BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Slameto (2010:3) belajar adalah proses usaha yang

I. PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Salah satu cara memperoleh sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting yang akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah AgusPrasetyo, 2015

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembelajaran, hal ini menuntut guru dalam perubahan cara dan strategi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup dalam. dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Fauziah Nurrochman, 2015

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan sangat penting dalam kehidupan karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

I. PENDAHULUAN. membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

BAB I PENDAHULUAN. matematika yaitu memecahkan masalah (problem solving), penalaran dan bukti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Komala Dewi Ainun, 2014

I. PENDAHULUAN. Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang diperoleh

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pengembangan kemampuan matematis peserta didik. Matematika

BAB I PENDAHULUAN. bekerja sama dalam suatu kelompok. matematika yaitu pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan

I. PENDAHULUAN. dengan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu sasaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sebagai upaya menunjukkan eksistensi diri. Salah satu bidang yang menunjang

P. S. PENGARUH PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KECEMASAN MATEMATIS SISWA KELAS VII

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terutama dalam mata pelajaran matematika sejauh ini telah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. manusia- manusia unggul dan berkualitas. Undang-undang No 20 tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. siswa, pengajar, sarana prasarana, dan juga karena faktor lingkungan. Salah satu

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu komponen utama kebutuhan manusia. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban sebagai warga negara yang baik. Pendidikan pada dasarnya merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pendidikan bangsa, mulai dari pembangunan gedung-gedung,

I. PENDAHULUAN. kemampuan atau potensi dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat

BAB I PENDAHULUAN. Maksudnya bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan suatu peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa dibidang Matematika,

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

BAB I PENDAHULUAN. pasal 1 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk. diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIKA. (PTK Pembelajaran Matematika Kelas VII Semester II SMP Negeri 2

BAB I PENDAHULUAN. kebodohan menjadi kepintaran, dari kurang paham menjadi paham. Pendidikan

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. di sekolah. Mata pelajaran matematika memiliki tujuan umum yaitu memberikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, Pasal 3. 1 Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. tanah air, mempertebal semangat kebangsaan serta rasa kesetiakawanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat, arus globalisasi semakin hebat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nobonnizar, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan di negara Indonesia dilakukan dalam upaya meningkatkan mutu

BAB I PENDAHULUAN. jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang akan dihadapi peserta didik dimasa yang akan datang. menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang terencana untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pengetahuan manusia tentang matematika memiliki peran penting dalam

Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1, ayat (1) 31, ayat (1). 1 Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah proses perubahan atau pendewasaan manusia, berasal dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak biasa menjadi biasa, dari tidak paham menjadi paham dan sebagainya. Pendidikan itu bisa didapatkan dimana saja, bisa di lingkungan sekolah, masyarakat dan keluarga, dan yang penting untuk diperhatikan adalah bagaimana memberikan atau mendapat pendidikan dengan baik dan benar, agar manusia tidak terjerumus dalam kehidupan yang negatif. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjamin kelangsungan hidup negara, karena pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia agar kehidupan manusia menjadi terarah. Menurut Notoatmodjo (2003, hlm. 16), pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Pendidikan melibatkan siswa, guru, metode, tujuan, kurikulum, media, sarana, kepala sekolah, pemerintah, masyarakat, pengguna lulusan, lingkungan fisik dan manusia. Pada saat proses pendidikan diharapkan tercipta suasana belajar yang secara aktif dapat mengembangkan seluruh potensi manusia yang mengikuti proses tersebut. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 (Permendikbud, 2014) pasal 1 ayat 1, menjelaskan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Secara umum tujuan pendidikan adalah untuk mengubah segala macam kebiasaan tidak baik yang ada dalam diri manusia menjadi kebiasaan baik yang terjadi selama masa hidup, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas diri 1

menjadi pribadi yang mampu bersaing dan menjawab berbagai tantangan di masa depan. Adapun tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 (BSNP, 2016), tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggungjawab. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang meningkat, menuntut kita untuk cepat beradaptasi dan mencari solusi dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Untuk menghadapi tantangan tersebut, diperlukan keterampilan memecahkan masalah yang tinggi. Cara seperti inilah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan matematika. Matematika diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar agar dapat berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif (BSNP, 2016). Demikian pula matematika merupakan pengetahuan dasar yang diperlukan oleh peserta didik untuk menunjang keberhasilan belajarnya dalam menempuh dunia pendidikan yang lebih tinggi. Tujuan pembelajaran matematika di Indonesia termuat dalam Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 (Depdiknas, 2006). Permendiknas tersebut tertulis mata pelajaran matematika tingkat SMP/MTs, bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau logaritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam memecahkan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematik. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. 2

