memahami kebutuhan penanggulangan bencana. Untuk itu, penanggulangan bencana mestilah dilakukan secara desentralistik. Di mana kebutuhan lokal ditentukan oleh kebijaksanaan lokal hingga tingkat titik pengungsi. Yang kemudian dikoordinasikan ke tingkat yang lebih tinggi, yakni desa dan kecamatan. Pada tingkat desa, penting dibangun sebuah kepanitiaan bersama yang berisikan lapisan pemerintah desa dan kordinator tiap titik-titik pengungsi. Ini adalah bentuk managemen kolaboratif yang dikelola dengan kordinasi rutin dalam kurun paling lama 2 hari sekali. Meski kordinasi bisa saja dilakukan setiap hari. Dengan demikian, tidak seluruh bantuan akan diterima di sebuah wilayah bencana bila dianggap bantuan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan korban. Dan bantuan yang masuk mestilah disesuaikan dan distribusikan berdasarkan kebutuhan setiap titik pengungsian. Sehingga setiap titik pengungsi harus melakukan skala prioritas kebutuhan pengungsi yang dianalisa setiap hari dan dilaporkan ke panitia bersama penanggulangan bencana tingkat desa. Secara hirarki kemudian dikomunikasikan kepada panitia tingkat kecamatan dan kabupaten. 5. Trauma Hiling Pengurangan trauma psikologis terhadap bencana yang menimpa di masyarakat dapat dilakukan dengan beberapa cara: a. Partisipasi korban bencana dalam mengelola bantuan dan penanggulangan bencana adalah langkah paling efektif dalam menjauhkan resiko trauma psikologis para korban. Sehingga 5Page
jangan dibiarkan para korban yang sehat dan selamat untuk duduk diam dan hanya menunggu bantuan saja. b. Menciptakan ruang-ruang public di mana masyarakat dapat saling mengungkapkan persoalan-persoalan psikologis di antara sesame korban. Ruang-ruang tersebut tidak harus diciptakan secara sistematis, tapi bisa disesuaikan dengan kebutuhan penanggulangan bencana. Misalnya pengelolaan dapur umum dalam rangka penyiapan kebutuhan makanan bagi korban secara bergiliran yang dilakukan secara berkelompok. Ruang ini akan dijadikan sebagai ruang diskusi bagaimana trauma psikologis dapat diselesaikan. Begitu juga dengan tempat mandi bersama seperti di sungai ataupun pemandian umum. c. Membangun permainan yang akrab dilakukan masyarakat korban sebelum bencana terjadi. Semisal pada masyarakat etnis Jawa di Kecamatan Besitang, Sumatera Utara, dilakukan dengan cara bermain kartu trup yang sifatnya membangun keceriaan dan kegembiraan. Ronda malam sambil bermain dengan dukungan logistic pangan juga bagian dari ruang yang disiapkan secara tidak disadari. Semua ini merupakan ruang bermain bersama, baik di tingkat anak dan orang dewasa, yang diputuskan secara bersama. Artinya, permainan trup yang melibatkan sedikitnya 4 pemain adalah permintaan yang ditetapkan oleh masyarakat korban itu sendiri. Begitu juga dengan kaum ibu dan perempuan lainnya. 6. Data Pendataan pengungsi dan berbagai jenis kebutuhan lainnya merupakan basis dari setiap keputusan yang akan diambil. Pendataan tersebut mestilah berbasis pada kondisi objektif di tingkat lapangan. Sehingga keputusan yang diambil mesti berbasis pada kebutuhan lokal. 6Page