JURNALISME BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB

dokumen-dokumen yang mirip
Jurnalisme Bebas, Bertanggung Jawab Dan Demokratisasi di Aceh

PERS SEHAT, BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB

PERS INDONESIA SEBAGAI ALAT KONTROL SOSIAL. Nurliasari Staf Pengajar Akademi Komunikasi Bina Sarana Informatika

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata

B. Tujuan C. Ruang Lingkup

ETIKA JURNALISTIK IJTI JURNALISME POSITIF

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG P E R S DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pun mulai bebas mengemukakan pendapat. Salah satunya adalah kebebasan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. secara ideal. Namun dalam dunia globalisasi, masyarakat internasional telah

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang No 40 tahun 1999 Tentang Pers, telah ditetapkan dalam

SOSIOLOGI KOMUNIKASI


SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagian masyarakat berpikir menjadi seorang jurnalis merupakan

BAB I PENDAHULUAN. : Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan. mengeluarkan pendapat. Serta ditegaskan dalam Pasal 28F, yaitu

Priska / Birowo. Program Studi Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Atma Jaya Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atas kekuasaan belaka, maka segala kekuasaan negara harus

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mencermati hasil analisis data dan pembahasan mengenai profesionalisme wartawan / jurnalis pada stasiun televisi lokal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Fenomena menjamurnya media massa di Indonesia, yang sangat erat

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

1. Arti pancasila sebagai way of life (pandangan hidup)

Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

3.2 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara tentu memiliki tujuan dan cita-cita nasional untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

Etika Jurnalistik dan UU Pers

BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. penting dalam peta perkembangan informasi bagi masyarakat.

PLEASE BE PATIENT!!!

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. agama. Hal tersebut sangat berkaitan dengan jiwa Nasionalisme bangsa Indonesia.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

BAB I PENDAHULUAN. kepada peraturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PANCASILA. Pancasila dalam Kajian Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (Lanjutan) Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Modul ke: Fakultas MKCU

KODE ETIK JURNALISTIK

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia.

Waktu: 8 x 45 Menit (Keseluruhan KD) Standar Kompetensi: Memahami Hakikat Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK LOKAL RANTAU TV (RAN TV) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI DISUSUN OLEH: GUSPI AKHBAR PUTRA RIZKI SAHPUTRA M. FAJAR MAULANA RYAN ANDRYAN PUTRA RANGGA FERNANDO

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

Sosiologi Komunikasi. Aktivitas Komunikasi Massa. Frenia T.A.D.S.Nababan. Modul ke: Fakultas KOMUNIKASI. Program Studi PUBLIC RELATION

Hukum dan Pers. Oleh Ade Armando. Seminar Nasional Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006

Rachmat Kriyantono, Ph.D

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan sangat pesat. Beragam surat kabar terbit sebagai

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. perlu diragukan lagi. Bahasa tidak hanya dipergunakan dalam kehidupan

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan informasi. Seperti yang dikatakan oleh Zelizer dalam The

29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunadaksa (SDLB-D)

BAB I PENDAHULUAN. itu terjadi pada skala lokal, regional maupun nasional.

Berkomitmen terhadap Pokok Kaidah Negara Fundamental

: Pendidikan Kewarganegaraan (PKN)

BAHAN TAYANG MODUL 11 SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2016/2017 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH.

29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunadaksa (SMPLB D)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

1. Pancasila sbg Pandangan Hidup Bangsa

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)

Penjabaran Pancasila Dalam Pasal UUD 45 dan Kebijakan negara. Komarudin, MA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata. communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal 1 ayat (3),

BAB I PENDAHULUAN. dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pesan secara massal, dengan menggunakan alat media massa. Media. massa, menurut De Vito (Nurudin, 2006) merupakan komunikasi yang

2.4.1 Struktur dan Anatomi UUD NRI tahun 1945 Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya mengandung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak ikut

WARGA. Muhammadun Sanomae 1/2/2018. Praktik Media Cetak: Piala Dunia 2014 di Brasil SEA Games 2007 di Thailand

BAB I PENDAHULUAN. menggabungkan information (informasi) dan infotainment (hiburan). Artinya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGUATAN NILAI-NILAI PANCASILA MELALUI KEGIATAN KEPRAMUKAAN PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI TAHUN AJARAN 2013/2014

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

KEADILAN SOSIAL BAGI SEBAGIAN RAKYAT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. membuat informasi yang dibutuhkan dapat diakses dengan cepat, dan memiliki tampilan yang