3 Sedangkan National Council of Teacher Mathematic (NCTM, 2000), menetapkan ada 5 keterampilan proses yang harus dikuasai siswa melalui pembelajaran matematika, yaitu: (1) pemecahan masalah (problem solving); (2) penalaran dan bukti (reasoning and proof); (3) koneksi (connection); (4) komunikasi (communication), serta (5) representasi (representation). Berdasarkan Depdiknas dan NCTM dapat dilihat bahwa salah satu yang menjadi fokus utama tujuan pembelajaran matematika adalah kemampuan pemecahan masalah. Menurut Soedjadi (1994, hlm. 36) kemampuan pemecahan masalah matematis adalah suatu keterampilan pada diri peserta didik agar mampu menggunakan kegiatan matematik untuk memecahkan masalah dalam matematika, masalah dalam ilmu lain dan masalah dalam kehidupan sehari hari. Kemampuan pemecahan masalah amatlah penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka yang dikemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam bidang studi lain dalam kehidupan sehari-hari (Russeffendi, 2006, hlm. 341). Menurut Suherman (2003, hlm. 89), pemecahan masalah juga merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, peserta didik dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Gagne (Nurrohman, 2015, hlm. 2), menjelaskan bahwa pemecahan masalah adalah tipe belajar tingkat tinggi dan kompleks dibandingkan dengan tipe belajar lainnya. Masalah dalam matematika merupakan persoalan tidak rutin dan belum adanya metode untuk menyelesaikannya, sehingga pemecahan masalah sangat penting dalam pembelajaran matematika karena dapat mengukur tingkat pemecahan masalah siswa itu sendiri. Kemampuan pemecahan masalah dibutuhkan siswa sebagai modal agar mampu memecahkan masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataannya, penelitian terhadap kemampuan pemecahan masalah masih rendah. Salah satunya adalah penelitian Setiawati (2014, hlm. 64-65), memperlihatkan bahwa nilai yang diperoleh siswa yang mendapat model M- APOS ada 29,03% siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM),

4 sedangkan kelas yang mendapat model Problem Based Learning hanya 3,22% siswa yang mencapai KKM, dengan KKM yang ditetapkan di SMP Negeri 7 tersebut yaitu 75. Sementara itu peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat model M-APOS berdasarkan rata-rata indeks gain adalah 0,39, sedangkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat Problem Based Learning berdasarkan rata-rata indeks gain adalah 0,26. Terlihat bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat model M-APOS berada pada kategori sedang, sedangkan siswa yang mendapat model Problem Based Learning peningkatannya berada pada kategori rendah. Faktor penyebab siswa mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah matematika, dapat bersumber dari siswa maupun guru. Faktor yang bersumber dari siswa yaitu ketika siswa tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba, kemudian siswa yang mengalami kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan, dan kemungkinan ada siswa yang tidak aktif dalam pembelajaran kelompok di kelas. Sedangkan faktor penyebab yang bersumber dari guru, yaitu model pembelajaran yang kurang membangun kemampuan-kemampuan pemecahan masalah matematika. Kebanyakan guru menggunakan model Problem Based Learning, namun hanya beberapa saja yang mampu mengantarkan siswanya kepada kemampuan pemecahan masalah. Selain itu guru yang menggunakan model Problem Based Learning memerlukan waktu yang relatif lebih lama serta biaya yang tidak sedikit, serta kondisi kelas yang sulit dikontrol dan mudah menjadi ribut saat pelaksanaan karena adanya kebebasan pada siswa sehingga memberi peluang untuk ribut. Hal ini diperkuat dari penelitian yang dilakukan oleh Nurrohman (2015, hlm. 67), yaitu tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Problem Based Learning dengan model Guided Inquiry, yang berarti kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan model Problem Based Learning tidak lebih tinggi dari siswa yang mendapatkan model Guided Inquiry. Kemudian

