I. TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh Coturnix coturnix japonica merupakan jenis puyuh yang populer dan banyak diternakkan di Indonesia. Puyuh jenis ini memiliki ciri kepala, punggung dan sayap berwarna coklat tua dengan garis coklat muda berkombinasi totol-totol hitam. Bulu dadanya berwarna merah kombinasi totol-totol yang lebih jelas. Bagian perut berwarna coklat muda merah. Puyuh betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari pada puyuh jantan. Puyuh betina memiliki warna coklat yang lebih terang dengan warna coklat muda bergradasi putih ke bawah. Lehernya memiliki bulu berwarna putih yang lebih lebar (Marsudi dan Saparinto, 2012). Puyuh memiliki kelebihan dibandingkan dengan ternak unggas lainnya yaitu sangat mudah dipelihara, tenaga dan biaya investasi yang diperlukan tidak besar serta tidak membutuhkan banyak tempat (Ahuja et al., 1992). Puyuh lebih cepat bertelur jika dibandingkan dengan jenis unggas lainnya (Giuliano dan Selph, 2005), sehingga kebutuhan telur untuk konsumsi keluarga cepat terpenuhi. Keunggulan lain dari puyuh yaitu daya tahan yang tinggi terhadap penyakit (Hartono, 2004). Puyuh mulai bertelur pada umur 35 hari dengan karakteristik telur berwarna coklat tua, coklat dan biru, atau biru serta putih dengan bintik bintik hitam (Hartono, 2004). Produktivitas telur puyuh mencapai 250-300 butir per tahun dengan bobot rata-rata 10 gram setiap butir. Puncak produksi dicapai pada minggu ke-13 dengan persentase bertelur lebih dari 80%. Produktivitas puyuh akan menurun dengan persentase bertelur kurang dari 50% pada umur lebih dari 14 bulan. Selanjutnya sama sekali berhenti bertelur saat berumur 2,5 tahun atau 30 bulan (Anggorodi, 1995). Puyuh jantan biasanya dimanfaatkan dagingnya untuk dikonsumsi (Hartono, 2004). 4
5 B. Ransum Puyuh Ransum adalah campuran bahan-bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan akan zat-zat pakan yang seimbang dan tepat (Rasyaf, 2004). Ransum yang dapat diberikan untuk burung puyuh terdiri dari beberapa bentuk, yaitu bentuk crumble, remah dan tepung (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Jumlah ransum yang diberikan kepada puyuh harus diperhatikan. Kebutuhan ransum puyuh dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan ransum per hari menurut umur puyuh Umur Puyuh Kebutuhan Ransum (gram) 1 hari 1 minggu 2 1 minggu 2 minggu 4 2 minggu 4 minggu 8 4 minggu 5 minggu 13 5 minggu 6 minggu 15 Di atas 6 minggu 17-19 Sumber: Listiyowati dan Roospitasari (2005). Faktor ransum mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas puyuh (Listiyowati dan Roospitasari, 2004). Perbedaan fase berpengaruh pada pemberian ransum karena berdampak pada perbedaan kebutuhannya. Puyuh mempunyai dua fase pemeliharaan, yaitu fase pertumbuhan dan fase produksi (layer). Fase pertumbuhan puyuh terbagi lagi menjadi dua, yaitu fase starter (umur 0-3 minggu) dan fase grower (umur 3-5 minggu). Protein, karbohidrat, vitamin, mineral dan air harus tersedia dalam jumlah yang cukup. Kekurangan salah satu nutrien tersebut akan mengakibatkan kesehatan terganggu dan menurunkan produktivitas (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Kebutuhan nutrien puyuh petelur pada fase grower dan layer dapat dilihat pada Tabel 2.