KATA PENGANTAR. Penulis. iii

WAWASAN NUSANTARA. Dewi Triwahyuni. Page 1

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi lain, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967) Mass communication is

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

KOMUNIKASI POLITIK DALAM MEDIA MASSA

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

PANCASILA SEBAGAI KESEPAKATAN BANGSA INDONESIA

PENTINGNYA PEMIMPIN BERKARAKTER PANCASILA DI KALANGAN GENERASI MUDA

BAB I PENDAHULUAN. perlu diragukan lagi. Bahasa tidak hanya dipergunakan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. informasi-informasi, baik berupa berita maupun hiburan masyarakat. Pers di

PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK INSAN OMBUDSMAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA,

KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS

BAB I PENDAHULUAN. warung kopi modern sekelas Starbucks. Kebiasaan minum kopi dan. pertandingan sepak bola dunia, ruang pertemuan, live music dan lain

STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR TINGKAT SMP, MTs, DAN SMPLB

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

MEDIA WATCH DAN PELAKSANAAN KEBEBASAN PERS. Djoko Walujo 1

RUANG LINGKUP MATA KULIAH PANCASILA

NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pancasila Sebagai Dasar Negara (dalam hubungannya dengan Pembukaan UUD 1945)

Transkripsi:

JURNALISME BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB Erman Anom FIKOM - Universitas INDONUSA Esa Unggul, Jakarta Jl. Arjuna Utara Tol Tomang, Kebun Jeruk, Jakarta 11510 erman.anom@indonusa.ac.id ABSTRAK Fungsi media massa adalah pengamatan sosial, korelasi sosial, sosialisasi dan hiburan. Praktek-praktek jurnalisme harus selalu berlandaskan kepada fungsi media massa itu sendiri. Untuk Indonesia dewasa ini ada pendapat yang dipraktekkan ada yang menyebut jurnalisme bermakna, ada yang berpendapat jurnalime patriotisme. Sedangkan pada Orde Baru dikenal dengan jurnalisme pembangunan. Sedangkan yang tepat untuk Indonesia adalah jurnalisme bebas dan bertanggung jawab. Jurnalisme bebas dan bertanggung jawab adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan, dan bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya. Kata Kunci: Media massa, jurnalisme, kebebasan dan bertanggung jawab Pendahuluan Akhir-akhir ini muncul beberapa pendapat mengenai jurnalisme yang dipraktekkan di Indonesia. Ada yang menyodorkan nama jurnalisme bermakna. Ada pula yang ingin mengintrodusir jurnalisme patriotisme. Semasa era kepimpinan Soeharto sering didengar dan dikenal dengan istilah jurnalisme pembangunan. Di masa reformasi muncul istilah jurnalisme selera rendah, yang mengemas berita gossip, sensasi, konflik dan seks menjadi berita yang asal laku dijual tanpa memperdulikan etika, kepatutan, dampak negatif dan kode etik jurnalistik. Ada pula istilah jurnalisme plintiran, yang memutarbalikkan fakta dan mencampuraduk antara fakta dan opini. Ada pula praktek jurnalisme talang-air, yang menuangkan begitu saja informasi dari lapangan/sumber berita ke halaman suratkabar tanpa dipilah-pilah terlebih dahulu melalui kacamata kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Di tengah-tengah kecenderungan menonjolnya semangat disentralisasi yang menjurus ke arah disintegrasi bangsa, sebaiknya ada bentuk jurnalisme yang pas untuk dipraktekkan dan diamalkan di Indonesia. Ada satu gagasan untuk mewacanakan jurnalisme berwawasan kebangsaan atau disingkat jurnalisme berwawasan, suatu bentuk jurnalisme yang mengemas informasi menjadi berita/tulisan yang mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Pembahasan Jurnalis dan ahli sejarah Amerika Serikat Paul Johnson, berdasarkan pengalaman langsung serta pengamatannya tentang adanya praktek menyimpang dalam melaksanakan kebebasan pers, menyebutnya tujuh dosa yang mematikan (seven deadly sins). Adapun tujuh dosa tersebut sebagai berikut: Pertama: Distorsi Informasi. Praktek distorsi informasi ini lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi informasi baik yang menyangkut opini maupun ilustrasi faktual, yang tidak sesuai dengan sumber aslinya dengan akibat makna menjadi berubah. Kedua: Dramatisasi fakta palsu. Dramatisasi ini dipraktekkan dengan memberikan illustrasi secara verbal, auditif atau visual yang berlebihan tentang suatu obyek. Dalam media cetak cara ini dapat dilakukan secara naratif (dalam bentuk kata-kata) atau melalui penyajian foto/gambar tertentu dengan tujuan untuk membangun suatu citra negatif dan stereotip. Dalam media audio-visual (TV) dramatisasi ini dilakukan dengan teknik pengambilan gambar dan Jurnal Komunikologi Vol. 4 No. 2, September 2007 126

