I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, menyatakan bahwa pembangunan adalah sesuatu yang bersahabat, pembangunan seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia untuk mengembangkan sesuatu yang sesuai dengan pilihannya. Asumsi pemikiran tersebut, bila setiap manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka kontribusinya untuk kesejahteraan bersama akan maksimal, dengan demikian kemakmuran sebuah bangsa dapat dicapai berbasiskan kekuatan masyarakat yang berdaya dan menghidupinya (Dillon dkk, 2012). Kemakmuran dengan berbasiskan kekuatan masyarakat sangat dipercaya oleh kinerja industri yang memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian Indonesia. Di lain pihak hal tersebut juga memberi dampak pada lingkungan akibat buangan industri maupun eksploitasi sumber daya yang semakin intensif dalam pengembangan industri. Lebih lanjut dinyatakan harus ada transformasi kerangka kontekstual dalam pengelolaan industri, yakni keyakinan bahwa: operasi industri secara keseluruhan harus menjamin sistem lingkungan alam berfungsi sebagaimana mestinya dalam batasan ekosistem lokal hingga biosfer. Efisiensi
2 bahan dan energi dalam pemanfaatan, pemrosesan, dan daur ulang, akan menghasilkan keunggulan kompetitif dan manfaat ekonomi (Hambali, 2003), dalam Damayanti, 2004). Perkembangan industri menambah urbanisasi dan meningkatkan jumlah penduduk di satu wilayah, hal ini menuntut percepatan pengembangan tata ruang suatu daerah perkotaan yang mau tidak mau harus dilakukan pengkajian secara matang untuk pertumbuhan ekonominya termasuk inventarisasi lahan-lahan yang belum dimanfaatkan dengan baik yang pada gilirannya dapat menurunkan kualitas lingkungan yang ditandai dengan: hilangnya ruang terbuka hijau, munculnya daerah-daerah kumuh, pencemaran udara atau pencemaran dari aktivitas industri, limbah domestik, penggusuran, keambrukan dan kemacetan lalu lintas, hilangnya teknologi hijau, dan munculnya cacapolis atau suatu kota yang mengerikan (Simanjuntak, 2008). Dan untuk menghindari itu maka pembangunan yang berwawasan lingkungan merupakan bagian sangat penting bagi ekosistem berfungsi sebagai penyangga kehidupan bagi seluruh mahluk hidup yang diarahkan kepada terwujudnya kelestarian serta fungsi lingkungan dalam keadaan dinamis menuju pembangunan berkelanjutan (Simanjuntak, 2008). Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan bagian dari wujud pengelolaan dan perlindungan lingkungan yang harus dilakukan dengan baik dan terpadu serta komprehensif sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 butir (2)
3 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan pemanfaatan pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Jadi pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai usaha secara sadar untuk memelihara dan memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan baik. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan menjadi hal penting dengan berrkembangnya industri dan meningkatnya aktivitas ekonomi, melalui proses produksi dan konsumsi tidak hanya menghasilkan keuntungan dan kepuasan kepada pengguna, namun juga menghasilkan residual atau limbah yang menyebabkan terjadinya eksternalitas negatif. Residual merupakan bagian intrinsic atau bagian yang tidak terpisahkan dari aktifitas ekonomi dan akan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas tersebut. Sebelum tahun 1960- an, masalah eksternalitas dianggap hal kecil dan bisa diselesaikan melalui
4 negosiasi. Namun setelah tahun 1969-an para ahli melihat bahwa masalah eksternalitas adalah masalah yang cukup serius dan tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi dari hukum termodinamika, sehingga pada periode inilah perhatian yang serius terhadap analisis pencemaran dimulai (Fauzi, 2004). Tingginya aktivitas ekonomi di Kota Metro terutama pada sektor perdagangan dan jasa mulai mendominasi nilai PDRB sejak tahun 2009. Hampir seluruh Bank tersedia di Kota Metro untuk mendukung sektor perdagangan dan jasa. Kota Metro menjadi alternatif kedua bagi masyarakat Lampung Timur, Lampung Selatan dan Pesawaran untuk mengakses perdagangan dan jasa (Bappeda Kota Metro, 2014). Aktivitas ekonomi melalui sektor perdagangan dan jasa, merupakan upaya yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan dengan pemberdayaan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Menurut Rudjito (2003), dalam linda (2012), usaha mikro adalah usaha yang dimiliki dan dijalankan oleh penduduk miskin atau mendekati miskin. Usaha mikro sering disebut dengan usaha rumah tangga. Besarnya kredit yang dapat diterima oleh usaha adalah Rp 50 juta. Usaha mikro adalah usaha produktif secara individu atau tergabung dalam koperasi dengan hasil penjualan Rp 100 juta. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam pasal 3 disebutkan bahwa usaha mikro bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan ekonomi yang berkeadilan.