6 Tabel 2. Kebutuhan nutrien puyuh petelur fase grower dan layer. Nutrien Grower Layer Energi metabolis (kkal/kg) Min. 2.600 Min. 2.700 Protein kasar (%) Min. 17 Min. 17 Lemak kasar (%) Maks. 7 Maks. 7 Serat kasar (%) Maks. 7 Maks. 7 Abu (%) Maks. 8 Maks. 14 Ca (%) 0,9-1,20 2,5-3,50 P tersedia (%) 0,40 0,6-1,0 Lisin (%) Min. 0,80 Min. 0,90 Metionin (%) Min. 0,35 Min. 0,40 Metionin + Sistin (%) Min. 0,50 Min. 0,60 Sumber: Standar Nasional Indonesia (2006) C. Vitamin D Vitamin D termasuk vitamin larut dalam lemak. Pada dasarnya, absorpsi dan distribusi vitamin larut dalam lemak mengikuti pola dari pencernaan, absorpsi, distribusi dan dekomposisi dari lemak. Vitamin D berfungsi mengatur penyerapan kalsium sebagai komponen utama penyusun kerabang telur (Murray et al. 2003). Menurut Anggorodi (1985) kebutuhan vitamin D bagi unggas cukup tinggi untuk menghasilkan pertumbuhan normal, kalsifikasi, produksi dan reproduksi tanpa adanya sinar matahari. Kebutuhan vitamin D tergantung dari sumber fosfor dalam ransum, jumlah dan perbandingan kalsium terhadap fosfor dan lamanya penyinaran oleh sinar matahari langsung. Penyinaran selama 11-45 menit tiap hari cukup untuk menghindari rakhitis pada ayam. Kebutuhan vitamin D pada unggas dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3. Kebutuhan vitamin D pada unggas (per kilogram ransum) Umur Kebutuhan Ayam petelur 500 ICU (12,5 µg) Ayam bibit 500 ICU (12,5 µg) Puyuh fase starter dan grower 750 ICU (18,75 µg) Puyuh fase layer 900 ICU (22,5 µg) Sumber : Anggorodi (1985) dan NRC (1994)
7 Mitchell dan Edwards (1996a) menyatakan bahwa suplementasi 0,5% vitamin D atau 600 U fitase/kg pakan dapat menggantikan 0,1% P anorganik pada ayam broiler, selain itu vitamin D juga meningkatkan pemanfaatan P dalam tubuh dari 63 menjadi 75% karena kadar P ekskreta turun dari 0,82 menjadi 0,75%. D. Asam Fitat dan Enzim Fitase Bahan pakan untuk ternak nonruminansia berbasis jagung dan kedelai, sehingga mempunyai kelemahan yaitu kandungan fosfornya yang terikat asam fitat sekitar 50-80% (Sariyska et al., 2005). Asam fitat (Gambar 1) merupakan senyawa yang terdapat pada bahan pakan yang berasal dari tanaman dan merupakan senyawa yang tidak dapat dicerna oleh ternak nonruminansia. Jika jumlah asam fitat yang dikonsumsi meningkat akan menimbulkan tambahan biaya pada pakan dengan adanya P yang tidak tercerna. Tidak tercernanya fitat juga mengakibatkan efek negatif pada pencernaan mineral dan protein (Maenz, 2005). Selain itu, protein yang terikat asam fitat dapat menurunkan aktivitas enzim protease dan tripsin sehingga menurunkan protein tercerna (Sajidan et al., 2004) dan total bahan kering yang tercerna (McCleary, 2005). Fosfor pada fitat tidak dapat digunakan oleh hewan berlambung sederhana karena tidak adanya enzim fitase di dalam alat pencernaan (Sajidan et al., 2004), sehingga diperlukan tambahan fitase yang dapat menghidrolisis asam fitat (Applegate dan Angel, 2004). Enzim fitase (Gambar 2) merupakan salah satu enzim yang tergolong dalam kelompok fosfatase yang mampu menghidrolisis senyawa fitat (myo-inositol (1,2,3,4,5,6) heksakisfosfat) menjadi myo-inositol dan fosfat anorganik (McCleary, 2005). Pengelompokan ini didasarkan pada kemampuan enzim fitase untuk melepas molekul fosfor (H2PO4) pada atom C dari gugus benzene inositol, sehingga pemanfaatan unsur P dalam tubuh unggas menjadi optimal (Applegate dan Angel, 2004).