pemberian sound-effects yang sesuai dengan tujuan penyampaian pesan. Ketiga: Mangganggu privacy. Pada umumnya praktek ini dilakukan dalam peliputan kehidupan kalangan selebritis dan kaum elite, terutama yang diduga terlibat dalam suatu skandal. Berbagai cara dilakukan, antara lain melalui penyadapan telepon, penggunaan kamera dengan telelens, dan sering pula wawancara dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi, memaksa atau menjebak. Kesempatan wawancaranya juga diambil pada saat-saat yang tidak diinginkan oleh pihak yang diwawancarai. Keempat: Pembunuhan karakter. Praktek ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/ perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Praktek ini biasanya dilakukan dengan mengeksploitasi, menggambarkan dan menonjolkan segi/sisi buruk mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya. Kelima: Eksploitasi seks. Praktek eksploitasi seks tidak hanya menjadi monopoli dunia periklanan. Praktek tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan dengan cara menempatkan di halaman depan surat kabar tulisan yang bermuatan seks. Keenam: Meracuni benak/pikiran anak. Praktek ini dilakukan di dunia periklanan dengan cara menempatkan figur anak-anak. Akhir-akhir ini praktek serupa semakin meningkat dengan penonjolan figur anak-anak sebagai sasaranantara dalam memasarkan berbagai macam produk. Ketujuh: Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of the power). Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dapat terjadi di lingkungan pejabat pemerintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol kebijakan editorial/ pemberitaan media massa. Ketujuh dosa jurnalistik tersebut dapat disebut pula dan dapat dikenali sebagai praktek jurnalistik yang menyimpang, yang kerap terjadi juga di Indonesia, dan sering dilakukan media massa yang baru terbit. Praktek Jurnalistik menyimpang? Praktek-praktek jurnalistik yang menyimpang dan praktek pemberitaan lain yang menyimpang dari kaidah jurnalistik yang sangat menonjol di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Eksploitasi judul Cara ini sering dipraktekkan dengan membuat judul yang tidak sesuai dengan isi beritanya. Biasanya judul tersebut bernada agitatif, emosional dan tidak jarang seronok. Cara ini ditempuh untuk menarik perhatian pembaca dan sebagai senjata utama untuk meningkatkan sirkulasi. 2. Sumber berita konon kabarnya. Tidak jarang pula sumber berita konon kabarnya atau menurut sumber informasi yang tidak mau disebut namanya dipraktekkan. Padahal salah satu implikasi dari prinsip obyektivitas adalah adanya kejelasan identitas dari berbagai sumber berita yang dirujuk. 3. Dominasi opini elit dan kelompok mayoritas. Pada umumnya media massa di Indonesia masih cenderung mengutamakan pemuatan opini, pendapat atau pernyataan kalangan elit dan mayoritas saja, misalnya para pakar, tokoh politik, kalangan selibritis, pejabat pemerintah, tokoh agama atau pengusaha. Aspirasi atau pendapat kalangan masyarakat bawah atau minoritas (secara etnis dan agama) kurang mendapatkan perhatian. 4. Penyajian informasi yang tidak investigative. Pola penyajian informasi sebagiann besar media massa di Indonesia kurang bersifat investigative. Banyak di antaranya hanya menjual issue tetapi kurang melengkapinya dengan pemberian makna dan interpretasi yang obyektif, komprehensif dan mendalam. Dalam hal ini perlu diperhatikan kondisi sosio-demografis masyarakat Indonesia, khususnya dalam hal tingkat pendidikan masih banyak masyarakat kita yang belum mampu memilih dan memilah informasi secara kritis dan obyektif. Mereka mudah sekali terpengaruh oleh gossip dan rumor. Fungsi sosial media massa Bagaimana hubungan antara peranan pers dengan usaha memelihara keutuhan Negara Kesa- 127 Jurnal Komunikologi Vol. 4 No. 2, September 2007

