BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak ribuan tahun lalu di Cina dan Jepang, beberapa jenis jamur kayu telah dikenal dan dimanfaatkan manusia sebagai bahan makanan maupun obat untuk penyembuhan dan meningkatkan kebugaran tubuh. Jamur kayu yang memiliki khasiat obat ini antara lain jamur tiram (Pleurotus sp.), jamur kuping (Auricularia sp.), jamur shitake (Lentinum edodes), jamur lingzhi (Ganoderma lucidum), dan lain-lain (Suriawiria, 2000). Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengonsumsi jamur untuk kesehatan karena memiliki kandungan serat dan vitamin yang tinggi serta bebas kolesterol membuat permintaan jamur di Indonesia kian meningkat. Berdasarkan data dari Kementrian Pertanian di tahun 2012 target produksi jamur adalah sebesar 67.100 ton, namun realisasinya baru mampu mencapai produksi sebesar 17.541 ton atau dapat dikatakan baru terealisasi sebesar 26,14% dari nilai yang ditargetkan. Jumlah penduduk Indonesia menurut proyeksi Bappenas pada tahun 2016 sekitar 258.705.000 jiwa (Respati et al., 2014), dengan tingkat konsumsi jamur di Indonesia di tahun 2014 sebesar 0,886 kg/kapita/tahun (Kementrian Pertanian, 2014) maka ditaksir kebutuhan jamur di Indonesia pada tahun 2016 adalah 1
2 sebesar 229.212 ton. Dari data-data tersebut dapat dilihat ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan produksi jamur. Beberapa jenis jamur yang telah dikenal petani Indonesia seperti jamur merang, jamur kuping, jamur shitake, jamur tiram, dan jamur lingzhi mempunyai nilai ekonomi yang tinggi untuk dikembangkan karena cara budidayanya yang relatif mudah, tidak memerlukan lahan yang luas, dan prospek kedepannya cukup menjanjikan (Rahmat, 2000). Diantara beberapa jenis jamur tersebut, jamur kuping dan jamur lingzhi merupakan jenis jamur yang badan buahnya dapat dikeringkan sehingga bisa bertahan lebih lama untuk dikonsumsi, sehingga jamur kuping dan jamur lingzhi dapat dibudidayakan dalam jumlah besar dan disimpan dalam kondisi kering untuk memenuhi permintaan pasar. Di sisi lain harga jamur kuping dan jamur lingzhi kering per kilogramnya cukup tinggi, yaitu sebesar Rp 55.000/kg dan Rp 140.000/kg (Ediningtyas dan Utami, 2012). Selama ini petani membudidayakan jamur dengan media yang terbuat dari campuran serbuk kayu sengon, bekatul, dan kapur. Limbah serbuk kayu sengon digunakan sebagai media tanam jamur karena proses pelapukannya cepat sehingga masa tumbuh jamur cepat, tidak memerlukan perendaman dan pengeringan yang lama (Suhardiman, 1998). Limbah serbuk kayu sengon pada umumnya diambil dari industri-industri kayu berbahan baku kayu sengon. Di Pulau Jawa sentra industri kayu sengon antara lain di Kediri, Lumajang, Probolinggo, Jember, Wonosobo, Temanggung, Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Majalengka. Sedangkan untuk di luar Pulau Jawa industri kayu
3 sengon jarang ditemukan. Persebaran sentra industri kayu berbahan baku kayu sengon yang tidak terdapat di semua tempat, menjadi kendala dalam mendapatkan limbah serbuk kayu untuk budidaya jamur. Karena limbah kayu sengon tidak dapat ditemukan di setiap daerah, maka para petani jamur biasanya mengambil limbah serbuk kayu sengon tersebut dari sentra industri kayu sengon. Karakter yang meruah dari serbuk kayu sengon menyebabkan tingginya biaya pengadaan bahan baku untuk media budidaya jamur tersebut. Oleh sebab itu penggunaan beberapa jenis serbuk kayu selain kayu sengon untuk media pertumbuhan jamur diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap satu jenis kayu saja, serta mengurangi penumpukan limbah serbuk kayu jenis lain dan meningkatkan pendapatan petani dan pengusaha. Petani jamur di Yogyakarta mengambil limbah kayu sengon untuk media tanam dari Wonosobo, sehingga ada tambahan biaya pengangkutan. Di lain pihak banyak terdapat limbah kayu jenis lain dari industri kayu di Yogyakarta seperti kayu jati, mahoni, sonokeling, mangga, nangka, durian, dan lain-lain. Biasanya limbah kayu tersebut tidak dimanfaatkan kembali. Beberapa jenis kayu lain selain kayu sengon telah diteliti penggunaannya sebagai media pertumbuhan jamur kuping dan jamur lingzhi. Hasil penelitian Meirista dan Irawati (2015) pada media yang terbuat dari kayu lamtoro dan akasia auri, menunjukkan rerata pertumbuhan miselia jamur kuping berturut-turut adalah 2,87 dan 2,86 mm/hari. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rerata pertumbuhan miselia jamur
4 kuping pada media yang terbuat dari kayu sengon yaitu sebesar 1,8 mm/hari (Irawati et al., 2012). Di Indonesia penelitian berbagai jenis serbuk kayu untuk media tanam budidaya jamur belum banyak dilakukan sehingga belum banyak informasi mengenai alternatif jenis kayu pengganti sengon yang dapat digunakan sebagai media budidaya jamur. Jenis kayu sebagai media tanam mempengaruhi kecepatan dan kuantitas pertumbuhan miselia jamur (Irawati et al., 2012). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh jenis kayu sebagai media pertumbuhan jamur, khususnya dari jenis-jenis kayu komersial yang banyak digunakan oleh industri kayu. Pemanfaatan limbah industri kayu untuk media budidaya jamur kayu, diharapkan dapat membantu mengatasi permasalahan limbah ini.
5 1.2 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh perbedaan jenis kayu terhadap komposisi kimia media pertumbuhan jamur. 2. Mengetahui interaksi jenis kayu dan jenis jamur terhadap pertumbuhan miselia jamur. 3. Mengetahui korelasi kimia media terhadap pertumbuhan miselia jamur dan kadar glukosamin. 1.3 Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai beberapa jenis kayu alternatif pengganti kayu sengon untuk media tanam jamur kuping dan jamur lingzhi. 2. Menambah nilai dari penggunaan kayu, yaitu sebagai media tanam jamur.