BAB I PENDAHULUAN. pesat, sehingga produk yang dihasilkan semakin berlimpah dan bervariasi.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

ASPEK HUKUM JAMINAN DALAM PERJANJIAN PEMILIKAN KENDARAAN BERMOTOR DI PT. ASLI MOTOR DELANGGU KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. setelah dikirim barang tersebut mengalami kerusakan. Kalimat yang biasanya

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya mengalami peningkatan sesuai dengan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan

NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi persyaratan guna Mencapai derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Huku Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan di bidang teknologi telah memacu perusahaan untuk

BAB I PENDAHULUAN. keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum kepada instansi

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dapat kita lihat dalam praktek sehari-hari, banyaknya peminat dari

KONSUMEN DAN KLAUSUL EKSONERASI. (Studi Terhadap Profil Perjanjian Jasa Laundry Di Surakarta)

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Definisi pembiayaan (finance) berdasarkan Surat Keputusan Menteri

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. sangat vital dalam kehidupan masyarakat, hal ini didasari beberapa faktor

BAB 1 PENDAHULUAN. barang dan jasa, serta fasilitas pendukung lainnya sebagai pelengkap yang dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti terkadang dikatakan, sebuah

BAB I PENDAHULUAN. menunculkan bidang-bidang yang terus berkembang di berbagai aspek

Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian kredit pembiayaan. Perjanjian pembiayaan adalah salah satu bentuk perjanjian bentuk

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari

BAB I PENDAHULUAN. atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan yang tidak terbatas bagi para konsumen yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat telah memberikan kemajuan yang luar biasa kepada

BAB I PENDAHULUAN. transportasi merupakan salah satu jenis kegiatan pengangkutan. Dalam. membawa atau mengirimkan. Sedangkan pengangkutan dalam kamus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Balakang. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis didalam kehidupan

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.

KONSUMEN DAN KLAUSUL EKSONERASI : (STUDI TENTANG PERJANJIAN DALAM APLIKASI PENYEDIA LAYANAN BERBASIS ONLINE)

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Bank adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi politik dan perekonomian yang tidak menentu menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di

BAB I PENDAHULUAN. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standard

BAB I PENDAHULUAN. bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. namun berubah menjadi jual beli online. Di samping lebih mudah dan ongkos

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

BAB 1 PENDAHULUAN. Namun demikian perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian khusus dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. A. Pembiayaan Konsumen dan Dasar Hukumnya

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB I PENDAHULUAN. mereka pada dasarnya ingin hidup layak dan selalu berkecukupan. 1 Perbankan

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

POLA HUBUNGAN HUKUM ANTARA PT. SARANA SURAKARTA VENTURA DENGAN PERUSAHAAN PASANGAN USAHA SERTA PERLINDUNGAN DALAM PEMBERIAN MODAL VENTURA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tujuan sebagai badan yang dibentuk untuk melakukan upaya

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan Nasional, peran

Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB 1 PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan yang. menghasilkan berbagai macam produk kebutuhan hidup sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. menyelerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur itu adalah dengan dana (biaya) kegiatan untuk menunjang kehidupan manusia.

SKRIPSI. iyah Surakarta. Oleh : NIM

BAB I PENDAHULUAN. usaha jasa pencucian pakaian atau yang lebih dikenal dengan jasa laundry.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C.

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini terlihat dalam pembukaan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. juta Unit 2 Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, Jumat 05 Desember 2014, Penjulan Mobil Cetak.

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Banyak sektor usaha berlomba-lomba untuk menarik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kebutuhan masyarakat akan pembiayaan sekarang ini semakin tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tidaklah semata-mata untuk pangan dan sandang saja, tetapi mencakup kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB I PENDAHULUAN. dan pendapatan negara (export earnings) yang merupakan salah satu sumber

BAB I PENDAHULUAN. mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri, ia memerlukan tangan ataupun