tuan Republik Indonesia ini? Dalam hal ini kita perlu merenungkan apa yang ditulis oleh ahli komunikasi massa Harold D. Lasswell mengenai fungsi sosial media massa. Menurut Harold D. Laswell (1936) ada empat fungsi sosial media massa: 1. Pengamatan sosial (social surveillance). Media massa hendaknya menyebarkan informasi dan interpertasi yang obyektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan melakukan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 2. Korelasi sosial (social correlation). Media massa hendaknya memberikan informasi dan interpretasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai konsensus. 3. Sosialisasi (socialization). Media massa hendaknya mewariskan nilainilai (yang baik) dari satu generasi ke generasi lainnya atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya. 4. Hiburan (entertainment). Media massa juga mempunyai tugas untuk memberikan hiburan (yang sehat) dan kesenangan kepada masyarakat. Dari keempat fungsi sosial media massa tadi, maka yang paling menonjol dilakukan oleh media massa di Indonesia sekarang adalah fungsi keempat (hiburan), sedangkan ke tiga fungsi sosial yang lain kurang mendapat perhatian. Dalam hal ini kita mengambil contoh pemberitaan mengenai konflik, yang akhirakhir ini sering menempati halaman depan media cetak dan menjadi berita utama media elektronik dan media cetak. Jika ditilik dari fungsi pengamat sosial media massa, seharusnya berita tentang konflik tadi dikemas sedemikian rupa, agar masyarakat waspada dan mencegah agar konflik tidak meluas dan menghancurkan sistem masyarakat. Sedangkan penyajian opini dari para elit politik atau kelompok yang bertikai, jika ditilik dari fungsi korelasi sosial media massa, seharusnya dikorelasikan dengan opini dari berbagai kalangan masyarakat lainnya baik secara vertikal maupun horisontal. Hal ini berarti isi pemberitaan tidak hanya menyajikan pandangan atau pernyataan pihakpihak yang bertikai. Pandangan dan pendapat dari berbagai kalangan masyarakat baik lapisan atas, menengah maupun bawah perlu juga disajikan secara eksplisit termasuk dampak konflik terhadap kehidupan nyata masyarakat. Tujuannya isi pemberitaan adalah untuk mencapai konsensus agar konflik dapat segera berakhir, karena disadari bersama bahwa yang menjadi korban dari konflik tersebut adalah masyarakat. Sedangkan mengenai fungsi sosialisasi dalam kasus konflik tersebut, media massa henaknya menyebarluaskan pesan tentang perlunya menjaga integrasi bangsa dalam menghadapi konflik tadi. Dalam hal ini yang sangat relevan adalah mensosialisasikan tentang perlunya toleransi dan apresiasi terhadap perbedaan dalam hubungannya dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar- golongan), juga tentang perlunya menegakkan supremasi hukum serta anti segala bentuk tindakan kekerasan. Jurnalisme Sehat, Bebas dan bertanggung jawab Jurnalisme sehat, bebas dan bertanggung jawab dihasilkan oleh medai massa yang sehat, yaitu media massa yang bebas dan bertanggung jawab. Pemerintah dan masyarakat harus memunyai pandangan bahawa media massa yang sehat, bebas dan bertanggung jawab yaitu media massa yang dapat menjalankan peranannya yang ideal. Kalangan media massa sendiri harus memberikan penyebaran tentang media massa yang sehat sebagai berikut: Media massa yang sehat secara ideal adalah media massa yang melaksanakan fungsi-fungsi ideal yang sesuai dengan konstitusi negara, secara bebas dan bertanggung jawab. Hal ini hanya dapat dilakanakannya dengan baik, apabila media massa itu sehat secara isi pemberitaan dan penyiaran, sehat secara ekonomis. Jika secara ekonomis, materiil media massa tidak sehat, maka terlihat kecenerungan pada sementara media massa mempertahankan survivalnya dengan mendasarkan orientasi perjuangannya kepada tuntutan yang bersifat kebendaan, dengan kata lain terlihat keadaan yang cenderung mengembangkan erosi Jurnal Komunikologi Vol. 4 No. 2, September 2007 128