8 Gambar 1. Asam Fitat Gambar 2. Fitase Aktivitas fitase pada saluran pencernaan dipengaruhi oleh kandungan mineral pakan, ph, temperatur dan kandungan air. Aktivitas fitase semakin baik dengan adanya kandungan air yang tinggi (Maenz, 2005). Penggunaan fitase tidak dianjurkan pada kondisi ph rendah (asam) karena fitase sebagian besar mempunyai aktivitas optimal pada ph sekitar 5, sehingga aktivitas fitase pada lambung akan rendah dan meningkat setelah mencapai usus halus (Anselme, 2006). Aktivitas fitase yang tertinggi terjadi di brush border duodenum kemudian terjadi penurunan secara progresif di sepanjang usus halus. Fitase pada brush border usus memberikan kontribusi pada pencernaan P fitat dan berperan dalam pengaturan kebutuhan P dan vitamin D pada ayam (Maenz dan Classen, 1998). Suplementasi enzim fitase sebesar 750 FTU/kg menghasilkan nilai kecernaan P lebih tinggi dibandingkan dengan suplementasi 500 FTU/kg ransum (Ravidran et al., 2008). Suplementasi fitase 600 FTU/kg dapat menggantikan hingga 0,1% dari P anorganik dalam pakan ayam broiler (Mitchelldan Edwards 1996). Selain itu, suplementasi fitase sebesar 500 FTU/kg dapat menurunkan P tersedia dalam pakan menjadi 0,25% (Yang et al., 2009). Mitchell dan Edwards (1996a) menyatakan bahwa fitase dan vitamin D meningkatkan pemanfaatan P fitat dan menunjukan efek yang sinergis apabila dikombinasikan. Suplementasi 5 mg/kg vitamin D dalam ransum berbasis jagung dan kedelai memperbaiki pemanfaatan P fitat ayam broiler sebanyak 60-88%.
9 Selain itu retensi P fitat yang lebih tinggi diperoleh ketika ransum broiler dilengkapi dengan fitase dan vitamin D (Edwards, 1993). E. Nutrien Tercerna Menurut Tillman et al. (2005) kecernaan dapat diartikan banyaknya atau jumlah proporsional nutrien yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Kecernaan pakan dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menilai suatu bahan pakan. Kecernaan ransum dipengaruhi oleh jenis ternak, jenis bahan pakan, jumlah ransum dan kandungan nutrien. Faktor lain yang memengaruhi kecernaan adalah suhu, laju perjalanan pakan melalui saluran pencernaan, bentuk fisik dari bahan pakan dan komposisi pakannya (Widowati et al., 2001), umur ternak dan jumlah ransum (Tillman et al., 2005). Pengukuran kecernaan secara in vivo pada unggas dapat menggunakan metode total koleksi atau indikator. Metode total koleksi merupakan pengukuran kecernaan dengan menghitung jumlah ransum yang dikonsumsi dan jumlah ekskreta yang dihasilkan kemudian dikonversikan dalam bahan kering, selanjutnya dapat dianalisis kandungan nutrien ransum dan ekskreta (Mangisah et al., 2006). Metode indikator merupakan pengukuran kecernaan dengan menggunakan senyawa yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan. Indikator yang digunakan ada dua macam yaitu indikator alami seperti kromogen, lignin atau silikat dan indikator yang sengaja ditambahkan ke dalam ransum seperti krom oksida, methyline blue, karminedan barium sulfat (Maenz, 2000). Mitchell dan Edwards (1996a) menyatakan bahwa suplementasi 0,5% vitamin D atau 600 U fitase/kg pakan dapat menggantikan 0,1% P anorganik pada ayam broiler, selain itu vitamin D juga meningkatkan pemanfaatan P dalam tubuh dari 63 menjadi 75% karena P ekskreta turun dari 0,82 menjadi 0,75%.
10 HIPOTESIS Hipotesis pada penelitian ini adalah suplementasi vitamin D dalam ransum puyuh petelur yang mengandung fitase dapat meningkatkan bahan kering, protein kasar, Ca dan P tercerna.