5 kualitas peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siwa yang mendapat model pembelajaran Problem Based Learning dengan model pembelajaran Guided Inquiry tergolong sedang. Alhaddad (2014, hlm. 4), mengatakan bahwa kemampuan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, akan melahirkan motivasi bagi siswa dalam menemukan solusi dari permasalahan yang ada untuk mencoba bagaimana cara memecahkannya. Solusi yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi, akan memacu siswa untuk mencari solusi yang lain dari masalah yang dihadapinya. Hal ini bila selalu dibiasakan, akan menumbuhkan sikap yang positif. Sikap tersebut diantaranya adalah Self-Regulated Learning. Self-Regulated Learning dapat diartikan sebagai kemandirian belajar. Self- Regulated Learning juga merupakan pengaturan diri untuk memonitor pemahamannya, memutuskan kapan siswa siap diuji, dan memilih strategi pemrosesan informasi yang baik. Konsep Self-Regulated Learning awalnya merupakan konsep pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli diantaranya Garrison (Alhaddad, 2014, hlm. 4), ternyata Self-Regulated Learning juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang pendidikan tinggi dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa. Sumarno (2006) mendefinisikan Self-Regulated Learning sebagai proses perancangan dan pemantauan yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan suatu tugas akademik. Dalam hal ini, Self-Regulated Learning bukan merupakan kemampuan mental atau keterampilan akademik tertentu, melainkan merupakan proses pengarahan diri dalam mentransformasikan kemampuan mental ke dalam keterampilan akademik tertentu. Dalam proses pembelajaran matematika sebenarnya banyak cara dan metode yang dapat diterapkan. Oleh karena itu pemilihan model pembelajaran yang digunakan, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan Self-Regulated Learning. Pada akhirnya kemampuan dan sikap tersebut akan dapat membangkitkan semangat dalam menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari.

6 Melalui Self-Regulated Learning, siswa akan lebih terdorong untuk dapat menyelesaikan masalah, menerapkan strategi, memantau kinerja, dan menafsirkan hasil usaha mereka. Untuk itu diperlukan upaya guru dalam memfasilitasi dan mengkondisikan secara sengaja agar tercapai pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk dapat mengalami dan mengembangkan dirinya dalam belajar matematika. Namun faktanya, hasil penelitian terhadap Self-Regulated Learning siswa masih rendah. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Savira, F dan Suharsono, Y (2013, hlm. 70) bahwa 54,2% siswa memiliki Self-Regulated Learning yang rendah, yang menggambarkan bahwa siswa tidak memiliki perencanaan dan pengaturan waktu dalam pembelajaran, rendahnya motivasi, dan kurang memanfaatkan sumber-sumber yang ada. Sedangkan 45,8% siswa memiliki Self-Regulated Learning yang tinggi artinya individu memiliki perencanaan untuk mencapai tujuannya dan mengelola waktu belajar dengan baik, mengorganisasi dan mengode informasi secara strategis, mempertahankan motivasi serta mengelola lingkungan guna mendukung aktivitas belajarnya. Sekolah sebagai salah satu lembaga formal yang memiliki tugas dan wewenang menyelenggarakan proses pendidikan. Dalam proses belajar melibatkan berbagai model-model pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Model-model tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan sendiri. Salah satunya yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Co-Op Co-Op. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe Co-Op Co-Op bertujuan untuk mengaktifkan siswa agar saling bekerja sama dalam memecahkan masalah. Co-Op Co-Op merupakan salah satu pengembangan dari model pembelajaran kooperatif. Co-Op Co-Op memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil (Slavin, 2010, hlm. 229). Co-Op Co-Op memiliki ciri khusus yaitu terjadinya kooperatif sebanyak dua kali. Kooperatif pertama adalah diskusi antar anggota dalam kelompok, dimana antar anggota kelompok memiliki subtopik yang berbeda dengan anggota lainnya. Kooperatif kedua adalah diskusi kelas, dimana topik pada kelompok berbeda dengan dengan topik kelompok lainnya. Setiap siswa harus menjelaskan dan