5 Peran UMKM sangat strategis bagi perekonomian Kota Metro yang ditunjukkan oleh jumlah industri kecil yang paling banyak di Kota Metro yaitu sekitar 94.14%, dimana golongan ini paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu sebanyak 4.529 orang atau sebesar 95.75%. Tercatat pada tahun 2013 ada 1.681 perusahaan kategori industri kecil, empat perusahaan industri menengah dan satu perusahaan industri besar (Bappeda Kota Metro, 2014). Industri kecil atau industri rumah tangga secara umum keberadaannya adalah menyebar, namun ada juga yang terkonsentrasi dalam satu sentra industri kecil. Kriteria industri seperti ini mempunyai ciri: berkembang dengan modal kecil, menggunakan teknik produksi dan peralatan yang sederhana, keselamatan dan kesehatan kerja kurang mendapatkan perhatian, tingkat pendidikan SDM nya relatif rendah, kegiatan riset dan pengembangan usaha masih minim, belum mengutamakan faktor-faktor kelestarian lingkungan, belum mampu mengolah limbahnya sampai memenuhi baku mutu yang berlaku (Setiyono, 2004). Pada saat ini wilayah Kota Metro dibagi menjadi lima kecamatan yang terdiri dari 22 kelurahan. Rencana struktur ruang sebagai kawasan strategis ekonomi ditetapkan dengan kriteria: kawasan yang memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh, kawasan yang memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi kota, kawasan yang memiliki potensi ekspor, kawasan yang didukung jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi dan produksi, mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal. Kawasan perdagangan dan jasa pusat kota ditetapkan di Kecamatan Metro Pusat. Kawasan industri mikro
6 dan kecil tersebar pada seluruh kecamatan di Kota Metro, sedangkan untuk industri menengah dipusatkan di Kecamatan Metro Utara (RTRW Kota Metro, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pemilik perhotelan, pusat perbelanjaan, rumah sakit dan pabrik besar di Kota Pekanbaru memiliki tingkat kepatuhan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan berada pada tingkat patuh dengan perolehan presentase 58.77 sampai dengan 71.93. Sedangkan perkantoran memiliki persentase kepatuhan rata-rata sebesar 14. 04 dengan tingkat kepatuhan tidak patuh (Basri, 2014). Atas dasar latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka Kota Metro memiliki potensi cemaran lingkungan yang berasal dari aktifitas industri kecil, dan apabila tidak ada pengelolaan yang baik hal ini dapat berisiko terhadap kerusakan lingkungan. Oleh karena hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh karaketeristik sosial demografi pemilik usaha dan profil industri kecil serta pengawasan terhadap tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan, dikerenakan belum ada penelitian yang meneliti mengenai hal tersebut. 1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengetahui adanya pengaruh karakteristik sosial demografi pemilik usaha (umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan), profil industri kecil (jenis industri kecil, izin usaha, modal, omzet,
7 jumlah karyawan dan lama usaha berdiri), jenis limbah, tingkat pengetahuan dalam pengelolaan lingkungan, dan pengawasan terhadap tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan. 1.3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan model tingkat kepatuhan berbasis karakteristik sosial demografi pemilik usaha industri kecil di Kota Metro. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Sebagai masukan bagi para pelaku usaha industri kecil serta pemerintah dalam upaya pengelolaan lingkungan. b) Sebagai bahan informasi untuk penelitian sejenis pada masa yang datang. 1.5. Kerangka Pemikiran Pengelolaan lingkungan hidup bukan semata-mata menjadi tanggungjawab pemerintah. Pihak swasta dan masyarakat juga sangat penting peran sertanya dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, dan setiap orang mempunyai hak dan kewajiban berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, sehingga dapat tercapai kelestarian lingkungan hidup (Suhartini, 2008).
8 Menjadi sebuah harapan agar Kota Metro dapat menjadi kota dengan lingkungan yang terkelola dengan baik, menjadi kota yang bersih, nyaman untuk ditinggali, serta nyaman untuk melakukan berbagai aktifitas kehidupan bahkan dapat menjadi kota yang menjadi pusat pendidikan dan pariwisata. Disisi lain makin bertambahnya jumlah usaha mikro dan kecil di Kota Metro yang diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Kota Metro menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan. Namun demikian usaha mikro dan kecil sebagai tulang punggung perekonomian mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mempunyai potensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pencemaran lingkungan ditimbulkan oleh limbah yang dihasilkan oleh usaha mikro dan kecil. Berdasarkan kenyataan di lapangan masih banyak usaha mikro dan kecil yang belum mengelola limbahnya dengan baik dan benar. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dimiliki tentang teknologi pengelolaan limbah serta bahaya yang ditimbulkannya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Selain itu dengan segala keterbatasan yang ada, mereka masih melihat limbah sebagai sesuatu yang sudah tidak mempunyai nilai ekonomi. Padahal sesungguhnya dengan teknologi tepat guna, limbah yang dihasilkannya masih dapat diolah menjadi barang jadi lainnya sehingga memberi nilai tambah ekonomi dan sekaligus mengurangi beban pencemaran terhadap lingkungannya (Setiyono, 2004). Berkaitan dengan hal tersebut, perlu adanya kajian tentang pengaruh karakteristik sosial demografi pemilik usaha, profil industri kecil serta tingkat
pengetahuan dan pengawasan terhadap tingkat kepatuhan dalam pengelolaan lingkungan. Kerangka pemikiran pada penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1. 9 KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI PEMILIK INDUSTRI KECIL Usia Jenis kelamin Pendidikan PROFIL INDUSTRI KECIL 1. Jenis Industri Kecil (Aneka Keripik, Aneka Olahan Makanan dan Aneka Kerajinan) 2. Ijin Usaha 3. Modal 4. Omzet 5. Jumlah Karyawan 6. Lama Usaha Berdiri KEPATUHAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN JENIS LIMBAH 1. Padat 2. Cair 3. Gas PENGETAHUAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN PENGAWASAN Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran dalam Penelitian