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan di bidang teknologi dewasa ini meningkat dengan pesat, sehingga produk yang dihasilkan semakin berlimpah dan bervariasi. Mulai dari barang kebutuhan rumah tangga, pakaian, teknologi informasi, hingga otomotif. Bagi masyarakat kelas atas mungkin tidak ada masalah untuk membeli produk tersebut, tetapi berbeda halnya dengan kalangan menengah ke bawah yang harus berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhannya yang beragam. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pembisnis dengan membentuk lembaga pembiayaan konsumen. Lembaga pembiayaan konsumen mampu menampung masalahmasalah yang tidak dipecahkan oleh lembaga pembiayaan lainnya. Bank sebagai salah satu lembaga pembiayaan memiliki kelemahan yaitu belum cukup ampuh untuk menanggulangi berbagai keperluan dana dalam masyarakat mengingat keterbatasan jangkauan dan penyebaran kredit serta keterbatasan dana yang dimiliki. Lembaga pembiyaan seperti lembaga pembiayaan konsumen memiliki peranan yang penting dalam pebangunan yaitu menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan khususnya dalam bidang ekonomi. Wujud nyata dari peran aktifnya itu menyediakan modal atau barang modal untuk pelaku usaha maupun masyarakat pada umumnya. 1 1 I Gusti Agung Wisudawan, 2013, Bentuk Kepastian Perlindungan Hukum Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen, GaneÇ Swara Vol. 7 No.1 Maret 2013. Hal. 3. 1

2 Hubungan bisnis antara lembaga pembiayaan dan konsumen tersebut dalam pelaksanaannya tentunya didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Perjanjian atau kontrak merupakan serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk saling mengikatkan diri. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 2 Dalam kehidupan sehari-hari seringkali dipergunakan istilah perjanjian, meskipun hanya dibuat secara lisan saja, tetapi di dalam dunia usaha. Perjanjian adalah suatu hal yang sangat penting, karena menyangkut bidang usaha yang digeluti. Mengingat akan hal tersebut dalam hukum perjanjian merupakan suatu bentuk manifestasi adanya kepastian hukum. Oleh karena itu dalam prakteknya setiap perjanjian dibuat secara tertulis agar diperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian hukum dapat terwujud. Selanjutnya dalam proses pembuatan perjanjian pembiayaan, lembaga pembiayaan akan sulit untuk menetapkan besar kecilnya suku bunga dan lamanya jangka waktu kredit serta tata cara pelunasan hutang yang diberikan kepada nasabahnya apabila lembaga pembiayaan harus menegosiasikan halhal itu dengan setiap nasabahnya. Hal inilah yang menyebabkan lembaga pembiayaan menganggap perlu untuk menggunakan perjanjian baku. 3 Perjanjian baku adalah perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pihak kreditur baik itu substansinya maupun penyelesaian sengketanya. 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313. 3 Ni Luh Putu Widyantini dan I Made Pasek Diantha, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Debitur (Nasabah) Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Perbankan Ditinjau Dari Undang- Undang Perlindungan Konsumen, Jurnal Penelitian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana. Hal. 2.

3 Perjanjian yang bersifat baku atau standar tidak memberikan kesempatan kepada pihak nasabah atau debitur untuk menentukan isi perjanjian. Perjanjian baku merupakan perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. 4 Kondisi tersebut dapat mengkibatkan kedudukan lembaga pembiayaan dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. 5 Pembiayaan konsumen (Consumer Finance) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 adalah kegiatan pembiayaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen. Lembaga pembiayaan konsumen telah membuat draft perjanjian dahulu sebelum mengadakan perjanjian dengan konsumen. Draft perjanjian tersebut disebut dengan perjanjian baku. Pasal 1 angka 10 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 memberikan definisi klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh konsumen. Dengan dibuatnya dokumen perjanjian secara sepihak oleh pelaku 4 Shidarta. 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo. Hal. 19. 5 C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, 2001, Hukum Perusahaan Indonesia, Jakarta: Pradanya Pramita, hal. 229.

4 usaha ini akan mengakibatkan kerugian bagi konsumen, sehingga kemudian menimbulkan berbagai sengketa yang harus diselesaikan oleh masing-masing pihak. 6 Ketentuan pencantuman klausula baku diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang berbunyi sebagai berikut: (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap perjanjian apabila; a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli kosumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atauy pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti. 6 Budi Rahmat, 2002, MULTI FINANCE: Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, hal. 136-137.