idealisme perjuangan media massa yang hakikatnya harus diabdikan kepada tujuan-tujuan memasyarakatkan cita-cita nasional, yaitu masyarakat kebangsaan maju, adil dan makmur berdasarkan ideologi Pancasila. Sumber hukum Kebebasan media massa yang bertanggung jawab ini adalah harus pada konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa Kemerdekaan mengeluarkan pendapat melalui lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Tidak ada petunjuk atau kriteria lain yang diberikan. Tolak ukur bagi undang-undang atau peraturanperundangan yang mengatur tentang kemerdekaan ataupun kebebasan memberikan pendapat melalui tulisan dengan kata lain kebebasan pers, sebagai pelaksanaan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dengan sendirinya adalah dasar pasal 28 Undang-undang Dasar itu sendiri, yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi seperti berikut: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang- Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permesyuaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berpegang kepada Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 sebagai tolak ukur kebebasan media massa, ketentuan Undang- Undang Media Massa tentang kebebasan Media Massa ditelaah. Sedangkan rumusan kebebasan media massa adalah: 1. Kebebasan Media massa sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. 2. Kebebasan Media massa ini berdasarkan atas tanggung jawab nasional. 129 Jurnal Komunikologi Vol. 4 No. 2, September 2007 Kebebasan media massa itu berasaskan pada tugas, kewajiban dan fungsi media massa. Kebebasan media massa berhubungan erat dengan keperluan adanya pertanggung jawaban kepada : a. Tuhan Yang Maha Esa b.kepentingan rakyat dan keselamatan Negara c. Kelangsungan dan penyelesaian Perjuangan Nasional hingga terwujudnya tujuan nasional d. Moral dan tata susila e. Kepribadian bangsa. Kebebasan media massa Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan, dan bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya. Media massa yang bebas dan bertanggung jawab harus diucapkan dalam satu nafas. Walaupun begitu, dengan semangat menyebut media massa bebas dan bertanggung jawab dalam satu nafas, perlu juga disatukan pengertian tentang kriteria tersebut. Keadaan menunjukkan penterjemah pengertian kebebasan yang hakikatnya adalah kebebasan yang bertanggung jawab masih belum terlihat keserasian dan keseimbangannya. Sementara itu norma-norma, hak dan kewajiban media massa seperti yang terkandung di dalam ketentuan-ketentuan undang-undang yang mengikat serta di dalam kode etika jurnalistik wartawan Indonesia, masih pula serba mengambang dan tidak seimbang. Tegasnya persepsi pemerintah, masyarakat dan media massa sendiri terhadap norma-norma, hak dan kewajiban media massa belumlah serasi. Kesimpulan Kunci untuk tidak terjerumus ke dalam dosa jurnalistik, dan untuk tidak melakukan praktek jurnalistik yang menyimpang dengan melaksanakan empat fungsi sosial media massa adalah melalui pendidikan dan pelatihan jurnalistik yang terarah dan terprogram guna meningkatkan profesionalisme. Di samping itu perlu pula dilakukan usaha sosialisasi kode etik jurnalistik guna memantapkan penghayatan serta pengamalannya. Jika kode etik jurnalistik baik Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI maupun Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dipatuhi dan dilaksanakan dengan benar oleh

insan pers Indonesia, wajah kehidupan masyarakat baik dari sisi politik, ekonomi dan sosial akan menyejukkan dan membersitkan wajah yang penuh harapan serta optimisme. Dengan berpedoman kepada kode etik jurnalistik dan kode etik wartawan Indonesia aktivitas jurnalistik di Indonesia pada akhirnya dapat terwujud praktek-praktek jurnalisme sehat, bebas dan bertanggung jawab. Daftar Pustaka Anom, Erman, Dasar dan sistem akhbar dalam era kepimpinan Soeharto 1966-1998, Tesis Doktor Falsafah, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, 2006. Lasswell, Harold, D, Politics: who get what when and how, McGraw Hill Book.co, London, 1936. McQuail, D.T, Mass communication theory: an introduction, Sage Publications, London, 1983. Merrill, J.C, A conceptual overview of world Jurnalism, Dlm. Hinz Dittrich & John C Merrill (pnyt), Internasional Inter Cultural. Communication, Hasting House Publisher, New York, 1971. Merrill, J.C, The Imperative of freedom: a philosophy of journalistic autonomy, Hastings House Publisers, New York, 1974. Mohd. Safar Hasim, Akhbar dan kuasa: perkembangan sistem akhbar di Malaysia sejak 1806, Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 1996. Jurnal Komunikologi Vol. 4 No. 2, September 2007 130