7 memecahkan permasalahan yang menjadi tanggung jawab sendiri dengan baik kepada teman-teman kelompok, sehingga siswa banyak dilatih untuk memecahkan permasalahan matematika kepada teman sesama kelompok dan teman kelompok lain. Adanya alasan tersebut, pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Co-Op Co-Op diharapkan dapat membantu siswa dalam meningkatkan memecahkan masalah matematika. Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah dan Self-Regulated Learning siswa jika dalam pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe Co-Op Co-Op. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Co-Op Co-Op dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Self-Regulated Learning Siswa SMP. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Kemampuan pemecahan masalah siswa terhadap soal matematika masih rendah. Menurut penelitian Setiawati (2014, hlm. 64-65), memperlihatkan bahwa nilai yang diperoleh siswa yang mendapat model M-APOS ada 29,03% siswa yang mencapai KKM, sedangkan kelas yang mendapat model Problem Based Learning hanya 3,22% siswa yang mencapai KKM, dengan KKM yang ditetapkan di SMP Negeri 7 tersebut yaitu 75. Sementara itu peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat model M-APOS berdasarkan rata-rata indeks gain adalah 0,39, sedangkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat Problem Based Learning berdasarkan rata-rata indeks gain adalah 0,26 2. Guru sebagai tenaga pendidik di sekolah yang sudah memakai kurikulum 2013 cenderung memilih model pembelajaran Problem Based Learning dalam pembelajaran matematika.

8 C. Rumusan Masalah Berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Co-Op Co-Op lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran Problem Based Learning? 2. Apakah peningkatan Self-Regulated Learning siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Co-Op Co-Op lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran Problem Based Learning? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Co-Op Co-Op lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran Problem Based Learning. 2. Mengetahui peningkatan Self-Regulated Learning siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Co-Op Co-Op lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran Problem Based Learning. E. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan yang yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat atau kegunaan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang model pembelajaran kooperatif tipe Co-Op Co-Op yang disertai dengan kemampuan pemecahan masalah dan Self-Regulated Learning, pada umumnya

9 memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pendidikan dan pada khususnya pada matematika. 2. Manfaat praktis a. Bagi siswa Mampu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah untuk meningkatkan prestasi belajarnya dalam matematika melalui model pembelajaran kooperatif tipe Co-Op Co-Op. b. Bagi guru Memberikan masukan serta informasi dalam proses pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan Self- Regulated Learning siswa serta memberikan alternatif dalam pembelajaran matematika. c. Bagi peneliti Sebagai media mengaplikasikan segala pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat selama perkuliahan maupun di luar perkuliahan. F. DEFINISI OPERASIONAL Untuk menghindari kekeliruan atau perbedaan persepsi dalam memahami istilah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini, maka diperlukan definisi operasional sebagai berikut: 1. Model pembelajaran kooperatif tipe Co-Op Co-Op adalah sebuah grup investigation yang cukup familiar. Metode ini menempatkan tim dalam kooperasi antara satu dengan yang lainnya untuk mempelajari sebuah topik di kelas (Slavin, 2010, hlm. 229). 2. Kemampuan pemecahan masalah menurut Cintyani (2012, hlm. 16), adalah suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah atau proses yang menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam menyelesaikan masalah, yang juga merupakan metode penemuan solusi melalui tahap-tahap pemecahan masalah. 3. Self-Regulated Learning adalah kemampuan untuk menjadi partisipan yang aktif secara metakognisi, motivasi, dan perilaku (behaviour) di dalam proses belajar menurut Zimmerman (Mukhid, 2008, hlm. 223).

10 4. Menurut Barrows dan Tablyn (Sholehawat, 2016, hlm. 17), Problem Based Learning adalah suatu pembelajaran yang menekankan agar masalah menjadi hal pertama yang diberikan kepada siswa dan mengutamakan proses aktivitas siswa menuju pemahaman dan penyelesaian masalah. G. Sistematika Skripsi Sistematika skripsi diberikan untuk memberikan gambaran yang mengandung setiap bab, diuraikan sebagai berikut. 1. Bab I Pendahuluan. Bagian yang memaparkan latar belakang masalah dari penelitian yang akan dilakukan, mengidentifikasi spesifik mengenai permasalahan yang akan diteliti, memberikan gambaran atas kontribusi hasil penelitian yang akan dilakukan. 2. Bab II Kajian Teori. Menguraikan bagian dari teori-teori yang mendukung penelitian. 3. Bab III Metode Penelitian. Memaparkan bagian mengenai metode penelitian, desain penelitian, partisipan serta populasi dan sampel, instrument penelitian yang digunakan, prosedur penelitian dan rancangan analisis data. 4. Bab IV Hasil Penelitian. Mengemukakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dan tercapai meliputi pengolahan data serta analisis temuan dan pembahasannya. 5. Bab V Simpulan dan Saran. Bagian ini menyajikan simpulan atas temuan dari penelitian yang dilakukan serta saran berupa hal-hal penting yang dapat dimanfaatkan berdasarkan hasil temuan.