5 (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada diokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang. Menurut putusan Majelis BPSK Nomor: 02-06/LS/IV/2012/BPSK.Ska tentang kekuatan mengikat klausula baku dalam perjanjian yang dilakukan antara konsumen dan pelaku usaha: Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dapatlah diketahui bahwa dengan wanprestasinya konsumen, maka pelaku usaha menetapkan bahwa konsumen diwajibkan untuk membayar keseluruhan sisa pembayaran yang masih terhitung walaupun masa perjnjian belum berakhir. Dengan ditetapkan kewajiban yang demikian, berarti pelaku usaha mengubah perjanjian secara sepihak, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari konsumen, oleh karena konsumen yang semula memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran secara angsuran, kemudian diubah diwajibkan untuk menjadi pembayaran keseluruhan, walaupun masa perjanjian belum berakhir. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut, bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf d UUPK, sehingga berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPK, klausul perjanjian yang demikian dinyatakan batal demi hukum. Menimbang bahwa bila diperhatikan dengan seksama huruf (tulisan) yang terdapat pada halaman kedua dari perjanjian pembiayaan konsumen dan pemberian jaminan secara kepercayaan nomor: 911041101941, yang dibuat dan ditandatangani antara konsumen dan pelaku usaha, bentuk dan besarnya, tidak dapat dibaca secara jelas. Bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UUPK yang melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Maka oleh karena klausul-klausul perjanjian yang terdapat pada halaman kedua perjnjian tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) UUPK, klausul perjanjian yang terdapat pada halaman kedua perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum. Adanya perjanjian baku yang dibuat secara sepihak oleh lembaga pembiayaan sudah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Lembaga pembiayaan dilarang

6 membuat perjanjian baku yang isinya menyatakan memberikan kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Selain itu tidak sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian pembiayaan sering menimbulkan permasalahan yang merugikan konsumen, maka penulis mengadakan penelitian dengan judul KONSUMEN DAN PEMBIAYAN KONSUMEN: Studi Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nomor: 02-06/LS/IV/2012/BPSK.Ska Mengenai Perjanjian Pembiayaan Konsumen. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Bagaimana pertimbangan majelis BPSK Kota Surakarta dalam memutus sengketa perjanjian pembiayaan konsumen? 2. Bagaimana putusan majelis BPSK Kota Surakarta dalam sengketa perjanjian pembiayaan konsumen? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mendeskripsikan pertimbangan majelis BPSK Kota Surakarta dalam memutus sengketa perjanjian pembiayaan konsumen.

7 2. Untuk mendeskripsikan putusan majelis BPSK Kota Surakarta dalam sengketa perjanjian pembiayaan konsumen. D. Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan wawasan dan pengetahuan tentang pelaksanaan perjanjian baku pada dunia usaha. b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum perdata terkait dengan penyelesaian sengketa dalam perjanjian pembiayaan konsumen melalui BPSK. c. Memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan, khususnya tentang perjanjian pembiayaan konsumen melalui putusan BPSK. 2. Manfaat Praktis a. Dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berwenang dalam penyelesaian sengketa pembiayaan konsumen melalui BPSK. b. Memberikan jawaban dari permasalahan yang diteliti penulis serta dapat mengembagkan pola pikir, penalaran dan pengetahuan penulis dalam menyusun suatu penulisan hukum. c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data yang berguna bagi masyarakat pada umumnya dan para pembaca pada khususnya mengenai penggunaan perjanjian standar atau baku dalam perjanjian pembiayaan.

8 E. Kerangka Pemikiran Bagan Kerangka Pemikiran Lembaga Pembiayaan Konsumen Sengketa Konsumen BPSK Penyelesian Penyelesaian Melalui Melalui BPSK BPSK Putusan Hakim Seiring terus meningkatnya kebutuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan. Sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam atau perjanjian pembiayaan. Lembaga pembiayaan adalah salah satu lembaga yang berfungsi untuk menyalurkan dana kepada masyarakat berupa kredit untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam proses pembuatan perjanjian pembiayaan, sebuah perusahaan pembiayaan akan sulit untuk menetapkan besar kecilnya suku bunga dan lamanya jangka waktu

9 kredit serta tata cara pelunasan hutang yang diberikan kepada nasabahnya apabila harus menegosiasikan hal-hal itu dengan setiap nasabahnya. Hal inilah yang menyebabkan perusahaan pembiayaan menganggap perlu untuk membakukan banyak persyaratan pemberian kredit melalui penggunaan perjanjian baku. Perjanjian baku merupakan perjanjian yang hampir seluruh klausulklausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. 7 Perjanjian pembiayaan yang ada di masyarakat hampir keseluruhan menggunakan perjanjian baku karena sangat efisien dan proses pembiayaan bisa lebih cepat. Konsekuensinya perjanjian baku ini menempatkan debitur (nasabah) dalam posisi yang lemah dan tidak mempunyai hak untuk memilih apa saja yang berarti dari keseluruhan persyaratan yang ditawarkan dalam perjanjian pembiayaan. Akan tetapi di dalam praktek, perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendakinya dan harus diterima sebagai kenyataan. Dengan demikian akibat hukum perjanjian baku bagi debitur (nasabah) dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan yaitu debitur (nasabah) sebagai pihak yang lemah harus menyetujui dan tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pembiayaan yang sudah dibakukan oleh lembaga pembiayaan tanpa adanya kesepakatan di antara para pihak mengenai pembiayaan dan aturan-aturan pembiayaannya. 8 7 Op.cit., Shidarta, Hal, 19 8 Op.cit., Ni Luh Putu Widyantini dan I Made Pasek Diantha, Hal. 4.

10 Kondisi ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan pengaturan mengenai ketentuan pencantuman klausula baku antara lain: pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti, pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha, serta hal-hal lain yang merugikan debitur (nasabah). Ketentuan mengenai penggunaan klausula baku sudah diatur dalam UUPK, akan tetapi pada kenyataannya seringkali masih terjadi pelanggaran sehingga akan merugikan kepentingan konsumen. Oleh karena itu hak setiap konsumen untuk mengadukan permasalahannya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Badan ini adalah suatu lembaga yang berpayung hukum pada peraturan perundang-undangan yang cukup jelas. Unang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang pembentukan BPSK di Pasal 49 ayat (1) UUPK yang berbunyi: Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Wewenang BPSK yang berkaitan dengan sengketa perjanjian pembiayaan antara lain adalah meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen; Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; Menjatuhkan sangsi administratif kepada

11 pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 9 F. Metode Penelitian Adapun metode-metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Metode Pendekatan Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan pendekatan doktrinal, karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan, sebagai norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat negara yang berwenang. Hukum dipandang sebagai suatu lembaga yang otonom, terlepas dari lembaga-lembaga lainnya yang ada di masyarakat. Oleh karena itu pengkajian yang dilakukan, hanyalah terbatas pada peraturan perundang-undangan (tertulis) yang terkait dengan objek yang diteliti Dari berbagai jenis metode pendekatan yuridis normatif yang dikenal, penulis memilih bentuk pendekatan normatif yang berupa, inventarisasi peraturan perundang-undangan dan penemuan hukum inconcreto. Penemuan hukum in concreto ini digunakan untuk menemukan berhasil tidaknya pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen pembiayaan yang diberikan oleh lembaga pembiayaan. 2. Spesifikasi Penelitian Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas, tentang berbagai hal yang terkait 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 52.

12 dengan objek yang diteliti, yaitu bagaimana pertimbangan Majelis BPSK Kota Surakarta dalam memutus sengketa perjanjian pembiayaan konsumen dan bagaimana putusan Majelis BPSK Kota Surakarta dalam sengketa perjanjian pembiayaan konsumen. 3. Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan jenis data yang berasal dari dua sumber yang berbeda, yaitu: a. Data Sekunder Penelitian ini menggunakan jenis sumber data sekunder yang merupakan data utama yang diperoleh melalui kajian bahan pustaka, dalam hal ini berupa dokumen, peraturan perundang-undangan, arsip, literatur dan hasil penelitian dan putusan hakim yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun pengarang buku. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas : 1) Bahan hukum primer, meliputi: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep./12/2001 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 2) Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi meliputi jurnal hukum, buku teks, komentar atas putusan pengadilan, rancangan peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.

13 3) Bahan hukum tertier, berupa kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif. b. Data Primer Yaitu data-data yang berupa keterangan-keterangan yang berasal dari pihak-pihak yang terlibat dengan objek yang diteliti yang dimaksudkan untuk dapat lebih memahami maksud, tujuan dan arti dari data sekunder yang ada. Data primer ini pada pelaksanaannya hanya berfungsi sebagai penunjang dari data sekunder. 4. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Metode ini dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder, yang dilakukan dengan cara, mencari, mengiventarisasi dan mempelajari peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, dan datadata sekunder yang lain, yang terkait dengan objek yang dikaji. Adapun instrumen pengumpulan yang digunakan berupa form dokumentasi, yaitu suatu alat pengumpulan data sekunder, yang berbentuk format-format khusus, yang dibuat untuk menampung segala macam data, yang diperoleh selama kajian dilakukan. b. Wawancara Metode ini dipergunakan untuk mengumpulkan data primer, yang dilakukan dengan cara melakukan wawancara secara bebas terpimpin, dengan berbagai pihak yang dipandang memahami objek yang diteliti.

14 5. Metode Analisis Data Data yang telah terkumpul dan telah diolah akan dibahas dengan menggunakan metode normatif kualitatif, yakni suatu pembahasan yang dilakukan dengan cara menafsirkan dan mendiskusikan data-data yang telah diperoleh dan diolah, berdasarkan (dengan) norma-norma hukum, doktrin-doktrin hukum dan teori ilmu hukum yang ada. Pembahasan pada tahap awal dilakukan dengan cara melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan yang menjadi objek kajian. Data yang terkumpul akan diidentifikasikan secara analitis doktrinal, dengan menggunakan teori Hukum Murini dari Hans Kelsen. Sedangkan untuk tahap kedua akan dilakukan pembahasan yang berupa pendiskusian, antara berbagai data sekunder serta data primer yang terkait, dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah diiventarisir, sehingga pada tahap akhir, akan ditemukan hukum inconcreto-nya. G. Sistematika Skripsi Secara umum sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab dan masing-masing bab masih dibagi menjadi sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalah tersendiri, tetapi masih berkaitan antara satu bab dengan bab berikutnya untuk mempermudah dalam memperoleh gambaran dalam skripsi ini. Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagi berikut.

15 Bab satu berisi tentang pendahuluan sebagai pengantar secara keseluruhan, sehingga dari bab ini akan diperoleh gambaran umum tentang pembahasan skripsi. Bab satu memuat tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penelitian Bab dua berisi tentang landasan teori yang sesuai dengan permasalahan yaitu Konsumen dan Pembiayaan konsumen. Pada bab ini menjabarkan tentang hukum perlindungan konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Kunsumen, putusan hakim, Perjanjian pada umumnya, dan Perjanjian Pembiayaan konsumen. Bab tiga memaparkan tentang hasil penelitian yaitu putusan dari Badan Penyelesaian Konsumen nomor: 02-06/LS/IV/2012/BPSK.Ska mengenai perjanjian pembiayaan konsumen yaitu kewenangan BPSK memeriksa sengketa konsumen, kewenangan BPSK untuk membatalkan perjanjian oembiayaan konsumen, pertimbangan majelis BPSK untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, wanprestasi yang dilkukan konsumen dam tuntutan ganti rugi materiil untuk pengadu. Kemudian dalam pada bab tiga juga akan memaparkan putusan majelis BPSK Kota Surakarta dalam sengketa perjanjian konsumen. Bab empat adalah Penutup berisi tentang simpulan dari penelitian dan saran. Simpulan merupakan hasil temuan penelitian dan merupakan jawaban dari rumusan masalah. Saran berisi tentang masukan yang diberikan oleh peneliti berdasarkan analisis data.